Imam Besar Al-Azhar Serukan Eropa Dukung Lembaga
Islam Moderat
Sabtu
9 Jamadilakhir 1437 / 19 Maret 2016 06:00
IMAM besar
Al-Azhar, Syaikh Ahmad Ath-Thayib, mengatakan kepada majalah Jerman bahwa Eropa
harus mendukung semua lembaga Islam moderat yang mengadopsi kurikulum Al-Azhar, Al-Ahram melaporkan. ( ??! )
Menurut imam besar itu kurikulum Al-Azhar adalah
salah satu yang paling memenuhi syarat untuk mendidik para pemuda.
Ath-Thayib telah mengunjungi Jerman minggu ini dan
akan menuju ke Paris bulan depan, sebagai bagian dari tur untuk memfasilitasi
dialog antara Timur dan Barat.
Kepala lembaga Muslim Sunni bergengsi ini akan
bertemu dengan sejumlah pemimpin ilmiah dan pemikir intelektual untuk membahas
kesalahpahaman Islamofobia.
Selama wawancara dengan Frankfurter Allgemeine,
Ath-Thayib mengatakan bahwa Al-Azhar siap untuk melatih para imam Eropa untuk
mempertahankan dan menyebarkan budaya moderasi, koeksistensi dan perdamaian
yang merupakan bagian dari kurikulum lembaga keagamaan.[fq/islampos]
Dr.
Hamid Fahmi Zarkasyi: Islam Moderat Isinya Ya
liberalisasi
Kamis, 10 Maret 2016 -
14:39 WIB
Barat itu peradaban yang punya karakter sendiri yang
sangat berbeda dengan Islam. Karena itu, kita mesti berhati-hati bila ingin
mengambil atau diberi sesuatu dari Barat, sebab bisa jadi sangat bertentangan
dengan Islam. Dalam hal ini, kita tidak bisa pakai ukuran baik atau buruk.
Sesuatu yang buruk menurut kita, bisa jadi baik bagi Barat.
Contohnya, hidup bersama tanpa nikah. Bagi masyarakat Barat itu baik-baik saja,
sejauh tidak mengganggu orang lain dan mereka suka sama suka.
Sekarang
ini, hampir semua sistem pendidikan di negara-negara Islam dikuasai oleh Barat.
Al-Attas menyadari itu, makanya ia menyeru umat Islam agar punya universitas
sendiri guna mengembangkan ilmu-ilmu Islam
UMAT Islam sekarang
sedang dilanda westernisasi danliberalisasi dalam pemikiran. Tentu saja
gerakan berbahaya ini mesti dilawan. Salah satu tokoh yang gigih melawan itu
adalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Direktur INSISTS (Institute for the Study of
Islamic Thought and Civilizations), sebuah lembaga penelitian
dan kajian yang sangat konsen pada pemikiran dan peradaban.
“Pemikiran harus dihadapi dengan pemikiran, tidak bisa
dengan demo,” kata Hamid yang juga putra pendiri Pondok
Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.
Untuk melawain westernisasi dan liberalisasi itu, antara lain mendirikan
Program Kaderisasi Ulama (PKU) di ISID. Program ini diikuti ulama-ulama muda
dari berbagai pesantren dan berlangsung selama 6 bulan. “Tujuannya membekali
para ulama muda agar paham soal peradaban Barat dan mampu menangkal
virus-virus pemikiran dari Barat yang merusak Islam,” jelas yang menyelesaikan
doktornya di di ISTAC (The International Institute of
Islamic Thought and Civilization) Malaysia.
Di Gontor pula Hamid mendirikan Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS).
Lembaga kajian ini aktif menggelar kajian-kajian dan peneletian, terutama
terkait dengan peradaban Islam dan Barat.
Dari sebuah dusun yang bernama Gontor, ayah tiga anak
yang kini juga diberi amanah menjadi Ketua MIUMI tampaknya sedang
menggoyang Barat, yang sekarang menghegemoni dunia. Karena aktivitas
ini tak jarang ia dituduh anti Barat? Bagaimana sesungguhnya? Ikuti
wawancara berikut ini, dikutip dari majalah Suara Hidayatullah
Anda sangat kritis terhadap Barat. Apa
tidak takut dituduh anti Barat?
Memang saya sering dengar tuduhan itu. Orang
yang menuduh begitu, kebanyakan tidak memahami Barat. Itu satu. Kedua, mereka
kebanyakan pemahaman Islamnya tidak scientific (ilmiah).
Ketika saya menjelaskan perbedaan Barat dengan Islam, orang tersebut
berkesimpulan begini: mengapa kita harus membeda-bedakan Islam dan Barat, yang
pada akhirnya kita akan melakukan pemilahan: kafir atau
bukan. Kalau kafir maka layak dibunuh. Inilah, katanya, yang menyebabkan
terorisme.
Jawaban Anda?
Jawaban saya gampang saja. Kita membicarakan Islam dan
Barat bukan dalam konteks ideologi, tapi dalam konteks epistimologi atau
ilmu. Tugasnya ilmuwan adalah membedakan, kalau tidak mampu membedakan
bukan ilmuwan namanya.
Membedakan konsep-konsep Islam dan Barat itu wajib bagi
kita. Al-Qur`an sendiri julukannya al-furqan, pembeda
atau penjelas. Jika kita tak bisa membedakan mana yang Islam dan mana yang
tidak, kapan kita beridentitas Muslim. Jika Barat dan Islam sama, kita tak
perlu identitas.
Bagaimana sikap Barat sendiri kepada Anda?
Saya tidak tahu. Tapi di sebuah simposium di Tokyo saya
sempat berselisih dengan seorang tokoh dari Rand Corporation,
lembaga yang memberi resep kepada pemerintah Amerika soal bagaimana menyebarkan
Islam moderat. Asal tahu, Islam moderat itu kalau dibuka isinya yaliberalisasi.
Dengan seenaknya dia bilang, Islam moderat adalah orang yang mendukung
feminisme, kesetaraan gender, demokratisasi, pluralisme, dan anti terorisme.
Itu sama dengan mengatakan orang yang tidak mendukung pluralisme sama dengan
radikal.
Pendapat itu saya bantah. NU dan Muhammadiyah jelas
menentang pluralisme. Tapi tidak berarti dua organisasi itu radikal. Maka saya
katakan pada dia, “The majority of
Indonesian Moslem are moderate and not radical.”
Mayoritas Muslim di Indonesia moderat dan tidak radikal. Dia tampaknya tidak
suka dengan pendapat saya ini. “Kita memang beda,” katanya kemudian. Saya tidak
tahu, apa pendapatnya tentang saya.
Mereka tidak
melakukan tindakan apa-apa terhadap Anda?
Sejauh ini belum ada. Cuma, semua yang kami (INSISTS)
lakukan, termasuk tulisan saya, sudah ada di perpustakaan Kongres Amerika.
Rupanya di Indonesia ada agennya, yang kerjaannya memantau semua yang kami
lakukan.
Apa sisi negatif Barat sehingga Anda begitu kritis?
Barat itu peradaban yang punya karakter sendiri yang
sangat berbeda dengan Islam. Karena itu, kita mesti berhati-hati bila ingin
mengambil atau diberi sesuatu dari Barat, sebab bisa jadi sangat bertentangan
dengan Islam. Dalam hal ini, kita tidak bisa pakai ukuran baik atau buruk. Sesuatu
yang buruk menurut kita, bisa jadi baik bagi Barat. Contohnya, hidup
bersama tanpa nikah. Bagi masyarakat Barat itu baik-baik saja, sejauh tidak
mengganggu orang lain dan mereka suka sama suka.
Membedakan
konsep-konsep Islam dan Barat itu wajib bagi kita. Al-Qur`an sendiri julukannya
al-furqan, pembeda atau penjelas
Barat dalam
konteks ini bukan persoalan letak geografis, tetapi lebih mencerminkan
pandangan hidup atau suatu peradaban. Pandangan hidup Barat, seperti
dijelaskan Hamid di dalam buku Misykat, cirinya adalah scientific worldview
(pandangan hidup keilmuan). Artinya, cara pandang terhadap alam ini melulu
keilmuan dan tidak lagi religious.
Menurut
pandangan Barat, hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris tidak dapat
diterima, termasuk metafisika dan teologi.*
Pada
akhir naskah pertama, Fahmi Hamid Zarkasyi menjelaskan perbedaan antara
peradaban Barat dan Peradan Islam. Lantas, manakah yang lebih baik?
Mana yang lebih baik antara peradaban Barat dan
peradaban Islam?
Pandangan kita sebagai
Muslim adalah Islam punya konsep tersendiri, sedangkan Barat juga punya konsep
sendiri. Keduanya tidak bisa dicampuradukan. Jadi, kita tidak bisa
mengukur Barat dengan Islam, pun sebaliknya. Orang Barat tidak bisa mengukur
Islam dengan Barat. Menggunakan terminologi Barat untuk memahami Islam juga
tidak bisa. Ini yang harus kita jaga.
Yang
bisa kita lakukan adalah berkompetisi, begitu?
Iya.
Dalam bahasa Al-Attas (Prof Dr Syed Mohammad Naquib al-Attas, gurunya Hamid di
ISTAC, terjadi konfrontasi abadi. Keduanya tidak akan pernah cocok karena worldview-nyamemang beda. Pokoknya hampir semuanya
beda.
Maka
yang diperlukan adalah dialog peradaban, bukan dialog agama. Sayangnya, Barat
menganggap Islam itu sekadar agama. Barat tidak mau melihat Islam sebagai
peradaban, sebab mereka memang ingin menguasai. Seakan Barat berkata begini,
“Islam agama sajalah, peradaban kita yang ngatur. Kamu di masjid saja; politik,
ekonomi kita yang ngatur.” Karena itu, mereka tidak pernah bicara Islam sebagai
peradaban.
Bagaimana
agar kita bisa memenangkan konfrontasi itu?
Menurut
saya, kita harus kembali kepada tradisi ilmu. Kita kalah pada bidang ini.
Karena itu, kita harus memperkuat ilmu. Dan ilmu adanya di lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikanlah yang mencetak individu-individu, sedangkan
masyarakat terbentuk dari individu-individu yang banyak. Permasalahannya,
bagaimana kita mau membentuk masyarakat yang baik kalau lembaga pendidikannya
tidak efektif.
Jika
masyarakatnya berkualitas, ia tidak akan bisa dikuasai. Sebab, ia punya ilmu
dan sistem yang menjadi filter untuk menyeleksi. Sekarang ini, hampir semua
sistem pendidikan di negara-negara Islam dikuasai oleh Barat. Al-Attas
menyadari itu, makanya ia menyeru umat Islam agar punya universitas sendiri
guna mengembangkan ilmu-ilmu Islam. Dengan ilmu itu selanjutnya melakukan
islamisasi ilmu-ilmu dari Barat. Dengan itu Barat tak lagi bisa menghegemoni,
karena kita mampu menyeleksi.
Dimulai dari
tingkat pendidikan mana?
Untuk
tingkat menengah lebih kepada penanaman ilmu-ilmu dasar keislaman. Misalnya
fikih, hadits, dan tafsir yang mengarah kepada amaliah. Secara bersamaan pada
tingkat ini dengan intensif ditanamkan nilai-nilai akhlak, baik di kelas maupun
di luar kelas.
Pada
tingkat menengah tidak masalah anak-anak sedikit dipaksa, demi kebaikan. Wong dipaksa saja masih banyak yang
melanggar, apalagi tidak dipaksa. Seperti di Gontor, kami punya keyakinan
bahwa anak-anak harus dipaksa, tidak peduli kata orang. Shalat misalnya,
pengalaman kami, anak-anak kalau tidak dipaksa ya tidak shalat. Jadi, tidak
cukup hanya dengan tausyiah. Kalau anak-anak disuruh milih antara boleh ke
masjid dan boleh juga tidak, pasti semuanya tidak akan ke masjid.
Beda
lagi pada tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat ini tekanannya pada
rasionalitas sehingga anak-anak punya kesadaran, tidak lagi dengan paksaan.
Penting
juga, pada tingkat menengah, jangan mengajarkan sejarah yang berisi konflik,
misalnya sejarah pembunuhan para khalifah. Nanti kesannya di mata anak-anak,
Islam itu penuh dengan ‘darah’. Sebab, anak-anak belum bisa menyeleksi dan
berpikir komparasi. Ajarkan saja yang baik-baik.* (Bersambung*)
Rep: Bambang S
Editor: Cholis Akbar
*Hamid: Mematahkan
Pemikiran Nazir Hamid (3-habis)
Moderat
Tahun 2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar
simposium di Tokyo. Temanya “Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political
Dimension of Islam”, yakni
tentang masa depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari negara-negara Islam
seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah
seorang dari Amerika dan beberapa dari Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini
bertujuan untuk mengukur masa depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11
September, akan ditangan radikal atau moderat.
Maka dari
itu diantara isu yang dilontarkan disitu adalah tentang arti Muslim moderat. Istilah
ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi
sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme.
Mulanya para
peserta merespon dengan datar-datar saja. “Moderat” artinya tidak berlebihan ghuluw(ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Profesor
Bedoui Abdel Majid, dari Tunis, moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan,
peribadatan, hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan
nyata.
Tapi
masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation Amerika
Serikat mendefinisikan, Muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme,
feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society.
Dr. Sohail
Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan kepentingan
Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar London,
menolak definisi itu dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut kriteria
Islam adalah moderat meskipun tidak setuju dengan pluralisme, feminisme,
humanisme dan sebagainya.
Saya pun
ikut merespon. “Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan “Islam
Liberal”, mestinya anda tahu itu. Dan “Islam Liberal” di Indonesia itu tidak
moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan “Islam liberal” adalah moderat maka
konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal, termasuk NU dan
Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak moderat.
Masataka
Takeshita, Profesor Studi Islam dari Universitas Tokyo segera bertanya, apa
yang anda maksud “Islam liberal”?, saya katakan “Islam Liberal” itu terlalu
kontekstual, artinya cenderung menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi
konsep-konsep dalam konteks masyarakat Barat.
Contohnya,
di kalangan liberal ada yang menafikan hukum Tuhan (syariat), mempersoalkan otentisitas al-Qur’an, menyoal
otoritas ulama agar kemudian dapat menghalalkan homoseks dan lesbi, nikah beda
agama dan sebagainya. Rabasa tetap pada pendiriannya, tapi diluar forum terus
terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada orang liberal Indonesia yang
setuju dengan homoseks dan lesbi. I will check it, katanya.
Rabasa tidak
bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual
“Islam moderat”. SetelahAmerican Journal of Islamic Social Sciences mengangkat
tema ini secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas. Sedikitnya ada
tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan Islam.
Definisi
Islam moderat yang anti Islam dapat dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu
ditulis begini diantaranya: tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan,
kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru,
menentang jihad, pro Israel atau netral, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi
Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terorisme.
Andrew
McCarthy dalam National Review Online, August 24,
2010 justru dengan tegas menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat
dikatakan moderat. (No one who advocates shariah can be a moderate). Kedua
pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam
moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E. Fuller dan
Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalisme dalam
memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan
dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain.
Inilah yang
ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat
adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia.
Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai
menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya
sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam
pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.
Definisi
Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang
liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi
justru yang menemukan kesalahannya adalah John L. Esposito.
Dengan bijak
dan adil dia kritik begini: Pertama, Jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatifdan tradisionalis menjadi
tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Salat Jumat
menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama
lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk
kriteria moderat.
Louay Safi
dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian
moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum
dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik.
Tapi
masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari
kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya yang
menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina. Itu
kesalahan yang kedua.
Kerancuan
lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat
adalah “a person who is not comfortable with his/her
Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend
all Islamic norms”.
Contoh yang
nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal
mengkritik Syariat (Bukunya: The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada
saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh
Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.
Bagi
Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang
berpikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS. 5 : 48,
3 : 110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan
menambahkan, Muslim yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya hanya
untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.
Jadi, untuk
mengalahkan radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan
hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan
mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.
Liberalisasi
Pemikiran Islam
Masalah liberalisasi
adalah tantangan bagi semua umat. Berikut adalah jawaban dari sebagian
pertanyaan yang seringkali menjadi kesalahan mendasar para pengikutnya.
Apakah Liberalisasi
Pemikiran Islam itu?
Liberalisasi
Pemikiran Islam adalah suatu gerakan pemikiran yang berasal dari paham
liberalisme yang lahir dan berkembang di Barat maka gerakan ini dipengaruhi
oleh cara berpikir manusia Barat sekuler.
Di Barat,
liberal artinya bebas, bebas dari gereja, dari ikatan moral, dari agama serta
bebas dari Tuhan. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran Islam, kebebasan
diartikan sebagai bebas untuk menafsirkan agama sesuai dengan pikiran
masing-masing orang. Akibatnya, hal-hal yang jelas haram hukumnya menjadi
halal, yang wajib menjadi sunnah dan seterusnya
Bagaimanakah paham ini bisa
masuk kedalam pemikiran Islam?
Sebenarnya
upaya-upaya orientalis untuk mempengaruhi umat Islam agar terlepas dari tradisi
keilmuan Islam sudah lama dilakukan. Namun, pengaruhnya terhadap pemikiran
Islam terjadi secara lambat melalui para sarjana Muslim yang belajar ke Barat.
Karena bekal
sebelum belajar ke Barat kurang memadai maka para cendekiawan Muslim itu
terpengaruh oleh cara orientalis memahami Islam. Para orientalis diantaranya
berpandangan bahwa melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil yang terdapat
dalam al-Qur’an dan Hadis adalah liberal. Padahal dalam Islam hal ini
dibolehkan untuk masalah-masalah furu’ atau ijtihadiyah.
Istilah
Islam liberal diproklamirkan untuk pertama kali oleh Charles Kurzman dalam
bukunya Liberal Islam: a Source Book, kemudian
dikuti oleh Leonard Binder yang berjudul Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies. Dari buku
ini maka sekelompok anak muda di Jakarta mendirikan kelompok yang menamakan
diri mereka Jaringan Islam Liberal (JIL).
Apakah gerakan liberalisasi
yang mereka lakukan di Indonesia?
Gerakan
liberalisasi di Indonesia meliputi beberapa bidang dan menempuh berbagai jalan.
Gerakannya dalam bentuk LSM-LSM seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), yang
menjadi motor dan provokatorliberalisasi pemikiran Islam, International Center for Religious Pluralism (ICRP), pembawa
bendera pluralisme agama, Fahmina Institute, pengusung
paham kesetaraan gender dan feminisme kedalam Fiqih Islam, Freedom Institute yang
bergerak dalam berbagai proyek liberalisasi, dan banyak lagi.
Selain itu
gerakan liberalisasi juga berada di kampus-kampus perguruan tinggi Islam.
Meskipun bukan resmi proyek perguruan tinggi tersebut, namun dosen-dosen yang
berpikiran liberal tersebar hampir di seluruh perguruan tinggi Islam.