Oleh: Ustadz
Hafidin Achmad Luthfie, Lc
Sebagai
orang yang pernah tinggal di Mesir dan berhubungan akrab dengan para mahasiswa
“jail mansyud”, “tayyar islami”, dan lain-lain yang merupakan sayap mahasiswa
al-Ikhwan al-Muslimin, juga memahami kitab-kitab sebagian besar ulama-ulama dan
pemimpin-pemimpinnya saya mengerti bahwa pilihan-pilihan fiqh al-Ikhwan dalam
politik sering menempuh jalan tengah dan bersifat ta’amul marhali.
Ketika al-Ikhwan memutuskan masuk dalam
demokrasi sebagian pihak seperti “salafi resmi” seperti Yasir Burhami, Sa’id
Ruslan dll menuduh dan menghukum mereka dengan hukum-hukum yang zalim. Ketika
al-Ikhwan mencalonkan perempuan dalam pemilu parlemen hampir saja mereka
dikafirkan oleh syaikh-syaikh “salafi resmi” tersebut. . Sementara
syaikh-syaikh “salafi tidak resmi” seperti Shalah al-Shawi bersikap moderat
sebagaimana ditunjukkan dalam tulisan panjangnya di majalah “salafi” Al-Bayan
yang dikemudian hari dibukukan dengan judul al-Tsawabit wa al-Mutaghayyirat.
Sudah lebih dari 80 tahun al-Ikhwan
berdakwah dan berupaya keras memperbaiki kondisi umat. Berbagai tajribah sudah
mereka alami termasuk jihad melawan yahudi tahun 1948 saat negara-negara arab
memble, jihad melawan Inggris di Terusan Suez, dan juga jihad Afganistan.
Sementara cabang al-Ikhwan di Syria sudah sejak awal 80-an menentang rejim
syiah nushairiyyah dengan gerakan perlawanan di Provinsi Hamat dan Revolusi
Islam Syria yang meletus pasca musim semi arab juga dimulai dari provinsi yang
sama.
Yang menarik bahwa kelompok “salafi
resmi” yang anti demokrasi dan menghabisi setiap gerakan Islam yang ingin
meng-ishlah pemerintahan dan melaksanakan tathbiq syariah melalui parlemen di
Mesir justru belakang mereka juga masuk demokrasi. Tetapi masuknya mereka
justru menambah keruwetan dan komplikasi politik serta menjadi alat intelijen
untuk mengebuk gerakan-gerakan Islam sebagaimana dimainkan secara baik oleh
Partai an-Nur dan Yasir Burhami yang merupakan wakil ketua Idarah ad-Da’wah
as-Salafiyah.
Saat Partai an-Nur muncul maka perilaku
politik mereka justru jauh lebih buruk dari al-Ikhwan. Mereka calonkan “aqbath”
(pendeta-pendeta qibthi), mencalonkan perempuan tabarruj dalam pemilu parlemen,
merancang kudeta bersama al-Sisi demi “maslahat dakwah”, dan juga ikut dalam
pemilu parlemen yang diselenggarakan rejim kudeta dan diboikot rakyat Mesir
dengan hasil nol kursi.
Yasir Burhami dalam lawatannya ke Saudi
beberapa waktu lalu ingin bertemu dengan sejumlah masyaikh. Tetapi Syaikh
Shalih al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz al-Tharifi dll menolak ditemui dan bertemu
dengan Burhami.
Di Mesir ketika anggota atau simpatisan
gerakan-gerakan Islam ditangkap maka orang yang punya “karneh” Gereja Qibthi
dan Partai an-Nur justru selamat dan aman.
Sekarang Yasir Burhami dan Partai
An-Nur bertemu dengan jihaz mukhabarat (lembaga intelijen). Entah makar apa
lagi yang mereka susun dan rencanakan terhadap negeri Mesir dan gerakan-gerakan
Islam. Semoga Allah menjadikan tipu daya mereka membinasakan diri mereka
sendiri.