Rabu, 6 Jan 2016 13:15
Oleh:
Dr. Slamet Muliono
Pemutusan
hubungan diplomatik yang dilakukan Arab Saudi terhadap Iran telah melahirkan
sejumlah gejolak di berbagai kawasan. Langkah negara Arab Saudi itu bukan
diputuskan tanpa pertimbangan matang, namun telah dikaji dampak dan akibatnya
bagi negara.
Yang
sangat terlihat dengan kasat mata bahwa pemutusan hubungan diplomatik dengan
Iran itu didasari sebuah upaya untuk membendung penebar teror. Faham terorisme
bukan hanya musuh satu negara, tetapi musuh seluruh negara. Bahkan terorisme
diakui sebagai musuh bersama (common
enemy). Dampak terorisme begitu dahsyat. Terorisme bukan hanya
membahayakan ketertiban sosial, tetapi berpotensi mengancam dan menggulingkan
kepemimpinan suatu negara.
Sebagaimana
diketahi bahwa apa yang dilakukan Arab Saudi, dalam menghukum Iran, merupakan
buntut demonstrasi warga Iran di kantor kedutaan besar kerajaan Arab Saudi di
Teheran. Kantor kedutaan Arab Saudi itu diserang oleh sekelompok demonstran
yang tidak lain warga Iran yang memprotes dihukumnya Nimr al-Nimr, tokoh Syiah
terkemuka.
Dalam
aksi itu, para demonstran sempat merusak perabot dan hampir memporak-porandakan
apa yang ada di dalamnya, sebelum pihak keamanan menghentikannya. Pemutusan
hubungan diplomatik terhadap Iran diikuti oleh Bahrain, Sudan, dan Uni Emirat
Arab (UEA). UEA hanya mengurangi jumlah diplomat mereka di Iran. Keputusan yang
diambil tiga negara itu, didasari oleh adanya pelanggaran yang mencolok atas
konvensi dan perjanjian internasional. (fokusislam.5/1/2016)
Bahkan
pengaruh kebijakan Arab Saudi itu merembet ke seluruh dunia, sehingga terjadi
berbagai demonstrasi. Sekelompok kecil warga Indonesia termasuk di antara
wilayah-wilayah yang melakukan demonstrasi itu. Aksi demonstrasi di Indonesia
menghujat kebijakan Arab Saudi dan mengkritik pemutusan hubungan diplomatik
itu. salah satu yang dilakukan oleh Aliansi Anti Perang (A2P).
Mereka
mengkritik kebijakan Saudi atas pembunuhan terhadap tokoh Syiah. Mereka
mengagungkan Nimr sebagai tokoh pejuang kebebasan dan demokrasi di Arab
Saudi. Mereka bahkan mengumpat Arab Saudi, dengan menghujat sebagai “iblis”,
dan juga menuduhnya sebagai negara yang menggunakan simbol agama untuk tujuan
kejahatan. (fokusislam.5/1/2016)
Menarik
untuk mencermati realitas di atas. Ada dua realitas yang berbeda dalam memahami
keputusan pemerintah Arab Saudi. Kalau pemerintah Arab Saudi memandang bahwa
Nimr adalah salah seorang yang membahayakan negara karena melakukan tindakan
subversif. Namun pihak yang kontra menganggap bahwa Nimr adalah tokoh
inspiratif yang menjanjikan perubahan yang positif dengan memperjuangkan
demokrasi.
Pemerintah
Arab Saudi mengambil langkah menghukum Nimr dan kemudian memutus hubungan
diplomatik dengan Iran dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, campur tangan Iran terhadap negara Arab
Saudi. Sepak terjang negara berpaham Syiah itu telah terbukti merongrong dan
campur tangan terhadap urusan dalam negeri Arab Saudi.
Salah
satunya adalah menyokong gerakan Syiah sebagaimana yang dilakukan oleh Nimr.
Nimr bahkan telah menggerakkan untuk membentuk negara separatis yang memisahkan
diri dari Arab Saudi. Dalam konteks ini, Arab Saudi ingin memutus mata rantai
gerakan Nimr yang membahayakan negara yang disokong Iran.
Fakta
inilah yang ingin ditunjukkan Arab Saudi sekaligus menampilkan salah satu di
antara watak asli negara Iran yang menyokong gerakan separatis. Adanya perilaku
anarkis warganya ketika merangsek masuk dan merusak kedutaan besar Arab Saudi
di negara Iran merupakan contoh empiriknya.
Kedua, memadamkan aksi terorisme dan
radikalisme. Nimr adalah tokoh Syiah yang keluar masuk penjara Saudi
karena sikapnya yang anti pemerintah Saudi. Bahkan dia secara terang-terangan
menginginkan Qathif, komunitas Syiah di Saudi, memisahkan diri dari Saudi.
Nimr
dihukum mati bukan kapasitasnya sebagai orang Syiah tetapi karena tindakannya
yang subversif terhadap pemerintah yang sah dan berdaulat. Faktanya menunjukkan
bahwa Nimr merupakan salah satu di antara 47 orang yang terbukti melakukan
tindakan terorisme. Kebanyakan yang dihukum pemerintah Arab Saudi kebanyakan
masuk jaringan Al-Qaedah. Hukuman mati terhadap Nimr pada hakekatnya adalah
eksekusi terhadap gerakan terorisme dan radikalisme.
Ketiga, Arab Saudi bukan negara penyokong
terorisme. Kebijakan mengukum mati para pelaku terorisme merupakan bentuk
afirmasi kepada dunia bahwa Saudi bukanlah penanam benih berbagai tindakan
terorisme di berbagai belahan dunia. Sementara opini dunia menganggap bahwa
Saudi bukan hanya sebagai penebar benih tetapi sekaligus sebagai penyokong
terorisme. Munculnya gerakan-gerakan jihadis tidak lepas lepas dari peran Arab
Saudi. Dengan adanya eksekusi terhadap 47 pelaku teror ini, termasuk Nimr, akan
terjawab bahwa Arab Saudi bukanlah penyokong gerakan terorisme.
Keempat, menunjukkan Iran sebagai penebar
teroris. Negara pertama yang terbakar dan memanas terhadap eksekusi Nimr adalah
Iran. Iran bisa dikatakan sebagai negara penebar teror yang melahirkan sejumlah
gerakan yang melakukan teror di berbagai negara. Nimr bukanlah warga Iran,
tetapi warga Saudi namun pernah belajar di Iran selama 10 tahun.
Ideologi
Syiah telah merasuk dalam diri Nimr dan berujung mengadakan gerakan anti
pemerintah Saudi. Hal ini menunjukkan watak asli faham Syiah
yang mampu menyuntik gerakan anti pemerintah, yang berbeda faham
dengannya, sekaligus bisa menggerakkannya untuk melawan dan menggulingkan pemerintahan
yang sah. Nimr merupakan salah satu tokoh yang berfaham Syiah yang berhasil
memperoleh suntikan dari Iran, sehingga bisa menggerakkan aksi melawan
pemerintah Saudi.
Langkah
yang diambil Arab Saudi untuk memutus hubungan diplomatik dengan Iran memang
mengandung resiko besar, termasuk dicap sebagai negara yang membunuh kebebasan
dan iklim demokrasi. Tetapi apapun yang dilakukan Saudi untuk menunjukkan bahwa
aksi radikalisme dan terorisme harus diperangi tanpa melihat apakah dia
berideologi Sunni atau Syiah.