Sejak
runtuhnya era Uni Sovyet lebih 2 dekade lalu menjadi negara Rusia masyarakatnya
terkenal dengan gaya hidup Borjuis. Namun Negara tersebut saat ini sedang
mengalami krisis ekonomi yang parah dan sudah berlangsung hampir satu tahun
terakhir ini. Kehidupan di Rusia sungguh sangat memperhatinkan dari kehidupan
yang dulu hedonis dan borjuis di Rusia saat ini banyak warga negara Rusia yang
berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari hari saja.
Rusia pun secara kekuatan ekonomi melorot
jatuh terdepak dari 10 besar kekuatan ekonomi duni, Rusia berada diperingkat 15
berada dibawah Spanyol dan Turki. Padahal sebelumnya Rusia adalah salah satu
raksasa ekonomi dunia, dan penyeimbang Amerika Serikat dalam hal ekonomi dan
militer di dunia.
Sanksi ekonomi yang pernah diberikan
negara-negara anggota NATO dan Amerika sangat berdampak pada Rusia. Sanksi yang
sengaja dibuat Amerika dan sekutunya ini disebabkan aneksasi Rusia secara
sepihak terhadap wilayah Ukraina di Crimea.
Krisis Rusia sendiri semakin diperparah
karena ketidakstabilan harga minyak dan nilai mata uang Rusia yang makin
melorot terhadap dolar Amerika lebih dari setahun ini. Kasus Crimea hanya
alasan saja bagi Amerika dan telah dijadikan momentum oleh sekutu AS untuk
melemahkan musuh abadinya tersebut sejak era perang dingin. Karena Israel yang
menganeksasi wilayah Palestina tidak pernah mendapatkan sangsi satupun dari
Eropa dan Amerika.
Hampir semua sektor kehidupan warga Rusia
terkena dampak dari krisis ekonomi Rusia. Karena di Rusia makanan dan
buah-buahan sebagian besar adalah produk impor. Sebelum Rusia di boikot oleh
Amerika dan EU, Rusia mengimpor senilai 900 milyar dolar pertahun hanya untuk
produk makanan dan buah dari hampir 6000 perusahan Eropa, Asia dan Amerika.
Namun sejak Agustus tahun lalu, Rusia
diboikot untuk impor produk makanan dan buah,sehingga Rusia harus berusaha
memenuhi kebutuhan makanan rakyatnya sendiri atau mencari dari sumber lain yang
mengakibatkan harga makanan menjadi tinggi dan memberatkan warga Rusia.
Putin berkilah dan menolak disalahkan,
menurutnya embargo dari Eropa membuat Rusia menjadi lebih mandiri dan kuat.
Selain Rusia tidak bisa impor produk pangan, ekspor Rusia pun mengalami
masalah, karena 70% ekspor Rusia adalah dari penjualan minyak dan gas ke negara
Eropa.
Ditengah keterpurukan harga minyak dan gas,
mata uang Rusia Rubel ikut semakin melemah. Bahkan untuk mempertahankan nilai
mata uang Rubel, Rusia telah mengeluarkan dana mencapai 100 Milyar Dolar tahun
ini hanya agar Rubel tidak semakin terperosok jatuh. Menurut data dari IMF
memperkirakan inflasi Rusia akhir tahun ini akan meningkat 16% dengan
pertumbuhan ekonomi Rusia tahun 2016 hanya 3,7%.
Putin adalah pemimpin komunis Rusia yang
paling bertanggung jawab membawa Rusia menuju krisis ekonomi parah. Amerika dan
Eropa secara cerdik memanfaatkan sikap arogan Putin untuk menjebak Putin
kedalam pusaran krisis di negaranya.
Akhirnya Putin mencoba untuk berkongsi
dengan Iran dan Syiah untuk mempertahankan pengaruhnya dan hal itu dimanfaatkan
oleh Amerika dan sekutu untuk menjebak Putin masuk kepusaran konflik perang
yang berbiaya mahal yang pernah membuat bangkrut Amerika dan NATO sebelumnya.
Sudah lebih dari sebulan Rusia terlibat
perang di Suriah bukannya memperoleh kemenangan besar, perang membuat Putin semakin
frustasi sehingga membuat tawaran dari Saudi begitu menggoda Rusia. Sebelumnya
Putin bersikukuh jika rezim Asad tetap harus dipertahankan namun akhirnnya
Putin mulai bersikap ragu.
Melihat perkembangan di zona perang yang
membuat Rusia frustasi karena tidak satupun kota yang dikuasi ISIS tak kunjung
dapat direbut oleh Asad dan Rusia setelah lebih dari sebulan berton ton rudal
dijatuhkan dikota yang dikuasai pejuang Suriah dan ISIS. Putin pun akhirnya
mulai melunak untuk menerima proposal Saudi dan Turki untuk memerangi ISIS dan
membangun Suriah walaupun tanpa Asad.
Akankah Putin bisa mempertahankan julukan
gagah yang menakutkan “Si Beruang Merah”, untuk Rusia, yang kini mulai tua dan
melemah akibat krisis keuangan?.
(Abnei/dbs)