Friday, January 8, 2016

Arab Saudi dan Perlawanan Terhadap Penebar Teror (Iran ! )

Ilustrasi Raja Salman dan Khamenei

Rabu, 6 Jan 2016 13:15
Oleh: Dr. Slamet Muliono
Pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan Arab Saudi terhadap Iran telah melahirkan sejumlah gejolak di berbagai kawasan. Langkah negara Arab Saudi itu bukan diputuskan tanpa pertimbangan matang, namun telah dikaji dampak dan akibatnya bagi negara.
Yang sangat terlihat dengan kasat mata bahwa pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran itu didasari sebuah upaya untuk membendung penebar teror. Faham terorisme bukan hanya musuh satu negara, tetapi musuh seluruh negara. Bahkan terorisme diakui sebagai musuh bersama (common enemy). Dampak terorisme begitu dahsyat. Terorisme bukan hanya membahayakan ketertiban sosial, tetapi berpotensi mengancam dan menggulingkan kepemimpinan suatu negara.
Sebagaimana diketahi bahwa apa yang dilakukan Arab Saudi, dalam menghukum Iran, merupakan buntut demonstrasi warga Iran di kantor kedutaan besar kerajaan Arab Saudi di Teheran. Kantor kedutaan Arab Saudi itu diserang oleh sekelompok demonstran yang tidak lain warga Iran yang memprotes dihukumnya Nimr al-Nimr, tokoh Syiah terkemuka.
Dalam aksi itu, para demonstran sempat merusak perabot dan hampir memporak-porandakan apa yang ada di dalamnya, sebelum pihak keamanan menghentikannya. Pemutusan hubungan diplomatik terhadap Iran diikuti oleh Bahrain, Sudan, dan Uni Emirat Arab (UEA). UEA hanya mengurangi jumlah diplomat mereka di Iran. Keputusan yang diambil tiga negara itu, didasari oleh adanya pelanggaran yang mencolok atas konvensi dan perjanjian internasional. (fokusislam.5/1/2016)
Bahkan pengaruh kebijakan Arab Saudi itu merembet ke seluruh dunia, sehingga terjadi berbagai demonstrasi. Sekelompok kecil warga Indonesia termasuk di antara wilayah-wilayah yang melakukan demonstrasi itu. Aksi demonstrasi di Indonesia menghujat kebijakan Arab Saudi dan mengkritik pemutusan hubungan diplomatik itu. salah satu yang dilakukan oleh Aliansi Anti Perang (A2P).
Mereka mengkritik kebijakan Saudi atas pembunuhan terhadap tokoh Syiah. Mereka mengagungkan Nimr sebagai  tokoh pejuang kebebasan dan demokrasi di Arab Saudi. Mereka bahkan mengumpat Arab Saudi, dengan menghujat sebagai “iblis”, dan juga menuduhnya sebagai negara yang menggunakan simbol agama untuk tujuan kejahatan. (fokusislam.5/1/2016)
Menarik untuk mencermati realitas di atas. Ada dua realitas yang berbeda dalam memahami keputusan pemerintah Arab Saudi. Kalau pemerintah Arab Saudi memandang bahwa Nimr adalah salah seorang yang membahayakan negara karena melakukan tindakan subversif. Namun pihak yang kontra menganggap bahwa Nimr adalah tokoh inspiratif yang menjanjikan perubahan yang positif dengan memperjuangkan demokrasi.
Pemerintah Arab Saudi mengambil langkah menghukum Nimr dan kemudian memutus hubungan diplomatik dengan Iran dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, campur tangan Iran terhadap negara Arab Saudi. Sepak terjang negara berpaham Syiah itu telah terbukti merongrong dan campur tangan terhadap urusan dalam negeri Arab Saudi.
Salah satunya adalah menyokong gerakan Syiah sebagaimana yang dilakukan oleh Nimr. Nimr bahkan telah menggerakkan untuk membentuk negara separatis yang memisahkan diri dari Arab Saudi. Dalam konteks ini, Arab Saudi ingin memutus mata rantai gerakan Nimr yang membahayakan negara yang disokong Iran.
Fakta inilah yang ingin ditunjukkan Arab Saudi sekaligus menampilkan salah satu di antara watak asli negara Iran yang menyokong gerakan separatis. Adanya perilaku anarkis warganya ketika merangsek masuk dan merusak kedutaan besar Arab Saudi di negara Iran merupakan contoh empiriknya.
Kedua, memadamkan aksi terorisme dan radikalisme. Nimr adalah tokoh Syiah yang  keluar masuk penjara Saudi karena sikapnya yang anti pemerintah Saudi. Bahkan dia secara terang-terangan menginginkan Qathif, komunitas Syiah di Saudi, memisahkan diri dari Saudi.
Nimr dihukum mati bukan kapasitasnya sebagai orang Syiah tetapi karena tindakannya yang subversif terhadap pemerintah yang sah dan berdaulat. Faktanya menunjukkan bahwa Nimr merupakan salah satu di antara 47 orang yang terbukti melakukan tindakan terorisme. Kebanyakan yang dihukum pemerintah Arab Saudi kebanyakan masuk jaringan Al-Qaedah. Hukuman mati terhadap Nimr pada hakekatnya adalah eksekusi terhadap gerakan terorisme dan radikalisme.
Ketiga, Arab Saudi bukan negara penyokong terorisme. Kebijakan mengukum mati para pelaku terorisme merupakan bentuk afirmasi kepada dunia bahwa Saudi bukanlah penanam benih berbagai tindakan terorisme di berbagai belahan dunia. Sementara opini dunia menganggap bahwa Saudi bukan hanya sebagai penebar benih tetapi sekaligus sebagai penyokong terorisme. Munculnya gerakan-gerakan jihadis tidak lepas lepas dari peran Arab Saudi. Dengan adanya eksekusi terhadap 47 pelaku teror ini, termasuk Nimr, akan terjawab bahwa Arab Saudi bukanlah penyokong gerakan terorisme.
Keempat, menunjukkan Iran sebagai penebar teroris. Negara pertama yang terbakar dan memanas terhadap eksekusi Nimr adalah Iran. Iran bisa dikatakan sebagai negara penebar teror yang melahirkan sejumlah gerakan yang melakukan teror di berbagai negara. Nimr bukanlah warga Iran, tetapi warga Saudi namun pernah belajar di Iran selama 10 tahun.
Ideologi Syiah telah merasuk dalam diri Nimr dan berujung mengadakan gerakan anti pemerintah Saudi. Hal ini  menunjukkan watak asli faham Syiah   yang mampu menyuntik gerakan anti pemerintah, yang berbeda faham dengannya, sekaligus bisa menggerakkannya untuk melawan dan menggulingkan pemerintahan yang sah. Nimr merupakan salah satu tokoh yang berfaham Syiah yang berhasil memperoleh suntikan dari Iran, sehingga bisa menggerakkan aksi melawan pemerintah Saudi.
Langkah yang diambil Arab Saudi untuk memutus hubungan diplomatik dengan Iran memang mengandung resiko besar, termasuk dicap sebagai negara yang membunuh kebebasan dan iklim demokrasi. Tetapi apapun yang dilakukan Saudi untuk menunjukkan bahwa aksi radikalisme dan terorisme harus diperangi tanpa melihat apakah dia berideologi Sunni atau Syiah.