Kamis 19
Rabiulawal 1437 / 31 December 2015
JA’FAR bin Abu Thalib masih saudara sepupu Rasulullah
SAW, putra dari Abu Thalib, paman yang mengasuh beliau dari kecil, dan menjadi
pelindung Nabi SAW dan dakwah Islamiah ketika masih di Makkah, walaupun
akhirnya meninggal dalam kekafiran. Nabi SAW sangat menyayangi Ja’far karena ia
termasuk sahabat yang paling mirip dengan beliau. Beliau sendiri pernah
bersabda kepadanya, “Engkau adalah yang paling mirip dengan akhlak dan rupaku!”
Ja’far dan
istrinya, Amma binti Umais memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah. Tak
pelak lagi mereka mendapat tekanan dan siksaan dari para pembesar kafir
Quraisy. Memang tidak seberat dialami para budak seperti Bilal, Ammar bin
Yasir, Khabbat bin Aratt dan beberapa lainnya. Tetapi kehidupan mereka di tanah
kelahirannya sendiri menjadi tidak nyaman dan tidak bisa bebas melaksanakan
ajaran agama barunya tersebut. Karena itu, ketikaNabi SAW menghimbau
sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), Ja’far dan istrinya
segera menyambut seruan tersebut. Bahkan Nabi SAW mengangkatnya sebagai
pimpinan rombongan Muhajirin pertama ini.
Kaum kafir
Quraisy merasa kecolongan karena beberapa orang muslim (sebanyak 83 lelaki dan
18/19 perempuan) lolos dari pengawasan mereka, dan berhasil hijrah ke Habasyah.
Tetapi mereka tidak berdiam diri begitu saja, mereka berupaya keras bagaimana
bisa mengembalikan mereka ke Makkah. Dikirimlah dua orang ahli diplomasi, Amr
bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. untuk mempengaruhi Najasyi agar bersedia
mengembalikan kaum muhajirin tersebut ke Makkah. Mereka menyiapkan berbagai
macam hadiah dan bingkisan untuk memuluskan rencana tersebut. Setibanya di
Habasyah, Amr bin Ash menemui para uskup terlebih dahulu dan memberikan berbagai
hadiah, dengan harapan mereka memberikan dukungan kepadanya.
Tiba waktu
yang ditentukan, Amr bin Ash dan Ibnu Abi Rabiah menyampaikan hadiah dan
bingkisan yang disiapkan untuk Najasyi, Raja Habasyah, kemudian menyampaikan
maksud kedatangannya dengan gaya diplomasi yang manis dan memikat. Para
uskuppun ikut berbicara, “Benar apa yang dikatakan mereka berdua, wahai Baginda
Raja. Serahkan saja mereka kepada keduanya agar mereka bisa dikembalikan ke
negerinya dan kepada kaum kerabatnya.”
Tetapi Ashamah an Najasyi adalah seorang raja yang
adil, berilmu dan beriman kuat (pada agama Nashrani yang dipeluknya) dan
berakhlak mulia, persis seperti yang digambarkan Nabi SAW kepada para sahabat
yang akan berhijrah ke Habasyah. Ia tidak akan mengambil keputusan apapun hanya
berdasarkan apa yang disampaikan oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah.
Karena itu ia memerintahkan agar rombongan muhajirin tersebut dibawa menghadap
kepadanya.
Kaum
muslimin pun mendatangi majelis Najasyi dengan hati was-was. Mereka memang
telah mengetahui kehadiran dua utusan Quraisy dan sepak terjangnya dalam upaya
mengembalikan mereka ke Makkah. Merekapun menunjuk Ja’far bin Abu Thalib
sebagai juru bicara menghadapi Najasyi. Setibanya di majelis itu, Najasyi
berkata, “Agama seperti apakah yang kalian pegangi itu, sehingga karena agama
tersebut kalian memecah belah kaum kalian, dan kalian tidak juga memeluk agama
kami atau agama lainnya yang kami kenali?”
Sebagai juru
bicara kaum muhajirin yang ditunjuk, Ja’far maju menghadap ke Najasyi. Apa yang
dikatakannya akan menjadi penentu, apakah mereka akan tetap tinggal di Habasyah
dan dengan tenang bisa melaksanakan ibadah, atau apakah mereka akan kembali ke
Makkah dan menjadi sasaran siksaan dan pengejaran untuk memaksa mereka kembali
ke agama jahiliahnya?
Ja’far
berkata, “Wahai Tuan Raja, dulu kami pemeluk agama jahiliah yang menyembah
berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, yang kuat menindas yang lemah,
memutuskan tali persaudaraan dan berbagai pekerti buruk lainnya. Lalu Allah
mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri, yang sangat kami kenali
nasab, kejujuran, amanah dan kesucian hatinya. Beliau menyeru kami untuk hanya
menyembah Allah dan tidak menyekutukannya. Beliau juga memerintahkan kami untuk
berbuat jujur, amanah…”
Ja’far pun
menyebutkan berbagai macam perintah Islam yang harus dilaksanakan dan juga
larangan-larangan yang harus ditinggalkan. Kemudian ia meneruskan, “Tetapi kaum
kami memusuhi kami, menyiksa dan menimbulkan berbagai cobaan dengan tujuan
mengembalikan kami kepada penyembahan berhala dan menghalalkan berbagai macam
keburukan seperti dahulu. Mereka menekan dan mempersempit ruang gerak kami,
menghalangi kami dari melaksanakan ajaran agama kami sehingga Nabi SAW kami
memerintahkan kami pergi ke negeri tuan, dan memilih tuan daripada orang
lainnya. Kami gembira mendapat perlindungan tuan, dan kami berharap agar kami
tidak didzalimi di sisi tuan, wahai tuan Raja!”[]
NAJASYI terdiam beberapa saat, merenungi penjelasan
Ja’far yang panjang lebar tersebut. Kemudian ia berkata, “Apakah kalian bisa
membacakan sedikit dari ajaran kalian kepadaku?”
“Bisa, tuan
Raja, ” kata Ja’far.
Kemudian ia
membacakan beberapa ayat-ayat awal dari Surah Maryam. Najasyi dan beberapa
orang uskup dengan ta’dhim mendengar bacaan Ja’far, tanpa terasa mereka berurai
air mata sehingga membasahi jenggotnya.
“Cukup,”
Kata Najasyi, “Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa Isa benar-benar keluar dari
misykat yang sama…”
Misykat
adalah lubang di tembok tempat menaruh lampu, yang dari tempat itu cahaya
menerangi seluruh ruangan. Dengan perkataannya itu berarti Najasyi mengakui
bahwa Islam adalah agama wahyu, sebagaimana agama Nashrani yang dipeluknya.
Kemudian Najasyi berpaling kepada dua utusan Quraisy tersebut dan berkata,
“Pergilah kalian! Sungguh aku tidak akan pernah menyerahkan mereka kepada
kalian, tidak akan pernah !”
Tak ada
pilihan bagi keduanya kecuali pergi dari hadapan Najasyi. Tetapi Amr bin Ash
sempat berkata pelan, “Demi Allah, besok aku akan mendatangkan mereka lagi
dengan sesuatu yang bisa membinasakan mereka.”
“Jangan
lakukan itu,” Kata Ibnu Abi Rabiah, “Bagaimanapun mereka masih kerabat kita
walaupun mereka menentang kita!”
Tetapi Amr
bin Ash tidak memperdulikan saran temannya tersebut. Esoknya ia menghadap
Najasyi dan berkata, “Wahai tuan Raja, sesungguhnya mereka menyampaikan
perkataan yang menyalahi Tuan dalam masalah Isa bin Maryam!”
Sekali lagi
Najasyi mengirim utusan memanggil kaum muhajirin tersebut untuk menjelaskan
masalah Isa.Mereka menjadi kaget dan risau, bagaimanapun juga mengenai Isa bin
Maryam menjadi masalah yang krusial karena jelas-jelas Islam menolak ketuhanan
Isa bin Maryam. Sempat terpikir untuk mencari jawaban yang bisa menyenangkan Najasyi,
tetapi akhirnya semua ditepiskan, tidaklah mereka akan mengatakan sesuatu
kecuali kebenaran semata.
Ketika mereka dihadapkan dan Najasyi menanyakan hal
tersebut, Ja’far berkata diplomatis, “Mengenai Isa bin Maryam, kami katakan
seperti apa yang dinyatakan oleh Nabi SAW kami, bahwa Isa adalah hamba Allah,
Rasul-Nya, Roh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang Perawan
Suci…”
Sebenarnya
sama saja dan juga lebih mudah kalau dikatakan, “Isa bin Maryam bukan Tuhan”.
Tetapi itu akan langsung menghantam keyakinan Raja dan para pengikutnya. Di
sinilah tampak kemampuan diplomatis yang dimiliki Ja’far bin Abu Thalib. Mereka
telah siap dan pasrah atas keputusan dan kemarahan Raja Najasyi. Tetapi reaksi
yang terjadi jauh di luar dugaan.
Tiba-tiba Najasyi
turun dari tahtanya, ia mengambil sepotong ranting yang ada di tanah dan
berkata, “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan,
walaupun hanya sepanjang ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang
menghina dan mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka
seandainya memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari
kalian.”
Sebagian
pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan Najasyi, mereka
mendengus marah. Najasyipun berkata, “Aku tidak perduli jika kalian marah,
kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu (utusan Quraisy), Demi
Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika Dia memberikan amanat kerajaan
ini, karena itu aku tidak perlu menerima suap dalam urusan-Nya. Tidak juga
Allah menuruti kemauan orang banyak dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu
menuruti kemauan kalian dalam urusanNya.”
Dengan
terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua utusan Quraisy,
dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan terhina.
Ja’far dan
para muhajirin lainnya tetap tinggal di Habasyah sampai datang perintah Nabi
SAW agar mereka segera berhijrah lagi ke Madinah, itu terjadi di bulan
Dzulhijjah 6 H, atau Muharam 7 H. Tetapi sebelum mereka meninggalkan bumi Habasyah,
Raja an Najasyi menyatakan dirinya memeluk Islam, sesuai dengan seruan Nabi
SAW, di hadapan Ja’far bin Abu Thalib. Pada saat yang sama, Najasyi juga
mengadakan ‘pesta’ pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ia
juga memberikan hadiah dan perbekalan yang cukup melimpah kepada kaum muhajirin
yang dipimpin Ja’far ini.[]
DALAM perjalanan hijrah ke Madinah ini mereka
bersama-sama dengan Abu Musa al Asy’ari dan kaumnya, Asy’ariyyin yang berasal
dari Yaman. Kaum Asy’ariyyin ini sebenarnya ingin menyertai Nabi SAW dan
pasukan muslim lainnya yang akan menyerang kaum Yahudi di benteng Khaibar,
tetapi perahu mereka mengalami kerusakan dan terdampar di Habasyah beberapa
hari lamanya.
Rombongan
muhajirin ini bertemu dengan Nabi SAW yang baru pulang dari perang Khaibar,
Nabi SAW langsung memeluk Ja’far dengan hangat dan berkata, “Aku tidak tahu,
mana yang lebih menggembirakan aku, dibebaskannya Khaibar atau kembalinya Ja’far…”
Setelah itu
Nabi SAW memberikan bagian ghanimah Perang Khaibar mereka semua.
Di Madinah,
Ja’far berkumpul lagi dengan banyak sahabat dan kerabatnya yang memeluk Islam,
termasuk kaum Anshar yang baru dikenalinya saat itu. Ada senang dan haru,
tetapi juga ada sedih, karena sebagian dari merekatelah syahid di medan perang
Badar, Uhud dan peperangan lainnya. Tiba-tiba saja muncul gairah dan kerinduan
ketika mengenang mereka, gairah untuk menerjuni medan perjuangan dan syahid
menyusul mereka, “Kapankah aku bisa berbuat demikian pula?” Begitu
angan-angannya.
Beberapa
pertempuran kecil dan beberapa pengiriman pasukan setelah Perang Khaibar dan
Umrah Qadha’ belum bisa menutupi dan memuaskan gairah Ja’far untuk berjuang di
jalan Allah, sampai tibanya Perang Mu’tah.
Pada perang
Mu’tah, Nabi SAW menetapkan bahwa pimpinan pasukan adalah Zaid bin Haritsah,
jika gugur digantikan oleh Ja’far bin Abu Thalib, dan jika ia gugur juga
digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Dari apa yang dipesankan oleh Nabi SAW
tersebut, Ja’far yakin betul bahwa kegairahan dan kerinduannya akan terpuaskan
dalam pertempuran ini, karena beliau telah menunjuk penggantinya. Artinya,
kerinduannya untuk menjadi syahid sebagaimana banyak sahabat dan kerabat
lainnya pasti menjadi kenyataan. Semangatnya pun jadi makin menggelora.
Nabi SAW
menyiapkan tigaribu tentara dalam pasukan Mu’tah tersebut, dan itu merupakan
jumlah pasukan terbesar yang pernah dikirimkan Nabi SAW. Pasukan di bawah
komando Zaid bin Haritsah ini bergerak ke arah Syam, Nabi SAW sendiri mengantar
keberangkatannya sampai ke Tsaniyatul Wada’.
Setibanya di Mu’an, tak jauh dari Mu’ tah, mereka
mendapati kenyataan bahwa Pasukan Romawi yang harus mereka hadapi sejumlah
seratus ribu orang, itupun masih ditambah tentara dari sekutu-sekutunya
sejumlah seratus ribu orang, sehingga totalnya duaratus ribu tentara. Sungguh
kekuatan yang sangat tidak berimbang. Pasukan muslim bermusyawarah, dan sempat
memutuskan untuk mengabarkan jumlah pasukan musuh kepada Nabi SAW, sambil
menunggu petunjuk beliau lebih lanjut.
Tetapi
pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah bin Rawahah.
Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan Agama-Nya, bukan karena
jumlah pasukan yang dihadapinya, Rasulullah SAW telah menetapkan pertempuran
ini dan tugas mereka melaksanakannya. Apapun hasilnya adalah kebaikan semata,
yakni kemenangan, atau gugur sebagai syahid. Pendapat ini yang akhirnya
disetujui secara aklamasi.
Pertempuran-pun
berlangsung seru, jumlah yang sedikit tidak mematahkan semangat perjuangan
mereka, dan tidak berarti menjadi mudah bagi pasukan Romawi untuk menaklukan
pasukan muslim. Ketika akhirnya Zaid menemui syahidnya, Ja’far segera mengambil
panji peperangan dari tangan Zaid, dan terus menghambur menyerang musuh. Ketika
gerakan kudanya makin terbatas sehingga tidak leluasa berperang, ia turun dari
kudanya yang bernama Syaqra’ dan melukai kaki kudanya. Ia tidak ingin kudanya
tersebut lari dari medan pertempuran, selagi tuannya masih terus berjuang. Ia
adalah orang pertama yang melakukan hal tersebut.
Sebagian
riwayat menyebutkan, Ja’far tidak turun, tetapi terlempar jatuh dari kudanya
karena begitu semangatnya, dan ia meneruskan perjuangan dengan berjalan kaki.
Tangan kiri memegang panji dan tangan kanan terus menyerang musuh tanpa ampun.
Ketika tangan kanannya putus terkena senjata lawan, ia mengepit panji dengan
sisa tangan kanannya, dan tangan kirinya meraih pedang untuk meneruskan
menyerang musuh. Ketika tangan kirinya juga terputus kena pedang lawan, ia
berdiri tegak mempertahankan panji agar tetap berkibar, sampai akhirnya senjata
lawan bertubi-tubi menyerangnyahingga dia gugur sebagai syahid, gugur dengan
senyum tersungging karena gairah dan kerinduannya terpuaskan. Panji peperangan
diambil alih Abdullah bin Rawahah untuk meneruskan perempuran.
Ketika Nabi
SAW diberitahu tentang kondisi tubuh Ja’far bin Abu Thalib tersebut, beliau
mengatakan bahwa Allah menganugerahinya dua sayap di surga sebagai pengganti
tangannya tersebut. Karena itu, Ja’far juga digelari dengan ‘ath Thayyar’
(penerbang) atau ‘Dzul Janahain’ (orang yang memiliki dua sayap).[]
Referensi: 101 Sahabat Nabi/Hepi Andi Bustomi/Pustaka Al-Kautsar