Banyak orang melihat
bahwa gereja di Rusia tunduk pada perintah Presiden Vladimir Putin. Meski
Gereja Rusia menganggap Turki sebagai musuh lama, namun dugaan “islamisasi”
masyarakat Turki kemungkinan menjadi penyebabnya, sekalipun tak pernah
diutarakan sebelumnya selama lebih dari satu dekade pemerintahan AKP,
sebagaimana diulas Mohammad Radityo pada World
Bulletin, Jum’at (18/12/2015).
Sejumlah pengamat Rusia melihat sistem patriarki diadopsi
Kristen Ortodoks bukan hanya sebagai istilah biasa; ini sejatinya merupakan
budaya mereka (untuk diatur oleh penguasa), seperti menaati semua kehendak sang
“primus interpare” atau pemimpin “yang dipertuan-agungkannya.” Dengan demikian,
dalam perkembangan kekinian, “penyetanan” gereja Kristen Ortodok Rusia terhadap
Turki tidak hadir dengan sendirinya. Kebencian berabad-abad itu kembali
dicetuskan seorang Putin untuk kepentingannya di Suriah yang rakyat ahlusunnahnya kian
dibela oleh saudaranya, Turki.
Peran gereja Kristen Ortodok dalam perang Suriah kali ini
merupakan alat Putin untuk “berpetualang” di negeri yang kaya akan energi,
mineral dan menjanjikan kekuasaan itu. Padahal, tak sedikit pihak yang
mengemukakan betapa besar modal yang harus digelontorkan Putin untuk memenuhi
ego petualangannya di negeri asing itu, bahkan mengancam Rusia secara politik
dan ekonomi hingga kurun waktu yang panjang.
Namun, absennya pihak oposisi di dalam negeri Rusia telah
memberi kekuatan tersendiri bagi Putin untuk menggencarkan cengkramannya di
Suriah. Jika saja pihak oposisi bermain cantik di dalam negeri Rusia, maka
petualangan Putin di luar negaranya yang keliru dapat diimbangi.
Kini, petualangan kebabalasan Putin di Suriah mencetus
aneka pertanyaan. Perlu sebuah riset objektif untuk membuktikan apakah Rusia
kini telah bergeser dari ideologi komunis dan sosialisnya? Apakah darah Kristen
Ortodok mengental dalam jiwa Putin?
Dengan harta karun pertikaian masa lalu Krosten Ortodok
dengan Turki, Putin rela mengesampingkan nilai Marx dan Lenin sebagai pemantik
semangat juang militer Rusia. Putin tahu betul bahwa gereja Kristen Ortodok
memiliki potensi dendam yang besar terhadap Turki, yang sempat terpendam saat
era Soviet dahulu.
Putin paham betul bahwa gereja pernah tercatat kebangkitannya
dalam sejarah zaman pertengahan dan tampil dengan identitas pembela
nasionalisme bangsa beruang merah. Inilah yang dimanfaatkan Putin untuk
mengajarkan generasi muda tentara Rusia bahwa ibu pertiwinya selalu terancam di
bawah pengintaian musuhnya (Turki) yang dianggap barbar. Dengan jargon itu pula
Putin memainkan semangat prajuritnya untuk menyerang musuh terlebih dahulu
sebagai langkah pencegahan demi menyelamatkan bangsa beruang merah.
Oleh karenanya, Putin kini dengan penuh mendapatkan dukungan
dan ruang di hati masyarakat Slav Ortodok. Meski kenyataanya Rusia tidak
menampilkan sisi relijiusnya, namun Kristen Ortodok adalah “identitas
tersembunyi Rusia”, yang bertolak belakang dengan “Keislaman Turki”.
Yang kita saksikan saat ini merupakan hasil pergeseran
relijiusitas Rusia yang digencarkan Putin selama hampir 2 dekade, pasca
transformasinya dari Uni Soviet. Sebagai alumni akademi intelijen, Putin
berhasil memanipulasi dan menggiring masyarakatnya sesuai kerangka yang dia
bangun. Dengannya, Putin melegitimasi perang Suriah sebagai perjuangan membela
Gereja Kristen Ortodok (yang ajarannya juga dianut oleh sebagian rakyat Suriah
yang dia citrakan terancam ahlussunnah).
Dengan kebijakannya yang otokratik, Putin bersama
aparatnya sukses membangun framing itu.
Mereka menghalalkan segala cara, termasuk memanfaatkan “bendera Islam yang
jahat” yang digunakan ISIS, sehingga dalih itu melandasi sepak terjangnya di
Suriah.
Walaubagaimanapun, pembunuhan terhadap warga sipil Suriah
yang tak berdosalah yang harus kita mintakan pertanggungjawabannya kepada
Putin. Mereka rakyat yang tidak bersalah kepada Gereja Ortodok dan mereka
bukanlah ISIS yang ditargetkan.
Apakah manipulasi sejarah Kristen Ortodok di benak
komunis Rusia dalam perang Suriah ini akan berhasil? Tentu saja tidak akan
pernah! Atas kehendak Allah Ta’ala, Putin segera menemui kegagalannya, tak
pelak lagi.
Red : Adiba Hasan