Kamis, 23 Februari 2012 - 10:23 WIB
Puasa yang dilaksanakan dengan iman dan
ridha kepada Allah akan menuju positive coping style
Belum lama ini, peneliti dari National
Institute on Ageing menemukan bahwa dengan tidak makan sama sekali selama satu
atau dua hari selama seminggu tidak hanya meningkatkan kemungkinan menghindari
demensia di kemudian hari, tapi juga bisa menjadi kunci untuk kehidupan yang
lebih panjang.
Riset terbaru ini akhirnya
menyimpulkan, puasa satu atau dua hari dalam seminggu dapat membantu
memperpanjang harapan hidup seseorang serta dapat membantu melindungi otak
melawan penyakit degeneratif (proses kemunduran fungsi sel-sel) seperti
Alzheimer dan Parkinson.
Penelitian terbaru ini
semakin mengukuhkan bahwa amalan puasa justru menyehatkan. Kesimpulan itulah
yang pernah diperoleh Dr. dr. Achmad Zainullah, jauh sebelum pihak National
Institute on Ageing merilis temuannya.
Obyek penilitian Zainullah
kala itu adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Luqmanul-Hakim (STAIL)
Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya. Dari hasil penelitian selama bulan
puasa di tahun 2003 itu menunjukkan bahwa imunitas para mahasiswa rata-rata
meningkat selama dan sesudah menjalankan puasa.
Imunitas adalah pertahanan
tubuh terhadap penyakit infeksi. Dalam keadaan sehat atau optimal, imunitas
berfungsi secara efisien, sehingga tubuh dapat terhindar dari dampak yang tidak
menguntungkan akibat kehadiran substansi asing. Sistem imun yang terpapar oleh
imunogen atau patogen (racun) akan meresponsnya sehingga tubuh kebal terhadap
patogen tersebut.
“Imunitas terdiri atas
berbagai sel, imunoglobulin, berbagai sitokin penghantar sinyal antarsel yang
semuanya bekerja bagaikan orkestra dalam pertahanan tubuh,” terang dokter yang
bertugas di Rumah Sakit Umum Lumajang (Jatim) ini.
Menurut suami dari Ariati
ini, puasa yang menimbulkan sakit bisa terjadi karena pelaksanaannya dipersepsi
sebagai beban. Akibatnya, pengaruh perubahan irama sirkardian (irama biologis
tubuh yang bersifat menetap karena sudah menjadi pola) akan predominan sehingga
menurunkan imunitas.
Puasa yang dilaksanakan
dengan iman yang mantap, apalagi dengan dasar cinta, penuh harap ridha kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, persepsinya akan menuju positive coping style
(bentuk penanggulangan yang positif), sehingga menimbulkan ketenangan.
“Ketenangan dapat memperbaiki imunitas,” jelas alumnus Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya ini.
Hasil penelitiannya
menyebutkan, pelaksanaan puasa yang mencapai fase ketenangan merupakan coping
mechanism (mekanisme penanggulangan stres) yang positif. Ini dapat mengubah
kualitas stres ke fase adaptasi, sehingga puasa ditanggapi sebagai stimulus
yang menyenangkan (eustress). Dan, pusat reward (pengembalian di hipotalamus
akan merespons berupa penurunan pelepasan corticotropin-releasing hormone
(CRH).
Pelepasan hormon CRH yang
terkendali akan menyebabkan sekresi (pengeluaran) adrenocorticotropin hormone
(ACTH) oleh hipofisis anterior juga terkendali, sehingga pelepasan kortisol
sebagai salah satu hormon stres ke dalam darah juga terkendali. Puasa yang
mencapai ketenangan berpotensi sebagai stimulus yang menyenangkan bagi tubuh
sehingga akan dapat meningkatkan imunitas.
Memang, menurut Zainullah,
pelaku puasa mengalami penjadwalan ulang pemasukan bahan untuk keperluan
biologis (makan, minum), dari siang hari ke malam hari. Juga perubahan pola
tidur karena aktivitas ibadah shalat tarawih di malam hari serta mengerjakan
sahur. Ini menyebabkan perubahan irama sirkardian tubuh diubah dari pola
diurnal (aktif di siang hari) menjadi nokturnal (lebih aktif di malam hari)
dibanding sebelum berpuasa.
Perubahan pola aktivitas
tersebut berpotensi untuk menurunkan imunitas. Namun, perubahan kebiasaan
sehari tersebut dapat diterima sebagai stressor (stimulus penyebab stres)
tetapi dapat diadaptasi.
Perubahan pola makan itu
periodik, tetapi tidak terus menerus (intermitten fasting), sehingga memberi
kesempatan adaptasi.
Respons individu terhadap
perubahan saat berpuasa, dengan coping mechanism yang positif dan efektif dapat
mengubah kualitas stres. Hanya saja menurut Zainullah, mekanisme demikian hanya
akan terjadi jika pelaksanaan puasanya diniatkan ibadah dengan ikhlas.
“Sebab orang yang berpuasa
karena dilandasi iman akan tercermin dalam aktivitas puasanya,”terangnya .
Menurut Zainul, seluruh instrumen tubuh saat puasa mestinya dijaga dari hal
yang tidak saja melanggar ibadah puasa, namun semaksimal mungkin untuk menggapai
pahala puasa.
Perasaan raja’ (harapan)
akan mendapat pahala dari Allah begitu tinggi. Karena itu, keutamaan (fadilah)
puasa dapat diperoleh melalui tilawah, shalat tahajud, sedekah, menyegerakan
buka dan mengakhirkan sahur. Prasyarat inilah yang dijadikan Zainul dalam obyek
penelitiannya.
Jadi, jika seorang sedang
berpuasa, sebisa mungkin harus menghindari marah. Dalam Hadist dikatakan “La
taghdhab.” (Janganlah marah). Jadi memang puasanya dilakukan dan didasari demi
mendapatkan keridhaan Allah, maka secara psikologis dia akan mendapatkan energi
positif. Dan bagi orang yang berpuasa asal-asalan maka akan merasa rugi.
Sebelum banyaknya
penelitian ini, Rasulullah jauh hari telah mengajarkan keutamaan puasa. Dari
‘Aisyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
menaruh pilihan berpuasa pada hari Senin dan Kamis.”
Imam Muslim dalam kitabnya
juga meriwayatkan sebuah hadits yang artinya, “Puasa yang paling disukai Allah
adalah puasanya Daud as.: ia berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan salat yang
paling disukai Allah adalah salatnya Daud; ia tidur separoh malam, beribadah
sepertiga malam, dan tidur lagi seperenamnya.”
Khusus Ramadhan, dengan
berpuasa berlandaskan iman yang mantap, penurunan stimulasi syaraf simpatetik (
silahkan baca The Miiracle of Enzyme, Hiromi Shinya MD hal. 210; Red. Lamurkha )
yang terjadi selama sebulan berpuasa diharapkan dapat mengurangi atau
meniadakan sisa stres yang tertumpuk selama 11 bulan beraktivitas. Sehingga
setelah berpuasa terjadi kondisi kesehatan yang optimal. “Itu sudah bisa
dibuktikan secara ilmiah,” tegas laki-laki kelahiran Bangkalan, Madura, 1962,
ini.*
Rep: Syaiful Anshor
Editor: Cholis Akbar