Beberapa waktu yang lalu terjadi aksi pembakaran sebuah
pesantren kaum Syi’ah di Sampang, Madura. Tak lama setelah itu muncul
suara-suara yang berupaya membela kaum Syi’ah. Di antara argumentasinya adalah
kaum Syi’ah itu adalah bagian dari kaum Muslimin, mereka tidak sesat, buktinya
mereka juga pergi haji ke Mekkah dan sholat di Masjidil Haram. Bagi sebagian
besar kaum Muslimin boleh jadi hal ini sangat membingungkan; mereka tidak
memiliki suatu tolok ukur untuk menguji kebenaran masing-masing argumentasi itu.
Maka tujuan posting kali ini, tanpa menyinggung aksi pembakaran itu karena
merupakan domain polisi, adalah untuk mengajukan suatu tolok ukur yang tak akan
ada lagi orang menampik setelah itu.
Akan tetapi, sebelum membahas soal tolok ukur itu, kami
perlu membantah argumentasi soal ibadah yang dilakukan kaum Syi’ah di Masjidil
Haram yang disebutkan di atas. Orang-orang yang kurang akal itu lupa, Snouck Hurgronje, seorang
orientalis Belanda, bukan sekedar naik haji dan sholat di Masjidil Haram, ia
bahkan juga berinteraksi dan belajar kepada para ulama kaum Muslimin di sana.
Ternyata semua itu hanya kedok dalam misinya untuk mencari tahu kekuatan dan
kelemahan kaum Muslimin, yang lalu disampaikannya kepada pemerintah Hindia
Belanda, agar dapat disusun sebuah strategi guna lebih mengukuhkan cengkeraman
pemerintahan kolonialnya, khususnya di Aceh yang belum juga dapat ditundukkan
ketika itu.
Setelah berjalannya waktu dan kini kita telah berada di
penghujung zaman, wallahua’lam, menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan ibadah
seperti sholat, puasa, zakat, pergi haji dan kegiatan ibadah-ibadah lainnya
sebagai petunjuk suatu kaum adalah Muslim tidak lagi memadai. Tanyakanlah
kepada kaum Ahmadiyah yang mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, apakah
mereka tidak sholat, puasa, sedekah, dan tidak ingin pergi haji? Tanyakanlah
kepada kaum JIL yang menyatakan bahwa agama di luar Islam bukan suatu
kekafiran, apakah mereka tidak sholat, puasa, pergi haji, dan lain-lainnya?
Tanyakanlah kepada kaum LDII, yang menolak sholat di masjid-masjid kaum
Muslimin dan bahkan mengafirkan kaum Muslimin, apakah mereka tidak sholat,
puasa, zakat, pergi haji, dan lain-lainnya? Maka kini kaum Muslimin harus lebih
berhati-hati dalam menentukan sikap; yang pertama kali diperiksa dari suatu
kaum adalah aqidah yang mendasari ajaran-ajaran mereka. Inilah bagian yang
paling sensitif, yang seringkali luput dari pemeriksaan kaum Muslimin. Padahal
ketika fondasi aqidah ini telah rusak, maka amal-amal ibadah yang dikerjakan di
atasnya menjadi sia-sia!
Kaum Syi’ah telah menjadi fitnah (cobaan) bagi kaum
Muslimin bahkan sejak masa para Sahabat hingga hari ini. Cukuplah buku-buku
rujukan kaum Syi’ah itu sendiri dan ucapan para tokohnya hingga hari ini yang
telah menceritakan tentang siapa mereka sesungguhnya. Para ulama kaum Muslimin
dari masa ke masa pun, sejak Imam Malik, Imam Syafi’i hingga para ulama di
zaman kita hidup ini, telah menyatakan kekafiran mereka berdasarkan buku-buku
dan ucapan-ucapan tersebut. Akan tetapi terlalu mudah bagi mereka untuk
berkelit dan berkilah. Kebohongan di atas kebohongan, itulah modal dasarnya.
Sesungguhnya agama Islam ini adalah agama yang suci,
diturunkan Allah Yang Maha Perkasa kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam bagi segenap manusia dan jin. Maka Allah akan memberikan bukti-bukti
kesucian agama ini dengan cara yang tidak lagi dapat ditampik oleh para pembela
kebatilan. Insya Allah tak lama lagi kita akan menyaksikan munculnya suatu
“moment of truth;” suatu momen yang akan memisahkan secara tegas antara agama
Islam yang suci dari najis yang mengotorinya; yang akan memisahkan kaum beriman
dari kaum munafik. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman (artinya),
“Sesungguhnya yang batil itu adalah
sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Israa’: 81)
Setiap yang batil, apalagi agama yang batil, pasti akan
lenyap, yang tersisa adalah agama yang benar saja, agama Islam, sebelum Hari
Kiamat, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman (artinya),
“Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa)
petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,
walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 33)
Allah memenangkan agama Islam dengan cara membela kaum
beriman dan mengalahkan kaum kafir. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala
telah berfirman (artinya),
“Allah tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang Mukmin. (QS. A-Nisa’:
141)
“Dan merupakan hak Kami untuk
menolong orang-orang yang beriman.” (QS. Ar-Ruum: 47)
Kini di hadapan kita, tak lama lagi, insya Allah, akan
terwujud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini (artinya),
“Kalian akan mengadakan perdamaian dengan bangsa Romawi,
kemudian kalian dan mereka memerangi musuh bersama kalian, dan akhirnya kalian menang sekaligus memperoleh ghanimah dan
selamat, kemudian kalian pulang. Pada saat kalian singgah di Dzi Talul, seorang
lelaki Kristen mengangkat salib dan berteriak, “Hidup salib!” Seorang Muslim
marah, lalu memukulnya. Ketika itu, bangsa Romawi berkhianat dan berkumpul guna
mempersiapkan perang besar.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majjah)
Permainan segi tiga (kaum beriman – kaum kafir ahli kitab
– kaum musyrik Persia) yang telah terjadi di masa awal Islam akan terulang
kembali di masa depan yang sangat-sangat dekat, insya Allah, sesuai sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam (artinya),
“Kemudian kalian akan kembali lagi dari awal. Kemudian
kalian akan kembali lagi dari awal. Kemudian kalian akan kembali lagi dari awal.”
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah)
Sekarang perhatikanlah, bahwa Allah telah mengatur agar
musuh bersama ini dihancurkan terlebih dahulu. Mengapa demikian? Karena
kerusakan yang dibawa oleh musuh bersama itu jauh lebih besar daripada
kerusakan oleh kaum kafir ahli kitab. Sepanjang sejarah Islam, sejak Imperium
Persia dihancurkan oleh kaum Muslimin di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin
Khaththab radhiyallahu‘anhu, kaum musyrik ini tidak pernah rela menerima
kenyataan itu; kedengkian mereka karena keruntuhan imperium paganis tersebut
menyebabkan mereka selalu berupaya untuk menikam kaum Muslimin dari belakang. Bahkan
Khalifah Umar bin Khaththab sendiri telah menjadi korban pertamanya; ia ditikam
dari belakang ketika ia tengah mengimami suatu sholat berjamaah oleh seorang
Majusi Persia yang berpura-pura telah masuk Islam dan menjadi makmum dalam
sholat tersebut. Maka Raja Abdullah dari Arab Saudi tidak keliru ketika ia
mengumpamakan orang-orang Syi’ah Iran itu sebagai ular. Berjalan bersama musuh
dalam selimut itu jauh lebih berbahaya daripada berjalan bersama musuh di luar
selimut. Oleh karena itu, penghancuran mereka disebabkan kemunafikannya itu
menjadi prioritas pertama.
Sebagian orang akan terheran-heran. Seandainya ini memang
skenario Allah dalam menghancurkan agama Syi’ah, mengapa seakan-akan Allah
membantu mereka sehingga mereka mampu mewujudkan kekuatan militer yang tidak
dapat diremehkan? Kami mengira situasi ini justru diciptakan agar penghancuran
itu bersifat total. Seandainya Iran hanya memiliki kekuatan seadanya, maka
koalisi Muslim-Barat pun juga hanya berupaya menghilangkan ancaman
sementaranya, yaitu kemampuan nuklirnya. Akan tetapi, karena musuh bersama itu
telah jauh lebih kuat, maka upaya penghancurannya akan bersifat total, all-out,
habis-habisan. Wallahua’lam.
Semua analisis di atas insya Allah telah selaras dengan
firman Allah di atas. Maka ketika musuh bersama itu telah dihancurkan, ini
menunjukkan bahwa mereka memang bukanlah kaum beriman yang menyebabkan Allah
tidak menurunkan pertolongan-Nya; musuh bersama itu pada hakekatnya tidak
mengusung panji-panji Islam sebagaimana yang selalu mereka gembar-gemborkan
dalam nama-nama seperti Republik Islam Iran!
Ketika hadits di atas telah mewujud, insya Allah, maka
kaum munafik itu tidak lagi dapat berkilah dan berkelit. Mereka tidak dapat
menghindar dari sebuah tolok ukur yang diturunkan dari atas langit.
Wallahua’lam
Ditulis oleh Abu Laila
Abdurrahman