Belum lama ini tersebar di
tengah kaum muslimin pernyataan kontroversial dari seorang da’i terkait
fenomena jihad Suriah, di antara poin pernyataannya yang pertama, Bashar Assad
adalah pemimpin zalim yang masih layak untuk ditaati berdasarkan kaidah “pemimpin
zalim lebih baik daripada merebaknya fitnah”. Kedua, Jihad Suriah adalah fitnah
(tidak jelas mana kawan mana lawan).
Setidaknya dua poin inilah
yang bisa mewakili pernyataan beliau, maka tidak heran jika dengan pernyataan
yang beliau sampaikan menimbulkan kegelisahan pada hati kaum Muslimin. Sebab,
sejak dimulainya revolusi Suriah kaum Muslimin Indonesia telah disadarkan bahwa
Bashar Assad tidak termasuk kategori pemimpin kaum muslimin ataupun imam zalim
sekali pun, dan bahwa apa yang sedang terjadi di sana bukanlah fitnah, namun
merupakan pertarungan antara haq dan kebatilan.
Dalam tulisan ini kita tidak
akan membahas sosok da’inya, karena beliau bukanlah orang pertama yang kerap
melontarkan pernyataan seperti ini. Dalam hal ini, beliau hanya sebagai sampel
yang mewakili para du’at yang kerap melontarkan hal yang semisal.
Begitu halnya tulisan ini
pun tidak akan membahas atau menanggapi kedua poin di atas, sebab bagi para
pemula (dalam menuntut ilmu) sekalipun, sangatlah mudah untuk menilai dua poin di
atas jika bersandarkan dengan kaidah, yaitu; fahmun nash (pemahaman dalil) dan
fahmul waqi’ (pemahaman terhadap realitas).
Sehingga dari sini kami
menyimpulkan bahwa jika hal ini dilontarkan oleh seorang da’i atau seorang yang
alim siapapun dia, maka sungguh hal ini disebut dengna zillatul ‘alim
(ketergelinciran seorang alim). Hal ini pula termasuk di antara perkara yang
dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat:
إِنِّي أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي
مِنْ بَعْدِي مِنْ أَعْمَالٍ ثَلاثَةٍ قَالُوا: مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
قَالَ: زَلَّةُ الْعَالِمِ، أَوْ حُكْمٌ جَائِرٌ، أَوْ هَوًى مُتَّبَعٌ
“Sungguh
yang aku khawatirkan atas umatku sepeninggalku adalah tiga hal, mereka
bertanya: “Apa saja perkara itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab:
“Ketergelinciran seorang alim, hukum yang lalim, dan hawa nafsu yang dituruti.”
(HR. Thabrani)
Selain itu para ulama salaf pun telah
mewanti-wanti terhadap perkara ini, di antaranya adalah yang diungkapkan oleh
sahabat Umar bin Khattab RA:
يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ ثَلَاثَةٌ : زَلَّةُ عَالِمٍ ،
وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ ، وَأَئِمَّةٌ مُضِلُّونَ
Tiga perkara yang menghancurkan Islam;
tergelincirnya seorang alim, debatnya orang munafik tentang Al-Qur’an dan para
pemimpin yang menyesatkan.” (Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya’; 4/196)
Bersikap dengan baik terhadap
ketergelinciran ulama merupakan hal ditekankan Rasulullah SAW dan para ulama
salaf, sebab jika tidak disikapi dengan benar hal ini akan menimbulkan perkara
yang buruk, baik bagi si alim atau bagi orang yang mengikutinya. Maka penting
bagi setiap da’i dan alim dan para pencari ilmu untuk memperhatikan hal ini.
Bagi setiap du’at dan ulama yang perlu
diperhatikan adalah mengetahui sebab-sebab ketergelinciran dalam berfatwa atau
berpendapat, di antara sebab-sebabnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam
Asy-Syatibi bahwa sebab yang melatarbelakangi tergelincirnya seorang alim ada
dua hal. Pertama, ketidaktahuannya terhadap sebagian dalil, sehingga
menyimpulkan sesuatu yang bukan menjadi maksudnya. Kedua, tidak membahas tema
secara menyeluruh. (Imam Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat: 132)
Setidaknya dua sebab di atas yang harus
diperhatikan ketika seseorang ingin menyimpulkan suatu hukum atau melontarkan
pendapatnya.
Syaikh Musthafa Al-Adawi memperjelas
poin pertama dengan menyebutkan kaidah, ‘Jam’ul Adillah Al-Waridah fil
Mas’alah’ (mengumpulkan dalil-dalil yang berkaitan dalam satu masalah).
(Musthafa Al Adawi, Mafatihul Fiqh: 24)
Pentingnya mengumpulkan dalil-dalil yang
berkaitan dalam suatu masalah akan diharapkan dengan itu seorang ‘alim tidak
pincang dalam berargumen hingga terkesan mengambil satu dalil dan menafikan
dalil lain.
Adapun poin kedua hendaknya seorang
‘alim membahas suatu masalah secara tuntas dan komprehensif, setidaknya terdapat
dua kaidah pula dalam masalah ini yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim ketika
seorang alim ingin membahas masalah secara komprehensif hendaknya memperhatikan
dua hal; pertama, memahami realita dan mengilmuinya.
Kedua, Berlandaskan pemahaman wajib,
yaitu hendaknya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian
mengunakan keduanya secara baik. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqiin,
1/87)
Jika setiap alim atau da’i memperhatikan
dua perkara urgen ini sebelum ia berpendapat atau berfatwa maka potensi
ketergelincirannya akan lebih kecil. Hal ini pula yang harus diikuti oleh
setiap muslim yang ingin mengikuti manhaj salaf jika ingin pandai dalam
memandang realita yang ada yang semakin rumit dan membutuhkan sandaran yang
kuat. Sebab, jika tidak yang terjadi adalah bersikap kaku dalam memahami nash
tanpa pandai dalam memandang realita atau sebaliknya terlalu berani dalam
mensikapi realita sehingga melanggar batasan batasan dalil syar’i. Hal ini
sesuai dengan slogan yang disebutkan oleh Dr. Shalah Ash-Shawi, yaitu
Salafiyatul Manhaj wa ‘Ashriyatul Muwajahah (berpedoman dengan manhaj salaf dan
bijak dalam memandang realita yang ada).
Ketergelinciran Alim
Adapun terhadap para penuntut ilmu
perkara pertama yang harus ia perhatikan adalah bagaimana cara mengetahui
ketergelinciran seorang alim?
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Mu’adz bin Jabbal ditanya, “Bagaimana kita mengetahui ketergelincirian seorang
alim?” Beliau menjawab, “Apa yang engkau nilai rancu dari perkataan seorang
alim, atau apa yang tidak sesuai dengan hati kaum muslimin dan mereka tidak
dapat mengerti.”
Begitu pula Salman Al-Farisi ditanya,
“Bagaimana engkau mengetahui ketergelinciran seorang alim?” Ia berkata,
“Sesungguhnya kebenaran adalah cahaya yang dapat diketahui.” (Ibnu Rajab Al
Hambali, Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 342 dan Imam Ath Thabari, Tahzhib al
Atsar, hal. 254)
Perkara lain yang perlu diperhatikan
adalah bersikap adil terhadap perkataan seorang alim, tidak boleh
berlebih-lebihan. Ketika seorang penuntut ilmu mendapati kekeliruan pada
gurunya maka ia harus menyadari kekeliruan bisa terjadi pada siapa saja, lalu ia
meningalkan pendapat gurunya, sebab perkataan siapapun dapat diterima dan
ditolak kecuali perkataan Rasulullah SAW. Sebagaimana ungkapan Mujahid, Imam
Malik dan lainnya:
ليس أحد من خلق الله إلا يؤخذ من قوله ويترك إلا النبي
صلى الله عليه وسلم
“Tidak
ada seorangpun setelah Nabi SAW, kecuali perkataannya itu ada yang diambil dan
ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi SAW.“ (Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’
Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz II, hal. 111-112).
Ketika seorang muslim tetap mengikuti
suatu pendapat yang jelas-jelas salah dan bertentangan dengan kebenaran, maka
sungguh ia sedang berada kecelakaan. Ibnu Abbas RA berkata:
ويل للأتباع من عثرات العالم ، قيل : كيف ذلك ؟ قال :
يقول العالم شيئا برأيه ، ثم يجد من هو أعلم برسول الله صلى الله عليه وسلم منه;
فيترك قوله ثم يمضي الأتباع
“Kecelakaan
bagi para pembeo terhadap kesalahan orang yg berilmu. Beliau ditanya; bagaimana
itu terjadi? Dia menjawab; “Orang berilmu tersebut mengeluarkan statemen dengan
pendapatnya (yang salah) kemudian ia mendapati orang yang lebih faham (lebih
benar) apa yang datang dari Nabi yang menyelisihinya. Namun ia mengacuhkan
pendapat orang itu dan tetap mengikuti pendapat yang salah.” (Khatib al
Baghdadi, al Faqih wal Mutafaqih; 2/213).
Semoga kita termasuk orang-orang yang
mampu memandang kebenaran dan kesalahan berdasarkan mizan (timbangan) syar’i,
sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebenaran namun melalui jalan yang
salah. Wallahu ‘alam.
Oleh: Zaid Royani, S.Pd.I (Da’i Majelis
Dakwah Islam Indonesia)