Bayaran dalam dakwah
Dalam Al Quran disebutkan bahwa dalam diri Nabi Muhammad SAW terdapat
suri tauladan yang baik. Artinya, jika seseorang ingin mencapai keridoan ALLOH,
maka standar tingkah laku dan perbuatan itu adalah dengan mengikuti cara
bertingkah laku dan perbuatan beliau SAW. Apa yang di Firmankan ALLOH dalam Al
Quran dan apa yang disabdakan Rosululloh melalui hadits haditsnya adalah
rujukan manusia dalam menyandarkan hukum berkehidupan. Selain itu maka tidak
ada jaminan ridho ALLOH SWT.
Ketika para sahabat mengusulkan kenaikan gaji Umar bin Khotob sebagai khalifah
, beliau marah. Bahkan mengancam akan memukul orang yang mengusulkan kenaikan
gaji tersebut. Lalu beliau berkata ,” Manusia itu ibarat para musafir. Dan dua
orang pendahuluku yaitu Rosululloh dan Abu Bakar telah sampai di tempat
tujuannya. Maka apakah aku akan mengambil jalan selain jalan yang telah
ditempuh kedua orang pendahuluku ?”
Demikianlah para ulama jaman dulu, begitu teguhnya mereka memegang ajaran
ajaran Rosululloh. Sedikitpun mereka tidak mau keluar dari alur kehidupan
seperti kehidupan yang dicontohkan Rosululloh.
Tapi sekarang, yang terjadi adalah, para ulama berlomba menetapkan aturan
aturan sendiri, yang kadang keluar dari aturan yang telah ditetapkan Nabi. Bahkan dengan berani mereka
mengabaikan keterangan keterangan yang ada dalam Al Quran, dengan alasan Zaman
telah berubah. Mereka pura pura tidak tahu bahwa Zaman boleh saja
berubah, tetapi Al Quran dan Assunah tidak akan pernah berubah walau sampai
kiamat.
Salah satu perbuatan
Rosululloh yang sudah tidak diikuti oleh kebanyakan para ulama akhir zaman,
adalah dakwah dengan menerima bahkan meminta imbalan dari manusia. Bahkan
banyak kelompok kelompok agama yang sering dengan mudah membidahkan orang lain,
tapi dalam urusan bayaran dalam berdakwah ini, mereka tidak berani membidahkan
dirinya sendiri.
Sesungguhnya topik ini sudah
lama menjadi pembahasan para ulama. Dan hingga kini belum juga menemui titik
temu. Ada kelompok
ulama yang berpendapat boleh menerima, meminta bahkan menentukan bayaran dalam
berdakwah, ada yang melarangnya. Masing- masing kelompok mendasarkan pada
dalil- dalil yang mereka anggap sah dijadikan dasar hukum untuk memperkuat
pendapatnya.
Sebetulnya mudah saja
kalau para pembahas itu mau jujur dan ikhlas terhadap diri dan keilmuanya,
bahwa sesungguhnya Nabi dan para sahabat tidak pernah menerima bayaran atas
dakwahnya. Maka, kalau memang para ulama tersebut itu adalah pewaris Nabi,
ikuti saja seperti cara Nabi berdakwah.Tetapi ternyata persoalannya
tidak sesederhana itu. Karena banyak ulama yang tidak menjadi pewaris Nabi.
Selain itu urusan dunia dan kemapanan ikut dilibatkan dalam urusan dakwah ini.
Tidak heran jika mereka mendapat bayaran jutaan, bahkan ada yang pasang tarif
hingga puluhan juta rupiah.
Bagi mereka yang mendukung
pendakwah menerima upah, berpendapat bahwa :
1. Kalau tidak dibayar, dimasa datang tidak ada lagi orang yang mau berdakwah,
lalu siapa yang akan menyampaikan ajaran agama?
2. Karena sibuk berdakwah, mereka tidak punya waktu lagi untuk mencari nafkah.
Maka bayaran itu dianggap pantas untuk menjadi pengganti waktu mencari nafkah.
3. Berdakwah/ ceramah perlu transportasi, maka bayaran itu dianggap sebagai
pengganti transportasi.
4. Ada yang mengibaratkan seperti pergi ke sawah, kalau menemukan belut maka
boleh diambil. Artinya boleh menerima asal tidak meminta
5. Ada yang beranggapan bahwa untuk sekolah agama, IAIN misalnya, memerlukan
banyak biaya. Jadi sudah sepantasnya dai dibayar.
6. Ada Ustad dari lembaga pendidikan terkenal mengatakan bahwa untuk
kepentingan yang lebih besar, tidak apa apa ceramah agama dibayar.
7. Ada pendapat yang mengatakan, ustadz menerima bayaran agar bisa disedekahkan
lagi ketempat lain yang membutuhkan.
8. Bahkan ada yang membandingkan dengan artis. Mereka berpendapat artis saja
dibayar mahal, masak Dai yang memberi pencerahan dunia dan akhirat dibayar
sekedarnya. Ini bagi mereka yang pasang tarif hingga jutaan hingga puluhan juta
rupiah.
Dasar yang digunakan kelompok ini adalah sabda Nabi :
إن ﺃ ﺤﻕ ﻤﺎ ﺃ ﺨﺫ ﺘﻡ
ﻋﻠﻴﻪ ﺃ ﺠﺭﺍ ﻜﺘﺎ ﺏ ﺍﻠﻠﻪ
Yang ditafsirkan ,” Sesungguhnya yang paling haq/
benar kamu ambil pahala atasnya adalah kitabulloh,” (HR. Bukhari). Kemudian ada
riwayat yang menyebutkan bahwa pada zaman Rasululloh, ada seseorang yang
menikah dengan mahar mengajarkan Al-Quran kepada istrinya, sesuai hadits,” Aku
telah menikahkan kalian dengan mahar hafalan Quranmu”. Disamping itu pada
riwayat lain menyebutkan, bahwa pasca perang Badar, Nabi SAW menawarkan kepada
kaum musyrikin yang ditawan, boleh menebus pembebasan dirinya dengan cara
mengajarkan baca tulis kepada 10 orang kaum muslimin.
Kalau kita telaah, alasan
alasan tersebut diatas terlalu bersifat duniawi. Hanya berdasarkan kepentingan
diri sendiri. Mereka lupa, bahwa Islam bisa menyebar ke seluruh dunia berawal
dari dakwah gratisan. Dakwah yang tidak dibayar. Dakwah yang hanya berdasarkan
iman dan keikhlasan. Pada masa itu, belum ada sekolah sekolah Islam yang megah
dan mahal-mahal seperti sekarang, yang membuat orang-orang Islam miskin tidak
mampu bersekolah. Belum ada multi media dan fasilitas telekomunikasi
yang digunakan sebagai sarana oleh para kiai, ustad, dai untuk menyampaikan
dakwahnya. Tapi nyatanya Islam tetap menyebar keseluruh dunia dengan massif.
Karena sesungguhnya ALLOH lah yang menyebarkannya. ALLOH meridloi penyebar-
penyebar Islam dimasa Rasulullah dan para sahabat, yang berjuang tanpa
mengharap pamrih. Hasilnya, Masyarakat Islam yang terbentukpun adalah
masyarakat Islam yang unggulan, yang fanatik menjalankan Syareat. Bukan
masyarakat Islam yang sekuler, yang hanya mengaku Islam tapi tingkah laku dan
perbuatan jauh sekali dari nilai-nilai Islam seperti yang terjadi sekarang ini.
Yang hanya banyak dalam jumlah, tapi kualitas ke- Islamannya tipis. Ingatlah,
Islam tidak perlu banyak. Biarpun sedikit asal kokoh. Banyak contoh, jumlah
yang sedikit mengalahkan yang banyak. Syukur kalau Islamnya banyak dan mereka
menjalankan syareat Islam dengan sungguh- sungguh, itu lebih disukai ALLOH, dan
ALLOH pun membanggakannnya.
Jadi sebetulnya tanpa dibayarpun, dengan seizin ALLOH, akan tetap ada penyebar-
penyebar risalah yang bermodal niat yang ikhlas dan tulus. Contoh kecil adalah
para murabi yang membimbing umat dalam halaqoh- halaqoh tarbiyah. Mereka tidak
dibayar sepeserpun. Majelis- majelis dakwah seperti inilah yang insya ALLOH
diridloi-Nya. Bukan majelis- majelis yang seolah olah majelis tolabul ilmu,
tetapi yang sesungguhnya adalah sarana untuk mencari imbalan materi. Karena hal
ini tidak sesuai dengan yang diperintahkan Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi.
Dan jangan dilupakan, janganlah kita bersikap seolah- olah ALLOH membutuhkan
dakwah kita. Itu salah besar. ALLOH sama sekali tidak membutuhkan dakwah kita.
Kitalah sesungguhnya yang membutuhkan berdakwah untuk mencapai keridloan ALLOH.
Kalaupun tidak ada lagi orang di bumi ini yang mau berdakwah, sehingga Islam
tidak lagi ada dimuka bumi, kemuliaan ALLOH tidak akan pernah berkurang
sedikitpun. Kemuliaan ALLOH tidak tergantung kepada makhluknya, apalagi
bergantung pada manusia. Beriman atau kafirnya seseorang, tidak akan
berpengaruh kepada kemuliaan ALLOH. Perhatikan firman QS. 35 (Faathir). 15-16:”
Wahai manusia, kamulah yang memerlukan ALLOH, dan Dialah Yang Maha kaya ( tidak
memerlukan sesuatu), Maha terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan
kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu)”.
Jika para ahli ilmu memang
tidak mau berdakwah karena tidak ada bayaran, silahkan saja karena ALLOH tidak
rugi apa apa. Kitalah yang rugi karena artinya mengabaikan karunia ALLOH,
dan mengabaikan kewajiban, serta menantang azab ALLOH. Jadi kenapa harus
khawatir tidak ada lagi yang mau berdakwah, sedangkan rahmat dan hidayah itu
urusan Alloh, dan bukan urusan manusia. Jadi, tidak ada yang namanya profesi pendakwah, apalagi
sampai membentuk sebuah manajemen dan memakai manajer . Karena dakwah
adalah kewajiban setiap muslim dan bukan hak.
Perhatikan hadits berikut. Dari Buridah r.a. Rasululloh bersabda,” Barang siapa membaca
Al-Quran, yang dengannya ia memperoleh makanan dari manusia, maka ia akan
datang pada hari kiamat dengan wajah hanya berupa tulang tanpa daging,”
(HR. Baihaqi, Syu’abul Iman). Jelas
sekali bahwa mencari nafkah dengan berdakwah tidak diperbolehkan. Nabi SAW
kurang apa dalam berdakwah. Siang dan malam beliau berdakwah. Tetapi untuk
nafkah, beliau tetap berdagang. Jadi apakah itu belum cukup untuk dijadikan
contoh. Ada yang beralasan, itu kan nabi kita ini hanya manusia biasa.
Jangan lupa, nabi juga manusia biasa, dan beliau ada untuk menjadi contoh bagi
kita agar mengikutinya.
Mengenai transportasi, itupun tidak bisa dijadikan pembenar. Karena
sesungguhnya tidak ada yang mewajibkan kita berdakwah di tempat yang jauh.
Justru lingkungan sekitarnyalah yang harus didakwahi, dijaga, dibimbing agar
menjadi lingkungan yang Islami. ALLOH mewajibkan kita berdakwah, tidak
mewajibkan kita berdakwah di tempat yang jauh. Jika masing- masing dai tersebut
berdakwah dilingkungannya sendiri, menjaga dan membimbing umatnya, maka dengan
sendirinya seluruh lingkungan dimuka bumi akan terjangkau oleh dakwah Islam.
Jadi transportasi tidak diperlukan lagi.
Suatu riwayat dari Imran bin Husain r.a. Rasulullah bersabda,” Barang siapa
membaca Al-Quran dan dia menginginkan sesuatu, maka mintalah hanya kepada
ALLOH. Karena tidak lama lagi akan datang suatu kaum yang setelah membaca
Al-Quran, maka mereka akan meminta minta kepada manusia.” Peringatan Rasululloh
ini telah menjadi kenyataan. Ternyata kitalah kaum tersebut. Lalu, apakah kita
tidak menjadi takut karenanya ? Jadi, menerima bayaran karena untuk
mengembalikan biaya kuliah juga tidak bisa diterima. Kalau mau kaya, kita lebih
baik bersekolah di jurusan lain. Misalnya dijurusan ekonomi, tehnik, bisnis
dll.
Kalau mau mengambil jurusan
agama, seharusnya sudah tahu resikonya. Dia tidak bisa menggantungkan hidup
dari menjual ilmu agama. Untuk memenuhi nafkahnya, dia tetap harus ikhtiar
seperti yang dicontohkan nabi. Inilah akibat harus membayar mahal dalam
mempelajari ilmu agama. Pada akhirnya,lulusannya pun berfikir sama untuk
mendapatkan uang dari apa yang dipelajarinya.
Saya punya teman seorang dai. Ia bercerita bahwa ada diantara teman- temannya
sesama dai menjadikan dakwah sebagai bisnis. Jika ada seorang dai diundang
berceramah, dan kebetulan dai yang di undang tersebut berhalangan, dia akan meminta
dai yang lain menggantikannya.Tetapi dai yang diundang pertama ini akan meminta
bagian dari honor yang diterima penggantinya. Hal seperti ini adalah sesuatu
yang tidak terpuji dan harus dihindari oleh dai lain yang lebih mengerti.
Bahkan Khotib sholat Jumat pun
harus menerima bayaran. Padahal Khutbah pada sholat Jumat adalah bagian dari rukun sholat Jumat.
Sudah menjadi kewajiban
orang Islam untuk melakukannya. Sama seperti kita melakukan rukun ibadah
lainnya. Saya ambil contoh, kita tidak dibayar dalam melaksanakan sholat, juga
tidak dibayar dalam melaksanakan puasa. Tapi untuk sholat jumat, kenapa harus dibayar dalam
melaksanakan salah satu rukunnya.
Maka pantaslah jika para Kiai, Syekh, Ustad dan para dai sekarang banyak yang
hidup bermewah- mewahan dan bermegah megahan. Bahkan ada yang punya Rumah
mewah, Mobil Jaguar, BMW dll. Walaupun mungkin dia memiliki perusahaan pribadi,
tetapi itukah yang dicontohkan Nabi ? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda,” Jika
kamu mengikuti jalanku, maka bersiap siaplah kamu miskin.” Lebih tegas lagi di
firmankan ALLOH dalam QS. At Takaatsur : 1-2 ,” Kamu telah dilalaikan ( dari
mengingat ALLOH ) karena bermegah- megah / bermewah- mewah. Hingga kamu masuk
ke dalam kubur”. Bukan berarti Islam tidak boleh kaya. Boleh, tetapi
sebagaimana halnya Nabi dan para sahabat,kekayaan itu hanya boleh digunakan di
jalan ALLOH. Kita hanya boleh mengambil secukupnya, sisanya adalah untuk
mencari keridloan ALLOH. Bukan untuk bersenang senang, bermewah mewah dan pamer
kekayaan. Seorang pemuka agama adalah panutan umat. Jika panutan umat tidak
mencontoh Nabi untuk hidup sederhana, maka siapa lagi yang akan dijadikan
panutan. Maka umat pun akan berprilaku lebih konsumtif lagi. Dan budaya hubud
dunia akan merajalela dalam masyarakat.
Apakah kita tidak malu dengan
pendakwah- pendakwah agama lain. Para pendeta misionaris ordo Jesuit malahan
rela memberikan hasil ladang yang dia garap sendiri untuk sesama manusia tanpa
mengharap dapat imbalan untuk mengganti sedekahnya. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah
para pemeluk Kristen berdakwah dengan menawarkan sembako. Kebalikan dengan
pendakwah- pendakwah Islam yang justru menerima bayaran, bahkan hanya untuk
berkhutbah pada sholat jumat.
Dalam suatu tayangan media elektronik seorang pendeta bule mengatakan ,”Spirit
tanpa bekerja adalah percuma.” Ini sesuai dengan kisah Nabi mencium tangan
Muadz bin Saad ketika melihat tangan Muadz yang kasar akibat selalu bekerja
keras. Dan Rosululloh mengatakan,” Inilah tangan yang disukai ALLOH.” Satu
pertanyaan : Apakah dakwah
adalah pekerjaan ? Tentu bukan. Dan sekali lagi saya tegaskan, bahwa dakwah
adalah kewajiban setiap manusia yang mengaku dirinya Muslim. Dan bukan hak.
Saya sangat menyayangkan pernyataan ustadz pada no. 6 diatas. Yang mengatakan
boleh menerima bayaran untuk kepentingan yang lebih besar. Sang Ustad
mengatakan ini tanpa dalil sama sekali. Padahal kebenaran itu adalah kebenaran
menurut ALLOH dan Rasulnya. Bukan pendapat pribadi. Karena pendapat pribadi
sangat mungkin dipengaruhi hawa nafsu.
Sekarang pertanyaannya adalah, untuk kepentingan siapa ? apakah untuk
kepentingan ustad itu sendiri yang telah terbiasa dan menikmati bayaran dari Al
Quran dan hadits yang dia sampaikan kepada orang lain ? Ataukah kepentingan
siapa ? Sekali lagi janganlah
kita merasa lebih tahu, seolah olah kalau tidak dibayar, tidak akan ada yang
mau dakwah, dan dakwah hanya akan jalan, jika ada bayaran. Ini anggapan yang
salah. Karena Nabi SAW telah menjamin bahwa meski tidak dibayar, akan selalu
ada orang yang berdakwah sesuai tuntunan Nabi, sesuai dengan sabda
Rosululloh,”Dan akan tetap ada dari umatku segolongan yang tegak membela
kebenaran (al-haq) dan mendapatkan pertolongan (dari ALLOH), mereka tak
tergoyahkan oleh orang orang yang menyelisihi dan menghinakan mereka, sampai
datang keputusan ALLOH yaitu kematian seluruh orang mukmin menjelang kiamat
dengan datangnya angin yang mematikan seluruh orang mukmin.”(HR. Ahmad, Muslim,
Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dan jika apa yang dikatakan ustad tersebut
memang benar bahwa ceramah agama untuk kepentingan yang lebih besar dengan
mengajarkan Al Quran boleh dibayar, kenapa Rosululloh tidak pernah mengatakan hal ini ?
Sahabat Nabi, Ubay bin Kaab pernah diperingatkan Rasululloh. Pada suatu ketika
aku mengajarkan Al-Quran kepada seseorang. Lalu ia menghadiahkan padaku sebuah
busur panah. Ketika hal itu aku sampaikan kepada Nabi SAW, maka beliau
bersabda,” Engkau telah mengambil satu busur dari neraka.” (HR. Abu Daud, Ibnu
Majah) MasyaALLOH, menerima
saja tidak boleh, apalagi meminta.
Hal serupa juga terjadi pada Ubadah bin Shamit. Ia meriwayatkan jawaban
Rasululloh SAW kepadanya ,” Engkau telah mengalungkan api neraka diantara kedua
pundakmu.” Dalam riwayat lain disebutkan ,” Jika kamu mau mengalungkan kalung
api neraka dilehermu, maka ambilah pemberian itu.” Ini adalah peringatan yang
sangat jelas dari Rasolulloh SAW bagi para kiai, ustad dan dai agar amanah
dalam menjalankan tugasnya berdakwah. Bahwa menerima imbalan saja tidak
diperbolehkan, apalagi meminta.
ALLOH SWT pun telah
menggariskan dalam firman-Nya :
1. “ Katakanlah : Aku tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahku.”(QS.Shaad: 86).
2. “ Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku
tidak lain hanyalah dari ALLOH yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu
memikirkan ?” (QS.Huud: 51)
3. “ Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu dalam menyampaikan
risalah itu, melainkan orang- orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.”
(QS.Al-Furqaan: 57)
4. “ Dan engkau tidak meminta imbalan apapun kepada mereka (terhadap seruan
ini), sebab (seruanmu) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.” (QS.
Yusuf:104)
Bisa kita lihat, adakah celah
dalam firman ini yang memungkinkan para pendakwah menerima imbalan dari manusia
? Kecuali alasan yang dicari cari untuk kepentingannya sendiri ?
Jumhur Ulama juga
berpendapat:” Jika seseorang mencari keuntungan dunia melalui agama, maka ia
seperti orang yang membersihkan sandalnya dengan pipinya.” Dengan kata lain ia
adalah orang yang bodoh, karena menukar akhirat dengan dunia yang sangat sedikit. Jadi, silahkan
memikirkannya.
Dasar yang digunakan para kelompok penerima bayaran yaitu:
إن
ﺃ ﺤﻕ ﻤﺎ ﺃ ﺨﺫ ﺘﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃ ﺠﺭﺍ ﻜﺘﺎ ﺏ ﺍﻠﻠﻪ
(INNA AHAQQO
MAA AKHODTUM ‘ALAIHI AJRON KITAABULLAH)
“Sesungguhnya Yang paling berhak ( paling benar ) kamu ambil pahalanya adalah
Kitabulloh”, mengandung arti bahwa Al Quran adalah sumber pahala yang tidak
akan pernah habis, maka ambilah sebanyak mungkin. Ada juga yang menerjemahkan,”
Sesungguhnya upah yang paling benar kalian terima adalah kitabulloh”. Kalau kita fahami, dalil tersebut
juga tidak menyebutkan imbalan berupa uang atau materi. Malah bisa difahami, upah yang dimaksud
adalah upah untuk manusia sebagai khalifah yang ditugaskan ALLOH untuk mengatur
bumi, diberi upah oleh ALLOH berupa Al-Quran yang notabene adalah cahaya,
petunjuk dan pedoman bagi manusia untuk mencapai imbalan yang sebenarnya
diakhirat kelak yakni kenikmatan surga yang abadi. Tapi lucunya hadits ini ditafsirkan oleh para
penyuka honor menjadi ,” Sesungguhnya (pekerjaan) yang paling benar kamu ambil
bayarannya adalah (mengajarkan) kitabulloh.” Padahal, tanpa ditafsirkan pun
hadits ini telah jelas artinya.
Kemudian hadits,”Aku telah menikahkan kalian dengan mahar hafalan Quranmu”,
juga tidak menyebutkan bahwa mahar hafalan Quran adalah sebagai pengganti uang
atau materi. Justru bisa diartikan bahwa dalam keadaan terpaksa, mahar
pernikahan boleh berupa sesuatu yang bukan uang atau materi. Mengingat hadits
ini muncul disebabkan karena Laki- laki yang akan menikah pada waktu itu tidak
memiliki apa- apa, kecuali hanya sarung dan baju yang dikenakan.
Dan riwayat lain yang menyebutkan bahwa Nabi membolehkan kaum musyrikin yang
ditawan untuk menebus pembebasan dirinya dengan mengajarkan baca tulis, justru
tidak bisa dijadikan dasar. Karena
sudah jelas, kaum musyrikin tersebut tidak mengajarkan Al-Quran atau ilmu
agama, tapi sebatas mengajarkan membaca dan menulis.
Jadi dalil- dalil yang
dijadikan pijakan oleh kelompok yang membolehkan penceramah agama meminta dan/
atau menerima bayaran, sangat lemah dibandingkan dalil- dalil yang melarangnya.
Bahkan mereka cenderung mengabaikan keterangan yang terdapat pada ayat-
ayat Quran seperti telah disebutkan diatas. Bukankah kita lebih baik mengambil
pijakan yang kuat daripada yang lemah, sehingga tidak ada keraguan untuk
bersikap dan melakukan tindakan.
Terlebih lagi Nabi SAW
sangat menyesalkan para ulama yang memperdagangkan ayat- ayat ALLOH ini. Karena
umat yang mendukung dan mengikuti para ulama seperti ini akan ikut celaka
karenanya. Sebagaimana sabda Nabi ,” Kecelakaan bagi umatku dari (perbuatan)
ulama yang jelek. Mereka memperdagangkan ilmu ini, mereka menjualnya kepada
penguasa dimasa mereka, dengan maksud untuk keuntungan diri sendiri. Semoga
ALLOH tidak memberi keuntungan pada perdagangan mereka itu.” (HR. Hakim). Juga
ada hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Thabrani, Baihaqi dari Abdurrahman bin sybl, Nabi
bersabda,” Bacalah Al-Quran, amalkanlah. Dan janganlah engkau kekeringan
darinya, jangan terlalaikan darinya, janganlah makan dengannya dan jangan
memperbanyak harta dengannya.” (Fiqhus Sunnah)
Sesungguhnya
dakwah,ceramah, tausiah adalah salah satu bentuk lain dari shodaqoh. Jika orang
yang bershodaqoh kemudian menerima bayaran atas shodaqohnya, apakah masih bisa
disebut shodaqoh. Bukankah itu artinya mengambil kembali apa yang telah ia
shodaqohkan ?
Wallahualam Bisawab. Demikian penulis yang bodoh ini berusaha mengingatkan,
khususnya untuk diri penulis sendiri, umumnya bagi yang membaca tulisan ini.
Kalau mau melaksanakan silahkan, tidak melaksanakan juga tidak apa- apa. Semoga
bermanfaat bagi pembaca sekalian. Amin
Kesimpulan yang bisa diambil adalah :
1. Bahwa Sekolah sekolah Islam yang megah dan mahal adalah sesungguhnya bukan
sarana penyebar dakwah. Tetapi lebih kepada mencari keuntungan dengan dalih
agama. Sekolah seperti inilah justru yang menghambat penyebaran dakwah Islam.
Karena orang- orang Islam yang miskin tidak akan pernah mampu bersekolah
ditempat tersebut. Sedangkan orang miskin itu jumlahnya jauh lebih banyak
daripada orang kaya. Mungkin ada disediakan beasiswa bagi mereka yang miskin,
tapi tentunya hanya sedikit, sekedar tidak disebut sekolah Islam khusus orang
kaya.
2. Bahwa ALLOH dan Rasulnya melarang orang yang mengajarkan Al-Quran untuk
menerima bayaran. Apalagi kalau sampai memintanya.
3. Dakwah yang diridloi ALLOH, yaitu dakwah seperti dicontohkan Nabi dan para
sahabat, yang hanya didasari iman dan ikhlas semata tanpa melibatkan imbalan
dari manusia, akan menghasilkan kader- kader yang militan dalam menjalankan
syareat Islam, Teguh dalam pendirian dan ikhlas pula dalam menjalankan ilmu
yang didapat. Mereka tidak akan mempertanyakan Al-Quran dan hadist masih sesuai
dengan perkembangan zaman atau tidak. Mereka tidak akan meragukannya.
Sedangkan dakwah yang melibatkan bayaran didalamnya, hasilnya sudah bisa kita
lihat sekarang. Islam yang hanya banyak dalam jumlah. Tapi mental Islamnya
kerdil. Islam yang masih korupsi, suka bermegah- megah, dan tidak bisa
membedakan lagi mana yang maksiat dan mana yang bukan. Pemimpin- pemimpin tidak
sungguh- sungguh memikirkan rakyat dll. Apa yang bisa diharapkan dari dakwah
seperti ini dan menghasilkan generasi seperti ini ?
4. Meski para Nabi dan sahabat berdakwah siang dan malam, tapi untuk nafkah
mereka tetap bekerja dan tidak menjadikan dakwah sebagai alasan untuk tidak
bekerja. Contohnya, Nabi Muhammad SAW menjadi pedagang, Nabi Isa dan Nabi Nuh
menjadi tukang kayu, Nabi Daud menjadi pandai besi, Nabi Idris menjadi
penjahit, Nabi Saleh menjadi pedagang, bahkan Nabi Sulaiman, manusia paling kaya
di seluruh dunia, untuk nafkah beliau menganyam karung dan tikar. Kekayaan dan
kekuasaannya digunakan hanya sebagai senjata dalam berdakwah semata. Tidak
untuk bermegah- megah dan memamerkan kemegahannya.
5. Untuk kita sebagai umat Islam, berhati hatilah ketika mencari guru atau
memanggil ulama untuk pengajian. Karena ulama yang memperdagangkan ilmu agama,
akan turut mencelakakan umat yang mengikutinya.
6. Kisah nyata orang yang berdakwah tanpa bayaran. Adalah Almarhum KH. Muhamad
Muslim, mantan kepala pengadilan agama di tangerang, sudah meninggal 26 tahun
yang lalu. Pada tanggal 7 Agustus 2009, kuburannya digali karena terkena proyek
pelebaran jalan. Dan Subhanalloh, ternyata jasadnya masih utuh dan masih lemas,
seperti orang yang baru meninggal.
Tidak membusuk apalagi bau. Ketika ditanyakan kepada orang- orang dekatnya
mengenai amalannya semasa beliau masih hidup, dijawab bahwa beliau semasa masih
hidup adalah penceramah agama yang tidak pernah mau menerima bayaran. Meski
mungkin amalannya yang lain juga banyak, tapi paling tidak, itulah yang
diinformasikan oleh ALLOH melalui orang- orang dekatnya.
Jadi masih kurangkah bukti
bahwa sesungguhnya mengajarkan Al-Quran khususnya melalui ceramah, apalagi
berkhutbah pada sholat Jumat, tidak pantas menerima bayaran ? Hanya Qolbu yang
bisa menjawab.
Keterangan :
Tulisan ini tidak mencakup
mengenai guru yang mengajar di sekolah atau madrasah, imam mesjid dan muadzin
yang ditugaskan dan digaji oleh Negara atau baitulmal, Juga pengobatan yang
menggunakan ayat Al Quran dalam metodenya. Mengenai hal ini Insya ALLOH akan
dibahas pada kesempatan lain
Terkait kedudukan hadits-hadits tersebut bisa dibuka di ( paling bawah ) :
Hukum Mengambil Upah Dari Pengajaran Qur’an dan
Pembacaan Ruqyah ( Hukmul Ju’l Wal Ujroh‘Ala Ta’limiddin War Ruqyah )
Ditulis dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Indonesiy Al
Jawiy وفقه الله
Sudah
bukan hal aneh saat ini jika seorang guru ngaji, atau ustadz mendapatkan rejeki
dengan cara berdakwah atau sebagai guru ngaji dilingkungan sekitarnya. Dan
banyak pula para dai yang menyandarkan hidupnya dengan cara berdakwah semata,
namun tentu masih banyak para dai lainnya yang berbisnis dan berdagang, sebagai
penopang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Bahkan
tak heran jika ada sebagian dari umat islam saat ini yang bertanya-tanya:
"Wah
pak ustadz dapet amplop!", atau
"Ngaji
al Quran digaji hukumnya gimana ya?" atau
mungkin
"Ceramah
kok dibayar?"
Lalu
bagaimana Hukumnya
menerima atau mengambil upah atau gaji dari
pekerjaan tersebut?
Menerima atau mengambil upah karena
mengajar Al-Qur`an atau dakwah, merupakan masalah yang diperselisihkan oleh
para ulama.
Jumhur (mayoritas) ulama
berpendapat boleh menerima
upah atau mengambil upah karena mengajarkan Al-Qur`an atau dakwah.
Sebagian Ulama yang lain
berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat seperti ini, yaitu: Imam
Az Zuhri, Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih. Yang berpendapat boleh, mereka mengambil dalil hadits di atas
yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas, juga beberapa hadits
yang lain, seperti Nabi menikahkan seorang sahabat dengan hafalan Qur’annya,
dan ini haditsnya shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
sahabat Sahl bin Sa’ad.
Pendapat
yang rajih (kuat) dari dua pendapat ulama ini, yaitu tentang bolehnya mengambil
upah dari mengajarkan Al-Qur`an dan berdakwah.
Tetapi yang perlu diingat, bahwa setiap
orang yang menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al-Qur`an ataupun berdakwah,
makadia harus melakukannya
semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tidak boleh ia mengharapkan
sesuatu dari manusia baik berbentuk
harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ
لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
"Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut
semata-mata mencari wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun ternyata ia
menuntutnya semata-mata
mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga
pada hari kiamat".
[Hadits
shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85
dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui
oleh Imam Adz Dzahabi].
Komentar saya; ngajarnya gratis, bensin, transport dan
menyisihkan waktu sampai meninggalkan keluarga, itu yang seharusnya diberikan
penghargaan yang pantas.
Titip
motor tidak tambah pinter saja bayar Rp. 1000,- meskipun cuma sepuluh menit.
Lantas kenapa anaknya dititip ke orang, plus tambah pinter mesti cari yang gratis?
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
"Sesungguhnya
perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah kitabullah".
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam "Bab Upah Dalam
Mengajarkan Al-Qur'an", Imam Al-Hakim dalam bab "Ijarah (Upah)",
Imam Ibnu Hibban dalam "Bab Bolehnya Mengambil Upah Dalam Mengajar
Al-Qur'an", Imam Baihaqi dalam "Bab Rizki Muadzin". Wallohu
a'lam. [Ahmed Widad dari voaislam]
Artikel: www.solusiislam.com
Bahasan terkait "Bayaran Ustadz
dalam Dakwah, Pengajaran Al-Quran (hadits), Ilmu-ilmu Keislaman DAN Bayaran
Khatib Shalat Jum'at dan Mengimami Shalat2 Khusus.
By Abu Husein Al-Qadisiyah
●Tiada Iman tanpa Zuhud dan Wara'.
●Tanpa zuhud seorang pejuang tidak akan sabar dan istiqomah dengan pedihnya derita Perjuangan..!.
●Cinta seseorang kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali bersikap zuhud terhadap dunia. Sedangkan zuhud terhadap dunia tidak akan terealisasi melainkan setelah ia memandang (dua hal ) : Dunia sebagai sesuatu yang mudah hilang, mudah lenyap, musnah DAN Memandang akhirat sebagai sesuatu yang pasti datang.
●Macam-macam Zuhud menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (Fawaidul Fawaid, Tahqiq; Syaikh 'Ali Hasan Al-Halabi hal.406) :
●Zuhud adalah sederhana dan meninggakan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk akherat.
●Pembagian zuhud :
1. Zuhud terhadap yang haram (Hukumnya fardhu ‘ain).
2. Zuhud terhadap perkara yang syubhat (samar); hukumnya berdasarkan tingkat kesamarannya: "wajib ditinggalkan jika tingkatan syubhatnya kuat", tapi mustahah (sunnah) ditinggalkan jika tingkat kesamarannya lemah.
3. .........dst
Topik Pembahasan :
1. Honor Mengajarkan Al-Qur'an (Hadits) serta Ilmu-ilmu Keislaman, dan Ceramah Agama, Menyampaikan Fatwa,dan sejenisnya.
2. Honor Khatib Shalat Jum'at, Mengumandangkan Azan, Mengimami Shalat2 Khusus (Shalat Gerhana dan lain-lain).
1. Honor Mengajarkan Al-Qur'an (Hadits) serta Ilmu-ilmu Keislaman, dan Ceramah Agama, Menyampaikan Fatwa,dan sejenisnya.
2. Honor Khatib Shalat Jum'at, Mengumandangkan Azan, Mengimami Shalat2 Khusus (Shalat Gerhana dan lain-lain).
Ada 3 kriteria (segmen) terkait
"terima bayaran ustadz" :
1. Imam Rawatib (juga Pendakwah ilmu2 Agama lainnya) yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal... Jumhur Ulama Membolehkan.
2. Pengajaran Al-Quran (hadits), Ilmu-ilmu Keislaman, Ceramah Agama, Menyampaikan Fatwa,dan sejenisnya. ...ini yang dibahas Para Ulama sepanjang Zaman (topik artikel dibawah ini).
3. Terkait bagian dari Rukun Shalat : Khatib Shalat Jum'at, Shalat Gerhana dll.
1. Imam Rawatib (juga Pendakwah ilmu2 Agama lainnya) yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal... Jumhur Ulama Membolehkan.
2. Pengajaran Al-Quran (hadits), Ilmu-ilmu Keislaman, Ceramah Agama, Menyampaikan Fatwa,dan sejenisnya. ...ini yang dibahas Para Ulama sepanjang Zaman (topik artikel dibawah ini).
3. Terkait bagian dari Rukun Shalat : Khatib Shalat Jum'at, Shalat Gerhana dll.
●Ketiga kriteria (bahasan) tersebut
berbeda hukumnya. Terkait masalah diatas, kita melihatnya dari kaca "implementasi
Zuhud, dimana dilevel kedua menghindari masalah Syubhat (kuat).
Beberapa Ibadah yang diperselisihkan
tentang kebolehan mengambil upah sebagai imbalan melaksanakannya :
Bahasan Buku "Harta Haram
Muamalat" Erwandi Tarmizi Tarmizi : Halaman 116-122
1.pasal 2.2 2.5 Upah/Imbalan Melakukan Ibadah (hal.116)
→...Adapun Ibadah yang dinikmati oleh orang lain manfaatnya, seperti : Mengimami Shalat (wajib,fardlu), mengumandangkan Azan....., maka para Ulama berbeda pendapat tentang hukum menerima upah sebagai imbalan dari melakukan ibadah tersebut...
●tanggapan :
→Erwandi Tarmizi tdk menjelaskan detail pendapat2 Ulama salaf.
→Erwandi Tarmizi menyatakan para ulama berbeda pendapat...syubhat (kuat ?).
→ Erwandi Tarmizi tidak bahas Khatib Shalat Jum'at : rukun shalat jum'at dan sejenisnya.
→ Erwandi Tarmizi tidak bahas Imam Shalat Gerhana dll.
1.pasal 2.2 2.5 Upah/Imbalan Melakukan Ibadah (hal.116)
→...Adapun Ibadah yang dinikmati oleh orang lain manfaatnya, seperti : Mengimami Shalat (wajib,fardlu), mengumandangkan Azan....., maka para Ulama berbeda pendapat tentang hukum menerima upah sebagai imbalan dari melakukan ibadah tersebut...
●tanggapan :
→Erwandi Tarmizi tdk menjelaskan detail pendapat2 Ulama salaf.
→Erwandi Tarmizi menyatakan para ulama berbeda pendapat...syubhat (kuat ?).
→ Erwandi Tarmizi tidak bahas Khatib Shalat Jum'at : rukun shalat jum'at dan sejenisnya.
→ Erwandi Tarmizi tidak bahas Imam Shalat Gerhana dll.
1.pasal 2.2 2.5.1 (hal.117) : sangat
jelas.
lihat halaman 118 :
→keikhlasan Para Nabi tersebut ditiru oleh para sahabat Nabi, Tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama yang menjadi Panutan umat dari masa kemasa, dimana mereka mengajar Al-Qur'an, tafsir, hadits, aqidah, fiqih dan ilmu2 keislaman lainnya tanpa pernah menarik honor dari para jamaahnya (Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Jilid XXX, hal.204).
→akan tetapi, dewasa ini mengingat biaya hidup untuk menutupi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan) cukup tinggi yang menuntut para pendakwah harus memenuhi kebutuhan pokok dia dan keluarganya, bolehkah menerima gaji dari berdakwah, mengajar Al-Qur'an dan ilmu2 keislaman lainnya ?
●Tanggapan :
→statemen ini sangat lemah, keluar dari definisi ketaqwaan, tidak ilmiyah.
→silahkan baca (sanggahannya ada di artikel pertama dibawah) :
"Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah Khatib Jum’at".
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/04/zuhud-bayaran-dalam-dakwah-dan-upah.html?m=0
lihat halaman 118 :
→keikhlasan Para Nabi tersebut ditiru oleh para sahabat Nabi, Tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama yang menjadi Panutan umat dari masa kemasa, dimana mereka mengajar Al-Qur'an, tafsir, hadits, aqidah, fiqih dan ilmu2 keislaman lainnya tanpa pernah menarik honor dari para jamaahnya (Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, Jilid XXX, hal.204).
→akan tetapi, dewasa ini mengingat biaya hidup untuk menutupi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan) cukup tinggi yang menuntut para pendakwah harus memenuhi kebutuhan pokok dia dan keluarganya, bolehkah menerima gaji dari berdakwah, mengajar Al-Qur'an dan ilmu2 keislaman lainnya ?
●Tanggapan :
→statemen ini sangat lemah, keluar dari definisi ketaqwaan, tidak ilmiyah.
→silahkan baca (sanggahannya ada di artikel pertama dibawah) :
"Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah Khatib Jum’at".
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/04/zuhud-bayaran-dalam-dakwah-dan-upah.html?m=0
"Al Quran : The Miracle Of Miracles.
Allah Tidak Sekali-Kali Menjadikan Seseorang Mempunyai Dua Hati Dalam Jiwanya.
Masukilah Islam Secara Kaffah (Not Less Than 100 % Kaffah !)".
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/12/al-quran-miracle-of-miracles-allah.html?m=0
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/12/al-quran-miracle-of-miracles-allah.html?m=0
2.pasal 2.2 2.5.1.1 (hal.118) : sangat
jelas.
→Para Ulama sepakat bahwa honor yg diterima oleh para pendakwah, guru ngaji dan para pengajar ilmu agama yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal dan tdk termasuk imbalan dari dakwah yg mereka lakukan dan tdk mengurangi keikhlasan mereka, itu merupakan penghargaan dari pihak pemerintah dikarenakan mereka "disibukan" oleh pekerjaan membina umat, sebagaimana dahulu para sahabat menerima 'athayaa (hibah) dari baitul maal (Dr. Adil Syahin, Akhzul maal ala a'malil qurab, jilid 1, hal 467.
→Para Ulama sepakat bahwa honor yg diterima oleh para pendakwah, guru ngaji dan para pengajar ilmu agama yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal dan tdk termasuk imbalan dari dakwah yg mereka lakukan dan tdk mengurangi keikhlasan mereka, itu merupakan penghargaan dari pihak pemerintah dikarenakan mereka "disibukan" oleh pekerjaan membina umat, sebagaimana dahulu para sahabat menerima 'athayaa (hibah) dari baitul maal (Dr. Adil Syahin, Akhzul maal ala a'malil qurab, jilid 1, hal 467.
3.pasal 2.2 2.5.1.2 (hal.119) : Halalkah
Upah Kerja Dakwah
→ Para Ulama dalam Mazhab Hanafi dan Hanbali mengharamkan.
→Para Ulama Mazhab Maliki dan Syafi'i membolehkan
●terdapat silang pendapat : Syubhat.
●tanggapan dibuku Erwandi Tarmizi (opini ?), tdk dicamtumkan rujukannya (pendapat ulama salaf). Kurang komprehensiv (artikel lamurkha jauh lebih lengkap, bukan opini).
●dipaparan Erwandi Tarmizi Tarmizi (hal. 119-122) tidak dibahas (diungkap) terkait Khatib Shalat Jum'at, mengimami Shalat2 tertentu (shalat gerhana dll).
●diakhir paparannya (hal.122) Erwandi Tarmizi Tarmizi membuat kesimpulan : dari kedua pendapat yang saling bertolak belakang diatas dengan argumen masing2, "sebagian" para ulama (referensi ?) Mencari jalan tengah, yaitu TIDAK DIBENARKAN mengambil upah berdakwah, kecuali untuk menutupi biaya kebutuhan pokok berdakwah dan keluarga yang menjadi tanggungannya ( ada kekhawatiran terganggunya Zuhud dan wara' ?)→ ada syubhat→Erwandi Tarmizi tidak "bahas" Kahatib Shalat Jum'at dan Mengimami shalat2 khusus.
●juga dihalaman yang sama (hal. 122)
→Erwandi Tarmizi Tarmiji mengatakan : "Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yg mau mengajar, mendakwahkan dan menyiarkan agama Allah, karena para juru dakwah tsb disibukkan oleh aktifitas kesehariannya mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karena tidak ada lagi orang yg mengajarinya. →benarkah pendapat ini ? Apakah Ilmiyah ? Apakah ini opini Erwandi Tarmizi Tarmizi ?
→ Para Ulama dalam Mazhab Hanafi dan Hanbali mengharamkan.
→Para Ulama Mazhab Maliki dan Syafi'i membolehkan
●terdapat silang pendapat : Syubhat.
●tanggapan dibuku Erwandi Tarmizi (opini ?), tdk dicamtumkan rujukannya (pendapat ulama salaf). Kurang komprehensiv (artikel lamurkha jauh lebih lengkap, bukan opini).
●dipaparan Erwandi Tarmizi Tarmizi (hal. 119-122) tidak dibahas (diungkap) terkait Khatib Shalat Jum'at, mengimami Shalat2 tertentu (shalat gerhana dll).
●diakhir paparannya (hal.122) Erwandi Tarmizi Tarmizi membuat kesimpulan : dari kedua pendapat yang saling bertolak belakang diatas dengan argumen masing2, "sebagian" para ulama (referensi ?) Mencari jalan tengah, yaitu TIDAK DIBENARKAN mengambil upah berdakwah, kecuali untuk menutupi biaya kebutuhan pokok berdakwah dan keluarga yang menjadi tanggungannya ( ada kekhawatiran terganggunya Zuhud dan wara' ?)→ ada syubhat→Erwandi Tarmizi tidak "bahas" Kahatib Shalat Jum'at dan Mengimami shalat2 khusus.
●juga dihalaman yang sama (hal. 122)
→Erwandi Tarmizi Tarmiji mengatakan : "Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yg mau mengajar, mendakwahkan dan menyiarkan agama Allah, karena para juru dakwah tsb disibukkan oleh aktifitas kesehariannya mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karena tidak ada lagi orang yg mengajarinya. →benarkah pendapat ini ? Apakah Ilmiyah ? Apakah ini opini Erwandi Tarmizi Tarmizi ?
"Sanggahannya ada di artikel
lamurkha (bg pertama) diatas".
■cuplikan dari lamurkha :
Kalau kita telaah, alasan alasan tersebut diatas terlalu bersifat duniawi. Hanya berdasarkan kepentingan diri sendiri. Mereka lupa, bahwa Islam bisa menyebar ke seluruh dunia berawal dari dakwah gratisan. Dakwah yang tidak dibayar. Dakwah yang hanya berdasarkan iman dan keikhlasan. Pada masa itu, belum ada sekolah sekolah Islam yang megah dan mahal-mahal seperti sekarang, yang membuat orang-orang Islam miskin tidak mampu bersekolah. Belum ada multi media dan fasilitas telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana oleh para kiai, ustad, dai untuk menyampaikan dakwahnya. Tapi nyatanya Islam tetap menyebar keseluruh dunia dengan massif. Karena sesungguhnya ALLOH lah yang menyebarkannya. ALLOH meridloi penyebar- penyebar Islam dimasa Rasulullah dan para sahabat, yang berjuang tanpa mengharap pamrih. Hasilnya, Masyarakat Islam yang terbentukpun adalah masyarakat Islam yang unggulan, yang fanatik menjalankan Syareat. Bukan masyarakat Islam yang sekuler, yang hanya mengaku Islam tapi tingkah laku dan perbuatan jauh sekali dari nilai-nilai Islam seperti yang terjadi sekarang ini. Yang hanya banyak dalam jumlah, tapi kualitas ke- Islamannya tipis. Ingatlah, Islam tidak perlu banyak. Biarpun sedikit asal kokoh. Banyak contoh, jumlah yang sedikit mengalahkan yang banyak. Syukur kalau Islamnya banyak dan mereka menjalankan syareat Islam dengan sungguh- sungguh, itu lebih disukai ALLOH, dan ALLOH pun membanggakannnya.
Jadi sebetulnya tanpa dibayarpun, dengan seizin ALLOH, akan tetap ada penyebar- penyebar risalah yang bermodal niat yang ikhlas dan tulus. Contoh kecil adalah para murabi yang membimbing umat dalam halaqoh- halaqoh tarbiyah. Mereka tidak dibayar sepeserpun. Majelis- majelis dakwah seperti inilah yang insya ALLOH diridloi-Nya. Bukan majelis- majelis yang seolah olah majelis tolabul ilmu, tetapi yang sesungguhnya adalah sarana untuk mencari imbalan materi. Karena hal ini tidak sesuai dengan yang diperintahkan Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi.
Dan jangan dilupakan, janganlah kita bersikap seolah- olah ALLOH membutuhkan dakwah kita. Itu salah besar. ALLOH sama sekali tidak membutuhkan dakwah kita. Kitalah sesungguhnya yang membutuhkan berdakwah untuk mencapai keridloan ALLOH. Kalaupun tidak ada lagi orang di bumi ini yang mau berdakwah, sehingga Islam tidak lagi ada dimuka bumi, kemuliaan ALLOH tidak akan pernah berkurang sedikitpun. Kemuliaan ALLOH tidak tergantung kepada makhluknya, apalagi bergantung pada manusia. Beriman atau kafirnya seseorang, tidak akan berpengaruh kepada kemuliaan ALLOH. Perhatikan firman QS. 35 (Faathir). 15-16:” Wahai manusia, kamulah yang memerlukan ALLOH, dan Dialah Yang Maha kaya ( tidak memerlukan sesuatu), Maha terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu)”.
Jika para ahli ilmu memang tidak mau berdakwah karena tidak ada bayaran, silahkan saja karena ALLOH tidak rugi apa apa. Kitalah yang rugi karena artinya mengabaikan karunia ALLOH, dan mengabaikan kewajiban, serta menantang azab ALLOH. Jadi kenapa harus khawatir tidak ada lagi yang mau berdakwah, sedangkan rahmat dan hidayah itu urusan Alloh, dan bukan urusan manusia. Jadi, tidak ada yang namanya profesi pendakwah, apalagi sampai membentuk sebuah manajemen dan memakai manajer . Karena dakwah adalah kewajiban setiap muslim dan bukan hak.
■cuplikan dari lamurkha :
Kalau kita telaah, alasan alasan tersebut diatas terlalu bersifat duniawi. Hanya berdasarkan kepentingan diri sendiri. Mereka lupa, bahwa Islam bisa menyebar ke seluruh dunia berawal dari dakwah gratisan. Dakwah yang tidak dibayar. Dakwah yang hanya berdasarkan iman dan keikhlasan. Pada masa itu, belum ada sekolah sekolah Islam yang megah dan mahal-mahal seperti sekarang, yang membuat orang-orang Islam miskin tidak mampu bersekolah. Belum ada multi media dan fasilitas telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana oleh para kiai, ustad, dai untuk menyampaikan dakwahnya. Tapi nyatanya Islam tetap menyebar keseluruh dunia dengan massif. Karena sesungguhnya ALLOH lah yang menyebarkannya. ALLOH meridloi penyebar- penyebar Islam dimasa Rasulullah dan para sahabat, yang berjuang tanpa mengharap pamrih. Hasilnya, Masyarakat Islam yang terbentukpun adalah masyarakat Islam yang unggulan, yang fanatik menjalankan Syareat. Bukan masyarakat Islam yang sekuler, yang hanya mengaku Islam tapi tingkah laku dan perbuatan jauh sekali dari nilai-nilai Islam seperti yang terjadi sekarang ini. Yang hanya banyak dalam jumlah, tapi kualitas ke- Islamannya tipis. Ingatlah, Islam tidak perlu banyak. Biarpun sedikit asal kokoh. Banyak contoh, jumlah yang sedikit mengalahkan yang banyak. Syukur kalau Islamnya banyak dan mereka menjalankan syareat Islam dengan sungguh- sungguh, itu lebih disukai ALLOH, dan ALLOH pun membanggakannnya.
Jadi sebetulnya tanpa dibayarpun, dengan seizin ALLOH, akan tetap ada penyebar- penyebar risalah yang bermodal niat yang ikhlas dan tulus. Contoh kecil adalah para murabi yang membimbing umat dalam halaqoh- halaqoh tarbiyah. Mereka tidak dibayar sepeserpun. Majelis- majelis dakwah seperti inilah yang insya ALLOH diridloi-Nya. Bukan majelis- majelis yang seolah olah majelis tolabul ilmu, tetapi yang sesungguhnya adalah sarana untuk mencari imbalan materi. Karena hal ini tidak sesuai dengan yang diperintahkan Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi.
Dan jangan dilupakan, janganlah kita bersikap seolah- olah ALLOH membutuhkan dakwah kita. Itu salah besar. ALLOH sama sekali tidak membutuhkan dakwah kita. Kitalah sesungguhnya yang membutuhkan berdakwah untuk mencapai keridloan ALLOH. Kalaupun tidak ada lagi orang di bumi ini yang mau berdakwah, sehingga Islam tidak lagi ada dimuka bumi, kemuliaan ALLOH tidak akan pernah berkurang sedikitpun. Kemuliaan ALLOH tidak tergantung kepada makhluknya, apalagi bergantung pada manusia. Beriman atau kafirnya seseorang, tidak akan berpengaruh kepada kemuliaan ALLOH. Perhatikan firman QS. 35 (Faathir). 15-16:” Wahai manusia, kamulah yang memerlukan ALLOH, dan Dialah Yang Maha kaya ( tidak memerlukan sesuatu), Maha terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu)”.
Jika para ahli ilmu memang tidak mau berdakwah karena tidak ada bayaran, silahkan saja karena ALLOH tidak rugi apa apa. Kitalah yang rugi karena artinya mengabaikan karunia ALLOH, dan mengabaikan kewajiban, serta menantang azab ALLOH. Jadi kenapa harus khawatir tidak ada lagi yang mau berdakwah, sedangkan rahmat dan hidayah itu urusan Alloh, dan bukan urusan manusia. Jadi, tidak ada yang namanya profesi pendakwah, apalagi sampai membentuk sebuah manajemen dan memakai manajer . Karena dakwah adalah kewajiban setiap muslim dan bukan hak.
●juga dihalaman yang sama (hal. 122) Erwandi
Tarmizi Tarmizi menyatakan (pendapat ET atau Ulama SaLaf ?) : dan bila
dibolehkan tanpa syarat yg berarti dibolehkan mencari kekayaan sebanyak2nya
dengan "Profesi sebagai Penfakwah"......dst syubhatnya sangat jelas
(banyak)
●Terakhir ET membuat konklusi yang
menarik (hal.122) :
Dengan demikian pendapat ini cukup kuat (tetap masih ada syubhat, terlebih belum jelasnya bahasan/ulasan Khatib Shalat Jum'at dan Mengimami Shalat Khusus), yakni boleh mengambil upah kerja dakwah untuk "menutupi kebutuhan pokok, maka bila seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yg cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya, seyogyanya "IA TIDAK MENGAMBIL HONOR YANG DIBERIKAN JAMAAH YANG DIKUMPULKAN OLEH MEREKA RUPIAH DEMI RUPIAH AGAR MENDAPATKAN SIRAMAN ROHANI DARI SEORANG USTADZ, SEDANG USTADZ YG MENERIMA HONOR TERSEBUT HIDUP BERKECUKUPAN......perlu Muhasabah dan Kejujuran serta orientasinya kepada Zuhud dan Wara'
Dengan demikian pendapat ini cukup kuat (tetap masih ada syubhat, terlebih belum jelasnya bahasan/ulasan Khatib Shalat Jum'at dan Mengimami Shalat Khusus), yakni boleh mengambil upah kerja dakwah untuk "menutupi kebutuhan pokok, maka bila seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yg cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya, seyogyanya "IA TIDAK MENGAMBIL HONOR YANG DIBERIKAN JAMAAH YANG DIKUMPULKAN OLEH MEREKA RUPIAH DEMI RUPIAH AGAR MENDAPATKAN SIRAMAN ROHANI DARI SEORANG USTADZ, SEDANG USTADZ YG MENERIMA HONOR TERSEBUT HIDUP BERKECUKUPAN......perlu Muhasabah dan Kejujuran serta orientasinya kepada Zuhud dan Wara'
■Kesimpulan yg dapat diambil hikmahnya :
→Imam Rawatib (juga Pendakwah ilmu2 Agama lainnya) yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal... Jumhur Ulama Membolehkan.
→Syubhatnya Kuat : "jika mengambil honor yang diberikan jamaah yg dikumpulkan oleh mereka rupiah demu rupiah agar mendapatkan siraman rohani daribseorang Ustadz, sedang Ustadz penerima honor tersebut hidupnya berkecukupan (Erwandi Tarmizi Tarmizi menyatakan jika seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yg cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya sebaiknya ydk menerima honor teraebut).
→Terkait Honor Khatib Shalat Jum'at, Mengimami Shalat2 Khusus (diluar Baitul Maal), belum ada bahasan yang jelas status hukumnya (halalkah ?), karena bagian dari rukun Shalat
→Dalih : "Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yg mau mengajar, mendakwahkan dan menyiarkan agama Allah, karena para juru dakwah tsb disibukkan oleh aktifitas kesehariannya mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karena tidak ada lagi orang yg mengajarinya.→Dalih ini tidak ilmiyah dan tidak syar'i (lihat bantahannya di artikel lamurkha diatas).
→Apakah Ustadz (Pendakwah) yang menerima honor diluar Baitul Maal, Syubhatnya Kuat, amal ibadahnya sia-sia ?
→Imam Rawatib (juga Pendakwah ilmu2 Agama lainnya) yg berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal... Jumhur Ulama Membolehkan.
→Syubhatnya Kuat : "jika mengambil honor yang diberikan jamaah yg dikumpulkan oleh mereka rupiah demu rupiah agar mendapatkan siraman rohani daribseorang Ustadz, sedang Ustadz penerima honor tersebut hidupnya berkecukupan (Erwandi Tarmizi Tarmizi menyatakan jika seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yg cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya sebaiknya ydk menerima honor teraebut).
→Terkait Honor Khatib Shalat Jum'at, Mengimami Shalat2 Khusus (diluar Baitul Maal), belum ada bahasan yang jelas status hukumnya (halalkah ?), karena bagian dari rukun Shalat
→Dalih : "Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yg mau mengajar, mendakwahkan dan menyiarkan agama Allah, karena para juru dakwah tsb disibukkan oleh aktifitas kesehariannya mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karena tidak ada lagi orang yg mengajarinya.→Dalih ini tidak ilmiyah dan tidak syar'i (lihat bantahannya di artikel lamurkha diatas).
→Apakah Ustadz (Pendakwah) yang menerima honor diluar Baitul Maal, Syubhatnya Kuat, amal ibadahnya sia-sia ?
● Tempat yang Paling Mulia, yang
mengindikasikan keimanan kita, yang diperintahkan Allah supaya mendatanginya,
selain Al-Haramain dan Masjdil Aqsa adalah Masjid disekitar kita. Kegemaran kita
beribadah ditempat tsb (Masjid) menjadi sebab (in sya Allah) ke Janah. Sedapat
mungkin kita tidak mengambil keuntungan (materi) dari kegiatan di Masjid.
Kitalah yang harusnya memakmurkan Masjid. Ibadah yang kita lakukan di Masjid
seperti : Dakwah, mengajarkan Al-Qur'an, dan terkait ilmu-ilmu Islam lainnya,
sedapat mungkin tidak mendapatkan materi (upah). Kita jadikan Memakmurkan
Masjid sebagai Rekening Tabungan Abadi yang tidak akan berkurang sedikitpun
(bangkrut) bahkan makin meningkat, sebagai Totalitas Ibadah kita
manifestasi implementasi Zuhud dan Wara' (in sya Allah)
→Apakah para ulama salaf seperti Imam
Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah dll,
merupakan Dominan Pendakwah lisan ? Mereka sangat luar Produktif, hasil karya
monumental mereka sampai saat ini dijadikan rujukan. Apakah mungkin, mereka
melakukan aktivitas "dakwah secara lisan dengan intensitas yang padat
seperti yg kita saksikan pendakwah saat ini ?"
→Apakah para Ulama yang Produktifitas yg sangat mentakyubkan seperti dibawah ini, metode dakwahnya seperti yang dipaparkan pada tulisan diatas ?
●Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an menulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah menulis 584.000 lembar.
●Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al Baghdadi (wafat: 513 H) –manusia tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu, ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.
●Imam Abu Hatim Ar Rozi menulis kitab musnad dalam 1000 juz.
●Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis 2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal beliau dalam berkarya.
[Dinukil dari kitab ‘Uluwul Himmah, karya Syaikh Muhammad Al Muqoddam]
→Apakah para Ulama yang Produktifitas yg sangat mentakyubkan seperti dibawah ini, metode dakwahnya seperti yang dipaparkan pada tulisan diatas ?
●Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an menulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah menulis 584.000 lembar.
●Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al Baghdadi (wafat: 513 H) –manusia tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu, ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.
●Imam Abu Hatim Ar Rozi menulis kitab musnad dalam 1000 juz.
●Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis 2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal beliau dalam berkarya.
[Dinukil dari kitab ‘Uluwul Himmah, karya Syaikh Muhammad Al Muqoddam]
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil
Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi.
Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/03/dakwah-bil-kitabah-bukan-dominan-bil.html?m=0
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/03/dakwah-bil-kitabah-bukan-dominan-bil.html?m=0
●Apakah mungkin cara dakwah Ulama2 saat
ini akan menghasilkan hasil karya besar ?
diharapkan sanggahan tulisan diatas
Afwan
Wallahu A'lam
Afwan
Wallahu A'lam
●ALLOH SWT pun telah menggariskan dalam
firman-Nya :
1.“ Katakanlah : Aku tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahku.”(QS.Shaad: 86).
2.“ Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari ALLOH yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan ?” (QS.Huud: 51)
3.“ Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang- orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS.Al-Furqaan: 57)
4.“ Dan engkau tidak meminta imbalan apapun kepada mereka (terhadap seruan ini), sebab (seruanmu) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.” (QS. Yusuf:104)
[Tafsir ayat diatas; mkn tdk terkait bahasan artikel ini].
Bisa kita lihat, adakah celah dalam firman ini yang memungkinkan para pendakwah menerima imbalan dari manusia ? Kecuali alasan yang dicari cari untuk kepentingannya sendiri ?
Jumhur Ulama juga berpendapat:” Jika seseorang mencari keuntungan dunia melalui agama, maka ia seperti orang yang membersihkan sandalnya dengan pipinya.” Dengan kata lain ia adalah orang yang bodoh, karena menukar akhirat dengan dunia yang sangat sedikit. Jadi, silahkan memikirkannya.
1.“ Katakanlah : Aku tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahku.”(QS.Shaad: 86).
2.“ Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari ALLOH yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan ?” (QS.Huud: 51)
3.“ Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang- orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS.Al-Furqaan: 57)
4.“ Dan engkau tidak meminta imbalan apapun kepada mereka (terhadap seruan ini), sebab (seruanmu) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.” (QS. Yusuf:104)
[Tafsir ayat diatas; mkn tdk terkait bahasan artikel ini].
Bisa kita lihat, adakah celah dalam firman ini yang memungkinkan para pendakwah menerima imbalan dari manusia ? Kecuali alasan yang dicari cari untuk kepentingannya sendiri ?
Jumhur Ulama juga berpendapat:” Jika seseorang mencari keuntungan dunia melalui agama, maka ia seperti orang yang membersihkan sandalnya dengan pipinya.” Dengan kata lain ia adalah orang yang bodoh, karena menukar akhirat dengan dunia yang sangat sedikit. Jadi, silahkan memikirkannya.
●Tidak boleh ia mengharapkan sesuatu dari
manusia baik berbentuk harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ
وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ
الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَة
"Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia
tuntut semata-mata mencari wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun ternyata ia
menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan
mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat".
[Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi]
[Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi]
Halalkah Upah Kerja Dakwah?
Ada perbedaan antara
honor yang bersal dari baitul maal atau lembaga sosial dan upah, di antaranya :
honor bersifat derma (sumbangan) yang tidak ditetapkan
jumlahnya ketergantungan kemurahan hati para penderma atu kondisi
keuangan lembaga dan mungkin jga tidak member apa-apa , sedangkan upah
merupakan transaksi yang wajib di penuhi oleh kedua belah pihak yang jumlahnya
telah ditetapkan dari awal sebelum jasa dipakai tergantung tawar menawar antara
pihak pembeli dan pengguna jasa.
Adapun upah yang disepakati dari awal antara pendakwah dan
pengguna jasanya, seperti: seorang
guru mengajar Alquran atau mengajar ilmu-ilmu keislaman dengan mensyaratkan
honor lima puluh ribu rupiah setiap kedatanagnnya, atau seorang pendakwah
mensyaratkan dari awal honor lima ratus ribu rupiah untuk sekali ceramah agama
yang bila honor tersebut tidak mampu dipenuhi pihak pengguna jasa,
pendakwah menolak untuk memberikan ceramah , hukum kehalalan upah ini
diperselisihkan oleh para ulama.
Pendapat
pertama: Para ulama dalam mazhab
Hanafi dan Hambali mengharamkan upah yang di tentukan dari semula sebagai
imbalan jasa dakwah yang disampaikan.
Para ulama ini berpegang kepada beberapa dalil:
1. ayat alquran dalam surat ( Al an’aam: 90), (Huud: 29),(
Huud: 51), (As Syu’ara: 164), (As Syu’ara: 180), ( Yasin: 20-21) bahwa para
Nabi tidak minta upah kepada umatnya atas dakwah yang mereka sampaikan.
Tanggapan: Dalil ini tidak
kuat, karna dakwah para nabi tersebut ditunjukan kepada orang non muslim yang
memang tidak akan mau memberikan upah. Dan juga dalam ayat – ayat
tersebut tidak ada larangan andai orang – orang yang menerima dakwah
tersebut memberikan upah.
2. Firman Allah ta’ala yang melarang menjual ayat –ayatnya
dengan harga dunia dan melarang menyembunyikan petunjuk, sedangkan menolak
memberikan dakwah tampa imbalan yang disepakati sebelumnya termasuk menjual
ayat dan menyembunyikan petunjuk. Di antara ayat-ayat tersebut:
Firman Allah ta,ala dalam surat (Al Baqoroh: 41), (Al
Baqoroh: 159) yang artinya:
(Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga
yang rendah) Al Baqoroh: 41
(sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
kami turunkan berupa keterangan- ketrangan (yang jelas) dan petunjuk , setelah
kami menerangkannya kepada manusia Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan di
laknati (pula) oleh semua (makhluk )yang dapat melaknati” ) Al Baqoroh: 159
Tanggapan: Dalil ini juga
tidak kuat , karna maksud ayat di atas bila seorang telah menjadi fardhu’ain baginya
untuk menyempaikan dakwah, seperti: dia berada di lingkungan yang sama sekali
tidak ada orang yang mampu menyampaikan dakwah dan menagjar Al Quran kecuali
dirinya, dalam kondisi ini memang di haramkan dia menerima upah, karna dia
melakukan hal yang wajib sebagai seseorang yang melakukan sholat wajib, tidak
mungkin dia berhak menerima gaji atas amalan sholatnya.
3. Hadist Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang
melarang makan upah mengajar Alquran, Nabi shalallahhu alaihi
wasallam bersabda yang artinya :
Bacalah Al qur’an, dan jangan terlalu berlebihan,jangan
terlalu lalai, jangn makan upah mengajar Al qur’an, dan memeperbanyak harata
melalaui mengajar Al qur’an “ (HR. Ahmad, dishahihkan oleh ibnu
Hajar).
Pendapat kedua : Para ulama
dalam mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan menarik upah kerja dakwah. Mereka
berpegang kepada beberapa dalil:
-Diriwayatkan dari ibnu abbas bahwa sekelompok sahabat Nabi
melewati sebuah perkampungan, lalu orang kampung tersebut meminta mereka untuk
mengobati kepala suku mereka yang terkena sengatan hewan berbisa, para sahabat
mau mengobati dengan syarat orang kampung itu memberkan imbalan beberapa ekor
kambing, setelah terjadi kesepakatan, salah seorang sahabat mengobatinya dengan
membaca surat Al Fatihah, seketika itu juga si sakit langsung sembuh dan mereka
memenuhi akad serta memberikan beberapa ekor kambing yang di sepakati, sebagian
sahabat menolaknya, karna mengambil upah dari bacaan Al qur’an
Sesampainya di madinah mereka mengadukan hal tersebut kepada
Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya upah yang paling pantas untuk kalian terima
adalah imbalan Al qur’an” (HR. Bukhori)
-Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu seorang
wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi Nabi shalallahu alaihi
wasallam, akan tetapi Nabi shalallahu alaihi wasallam tidak
berniat menikahinya
Maka salah seorang sahabat meminta kepada Nabi shalallahu
alaihi wasallam untuk menikahi wanita tersebut dengan dirinya.
Lalu Nabi shalallahu alaihi wasallam memerintahkan
sahabat tersebut untuk mencari maharnya, namun dia tidak memiliki apa – apa.
Maka Nabi shalallahu alaihi wasallam menanyakan
apakah dia hafal beberapa surat Al qur’an. Dia menjawab “hafal beberapa
surat”
Maka Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda
yang artinyaa:
“kami telah menikahkanmu dengan perempuan tersebut, dengan
mahar mengajarkan wanita itu beberapa surat Al qur’an yang engkau hafal” (HR. Bukhori
dan Muslim).
Dari hadist ini di pahami bahwa upah mengajar Al qur’an
halal sehingga bisa dijadikan mahar layaknya emas, perak dan lain-lain
Dari dua pendapat di atas dengan argumen masing – masing,
sebagia ulama mencari jalan tengah, yaitu tidak di benarkan mengambil upah
berdakwah, kecuali untuk menutupi biaya kebutuhan pokok pendakwah dan keluarga
yang menjadi tanggungannya. Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan
akan langkanya orang yang mau mengajar, mendakwah dan menyiarkan agama Allah
karna para juru dakwah tersebut di disibukan oleh aktifitas keseharian mencari
nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya,
mereka tidak lagi memahami agama Allah karna tidak ada lagi orang mengajarinya
Dan bila dibolehkan tanpa syarat yang berarti dibolehkan mencari kekayaan
sebanyak – banyaknya dengan profesi sebagai pendakwah, seperti fenomen sekarang
dimana seorang ustadz ternama tidak mau memberikan pengarahan agama bila
imbalannya kurang dari sekian juta, hal ini jelas bertentangan dengan hadist
yang melarang memperbanyak harta dengan mengajarkan Al qur’ar
Dengan demikian pendapat ini cukup kuat, yakni boleh
mengambil upah kerja dakwah untuk menutupi kebutuhan pokok, maka bila seorang
juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokok diri sendiri dan keluarga, seyogyanyalah iya tidak mengambil
honor yang di berikan jamaah yang di kumpulkan oleh mereka rupiah demi rupiah
agar mendapat siraman rohani dari seorang ustadz, sedangkan ustadz yang
menerima honor tersebut bergelimang harta.
Diambil dari Kitab “HARTA HARAM MUAMALAT KONTEMPORER”
Karya : DR. ERWANDI TARMIZI Hafidzahullah
3 komentar:
sudah jelas2 ayatnya berbunyi
seperti itu, Rasulullah pun tidak pernah mencontohkan, sebaiknya tidak usah
dicari2lagi pembenaran yg bertentangan dgn Alquran.
Mohon izin bertanya, jika
seandainya memang dibolehkan mengambil upah dari berdakwah berdasarkan dalil
hadits ini "Sesungguhnya upah yang paling pantas untuk kalian terima
adalah imbalan Al qur’an” (HR. Bukhori), dimana disebutkan menerima imbalan
alquran adalah upah yang paling pantas tentunya para sahabat yang terkenal
selalu ingin menjadi yang terbaik tentu akan berbondong-bondong mengajarkan al-quran
karena disabdakan oleh Rasul itu adalah upah yang paling pantas. Namun
kenyataannya setelah keluarnya hadits itu tidak ditemukan catatan sejarah yang
menyatakan para sahabat beralih profesi menjadi pendakwah al quran. Atau saya
yang belum tahu sejarahnya ya? Miris ngeliat dakwah sekarang yang bertarif
profesional....dakwah seperti kehilangan wibawanya...
Tapi saya setuju dengan kesimpulannya...itu kesimpulan yang bijak
Assalamualaikum.
Pendakwah yang mendapat upah tentu pahala dakwahnya berkurang. boleh saja
bekerja sebagai penjual ilmu agama dan tidak berdosa. Boleh saja jangan
berlebihan kalau ada kelebihan dibuat lagi untuk modal dakwah sendiri yang
tanpa upah. Bila berlebihan dapat menimbulkan sifat orang lain ingin mencari
penghidupan dari dakwah seperti si pendakwah. Jangan sampai orang lain disuruh
ikhlas dalam bersedekah karena mencintai Allah sementara dirinya yang panen,
maka sungguh dosa besar. Jangan sampai kita banyak memberi contoh kesederhanaan
hidup orang yang dimuliakan Allah sementara dirinya tidak menjalankan perbuatan
orang yang dimuliakan tersebut. Apa dosanya menganjurkan ummat agar lebih
mementingkan akhirat sementara dia tidak melakukannya ?
Renungkan. Ada pendakwah dan ummat sama kekayaannya kemudian keduanya melakukan
perbuatan sedekah senilai Rp 1000, Pahala siapakah yang lebih besar ? Tentu
pahala si umat yang lebih besar, seharusnya si pendakwah lebih besar perjuangan
pengorbanan dijalan Allah sebagai teladan. Begitu juga bila sipendakwah dan
ummat sama sama melakukan zina maka dosa pendakwah lebih besar. dan Apa dosanya
pendakwah menganjurkan kebaikan sementara dirinya tidak melakukan kebaikan itu.
Mohon maaf bila terdapat kesalaahan. Ya Allah Ampunilah saya dan seluruh hamba
hambamu , karena pengampunanMulah yang membuat kami lepas dari siksa neraka.
Tidak ada daya dan upaya yang bisa berhasil tanpa Engkau merestuiNya Dan
Ampunilah atas pertambahan ilmu kami namun sedikit yang diamalkan. Amin
terimakasih saudaraku telah memberi ruang komentar. wassalamalaikum.
Anjuran mencari nafkah dan seorang da’i tidak boleh bergantung kepada
(mad’u) muridnya
Bekerja Mencari Rezeki Yang Halal Itu Wajib Bagi
Setiap Muslim Perawi Dari Hadis Tersebut Adalah Menjadi Dai Yang Mukhlis Ikhlas
Tanpa Mengukur Jerih Payah Dalam Berdakwah Dengan Penghasilan Dalam Kehidupan
Yang Serba Materi Merupakan Nasehat Baik Dari Arab Tentang Harta Dunia Hadits
Ibnu Katsir Tentang Mencari Nafkah Untuk Keluarga Perintah UNTUK MENCARI REZEKI
YANG HALAL DIJELASKAN ALLAH DALAM SURAH
ANJURAN MENCARI NAFKAH & SEORANG DA’I TIDAK BOLEH
BERGANTUNG KEPADA MAD’U (MURID) NYA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Untuk memenuhi kebutuhannya, seorang muslim wajib
berusaha dengan mencari nafkah yang halal. Dengan nafkah itu, ia dapat
menghidupi dirinya dan keluarganya. Dengan nafkah itu, ia juga dapat memberikan
manfaat kepada orang lain. Seorang muslim tidak boleh menggantungkan hidupnya
kepada orang lain. Karena hidup dengan bergantung kepada orang lain merupakan
kehinaan. Dan hidup dari usaha orang lain adalah tercela. Malaikat Jibril
datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: ”…
Ketahuilah, bahwa kemuliaan orang mukmin shalat nya di waktu malam dan
kehormatannya adalah dengan tidak mengharapkan sesuatu kepada orang.” [Hadits
hasan. Lihat Shahih Jami’ush Shagir, no. 73 dan 3710]
Allah dan RasulNya menganjurkan umat Islam untuk
berusaha dan bekerja. Apapun jenis pekerjaan itu selama halal, maka tidaklah
tercela. Para nabi dan rasul juga bekerja dan berusaha untuk menghidupi diri
dan keluarganya. Demikian ini merupakan kemuliaan, karena makan dari hasil
jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat, sedangkan makan dari hasil
jerih payah orang lain merupakan kehidupan yang hina. Karena itu, Islam menganjurkan
kita untuk berusaha, dan tidak boleh mengharap kepada manusia. Pengharapan
hanya wajib ditujukan kepada Allah saja. Allah-lah yang memberikan rezeki
kepada seluruh makhluk. Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin, Insya
Allah, rezeki itu akan Allah berikan sebagaimana burung, yang pagi hari keluar
dari sarangnya dalam keadaan lapar, kemudian pada sore hari pulang dalam
keadaan kenyang. Terlebih manusia, yang telah mendapatkan dari Allah berupa
akal, hati, panca indra, keahlian dan lainnya serta berbagai kemudahan, maka
pasti Allah akan memberikan rezeki kepadanya.
1-عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:لَوْ اَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ
تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ, تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ
بِطَانًا.
Dari Umar
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benar tawakkal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki
sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam
keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR
Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]
Di bawah ini, penulis
bawakan beberapa ayat dan hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim makan
dari hasil usaha sendiri dan menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain.
Allah berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا
اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Maka apabila shalat telah selesai dikerjakan,
bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah rezeki karunia Allah”. [Al
Jumu’ah : 10]
هُوَ الَّذِي جَعَلَ
لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah
bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari
rezekiNya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [Al
Mulk : 15]
Tentang ayat ini,
dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan: “Kemudian, Dia menyebutkan nikmat
yang telah Dia anugerahkan kepada makhlukNya dengan menyediakan bumi bagi
mereka dan membentangkannya untuk mereka. Dia membuatnya sebagai tempat menetap
yang tenang, tidak miring dan tidak juga bergoyang, karena Dia telah menciptakan
gunung-gunung padanya. Dan Dia alirkan air di dalamnya dari mata air. Dia
bentangkan jalan-jalan, serta menyediakan pula di dalamnya berbagai manfaat,
tempat bercocok tanam dan buah-buahan. Dia berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ
لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
“(Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah
bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya)”. Maksudnya, lakukanlah
perjalanan ke mana saja yang kalian kehendaki dari seluruh belahannya, serta
bertebaranlah kalian ke segala penjurunya untuk menjalankan berbagai macam
usaha dan perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan macam usaha
dan perdagangan. Ketahuilah, bahwa usaha kalian tidak akan bermanfaat bagi
kalian sama sekali, kecuali jika Allah memudahkan untuk kalian. Oleh karena
itu, Dia berfirman
وَكُلُوا مِن
رِّزْقِهِ
(Makanlah sebagian dari rezekiNya). Dengan demikian,
usaha yang merupakan sarana, sama sekali tidak bertentangan dengan tawakal.
وَإِلَيْهِ
النُّشُورُ
(Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan). Maksudnya ialah, tempat kembali pada hari Kiamat kelak.
[Tafsir Ibnu Katsir, IV/420, Cet. Darus Salam].
2-وَعَنْ اَبِى عَبْدِاللهِ الزُّبَيْرِبنِ العَوَّامِ
قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ :لأَنْ يَأْخُذَ اََحَدُكُمْ اَحْبُلَهُ ثُمَّ يَاْتِى
الْجَبَلَ فَيَاْتِىَ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِخِ فَيَبِيْعَهَا
فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ
اَعْطَوْهُ اَوْ مَنَعُوْهُ.
Dari Abi Abdillah
(Zubair) bin Awwam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya,
seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari
kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup
kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik
mereka memberi atau tidak”. [HR Bukhari, no. 1471].
Penjelasan :
1. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya supaya berusaha memenuhi
hajat hidupnya dengan jalan apapun menurut kemampuan, asal jalan yang ditempuh
itu halal.
2. Berusaha dengan bekerja
kasar, seperti mengambil kayu bakar di hutan itu lebih terhormat daripada
meminta-minta dan menggantungkan diri kepada orang lain.
3. Begitulah didikan
dan arahan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadikan umatnya sebagai
insan-insan terhormat dan terpandang, dan bukan umat yang lemah lagi pemalas.
4. Tidak halal
meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.
5. Meminta-minta atau
mengemis dalam Islam merupakan perbuatan yang hina dan tercela.
6. Usaha dengan jalan
yang benar tidak menafikan tawakkal kepada Allah.
7. Seseorang tidak
boleh menganggap remeh jenis usaha apapun, meskipun usaha itu dalam pandangan
manusia dinilai hina.
3-وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ
اللهِ:لأَنْ يَحْتَطِبَ اَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ
يَسْأَلَ اَحَدًا فَيُعْطِيَهُ اَو يَمْنَعَهُ.
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seorang
dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih
baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak”. [HR
Bukhari, no. 1470; Muslim, no. 1042; Tirmidzi, no. 680 dan Nasa-i, V/96]
َ4- عَنْ اَبِى
هُرَيْرَة َو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ
دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ لاَيَأْكُلُ اِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدَِْهِ.
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Adalah Nabi Daud tidak makan, melainkan dari hasil usahanya
sendiri”. [HR Bukhari, no. 2073].
Penjelasan :
1. Nabi Daud
Alaihissalam, disamping sebagai nabi dan rasul, dia juga seorang Khalifah.
Namun demikian, sebagaimana diceritakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits Beliau, bahwa apa yang dimakan Nabi Daud adalah dari hasil jerih
payahnya sendiri dengan bekerja yang menghasilkan sesuatu, sehingga ia dapat
memperoleh uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Di antaranya sebagaimana
dikisahkan dalam Al Qur`an, bahwa Allah menjinakkan besi buat Nabi Daud,
sehingga ia bisa membuat bermacam pakaian besi.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا
دَاوُودَ مِنَّا فَضْلاً يَاجِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ
الْحَدِيدَ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada
Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung,
bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi
untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya;
dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu
kerjakan”. [Saba` : 10-11].
Alah Ta’ala
mengabarkan tentang kenikmatan yang diberikanNya kepada hamba dan RasulNya,
Daud -semoga shalawat dan salam untuknya- diberikanNya keutamaan yang nyata, dihimpunkan
kepadanya kenabian dan kerajaan yang kokoh, tentara berjumlah besar dengan
peralatan yang lengkap, serta diberikanNya dan dianugerahkanNya suara yang
indah; sehingga jika dia bertashbih, maka bertashbihlah bersamanya
gunung-gunung yang kokoh, berhentilah burung-burung yang beterbangan untuk
mendengarkan dan turut serta bertashbih dengan berbagai ragam bahasa. [Tafsir
Ibnu Katsir III/578-579, Cet. Darus Salam]
2. Di dalam hadits
ini, seorang muslim dianjurkan untuk bekerja dan berusaha.
3. Mencari nafkah
tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu syar’i.
4. Mencari nafkah
tidak menghalangi seorang da’i untuk menyampaikan dakwahnya.
5-عَنْ اَبِى هُرَيْرَة وَ عَنْ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: كَانَ زَكَرِيَّا عَلَيْهِ السَّلامُ نَجَّارًا.
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Nabi Zakaria Alaihissalam adalah seorang tukang kayu”. [HR Muslim,
no. 2379; Ahmad II/296, 405, 485].
6-َ عَنِ المِقْدَامِ بنِ مَعْدِيكَرِبَِ عَنْ النَّبِيِّ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ:مَا اَكَلَ اَحَدٌطَعَامًا قَطُّ خَيْرًا
مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِْهِ, وَاِنَّ نَبِيَّّ اللهِ دَاوُدُ عَلَيْهِ
السَّلامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِْهِ.
Dari Miqdam bin
Ma’dikariba Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, ia
berkata: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil
usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil usahanya
sendiri”. [HR Bukhari, no. 2072]
Pelajaran dari hadits
:
1. Bekerja atau
berusaha jenis apapun asal jalan yang ditempuh halal, adalah baik dan
terhormat.
2. Hidup dengan
menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela.
3. Malas merupakan
sifat yang tercela.
4. Makan dari hasil
jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat.
5. Para nabi dan
rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia, sebagaimana Allah sebutkan
dalam ayat-ayat Al Qur`an.
Allah berfirman:
قُلْ
مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ {86}
إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ
Katakanlah (hai
Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan
bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur`an ini tidak lain
hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui
(kebenaran) berita Al Qur`an setelah beberapa waktu lagi”. [Shad : 86-88]
Allah Subhanhu wa
Ta’ala berfirman: Katakanlah hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu “Aku
tidak meminta upah kepada kalian (yang kalian berikan) berupa harta benda dunia
atas penyampaian risalah dan nasihat ini”.
وَمَآأَنَا مِنَ
الْمُتَكَلِّفِينَ
(Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan). Artinya, aku tidak menghendaki dan menginginkan kelebihan atas
risalah yang disampaikan oleh Allah Ta’ala kepadaku, bahkan aku tunaikan apa
yang diperintahkanNya kepadaku, aku tidak menambah dan mengurangi, aku hanya
mengharap wajah Allah l dan negeri akhirat.
Sufyan Ats Tsauri berkata dari Al A’masy dan Manshur,
dari Abudh Dhuha, bahwa Masruq bekata: Kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud z .
Lalu dia berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa mengetahui sesuatu, maka
hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahuinya, maka
katakanlah Allahu a’lam (Allah lebih mengetahui). Karena sesungguhnya termasuk
bagian dari sebuah ilmu, bahwa seseorang mengatakan ‘Allahu a’lam (Allah lebih
mengetahui)’ apa yang diketahuinya”. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman kepada nabi kalian
قُلْ
مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
(Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah
sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan)”. [HR Al Bukhari, no. 4809, Tafsir Ibnu Katsir IV/ 47].
Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
7- مَنْ أَخَذَ عَلىَ تَعْلِيْمِ القُرْانِ قَوْسًا. قَلَّدَهُ اللهُ قَوْسًا
مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai
upah dari mengajarkan Al Qur`an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya
busur dari api neraka pada hari Kiamat”. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dalam Sunan-nya
(VI/126) dari jalur Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Abdurrahman bin Yahya bin
Isma’il bin Ubaidillah, dari Al Walid bin Muslim, dari Sa’id bin Abdul ‘Aziz,
dari Ismail bin Ubaidillah, dari Ummu Darda’ Radhiyallahu ‘anha] [1]
Diriwayatkan dari
‘Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mengajarkan Al
Qur`an dan menulis kepada ahli Shuffah. Lalu salah seoarang dari mereka
menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Kata hatiku, busur ini bukanlah harta, toh
dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah. Aku akan mendatangi Rasulullah
dan menanyakan kepada Beliau. Lalu aku pun menemui Beliau dan berkata: “Wahai
Rasulullah, seorang lelaki yang telah kuajari menulis dan membaca Al Qur`an
telah menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Busur itu bukanlah harta berharga
dan dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah”. Rasulullah bersabda:
8- إِِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ
نَارٍ فَاقْبَلْهَا.
“Jika engkau suka dikalungkan dengan kalung
dari api neraka, maka terimalah! ” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud,
Bab Abwabul Ijarah Fi Kasbil Muallim (3416); Ibnu Majah (2157); Ahmad (V/315
dan 324); Al Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125) dan selainnya dari dua
jalur].
Diriwayatkan dari
Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia melihat seorang qari sedang
membaca Al Qur`an lalu meminta upah. Beliau mengucapkan kalimat istirja’
(إَنَّ لِلَّهِ وَ إِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ), kemudian
berkata: Rasulullah bersabda:
9-مَنْ قَرَأَ الْقُرْانَ فَالْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ,
فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْانَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ.
“Barangsiapa membaca
Al Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan
datang beberapa kaum yang membaca Al Qur`an , lalu meminta upahnya kepada
manusia”. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2917); Ahmad
(IV/432-433,436 dan 439); Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1183), dari jalur
Khaitsamah, dari Al Hasan, dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu].
Diriwayatkan dari Abu
Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
10-تَعَلَّمُوْا الْقُرْانَ, وَاسْأَلُوا اللهَ بِهِ
الْجَنَّةَ قَبْلَ أَنْ يَتَعَلَّمَهُ قَوْمٌ يَسْأَلُونَ يِهِ الدُّنْيَا,
فَإِنَّ الْقُرْانَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاَثةٌ: رَجَلٌ يُبَاهِيْ بِهِ, وَرَجُلٌ
يَسْتَأْكِلُ بِهِ, وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ للهِ.
“Pelajarilah Al Qur`an,
dan mintalah surga kepada Allah sebagai balasannya. Sebelum datang satu kaum
yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya
ada tiga jenis orang yang mempelajari Al Qur`an. Orang yang mempelajarinya
untuk membangga-banggakan diri dengannya, orang yang mempelajarinya untuk
mencari makan, orang yang mempelajarinya karena Allah semata”. [Hadits hasan,
diriwayatkan oleh Ahmad (III/38-39); Al Baghawi (1182); Al Hakim (IV/547) dan
selainnya dari dua jalur. Hadits ini hasan, Insya Allah. Lihat Silsilah Ahadits
Ash Shahihah, no. 258].
Diriwayatkan dari
Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar menemui kami. Saat itu kami sedang membaca Al Qur`an.
Di antara kami terdapat orang-orang Arab dan orang-orang ‘Ajam (non Arab).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
11- اِقْرَؤُوْا فَكُلٌّ حَسَنٌ, وَسَيَجِيءُ أَقْوَامٌ
يُقِيمُونَهُ كَمَا تُقَامُ القِدْحُ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُونَهُ.
“Bacalah Al Qur`an.
Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa kaum yang menegakkan
Al Qur`an seperti menegakkan anak panah. Mereka hanya mengejar materi dunia
dengannya dan tidak mengharapkan pahala akhirat”. [Hadits shahih, diriwayatkan
oleh Abu Dawud (830) dan Ahmad (III/357dan 397) dari jalur Muhammad bin Al
Munkadir dari Jabir. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, III/418 no.
783][2]
Diriwayatkan dari
‘Abdurrahman bin Syibl Al Anshari Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Mu’awiyah
berkata kepadanya: “Jika engkau datang ke kemahku, maka sampaikanlah hadits
yang telah engkau dengar dari Rasulullah!” Kemudian ia berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
12- اِقْرَؤُوْا الْقُرْانَ,وَلاَ تَأْكُلُوا بِهِ, وَلاَ
تَسْتَكْثِرُوا يِهِ, وَلاَ تَجْفُوا عَنْهُ, وَلاتَغْلُوا فِيهِ.
“Bacalah Al Qur`an,
janganlah engkau mencari makan darinya, janganlah engkau memperbanyak harta
dengannya, janganlah engkau anggap remeh dan jangan pula terlalu berlebihan”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar (4322) dan
Ma’anil Atsar (III/18); Ahmad (III/428 dan 444) dan Thabrani dalam Mu’jamul
Ausath (III/273 no. 2595) dari jalur Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam,
dari Abu Sallam, dari Abu Rasyid Al Habrani, dari Abdurrahman bin Syibl Al
Anshari. Sanad tersebut shahih dan perawinya tsiqah].
Syaikh Salim bin ‘Id
Al Hilali menjelaskan :
a. Hadits-hadits di
atas menunjukkan haramnya mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an, dan haram
mencari makan darinya.
Akan tetapi jumhur
ahli ilmu membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an. Mereka
berdalil dengan hadits pemimpin suku yang tersengat binatang berbisa lalu
diruqyah oleh sebagian sahabat dengan membacakan surat Al Fatihah kepadanya.
Kisah ini diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain dari
‘Abdullah bin’ Abbas radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
اِنَّ اَحَقَّ مَا
أَخَذْتُم عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
Sesungguhnya perkara
yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.
b. Mereka menjawab
hadits-hadits yang disebutkan di atas sebagai berikut:
– Mengambil upah
diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri.
– Hadits-hadits di
atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
– Larangan tersebut
telah dimansukhkan (dihapus) hukumnya.
c. Setelah diteliti
lebih dalam, maka jelaslah bahwa jawaban-jawaban di atas sama-sekali tidak
memiliki dasar. Berikut ini rinciannya :
– Klaim, bahwa
mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri,
ditolak oleh hadits ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits itu,
hal tersebut tidak disinggung, namun Rasulullah tetap melarangnya.
– Klaim, bahwa
hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan
sebagai dalil, tidaklah mutlak benar. Namun ada yang shahih, hasan dan ada yang
dha’if, namun dha’ifnya bisa terangkat ke derajat shahih karena ada
riwayat-riwayat yang menguatkannya. Dengan demikian bisa dijadikan sebagai
dalil.
– Klaim, bahwa hukum
di atas telah dimansukh (dihapus), maka hal ini tidak boleh ditetapkan hanya
dengan berdasarkan praduga belaka. Dan alternatif penghapusan hukum tidak boleh
diambil, kecuali bila hadits-hadits tersebut tidak mungkin digabungkan dan
memang benar-benar bertentangan.
Siapapun yang
memperhatikan hadits-hadits tersebut, tentu dapat melihat bahwa:
–Haram hukumnya
mengambil upah dari mengajarkan Al Qur`an.
–Haram hukumnya
mencari makan dan memperoleh harta dari Al Qur`an.
Adapun dalil-dalil
yang membolehkan hal tersebut menunjukkan bolehnya mengambil upah dari ruqyah.
Jadi jelaslah, bahwa kedua masalah di atas berbeda.
Kesimpulannya,
hadits-hadits di atas jelas menunjukkan larangan mengambil upah dari
mengajarkan Al Qur`an dan memperoleh harta darinya. Wallahu a’lam.
[Lihat Mausu’ah Al
Manahiy Asy Syar’iyyah Fi Shahihis Sunnah An Nabawiyyah, oleh Syaikh Salim bin
‘Id Al Hilali, hlm..212-216, Cet. I, Dar Ibnu Affan, Th. 1420, Kairo dan
Silsilah Ahadits Ash Shahihah, Juz 1, no. 256-260]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) pernah ditanya : “Apakah boleh
seorang yang mengajarkan ilmu syar’i dan Al Qur`an mengambil upah dari
pengajarannya itu?” Beliau menjawab: “Segala puji bagi Allah. Mengajarkan ilmu
dan Al Qur`an tanpa upah, adalah seutama-utama amal dan paling dicintai oleh
Allah. Hal ini sudah diketahui dari agama Islam dan bukanlah suatu hal yang
tersembunyi bagi orang yang hidup di negara Islam; para sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in, dan selain mereka dari kalangan ulama yang masyhur yang
berkata tentang Al Qur`an, hadits, dan fiqh. Mereka mengajarkan ilmu ini tanpa
upah. Belum ada di antara mereka yang mengajarkan ilmu dengan upah.
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham; akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang
mengambilnya, maka dia telah beruntung. Para nabi -shalawatullah alaihim-
mereka mengajarkan ilmu tanpa upah. Sebagaimana perkataan Nuh Alaihissalam,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat Asy Syu’ara ayat 109, yang
artinya: Aku tidak meminta dari kalian upah. Sesungguhnya ganjaranku ada di
sisi Rabb semesta alam.
Demikian pula yang
dikatakan oleh Nabi Hud, Syu’aib, Shalih, Luth[3] dan yang lainnya. Begitu juga
yang dikatakan penutup para rasul,”Katakanlah: Aku tidak meminta upah dari
kalian atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan”.[4] Rasulullah juga berkata,”Katakanlah: Aku tidak meminta upah
dari kalian atas dakwahku, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang
mau mengambil jalan tuhannya”. (Al Furqan : 57). Lihat Majmu’ Fatawa
(XXX/204-205).
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan surat Yasin ayat 20-21:
وَجَآءَ مِنْ
أَقْصَا الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَاقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ
اتَّبِعُوا مَن لاَّيَسْئَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Dan datanglah dari
ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas ia berkata:
“Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada minta
balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Beliau berkata,
diantara pelajaran yang terkandung dari ayat ini ialah, seorang da’i yang
mengajak manusia ke jalan Allah, hendaknya dia menjauhkan diri mengambil harta
dari tangan manusia meskipun mereka memberikan. Karena yang demikian itu akan
mengurangi kedudukannya apabila dia menerima sebab orang yang memberikan itu
karena dakwah dan nasehatnya. Karena sesungguhnya para rasul -alahimus shalatu
wassalam- mereka tidak meminta upah dari manusia, baik dengan perkataannya
maupun keadaannya; karena itu kita mengetahui jeleknya sebagian orang yang
mereka menasihati manusia apabila setelah selesai ia berkata “Sesungguhnya saya
punya kebutuhan, keluarga, dan yang sepertinya”. Sehingga tujuan dari memberi
nasihat itu untuk dunia.
Kemudian Syaikh
Utsaimin juga menjelaskan, jika mengajar, yang dia (seseorang itu) membutuhkan
waktu, tenaga, fikiran, kelelahan, maka tidak apa-apa dia mengambil upah dengan
dasar hadits Nabi:
إِنَّ اَحَقَّ مَا
أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
Sesungguhnya perkara
yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah. )Hadits shahih
riwayat Bukhari, 5737 dari sahabat Ibnu Abbas).
Menerima atau
mengambil upah karena mengajar Al Qur`an atau da’wah, merupakan masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama berpendapat boleh menerima upah
atau mengambil upah karena mengajarkan Al Qur`an atau da’wah.
Sebagian Ulama yang
lain berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat seperti ini, yaitu: Imam Az
Zuhri, Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih. Yang berpendapat boleh, mereka
mengambil dalil hadits di atas yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Ibnu
Abbas, juga beberapa hadits yang lain, seperti Nabi menikahkan seorang sahabat
dengan hafalan Qur’annya, dan ini haditsnya shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’ad.
Pendapat yang rajih
(kuat) dari dua pendapat ulama ini, yaitu tentang bolehnya mengambil upah dari
mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah. Tetapi yang perlu diingat, bahwa setiap
orang yang menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al Qur`an ataupun berda’wah,
maka dia harus melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharapkan
ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ; tidak boleh mengharapkan sesuatu dari
manusia baik berbentuk harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
14- مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ
اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ
يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa menuntut
ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah Azza wa Jalla,
namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia
tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat”. [Hadits shahih
riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari
sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh
Imam Adz Dzahabi].
Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu ‘anh berkata: “Jikalau seorang yang berilmu mengamalkan ilmunya
dan mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan kemuliaan di antara orang-orang
sezamannya. Akan tetapi mereka menyampaikan ilmu kepada pecinta dunia untuk
mengharapkan harta mereka, maka mereka menjadi hina”. [Diriwayatkan oleh Ibnu
Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadlih. Lihat Shahih Jami’ Bayanil Ilmi
wa Fadlih, no.746, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah]
Ibnu Jama’ah berkata:
“Hendaknya seorang yang berilmu membersihkan ilmunya dari menjadikannya sebagai
jalan untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi, baik untuk mencari kehormatan,
harta, ketenaran, atau merasa lebih hebat dari teman-temannya…” [Tadzkiratus
Sami’ Wal Mutakallim Fi Adabil ‘Alim Wal Muta’alim, hlm. 48 oleh Ibnu Jama’ah
Al Kinani, wafat th. 733 H, Muhaqqaq]
Kalau seorang da’i
tidak mempunyai mata pencaharian yang memadai, dan dia waktunya habis untuk
mengajar dan berdakwah, maka dibolehkan menerima upah. Dan kepada Ulil Amri
(penguasa atau pemerintah), selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena
dia mengajar kaum muslimin, sebagaimana dijelaskan oleh Al Khatib Al Baghdadi
dalam kitab Al Faqih Wal Mutafaqqih (II/347), tahqiq ‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi.
Demikianlah sebagian
yang dapat saya tulis tentang masalah ini, yang berkaitan dengan mengambil upah
dari mengajarkan Al Qur’an dan berda’wah. Wallahu a’lam bish shawab.
Kesimpulan yang bisa
diambil dari masalah ini ialah:
1. Seorang da’i
dianjurkan untuk mencari nafkah yang halal.
2. Hidup dengan
menggantungkan diri kepada orang lain adalah tercela dan hina.
3. Malas merupakan
sifat yang tercela; dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berlindung kepada Allah dari sifat malas.
4. Islam melarang
meminta-minta atau mengemis untuk kepentingan pribadi.
5. Makan dari hasil
jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat.
6. Mencari nafkah
tidak menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu syar’i.
7. Mencari nafkah
tidak menghalangi seorang da’i untuk menyampaikan dakwahnya.
8. Para nabi dan
rasul, mereka semua tidak meminta upah dari manusia sebagaimana Allah sebutkan
dalam ayat-ayat Al Qur`an.
9. Menurut jumhur
ulama, menerima upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah adalah
diperbolehkan, namun menjadikannya sebagai tujuan untuk mendapatkan ma’isyah
(mata pencaharian) adalah terlarang.
10. Selayaknya bagi
Ulil Amri atau orang yang kaya menjamin kebutuhannya sehari-hari, sehingga dia
dapat memaksimalkan waktu dan tenaganya untuk mengajar Al Qur`an dan berda’wah.
11. Kalau tidak ada
yang menjamin dari Ulil Amri maupun orang yang kaya, maka seorang da’i harus
dapat membagi waktunya untuk mencari nafkah dan berdakwah. Tidak boleh dia
bergantung kepada mad’u (muridnya).
12. Seseorang,
sekali-kali tidak boleh berharap kepada manusia. Bahkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hendaknya kalian berputus asa kepada apa yang
ada di tangan manusia, niscaya engkau akan menjadi orang yang kaya”. (Lihat
Silsilah Ahaadits Ash Shahihah, no. 401, 1914, hadits hasan).
13. Mengajar Al
Qur’an dan berda’wah adalah amalan yang paling baik dan ganjarannya sangat
besar. Oleh karena itu, keutamaan yang sangat besar ini janganlah dihapuskan
dengan tujuan-tujuan duniawi yang fana dan remeh.
14. Setiap muslim,
apalagi seorang da’i, haruslah mengharap hanya kepada Allah saja dan mengadukan
kesulitan kepadaNya, insya Allah diberikan jalan keluar yang terbaik.
Maraji’:
–Tafsir Ibnu Katsir.
–Kutubus Sittah.
–Musnad Imam Ahmad.
–Riyadush Shalihin,
oleh Imam An Nawawi.
–Bahjatun Nazhirin Syarah
Riyadush Shalihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
– Syarah Riyadush
Shalihin, tahqiq Dr. Al Husaini Abdul Majid Hasyim.
– Mausu’ah Al Manahiy
Asy Syar’iyyah Fi Shahihis Sunnah An Nabawiyyah, ta’lif Syaikh Salim bin ‘Id Al
Hilali.
–Silsilah Ahadits
Ash Shahihah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
–‘Aunul Ma’bud
Syarah Sunan Abi Dawud, oleh Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azim Abadi.
– Shahih Jami’
Bayanil Ilmi Wa Fadlih Lil Hafizh Ibnu Abdil Barr, oleh Abul Asybal Az Zuhairi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun
XI/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Kemudian Al
Baihaqi meriwayatkan dari Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Duhaim, ia (Al
Baihaqi) berkata: “Hadits Abu Darda’, dari Rasulullah yang berbunyi
‘Barangsiapa yang mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al
Qur`an’ tidak ada asalnya”.
Namun perkataan Al
Baihaqi itu dibantah oleh Ibnu At Turkimani sebagai berikut: “Imam Al Baihaqi
telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih. Saya kurang mengerti, mengapa
ia mendhaifkannya dan mengatakan tidak ada asalnya!?”
Al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ad Darimi dengan sanad yang sesuai syarat
Muslim, akan tetapi gurunya, yakni Abdurrahman bin Yahya bin Ismail, tidak
dipakai oleh Imam Muslim. Abu Hatim telah berkomentar tentangnya ’Tidak ada
masalah dengannya’.”
Dalam sanadnya
terdapat dua cacat. Pertama, Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz rusak hafalannya di akhir
usianya. Saya belum dapat memastikan, apakah ia mendengar hadits ini setelah
hafalannya rusak atau sebelumnya. Kedua , Al Walid bin Muslim adalah seorang
mudallis tadlis taswiyah (bentuk tadlis yang paling buruk). Dia belum menyatakan
penyimakannya dalam seluruh tingkatan sanad tersebut. Akan tetapi hadits
berikut dapat menguatkannya. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 256 dan
Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyyah, I/212.
[2]. Ada penguat dari
hadits Sahl bin Sa’ad z yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (831), Ahmad
(III/146,155 dan V/338), Ibnu Hibban (760), Ibnu Mubarak dalam Az Zuhd (8130),
Ath Thabrani dalam Al Kabir (6021, 6022, dan 6024) dan lainnya dari dua jalur.
Kedua jalur tersebut memiliki cacat. Akan tetapi keduanya saling menguatkan
satu sama lain. Lihat Mausu’ah Al Manahiy Asy Syar’iyyah, 1/215.
[3]. Asy Syu’ara ayat
109,127,145,164,180.
[4]. Shad ayat 86.
Upah dalam Berdakwah
Menyimak firman Allah dalam
Qs. Albayyinah : 5, yang terjemahnya :
“Dan tidaklah aku diperintah kecuali
untuk selalu/selama-lamanya (didunia) mengabdi kepada Allah secara ikhlas dan
hanif, dan menegakkan sholat menunaikan zakat dan demikianlah itu addien yang
lurus”.
Mustahil suatu amal ibadah
seorang hamba Allah diterimaNya apabila tidak menepati dua syarat pokok
pengabdian, yaitu ikhlas (tulus niat) karena Allah danhanif
/ hunafa’ (tunduk patuh) kepada koridor perintah, larangan, dan
petunjuk dari Allah. Sebagaimana yang telah ditetapkanNya dalam Qs. Albayyinah
: 5, diatas.
Dakwah kepada pengamalan Islam
adalah suatu bentuk ibadah/pengabdian yang merupakan tugas khusus dari al
Khaliq kepada segolongan ummat (‘ulama, da’i) dengan syarat mereka harus
ittiba’ Rasulullah dan mengamalkan atau mencontohkan terlebih dahulu terhadap
apa yang akan ia serukan kepada ummat manusia. Sebagaimana yang telah
dijelaskanNya dalam Qs. Ali Imran : 104 :
“Dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan ummat yang bertugas mengajak kepada kebaikan, dan
menteladankan dengan perbuatan ma’ruf dan mencegah dari hal-hal munkar, dan
mereka itulah golongan orang yang mendapatkan kemenangan”.
Jika tujuan akhir aktivitas
ibadah kita adalah hanya semata-mata mengharapkan wajah/ridho dari Allah maka,
niat yang ikhlas dalam hati dan wujud amaliah yang hanif, yakni
mencontoh kepada RasulNya adalah syarat mutlaq.
“Katakanlah jika
kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Rasulallah Muhammad SAW). Pasti Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosa kamu, dan sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang” (Qs. Ali Imran : 31).
Bolehkah
Menerima Upah Setelah Berdakwah ?
Menyimak keterangan Allah
dalam beberapa ayat Alqur-an, antara lain :
“Dan kewajiban kami tidak
lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) secara terang-terangan” (Qs. Yasin : 17).
“Ikutilah orang-orang yang
tiada meminta balasan (upah) kepadamu ; dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk” (Qs. Yasin : 21).
“Sesungguhnya Allah
telah membeli dari orang-orang beriman atas (potensi) diri dan harta mereka
dengan (bayaran) al jannah (syurga). Mereka itu melaksanakan qital (wujud
rumusan menejemen Islam) di jalan Allah, maka mereka unggul atau diungguli.
(Qs. Attaubah :111).
Penjelasan:
Rasulullah dan tentu para
pemegang amanah para Rasul yang sejati, yaitu qoum Ulama dan para Du’at, da’i
dalam berdakwah memiliki beberapa prinsip pokok :
1.
Dakwah kepada jalan Allah disadarinya sebagai perintah suci dariNya yang wajib
disampaikan dan haram disembunyikan hanya karena perasaan takut menyinggung
hati orang yang mendengar. Segala muatan dakwah : perintah, larangan, dan
petunjuk disampaikannya secara terus terang, blak-blakan tanpa takut dibenci
orang membenci, dicaci, bahkan terhadap rencana jahat qoum kafir untuk
memenjarakan, membunuh, atau mengusirnya (persona non grata) (Qs. Al
anfal :26). Karena mereka yaqin akan kekuasaan Allah, dan mereka tiada ingin
mengemis cinta kepada manusia dan tiada pula mengharap dibenci oleh manusia.
Akhir kehidupan yang baik hanya bagi orang-orang yang bertaqwa.
2. Berdakwah
dan berjihad di jalan Allah hakikatnya adalah bentuk transaksi hamba
kepada al Khaliq. Allah yang akan memberi upah berupa jannah dan
ampunanNya, dan tiada haq sedikitpun dari manusia untuk memberi atau menerima
upah atas kerja dakwah dan jihad tersebut. Meskipun dengan alasan kemanusiaan,
karena orang yang beriman berprinsip : hati, daya fikir (logika) dan perasaan
wajib tunduk kepada aturan dari Allah, bukan tunduk kepada nafsu.
3.
Wajib bagi kita untuk mengikuti dan membela para pemegang amanah para
Rasulullah tersebut yaitu Ulama shohih dan para da’i, siapapun dan darimanapun
hamba Allah tersebut diunculkan Allah. Secara mukhalafah,
pengertian sebaliknya adalah haram mengikuti para ulama su’ dan da’i / penyeru
palsu yang mengkhianati amanah Allah dan rasulNya.
4. Sebuah
hadits shahih menjelaskan larangan Rasullah Muhammad SAW kepada seorang sahabat
tentang hukum menerima dirham/upah atas dakwah kepada jalan Allah. Dikisahkan
dalam hadits tersebut, seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW,
bahwa ia dijamu dengan beragam hidangan oleh qoum yang mendengar dakwahnya.
Terhadap hal ini Rasulullah SAW hanya tersenyum (tidak melarang) dan hanya
mengomentari: “Kamu Senang” , maka jawab sahabat tersebut “Iya ya Rasulullah”.
Namun ketika sahabat bertanya tentang bolehkan ia menerima bingkisan
dirham/uang/amplop/materi setelah berdakwah maka Rasul melarangnya dengan
jawaban : “Ambilah jika kamu ingin dijebloskan ke dalam neraka”.
Jelas bahwa apabila ada orang
yang disebut ulama, kyai, atau da’i namun dengan rela, senang hati atau
membiarkan diri dipaksa jamaahnya untuk menerima upah dengan alasan apapun
berarti tidaklah layak mereka untuk didengar, diikuti, atau dibela, karena
mereka inilah para pengkhianat terhadap amanah. Ulama yang seharusnya mengayomi
dan memprogram ummat, malah justru mereka minta diayomi dan diprogram oleh
ummat. Mereka lebih takut kepada celaan dan ancaman manusia, dan tunduk kepada
nafsu daripada takut kepada azab neraka yang telah disediakan Allah bagi para
pengingkar. Naudzubillah.Karena ulama’ adalah kedudukan khusus yang
diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan, bukan julukan yang diberikan
manusia.
Mawaddah
fil Qurba adalah Solusinya
Mawaddah fil Qurba (kasih sayang dalam kekeluargaan) adalah suatu pola ukhuwah
Islamiyah yang dijelaskan Allah dalam Alqur-an :
“…katakanlah tidaklah aku aku
meminta atas kamu atas seruan (dakwahku) ini suatu upah, kecuali mawaddah fil
qurba…” (Qs.Assyura, 42 : 23).
Sikap ukhuwah dalam bentuk
kasih sayang kekeluargaan adalah wujud nyata dari iman yang benar dari setiap
muslim. Sebagaimana dalam hadits : “Tiadalah sempurna iman seseorang sebelum ia
mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”.
Ulama yang benar tiada
mengharap balasan manusia atas dakwahnya, namun tiadalah larangan bagi kita
untuk menjalin kasih sayang kepada mereka dalam bentuk perhatian dan ta’awun (saling
memberi dalam kebaikan). Memberikan perhatian terhadap keseharian sesama
muslim-termasuk kepada ulama’ dengan melihat kondisi mereka, bersilaturahim,
dan merasakan suka duka mereka dalam berjuang, serta saling memberi adalah
dibenarkan apabila tiada dikaitkan dengan upah mereka dalam berdakwah, namun
semata-mata atas dasar kasih sayang yang terikat dalam rasa kekeluargaan
muslim.
“(Shodaqoh itu) untuk
orang-orang fakir (sangat miskin ; ulama’) yang terikat di jalan Allah
(seperti menuntut ilmu) dan tiada kuasa (mereka) berjalan mencari penghidupan
di muka bumi. Menurut dugaan orang yang tiada mengetahui, mereka (ulama’) itu
orang kaya, karena menjaga diri mereka dari meminta-minta. Engkau kenal mereka
dari ciri-cirinya, mereka tiada meminta kepada manusia dengan menyatakan, dan
apa-apa yang kamu nafkahkan dari harta yang baik-baik, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui” (Qs. alBaqoroh : 273).
Ulama’ yang shohih memelihara
diri mereka dari sifat mengeluh terhadap persoaalan duniawiyah, dari sikap
meminta-minta belas kasih manusia. Mereka shabar dan istiqomah menjalani
berbagai cobaan kesenangan atau kesempitan hidup. Maka dari itu, ulama’ dan
ummat harus menyatu dalam gerakannya dan saling menyokong, sehingga muncul
rasa mawaddah fil qurba. Inilah sikap yang dibenarkan dalam
Islam. Jangan sampai ulama dan da’I disamakan dengan artis / selebritis yang
jika sekali mentas dibayar sekian rupiah, kemudian dibiarkan begitu saja. Ulama
(orang berilmu) jangan sampai pula menjadi umala’ (penjilat)
dan dai (penyeru) jangan sampai menjadi do’i (idola/penghibur) untuk
bersenang-senang saja, sebab kalau sampai terjadi demikian, maka selamanya
kondisi ummat dan negeri tidak akan pernah mencapai keadilan, kesejahteraan, baldhatun
toyyibathun walqhofun qhofur. Wallahu’alam.
Sumber. ust Bardan
kindarto (yayasan akuis palembang)
Upah Mengajar al-Quran
Assalamu’alaikum wr. wb.
Semoga Ustadz senantiasa dirahmati Allah SWT.
Amin. Ustadz maaf ana mau bertanya soal memungut/menerima upah/bayaran (berupa
uang) dari mengajar al qur’an secara privat atau di sekolah/yayasan,
Apakah dibolehkan
menurut Syar’i kita mengajar Al qur’an terus minta bayaran, atau diawalnya kita
sudah menentukan harga paket pengajaran al qur’an sekian ratus ribu atau
mungkin jutaan sampai bisa/mahir membaca al qur’an.
Kalau ada orang
yang mengundang kita untuk membacakan do’a untuk orang yang meninggal dan
sebelum do’a dibacakan al qur’an, kemudian setelah do’a yang mengundang
tersebut memberi sedikit uang untuk sekedar transpot kita, apakah uang tersebut
boleh kita terima ?
Mohon jawabannya, karena ini penting sekali
pak ustadz, Terima kasih.
Wa.alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Endang yang dimuliakan Allah swt
Bayaran dari Mengajarkan Al Qur’an
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya upah yang paling
benar kalian terima adalah Kitabullah.” (HR. Bukhori)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa jumhur
ulama telah berdalil dengan hadits ini didalam membolehkan mengambil bayaran
dari mengajarkan Al Qur’an.
Imam ash Shon’ani mengatakan bahwa Jumhur
ulama, Malik dan Syafi’i membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al Qur’an
baik orang yang belajarnya adalah anak kecil atau orang dewasa seandainya hal
itu dapat membantu si pengajar didalam penagajarannya berdasarkan hadits
diatas. Hal ini diperkuat lagi dengan apa yang disebutkan didalam bab nikah
dimana Rasulullah saw pernah memerintahkan seseorang untuk mengajarkan istrinya
Al Qur’an sebagai mahar baginya. (Subul as Salam juz III hal 155)
Sementara
itu sebagian ulama yang lainnya, seperti Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan al
Hadawiyah tidak membolehkn pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an
berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab berkata,”Aku telah
mengajarkan seseorang Al Qur’an kemudian dia menghadiahiku sebuah busur
(panah). Maka aku pun mengungkapkan hal ini kepada Nabi saw dan beliau
bersabda.”Apabila engkau mengambilnya berarti engkau telah mengambil sebuah
busur dari neraka.” Lalu aku pun mengembalikannya.” (HR. Ibnu Majah, Abu daud)
Sementara
itu para ulama belakangan pada umumnya membolehkan pengambilan upah dari
mengajarkan Al Qur’an dikarenakan darurat yaitu kekhawatiran akan hilangnya Al
Qur’an di tengah-tengah kaum muslimin terlebih lagi dengan terputusnya
pemberian kaum muslimin kepada baitul mal sebagai lembaga penopang perekonomian
umat yang mengakibatkan para guru Al Qur’an tidak lagi menyibukkan dirinya
dengan mengajarkan Al Qur’an kepada umat karena tuntutan kebutuhan keluarga
mereka.
Adapun apabila terjadi penentun sejumlah harga
tertentu diawal (akad) sebagai bayaran atas pengajaran Al Qur’an yang
dilakukannya maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Al Hasan al Bashri, Asy Sya’bi dan Ibnu Sirin
membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an selama orang itu tidak
mensyaratkannya. Mereka berdalil dengan hadits Ubadah bin ash Shomit yang telah
mengajarkan Al Qur’an kepada seseorang dari Ahli Suffah kemudian orang itu
menghadiahinya dengan sebuah busur (panah) maka Nabi saw bersabda,”Jika engkau
menyukai busur dari neraka maka terimalah.”
Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan yang lainnya
membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al Qur’an meskipun orang itu
menentukannya sebagai persyaratan.
Imam Nawawi mengemukakan dua jawaban yang
diberikan oleh mereka yang membolehkan hal itu terhadap hadits Ubadah bin ash
Shomit, yaitu :
Bahwa sanad hadits
itu perlu dikomentari.
Hal itu adalah
tabarru’ (sedekah) dari orang yang mengajarkannya Al Qur’an maka ia tidaklah
memiliki hak sedikit pun kemudian orang itu memberikannya hadiah sebagai
bayaran atasnya maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk mengambilnya, berbeda
dengan orang yang berakad sewa dengannya sebelum pengajaran. (at Tibyan Fii
Adab Hamlatil Qur’an hal 57)
Jika memang seorang pengajar atau lembaga
pengajaran Al Qur’an harus menentukan sejumlah harga tertentu sebagai
bayarannya maka hendaklah memperhatikan dua hal berikut :
Tetap menjaga
keikhlasan didalam dirinya dan tidak menjadikan bayaran tersebut sebagai
tujuannya dikarenakan hal itu akan menjadikan pengajarannya menjadi sia-sia
disisi Allah swt.
Syeikh Muhammad
Mukhtar as Syinqithi dalam menjawab pertanyaan tentang hukum mengambil upah
dalam mengajarkan ilmu-ilmu syar’iyah mengatakan,”…Imam Ibnu Jarir ath Thobari,
Al Hafizh Ibnu Hajar dan selainnya berpendapat bahwa orang yang dengan ilmunya
bertujuan akherat kemudian mendapatkan bayaran dari ilmunya disebabkan
ketidakmapanan dalam mendapatkan rezeki maka hal ini tidaklah merusak
keikhlasannya selama tujuannya adalah mengajarkan ilmu dan memberikan manfaat kepada
kaum muslimin. Maka tidaklah rusak keikhlasan seseorang dengan keberadaan
bagian dari dunia, sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan yang shahih dari Al
Qur’an dan Sunnah.” (www.islamweb.net)
Jangan sampai
tujuan pengajaran Al Qur’an yaitu memberantas buta huruf Al Qur’an
ditengah-tengah umat menjadi tidak tercapai dikarenakan ketidaksanggupan umat
membayar harga yang ditawarkannya.
Bayaran dari Pembacaan Doa dan Al Qur’an bagi Orang yang Sudah
Meninggal
Seperti halnya mengajarkan Al Qur’an, menjadi
imam dalam shalat maka membacakan doa didalam suatu acara adalah termasuk
didalam amal-amal kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah swt maka
dibolehkan baginya menerima upah yang diberikan oleh orang yang mengundangnya
selama hal itu tidak menjadi tujuannya didalam melakukan amal tersebut.
Namun apabila orang itu sudah meniatkannya
sejak awal untuk mendapatkan upah dari orang yang mengundangnya maka hal itu
dapat menghapuskan pahalanya di sisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah
saw, ”Sesungguhnya amal perbuatan tergantung dari niat dan bagi setiap orang
hanyalah apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhori Muslim)
Dan doa yang dipanjatkannya itu tidaklah
sampai kepada si mayat dikarenakan kebaikannya itu telah dibayar di dunia
dengan upah tersebut.
Adapun apabila seseorang diundang hanya untuk
membacakan al Qur’an bagi orang yang sudah meninggal maka tidak diperbolehkan
baginya menerima bayaran dari pembacaannya itu berdasarkan apa yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdur Rahman bin Syibl berkata; saya telah mendengar
Rasulullah saw bersabda: "Bacalah Al Qur’an, janganlah berlebihan di
dalamnya, jangan terlalu kaku, janganlah makan dari bacaannya dan jangan pula
memperbanyak (harta) dengannya."
Wallahu A’lam.
Bagaimana Hukumnya Imam Shalat yang Meminta Bayaran?
Tanya:
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz, ada sbuah pelaksanaan shalat sunnah tarawih di
suatu daerah, di mana sepekan sebelum datangnya Ramadhan diadakan pengutipan
dari rumah ke rumah dalam rangka pembiayaan para imam tarawih. Dalam hal ini,
sebenarnya banyak penduduk yang keberatan, dengan alasan “mengapa menjadi imam
harus dibayar”.
Keputusan pembiayaan imam shalat tarawih ini termasuk
imam itu sendiri yang menjadi pelopornya. Malah mereka membuat keputusan barang
siapa yang tidak mampu ceramah tidak boleh jadi imam shalat tarawih pada bulan
ramadhan. Pertanyaannya, “Apa dasarnya dalam islam problematika yang saya
paparkan di atas dan apa hukumnya?
Waalaikumussalam wr. wb.
[Deddi Yastaran Nasution via email ke redaksi]
Jawab:
Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Sebenarnya, kegiatan berdakwah mengajarkan tuntunan
agama, berceramah agama, termasuk di dalamnya juga mengimami shalat (baik
shalat fardu, shalat Jumat, shalat tarawih, shalat jenazah, dll.), mengajar
membaca al-Quran, dan sebagainya adalah tugas yang amat mulia yang tidak bisa
diukur dengan bayaran uang atau materi. Nabi Muhammad saw. sendiri, dan banyak
juga nabi-nabi sebelum beliau, diajarkan oleh Allah swt. untuk tidak meminta
imbalan atau bayaran dalam berdakwah. Sebab balasan lebih besar dari sekadar
materi atau uang sudah disediakan oleh Allah swt. Coba kita lihat QS.
asy-Syuara (26): 180 yang maknanya demikian: Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas
ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Lihat juga
ayat-ayat berikut: QS asy-Syuar (26): 109, 127, 145, 164; QS Hûd (11): 29, QS
asy-Sy (42): 23.
Ulama-ulama empat mazhab (Maliki, Syafii, Hanafi,
Hanbali) sepakat bahwa menerima apalagi meminta bayaran mengimami shalat tidak
dibenarkan, kecuali jika bayaran itu berasal dari baitul mal (uang kas milik
publik, seperti kas negara, kas masjid, dll.), bukan diminta dari orang-orang
yang diimami. Itu pun, menurut mereka, jika seseorang menjaga kehormatan
dirinya dengan tidak mengambil upah, itu lebih baik.
Hanya saja, persoalannya adalah: jika seseorang
mengkhususkan diri untuk mempelajari agama guna ia ajarkan kepada orang lain
sehingga waktunya lebih banyak habis untuk itu daripada untuk mencari nafkah,
siapa yang memikirkan penghidupannya? Orang-orang seperti itu dalam istilah
fikih dinamakan orang yang memenjara diri (habs an-nafs) sehingga tidak sempat memikirkan
keduniaannya. Tentu merupakan tindakan mulia jika kita ikut memikirkan
penghidupan orang-orang seperti itu dengan memberi sumbangan dan bantuan.
Pemberian uang yang berasal dari kas baitul mal itu
dinamakan razaq, bukan upah. Ini mirip dengan pemberian harta
rampasan perang kepada prajurit. Islam membolehkan pembagian harta rampasan
perang kepada prajurit, dan itu telah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. Razaq adalah pemberian
yang diambil dari kas baitul mal untuk diberikan kepada seseorang atau
pihak-pihak tertentu dalam rangka menolongnya melaksanakan ketaatan.
Dalam kasus yang Anda tanyakan, memang sangat tidak
bijak kalau inisiatif bayaran itu datang dari sang imam sendiri. Apalagi kalau
hal itu memberatkan makmum. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas ra. disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga orang yang
shalatnya tidak naik dari atas kepala mereka satu jengkal pun. Seseorang yang mengimami
suatu kaum sementara mereka tidak menyukainya, istri yang membuat marah
suaminya (karena tidak taat), dan dua saudara yang saling bertengkar.
Demikian, wallahu alam.
[Muhammad Arifin – Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an]
Assalamualaikum
wbt...
Para ulama berselisih pendapat tentang boleh
atau tidak mengambil upah dari mengajar Al-Quran. Sebahagian ulama berpendapat
boleh mengambil upah dari mengajarkan Al Quran berdasarkan dalam sahih Bukhari:
“Yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya
adalah mengajar Kitab Allah”[1]
Para ulama berselisih pendapat tentang boleh
atau tidak mengambil upah dari mengajar Al-Quran. Sebahagian ulama berpendapat
boleh mengambil upah dari mengajarkan Al Quran berdasarkan dalam sahih Bukhari:
“Yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya
adalah mengajar Kitab Allah”[1]
Dan ada yang
mengatakan: jika ditentukan jumlahnya, maka tidak boleh. Pendapat ini dipilih
oleh Al Halimi. Abu Laits berkata dalam kitab “Al Bustan”[2]
Mengajar dilakukan dengan tiga bentuk: Pertama: dengan tujuan untuk beribadah
saja, dan tidak mengambil upah. Kedua: mengajar dengan mengambil upah. Ketiga:
mengajar tanpa syarat, dan jika ia diberikan hadiah ia menerimanya.
Yang pertama mendapatkan pahala dari Allah SWT, kerena itu adalah amal para
Nabi a.s.
Kedua diperselisihkan. Sebahagian ulama mengatakan: tidak boleh, dengan dalil
sabda Rasulullah SAW:“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” [3].Sementara
sebahagian ulama lain berkata: Boleh. Mereka berkata: yang paling utama bagi
seorang pengajar adalah tidak menentukan bayaran untuk menghafaz dan mengajar,
dan jikapun ia menentukan bayaran itu maka aku harapkan agar tidak dilarang,
kerana ia memerlukanya [kemaslahatan].
Sedangkan yang ketiga: dibolehkan oleh seluruh ulama kerana Nabi Saw adalah
pengajar manusia, dan beliau menerima hadiah mereka. Dan dengan dalil tentang
seseorang yang tersengat haiwan berbisa, kemudian dibacakan surah Al Fatihah
oleh sebahagian sahabat, dan orang itu selanjutnya memberikan hadiah beberapa
ekor kambing atas perbuatan sahabat itu, dan setelah mengetahui itu Nabi
Muhammad Saw bersabda:
“Berikanlah aku bahagian dari hadiah itu “ [4] Tamat.[5]
Dalam hadith lain Rasulullah SAW membolehkan pengajaran itu dijadikan sebagai
mas kahwin bagi seorang wanita. Iaitu saat Nabi Muhammad Saw memerintahkan
sahabat itu untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan mas kahwin bagi sahabat
itu, hingga sebentuk cincin dari besi sekalipun. Kemudian Rasulullah SAW menanyakan
surah apa yang ia boleh dibaca. Ia memberitahukan beberapa surah yang ia hafaz.
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat itu:
“Pergilah, aku telah sahkan perkawinanmu dengan mas kawin mengajar Al Quran
yang engkau hafaz” [6]
Ertinya dengan pengajaran Al Quran yang engkau lakukan kepada wanita itu.
Ini semua adalah dalam masalah pengajaran Al Quran. Sedangkan membacanya tidak
boleh menarik upah, kerana hukum asal dalam membacanya adalah ibadah, dan dasar
bagi seorang yang beribadah adalah agar ia beribadah bagi dirinya, maka
bagaimana mungkin ia kemudian mengambil upah kepada orang lain dari ibadah yang
ia lakukan kepada Rabb-nya, sementara ia mengerjakan itu semata untuk
mendapatkan pahala dari Allah SWT?!
Abdurrahman bin Syibl meriwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda:
“Bacalah Al Quran, amalkanlah isinya, jangan kalian menjauh darinya, jangan
berlaku khianat padanya, jangan makan dengannya, dan jangan mencari kekayaan
dengannya” [7]
Imran bin Husain meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw beliau bersabda:
“Bacalah Al Quran dan mintalah kepada Allah SWT dengan Al Quran itu, sebelum
datang kelompok manusia yang membaca Al Quran, kemudian meminta [upah] kepada
manusia dengan Al Quran”[8]
Sedangkan jika pembaca Al Quran diberikan sesuatu sedeqah, atau pemberian, maka
tidak mengapa jika ia menerimanya, insya Allah.
Tamat petikan.
Bagi penulis lebih cenderung dengan pendapat kedua dan ketiga. Ia bukan sahaja
boleh merujuk upah mengajar al-Quran tetapi kepada semua pengambilan upah
seperti mengajar al-Quran, Ilmu agama, Imam, Muazzin dan sebagainya. Ini
berdasarkan apa yang difatwakan oleh “Majma’ al-Fiqh al-Islami ” [9] iaitu:
Jika tidak mengambil upah, nescaya meraka tidak akan mempunyai sumber untuk
menyara kehidupan mereka. Jika perkara itu berlaku, agama Islam akan semakin
dilupakan. Oleh itu, untuk menjaga kesinambunagn agama Islam, para ulama Mazhab
Hanafi telah membenarkan golongan ini mengambil upah. Para ulamak dari pada
pelbagai mazhab juga telah mengambil pendapat ini demi menjaga kemaslahatan
agama.
Ustaz Maszlee Malik mengatakan ulamak yang mengharamkan perbuatan itu kerana ia
termasuk dalam amal ibadah dan tidak boleh diberikan upah. Pendapat ini
disokong oleh polisi negara islam terdahulu yang menyara para pengajar
al-Quran, fardu ‘ain, fardu kifayah, imam, muazzin dan sebagainya. Namun
begitu, pendapat ini tidak lagi relevan apabila negara-negara Islam moden sudah
tidak lagi menanggung mereka. [10]
Wallahua'lam
Amplop Untuk Imam Tarawih
Ketika bulan Ramadan tiba, di samping
mendatangkan peng-kultum, sebagian masjid juga mendatangkan orang-orang
tertentu yang memiliki suara yang merdu untuk menjadi imam shalat tarawih. Apa
hukum uang amplop untuk imam tarawih semisal ini? Simak jawabannya dalam tanya
jawab berikut ini.
Pertanyaan, “Apa hukum amplop bagi imam
shalat tarawih?”
Jawaban Syekh Abu Said Al-Jazairi,
“Sepatutnya, kebiasaan memberikan uang di akhir Ramadan untuk imam shalat
tarawih itu dijauhi karena hal itu menyebabkan para imam tersebut memiliki
tendensi duniawi dalam ibadah yang mereka lakukan, dan boleh jadi, hal ini
menyebabkan adanya ganjalan hati antara takmir masjid dengan para imam tersebut
tatkala uang yang diberikan kepada imam tidak sesuai dengan harapan.
قال الله تعالى
(فَمَن كَانَ يَرْجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلاَ
يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدَاً ) [الكهف:110] ،
Allah berfirman (yang
artinya), ‘Siapa saja yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaknya
dia mengerjakan amal saleh dan tidak menduakan dengan siapa pun ketika
beribadah kepada Tuhannya.’ (Q.S. Al-Kahfi:110)
وقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: “اقرؤوا القرآن [وابتغوا به الله تعالى] قبل أن يأتي قوم يقرؤون
القرآن فيسألون به الناس “
Rasulullah bersabda,
‘Bacalah Alquran dan niatkanlah hanya untuk Allah, sebelum datang sekelompok
orang yang membaca Alquran lalu dia jadikan Alquran sebagai alat untuk
meminta-minta harta.’ (H.R. Ahmad, dan lain-lain; sahih, sebagaimana dalam
Shahih Al-Jami Ash-Shaghir, no. 1169)
Imam Muhammad bin
Nasr Al-Maruzi (wafat tahun 294 H) mengatakan bahwa Yahya bin Yahya berkata
kepada Abu Waki’, ‘Bukankah Abu Ishaq bercerita kepada kalian bahwa Abdullah
bin Ma’qil menjadi imam shalat tarawih di bulan Ramadan. Saat Idul Fitri tiba,
Ubaidullah bin Ziyad mengirimkan uang sebanyak lima ratus dirham dan satu setel
baju baru kepada Abdullah bin Ma’qil, namun Abdullah bin Ma’qil menolak
pemberian tersebut sambil mengatakan, ‘Sesungguhnya, kami tidaklah mengambil
upah karena membaca Alquran’?’
Abu Waki’ berkata,
‘Benar, demikianlah yang diceritakan oleh Abu Ishaq.’
Abu Ishaq mengatakan
bahwa Mush’ab memerintahkan Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin untuk menjadi imam
shalat tarawih di Masjid Jami’ ketika bulan Ramadhan. Setelah Idul Fitri tiba,
Mush’ab mengirimkan uang sebanyak lima ratus dirham dan satu setel baju, namun
Abdullah menolaknya. Abdullah mengatakan, ‘Aku tidak mau mengambil upah karena
membaca Alquran.’ (Dikutip dari Mukhtashar Qiyam Al-Lail, hlm. 246, karya Imam
Ahmad bin Ali Al-Maqrizi [wafat tahun 845])
Syekh Abdusy Syakur
Al-Atsari mengatakan, ‘Fenomena uang amplop karena menjadi imam shalat di bulan
Ramadan telah tersebar di zaman kita saat ini. Sampai-sampai, para penghafal
Alquran bepergian dari satu daerah ke daerah yang lain dan mereka mencari-cari
takmir masjid yang mau menetapkan besaran upah bagi mereka sebelum mereka
bertugas sebagai imam shalat tarawih, sehingga mereka menjadi imam dengan penuh
semangat dan penuh keyakinan akan mendapatkan upah yang mereka harapkan.
Bahkan, sebagian imam shalat tarawih menjadi imam shalat tarawih di suatu
masjid, lalu segera menyelesaikan shalat bersama jemaah masjid tersebut, untuk
bisa berpindah ke masjid lain dan menjadi imam shalat tarawih di masjid kedua.
Kedua shalat tarawih tersebut dilaksanakan di awal malam. Dengan demikian, si
imam mendapatkan upah dari kedua masjid tersebut. Inna lillahi wa inna ilahi
raji’un. Semoga Allah memaafkan kita.’
Meski demikian,
shalat bermakmum dengan orang semacam itu adalah shalat yang sah. Jika ada
celaan maka celaan hanya tertuju kepada si imam.
Asyhab mengutip
perkataan Imam Malik yang mengatakan, ‘Tidaklah mengapa mengerjakan shalat
dengan bermakmum kepada imam yang mau menjadi imam shalat karena mendapatkan
upah. Jika ada dosanya maka itu adalah tanggungan si imam.’ (Dikutip dari
An-Nawadir waz Ziyadat, 1:386, karya Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani [wafat tahun
386 H], tahqiq oleh Abdul Qadir bin Muhammad Al-Halwu).”
Sumber:
Mengambil Upah / Gaji Dari Kegiatan Berdakwah Atau
Mengajarkan
Al Quran
Tentunya Allah telah memerintahkan para
da’i, ustadz, muballigh dan siapa saja yang mendakwahkan ajaran agama islam
dengan ikhlas yakni berdakwah hanya mengharapkan wajah Allah ta’ala. Jangan
sampai para da’i mengharapkan upah dari dakwahnya. Karena beginilah dakwahnya
para nabi dan rasul. Mereka sama sekali tidak mengharapkan upah dari dakwahnya,
yang mereka harapkan hanya wajah Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana Allah berfirman tentang para
rasul:
ألئك الذين هدى الله
فبهداهم اقتده قل لا أسألكم عليه أجرا إن هو إلا ذكرى للعالمين
“Mereka itulah (para
rasul) telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.
Katakanlah(Muhammad) : Aku tidak meminta imbalan dari kalian dalam menyampaikan
(al quran), al quran tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam”[1]
Dan Allah berfirman
tentang perkataan Nabi Nuh alaihissalam:
و ياقوم لا أسألكم
عليه مالا إن أجري إلا على الله
“Dan wahai kaumku,
aku tidak meminta dari kalian harta sebagai imbalanku. Imbalanku hanyalah dari
Allah semata”[2]
Dan Allah berfirman
tentang perkataan Nabi Hud alaihissalam:
و ياقوم لا أسألكم
عليه أجرا إن أجري إلا على الذي فطرني أفلا تعقلون
“Dan wahai kaum ku,
aku tidak meminta imbalan dari kalian atas dakwahku, ini. Imbalanku hanyalah
dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kalian mengerti?”[3]
Dan Allah berfirman
tentang perkataan nabi Shalih alaihissalam:
و ما أسألكم عليه من
أجر إن أجري إلا على رب العالمين
“Dan aku tidak
meminta imbalan kepadamu atas dakwah ini, imbalanku hanyalah dari Tuhan semesta
alam”[4]
Dan Allah berfirman
tentang perkataan nabi syu’aib alaihissalam sama persis dengan perkataan nabi
Shalih alaihissalam:
و ما أسألكم عليه من
أجر إن أجري إلا على رب العالمين
“Dan aku tidak
meminta imbalan kepadamu atas dakwah ini, imbalanku hanyalah dari Tuhan semesta
alam”[5]
Akan tetapi,
mengingat jika seorang ustadz dalam suatu lembaga ia menjadi seorang guru
tetap, banyak mengambil waktu dan tenaga guru tersebut maka apa hukum dari
mengambil upah dari pengajaran yang ia lakukan? Yang mana seharusnya dapat
dilakukan untuk mencari nafkah dan rezeki untuk dia dan keluarganya, namun
disita oleh lembaga hanya untuk mengajar para murid.
Maka jika demikian
keadaanya, maka para ulama membolehkan guru tersebut mengambil upah. Dengan syarat
hanya untuk mencukupi kebutuhan dia dan keluarganya dan tidak boleh
memperbanyak harta dari profesi kerjanya.
Karena Rasulullah
sendiri membolehkan mengambil upah dari Al quran.
Telah disebutkan
dalam suatu riwayat, bahwa sekelompok sahabat singgah di suatu suku Arab yang
saat itu pemimpin mereka tersengat binatang berbisa. Mereka telah berusaha
mengobatinya dengan berbagai cara tapi tidak berhasil, lalu mereka meminta
kepada para sahabat itu untuk meruqyah, kemudian salah seorang sahabat
meruqyahnya dengan surat Al-Fatihah, dan Allah menyembuhkan dan menyehatkannya.
Sebelumnya, para sahabat itu telah mensyaratkan pada mereka untuk dibayar
dengan daging domba. Maka setelah itu mereka pun memenuhinya. Namun para
sahabat tidak langsung membagikannya di antara mereka sebelum bertanya kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
وَاضْرِبُوا لِي
مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
“Berilah aku bagian
bersama dari apa yang kalian terima.”[6]
Rasulullah juga
bersabda dalam riwayat lain:
اِنَّ اَحَقَّ مَا
أَخَذْتُم عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
“Sesungguhnya suatu
hal yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.”[7]
Dan Rasulullah
bersabda:
زَوَّجْتُكَهَا
عَلَى مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“ Aku nikahkan engkau
dengannya dengan mahar apa yang engkau hafal dari Al-Qur`an.”[8]
Disini dapat
dipahami, bahwa upah mengajar al qur’an adalah halal sehingga bisa dijadika
mahar layaknya emas, perak dan lain-lain.
Jika dikatakan,
bahwasanya mengambil upah atau imbalan adalah menyelisihi dakwahnya para nabi,
maka tidak bisa dalil tersebut dijadikan sebagai patokan. Karena yang didakwahi
para nabi dan Rasul dikala itu adalah kaum kuffar yang tidak mungkin mereka
memberikan kepada Rasul imbalan sedikitpun, sehingga para rasul mengucapkan hal
yang demikian.
Adapun jika dikatakan
bahwasanya ini termasuk memperjual belikan ayat Allah dengan harga yang murah
dan Allah telah melarangnya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
و لا تشتروا بأيتي
ثمنا قليلا
“Dan janganlah engkau
menukarkan ayat-ayatku dengan harga yang rendah”[9]
Dalil ini pun tidak
kuat, karena maksud ayat diatas bila seseorang telah menjadi fardhu ain baginya
untuk berdakwah, sebagaimana ia berada dalam suatu kampung, yang mana para
penduduknya tidak ada yang mengerti tentang islam kecuali dirinya. Maka dalam
keadaan demikian haramlah meminta upah dari mereka. Karena dakwah untuknya
dalam keadaan tersebut adalah fardhu ain untuknya. Sebagaimana seseorang
shalat, tidak mungkin seseorang mengambil upah atau gaji atas shalatnya
tersebut.
Yang perlu digaris bawahi, seorang da’i tidak
boleh memperbanyak harta dengan cara mengajar al quran ataupun berdakwah. Ia
hanya boleh menerima upah untuk mencukupi kebutuhan dia dan keluarganya,
Karena Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
اقرؤوا القران و لا
تغلوا فيه و لا تجفوا عنه و لا تأكلوا به و لا تستكثروا به
“Bacalah Al qur’an,
dan jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu lalai, jangan memakan upah
mengajar al quran dan jangan memperbanyak harta melalui mengajar al quran”[10]
Adapun jika hadiah
maka diperbolehkan bahkan disunnahkan. Dan bedanya hadiah dan upah adalah jika
hadiah diberikan cuma-cuma tanpa memberi syarat sebelum mengajar, adapun upah
maka memberi syarat biaya yang akan di beri kepada guru yang mengajar.
Dan hadiah
disunnahkan sebagaimana sabda nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:
تهادوا تحابوا
"Hendaklah
kalian saling memeberikan hadiah, maka kalian akan saling mencintai"[11]
Allahu a’lam.
Penulis: Muhammad
Abdurrahman Al Amiry
Artikel: alamiry.net
(Kajian Al Amiry)
Bolehkah menerima upah
sebagai imam atau muadzin
Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
Penanya: Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai
Shahibul Fadhilah, penanya mengatakan: “Di sebagian negara mereka menjadikan
menjadi imam dan muadzin di masjid sebagai pekerjaan yang mendapatkan gaji,
tingkatan dan ijazah dan mereka tidak mendapatkan pekerjaan lain di negara,
maka apakah hal ini termasuk menerima upah yang dilarang ataukah tidak?
Asy-Syaikh:
Bukan, ini bukan
termasuk menerima upah yang dilarang, ini (seperti –pent) upah dari baitul mal
yang merupakan haknya. Para muadzin dan imam-imam masjid mereka mendapatkan hak
di baitul mal, seperti para hakim dan para pengajar yang mengerjakan
tugas-tugas keagamaan. Mereka
diberi dari baitul mal yang mencukupi mereka agar mereka bisa
konsentrasi atau fokus pada urusan ini. Dan ini merupakan perkara yang halal
–walillahilhamdu– dan telah berlangsung sejak masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun
serta perkara yang diamalkan oleh kaum Muslimin.
Hanya saja siapa yang niatnya adalah untuk mendapatkan
harta maka sesungguhnya amal-amal itu balasannya sesuai dengan niatnya. Siapa
saja yang tujuannya hanya ingin mendapatkan harta jelas dia tidak mendapatkan
pahala. Adapun siapa yang niatnya adalah ibadah dan dia mengambil
sebagian harta ini sebagai sarana untuk membantu dirinya dalam melakukan
ketaatan kepada Allah, maka dia mendapatkan pahala, dibantu dan mendapatkan
ganjaran.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/11208
* Alih bahasa: Abu Almass
Selasa, 15 Jumaadats Tsaniyah 1435 H
Hukum
Mencari Nafkah dari Berdakwah
Sesuai dgn surat
asyura ayat 23, dan dari kisah para sahabat nabi yang tidak menerima upah atas
da’wah. Apakah hukumnya profesi ustadz2 guru2 agamasekolah dosen2 yg menerima
gaji dari da’wah serta khatib2 jum’at yg menerima amplop sehabis khutbah?
apakah tdk termasukmemperjual belikan agama?
Waalaikumussalam Wr
Wb
Saudara Abdurrahman
yang dimuliakan Allah swt
Jumhur ulama
berpendapat dibolehkan bagi seorang yang guru mengajarkan al Qur’an (guru
ngaji) untuk mengambil upah dari pengajarannya tersebut berdasarkan apa yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi saw melewati
sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu
salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan
berkata; “Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di
tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang
berbisa.” Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan
membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat
tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya.
Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; “Kamu mengambil
upah atas kitabullah?” setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; “Wahai
Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah.” Maka Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena
(mengajarkan) kitabullah.”
Hal itu juga
diperkuat bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan seorang lelaki untuk
mengajarkan istrinya al Qur’an sebagai mahar baginya. (baca : Upah Mengajar Al-Qur’an)
Demikian halnya
dengan seorang ustadz, guru agama, dosen-dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu agama
atau para dai atau khotib yang menyampaikan ceramah-ceramahnya maka dibolehkan
bagi mereka menerima upah dari pengajarannya itu sebagaimana dibolehkannya
seorang yang mengajarkan Al Qur’an mengambil upah atau bayaran atau gaji dari
pengajaran al Qur’annya kepada murid-muridnya.
Markaz al Fatwa
menyebutkan bahwa boleh mengambil upah dari mengajarkan ilmu-ilmu syar’i (baca
: ilmu agama) seperti para ustadz (dosen) di Fakultas Syariah dan lainnya.
Al Khotib al
Baghdadiy didalam “al Fiqh wa al Mutafaqqih” mengatakan,”diwajibkan bagi
seorang imam (pemimpin) untuk memberikan kecukupan penghasilan kepada
orang-orang yang menyerahkan dirinya untuk memberikan pengajaran didalam bidang
fiqih atau fatwa hukum-hukum dan ambilah untuk itu dari baitul mal kaum
muslimin. Jika di sana tidak terdapat baitul mal maka penduduk negeri harus
bekerja sama menyisihkan sebagian dari hartanya untuk diberikan kepadanya
(mufti) agar dia bisa fokus mencurahkan segenap waktunya untuk memberikan fatwa
kepada mereka dan jawaban-jawaban dari permasalahan-permasalahan mereka.
(Markaz al Fatwa, fatwa No. 34050)
Namun hendaklah
setiap ustadz, dai, khotib, dosen, guru agama atau orang-orang yang memberikan
pengajaran dan pengetahuan tentang agama kepada orang lain yang mendapatkan
bayaran atau gaji darinya tetap menjaga keikhlasan niatnya agar apa yang
didapatnya itu tidak menghapuskan pahalanya di sisi Allah swt.
Diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Umar bin Khattab dia berkata, “Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya ia akan
mendapatkan sesuatu yang diniatkannya.”
Wallahu alam,
Ustadz Sigit Pranowo
Hukum Mengambil Upah Dari
Pengajaran Agama
Adapun
masalah meminta upah karena mengajarkan Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama yang
lainnya, maka Rosululloh صلى الله
عليه وسلم
telah membolehkannya (dengan
celaan, kecuali jika kondisinya memang butuh uang, sebagaimana akan datang
penyebutan dalil-dalil tentang itu insya Alloh).
Akan tetapi yang Alloh pilihkan untuk para
Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام itu adalah kondisi
yang lebih sempurna, pahala yang lebih banyak, dan barokah yang lebih besar
dalam dakwah, yaitu tidak meminta upah atas dakwah Islamiyyah ini. Dan pada mereka ada teladan yang baik bagi orang yang
mengharapkan perjumpaan dengan Alloh dan Hari Akhir dan banyak mengingat Alloh.
Dalil
tentang dibolehkannya minta upah tadi adalah hadits-hadits tentang upah ruqyah
yang telah berlalu penyebutannya.
Al Imam
Ibnu Qudamah رحمه الله setelah
menyebutkan hadits-hadits tersebut, beliau berkata: “Dan jika mengambil
pemberian tadi adalah boleh, maka boleh juga mengambil upah, karena upah itu
masuk dalam makna pemberian. Dan juga karena boleh seseorang itu mengambil
rizqi dari baitul mal karena pengajaran, maka boleh pula mengambil upah
karenanya, sebagaimana membangun masjid-masjid dan jembatan-jembatan. Dan juga
karena kebutuhan itu menuntut untuk mengambil upah, karena dibutuhkan adanya
perwakilan dalam menghajikan orang yang wajib untuk berhaji tapi tidak sanggup
melakukannya, dan hampir-hampir tidak didapatkan orang yang mau sukarela
melakukan itu tanpa upah, sehingga diperlukan mencurahkan upah untuk itu.” (“Al
Mughni”/6/hal. 143).
Dalil
yang lain: Dari Sahl bin Sa’d رضي الله عنهما yang berkata:
أتت النبي صلى الله عليه وسلم امرأة فقالت: يا رسول الله أهب لك نفسي. فنظر
إليها رسول صلى الله عليه و سلم فصعد النظر فيها وصوبه ثم طأطأ رسول الله صلى الله
عليه و سلم رأسه. فلما رأت المرأة أنه لم يقض فيها شيئاً جلست. فقام رجل من أصحابه
فقال: يا رسول الله إن لم يكن لك بها حاجة فزوجنيها. فقال: «فهل عندك من شيء ؟».
فقال: لا والله يا رسول الله. فقال: «اذهب إلى أهلك فانظر هل تجد شيئا ؟». فذهب ثم
رجع فقال: لا والله ما وجدت شيئاً. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «انظر ولو
خاتم من حديد». فذهب ثم رجع فقال: لا والله يا رسول الله ولا خاتم من حديد. ولكن
هذا إزاري ( قال سهل ما له رداء ) فلها نصفه. فقال رسول الله: «ما تصنع بإزارك إن
لبسته لم يكن عليها منه شيء وإن لبسته لم يكن عليك منه شيء». فجلس الرجل حتى إذا
طال مجلسه قام. فرآه رسول الله صلى الله عليه و سلم مولياً، فأمر به فدعي. فلما
جاء قال: «ماذا معك من القرآن ؟» قال: معي سورة كذا وكذا ( عددها ). فقال: «تقرؤهن
عن ظهر قلبك ؟». قال: نعم. قال: «اذهب فقد ملكتها بما معك من القرآن».
“Ada seorang wanita mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم seraya berkata: “Wahai Rosululloh,
saya memberikan diri saya untuk Anda.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihat kepadanya, memandang ke
atas dan ke bawahnya, kemudian Rosululloh صلى الله عليه وسلم menundukkan pandangan beliau. Manakala wanita itu melihat
bahwasanya beliau tidak memberikan suatu keputusan, duduklah dia. Maka
berdirilah seseorang dari Shohabat beliau seraya berkata: “Wahai Rosululloh,
jika Anda tidak punya hajat kepadanya, nikahkanlah saya dengannya.” Maka beliau
bertanya: “Apakah engkau punya sesuatu?” Dia menjawab: “Demi Alloh, tidak wahai
Rosululloh.” Maka beliau bersabda: “Pergilah ke keluargamu dan lihatlah apakah
engkau mendapati sesuatu.” Maka pergilah dia lalu dia datang lagi seraya
berkata.” Demi Alloh saya tidak mendapatkan sesuatu.” Maka Rosululloh bersabda:
“Lihatlah, sekalipun cincin dari besi.” Maka pergilah dia lalu dia datang lagi
seraya berkata.” Demi Alloh wahai Rosululloh, saya tidak mendapatkan walaupun
cincin besi. Tapi ini sarung saya.” Sahl berkata: “Dia tidak punya selendang.”
Dia berkata: “Wanita ini akan saya beri setengah dari sarung ini.” Maka
Rosululloh bersabda: “Apa yang akan engkau perbuat dengan sarungmu? Jika engkau
memakainya, wanita ini tak bisa memakainya sedikitpun. Jika dia memakainya,
engkau tak bisa memakainya sedikitpun.” Maka pria tadi duduk. Sampai ketika
majelisnya telah berlangsung lama, diapun bangkit. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihatnya pergi, lalu beliau
memerintahkan agar dia dipanggil kembali. Ketika dia datang, beliau bertanya:
“Apa yang engkau miliki dari Al Qur’an?”Dia menjawab: “Saya punya surat ini dan
itu.” Dia menghitungnya. Beliau bertanya: “Engkau bisa membacanya secara
hapalan?”Dia menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Pergilah, sungguh aku telah
menikahkanmu dengannya, dengan Al Qur’an yang engkau hapal.” (HR. Al Bukhoriy
(5029) dan Muslim (1425)).
Dan dalam satu riwayat:
“Berangkatlah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah dia Al
Qur’an.” (HR. Muslim (1425)).
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan dalam hadits ini ada
dalil bolehnya mengambil upah karena mengajarkan Al Qur’an, dan mengambil ganti
(upah juga) karena telah menunaikan pengajaran tadi, dan yang semisal itu,
karena jika pengajaran Al Qur’an boleh menjadi mahar, boleh juga untuk
mengambil ganti dari setiap perkara yang bisa diambil manfaatnya. Dan ini
adalah madzhab Malik, Asy Syafi’iy, Abu Tsaur, Ahmad dan Dawud.
Dan di antara hujjah mereka adalah
hadits Abu Sa’id Al Khudriy –lalu beliau menyebutkan hadits ruqyah, sampai pada
ucapan beliau:- Abu Hanifah dan pengikutnya berkata: “Tidak boleh mengambil
upah atas pengajaran Al Qur’an. Setiap orang yang ditanya tentang Al Qur’an
sedikit saja, dia harus membacakannya dan mengajarkannya bagi orang yang memintanya.
Kecuali jika dia terkena dhoruroh dan tersibukkan dari mata pencahariannya.”
Dan mereka beralasan dengan hadits-hadits marfu’ yang semuanya itu lemah.”
(selesai
dari “Al Istidzkar”/5/hal. 416-417).
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه اللهketika menyebutkan
perselisihan tentang upah mengajar, beliau berkata: “Dan Abu Tholib menukilkan
dari Ahmad bahwasanya beliau berkata: “Mengajar itu lebih aku sukai daripada
dia bersandar pada para penguasa itu, dan daripada dia bersandar pada seseorang
dari keumuman manusia dalam suatu mata pencaharian, dan daripada dia berutang
dan berdagang, karena bisa jadi dia tak sanggup menunaikannya sehingga dia
berjumpa dengan Alloh ta’ala dengan memikul amanah-amanah manusia. Mengajar itu
lebih aku sukai.” Dan ini menunjukkan bahwasanya larangan Al Imam Ahmad (dalam
riwayat yang lain) adalah untuk kemakruhan, bukan untuk pengharoman.
Dan termasuk yang membolehkan itu
adalah Malik dan Asy Syafi’iy. Abu Qilabah, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir juga
memberikan keringanan dalam upah para pengajar karena Rosululloh صلى الله عليه وسلم menikahkan seseorang dengan Al
Qur’an yang dia hapal. Riwayat Al Bukhoriy dan Muslim. Jika boleh pengajaran Al
Qur’an sebagai ganti (upah) dalam bab pernikahan dan menduduki posisi mahar,
boleh juga mengambil upah karena pengajarkan All Qur’an dalam bab persewaan.”
(selesai
dari “Al Mughni”/6/hal. 143).
Ahmad bin Umar Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Dan hadits ini merupakan
bantahan terhadap Abu Hanifah yang melarang mengambil upah dari pengajaran Al
Qur’an. Dan yang membantah dia juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian
ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
(selesai
dari “Al Mufhim”/4/hal. 13).
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini
ada dalil untuk bolehnya pengajaran Al Qur’an itu sebagai mahar, dan bolehnya
menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an, dan dua perkara ini boleh menurut
Asy Syafi’iy. Dan ini juga pendapat Atho, Al Hasan bin Sholih, Malik, Ishaq,
dan yang lainnya. Sekelompok ulama melarangnya, di antaranya adalah Az Zuhriy
dan Abu Hanifah. Hadits ini dan hadits shohih: “Sesungguhnya yang paling berhak
untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh” membantah pendapat ulama
yang melarang itu. Al Qodhi ‘Iyadh menukilkan dari seluruh ulama –selain Abu
Hanifah- tentang bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an.” (“Syarh
Shohih Muslim”/9/hal. 214-215).
Az Zarqoniy رحمه الله
berkata: “Dan di dalam hadits ini ada pembolehan mengambil upah dari pengajaran
Al Qur’an. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dan Imam yang tiga (Malik,
Asy syafi’iy dan Ahmad).” (“Syarh Muwaththo Malik”/Az Zarqoniy/5/hal. 468).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله ditanya: “Ada seorang alim dari
ulama diminta untuk membacakan hadits-hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan ilmu-ilmu syariat yang lainnya.
Maka dia tidak mau membacakannya kecuali dengan upah. Maka dikatakan padanya:
“Telah diriwayatkan dari jalan Salaf dan para imam huda pengajaran ilmu dalam
rangka mencari wajah Alloh Yang mulia yang kisah-kisah itu tidak tersembunyi
dari orang yang berakal. Dan minta upah itu tidak pantas. Maka dia menjawab:
“Aku membacakan ilmu tanpa upah? Harom bagiku membacakan ilmu tanpa upah.” Maka
apakah ucapannya itu benar ataukah batil? Dan apakah dia itu bodoh dengan
ucapannya bahwasanya dirinya punya udzur? Dan apakah boleh baginya untuk
mengambil upah karena mengajarkan ilmu yang bermanfaat? Ataukah dimakruhkan?”
Maka Syaikhul Islam رحمه الله menjawab: “Segala pujian bagi
Alloh. Adapun mengajarkan Al Qur’an dan ilmu tanpa upah, maka itu adalah amalan
yang paling utama dan paling dicintai oleh Alloh. Dan ini termasuk perkara yang
diketahui secara pasti dalam agama Islam. Bukanlah ini termasuk dari perkara
yang tersembunyi dari orang yang tumbuh di negri-negri Islam. Para Shohabat,
Tabi’un, dan Tabi’ut Tabi’un dan ulama yang lainyang terkenal di kalangan umat
ini dengan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih, mereka itu dulu mengajar tanpa upah.
Tidak ada di kalangan mereka pada asalnya yang mengajar dengan upah.
«فإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا
دينارا ولا درهما، وإنما ورثوا العلم، فمن أخذه فقد أخذ بحظ وافر».
“Sesungguhnya
para ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak
mewariskan dirham ataupun dinar, akan tetapi mereka itu hanyalah mewariskan
ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang
banyak.”[HR. Abu Dawud (3641) dan At Tirmidziy (2682), hasan lighoirih].
Dan para Nabi صلوات الله عليهم dulu hanyalah mengajarkan ilmu
tanpa upah, sebagaimana ucapan Nuh عليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري
إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah
sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil
alamin.”
Demikian pula Hud, Sholih, Syu’aib,
Luth dan yang lainnya. Demikian pula Penutup para Rosul:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر وما
أنا من المتكلفين﴾ [ ص : 86 ] ،
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian
upah sedikitpun dari dakwahku. Dan bukanlah aku termasuk orang yang
memberat-beratkan diri.”
Dan
berfirman berkata:
﴿قل ما أسألكم عليه من أجر إلا
من شاء أن يتخذ إلى ربه سبيلا﴾ [ الفرقان 57 ] .
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian
upah sedikitpun dari dakwahku. Akan tetapi orang yang ingin mengambil jalan
kepada Robbnya (dengan berinfaq di jalan Alloh, silakan berinfaq).”
Dan pengajaran Al Qur’an, Hadits
dan Fiqh dan yang lainnya tanpa upah itu, para ulama tidak berselisih pendapat
bahwasanya itu adalah amal sholih, lebih-lebih untuk menjadi mubah. Bahkan itu
adalah fardhu kifayah, karena pengajaran ilmu yang dia jelaskan adalah fardhu
kifayah, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits shohih:
«بلغوا عني ولو آية»
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR.
Al Bukhoriy (3461) dari Abdulloh bin Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما].
Dan
bersabda:
«ليبلغ الشاهد الغائب».
“Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang
tidak hadir.” [HR. Al Bukhoriy (67) dan Muslim (1679) dari Abu Bakroh رضي الله عنه].
Hanyalah para ulama berselisih
pendapat tentang bolehnya menyewa orang dalam mengajarkan Al Qur’an, Hadits dan
Fiqh,ada dua pendapat yang terkenal, dan dua-duanya adalah riwayat dari Ahmad.
Yang pertama –dan itu adalah
madzhab Abu Hanifah dan lainnya-: tidak boleh menyewa untuk pengajaran itu
tadi.
Yang kedua –dan itu adalah ucapan
Asy Syafi’iy-: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi.
Dan ada pendapat ketiga dalam
madzhab Ahmad: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi karena pengajarnya punya
hajat, bukan orang yang kecukupan, sebagaimana firman Alloh ta’ala tentang wali
anak yatim:
﴿ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان
فقيرا فليأكل بالمعروف﴾ [ النساء : 6 ]
“Dan barangsiapa berkecukupan, maka hendaknya
dia menjaga kehormatan (tidak memakan harta yatim), dan barangsiapa faqir maka
hendaknya dia memakan dengan cara yang ma’ruf.”
Boleh para pengajar diberi dari
harta muslimin karena mereka mengajar, sebagaimana para imam, muadzdzin dan
hakim diberi upah. Hal itu boleh jika mereka punya hajat (bukan orang yang
berkecukupan).
Apakah boleh pengajar yang
berkecukupan itu mencari rizqi lewat pengajaran? Para ulama punya dua pendapat.
Dan tidak ada seorangpun dari Muslimin yang berkata bahwasanya mengamalkan
pengajaran tanpa upah itu tidak boleh.
Orang yang berkata bahwa mengajar
tanpa upah itu tidak boleh, maka dia harus dituntut untuk bertobat, jika dia
bertobat maka dia dibebaskan, dan jika tidak mau bertobat maka dia harus
dibunuh. Tapi jika dia bermaksud dengan ucapannya tadi adalah karena dia itu faqir,
dan jika dia mengajar tanpa upah itu maka dia tidak sanggup mencari nafkah
untuk keluarganya, sementara mencari nafkah untuk keluarganya adalah fardhu
‘ain untuknya, maka dia tidak boleh meninggal fardhu ‘ain demi menjalankan
perkara yang tidak fardhu ‘ain, dan dia bersamaan dengan itu dia meyakini
bahwasanya mengajar dengan upah karena berhajat -atau mutlak tanpa hajat- itu
boleh, maka orang ini berkata dengan penakwilan, maka dia tidak kafir dengan
pendapatnya tadi, dan tidak menjadi fasiq dengan kesepakatan para ulama, bahkan
bisa jadi dia itu benar atau keliru.
Dan sisi pendalilan para ulama
tentang tidak bolehnya menyewa untuk manfaat amalan yang ini adalah: karena
amalan-amalan ini merupakan amalan khusus, yang mana pelakunya adalah orang
yang sedang mendekatkan diri kepada Alloh dengan mengajarkan Al Qur’an, Hadits
dan Fiqih, menjadi imam sholat dan adzan. Tidak boleh amalan-amalan tadi
dikerjakan oleh orang kafir. Tidak ada yang boleh mengerjakannya kecuali
seorang Muslim. Berbeda dengan manfaat yang bisa dilakukan oleh muslim ataupun
kafir, seperti membangun, menjahit, menenun, dan sebagainya. Jika dia melakukan
suatu amalan dengan upah, tidak tersisa ibadah untuk Alloh, karena tinggallah
dirinya itu berhak untuk mendapatkan upah, dipekerjakan dalam rangka upah. Dan
amalan itu jika dilakukan karena upah, tidak tersisa padanya makna ibadah,
seperti produksi-produksi yang dikerjakan dengan upah.
Maka ulama yang berpendapat tidak
bolehnya menyewa dalam amalan-amalan ini, dia berkata: Tidak boleh melakukannya
dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh, sebagaimana tidak boleh menjalankan
sholat, puasa dan bacaan Qur’an dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh. Dan
persewaan itu mengeluarkan amalan tadi dari bentuk ibadah untuk Alloh.
Ulama yang membolehkan persewaan
dalam pengajaran berkata: pengajaran tadi merupakan suatu manfaat yang sampai
kepada si penyewa, maka boleh si pengajarnya mengambil upah atas amalannya itu,
seperti seluruh manfaat-manfaat yang lain. Jika ibadah tadi dalam kondisi
seperti itu, dia tidak berjalan dalam bentuk ibadah, maka boleh melakukannya
dalam bentuk ibadah dan sekaligus bukan dalam bentuk ibadah, karena di dalamnya
ada manfaat (yang sampai kepada orang yang menyewa dia).
Dan ulama yang membedakan antara
orang yang berhajat dengan orang yang tidak berhajat, dan inilah pendapat yang
paling dekat (dengan kebenaran), beliau berkata: “Orang yang berhajat, jika dia
mencari penghasilan dengan amalan-amalan tadi, bisa saja dia meniatkan
amalannya untuk Alloh, dan dia mengambil upah untuk membantu ibadah dia, karena
mencari nafkah untuk keluarga adalah wajib juga. Maka dia bisa menunaikan
kewajiban-kewajiban dengan cara tadi. Ini berbeda dengan orang yang
berkecukupan, karena dia tidak membutuhkan nafkah (dengan cara tadi), maka
tiada hajat yang mengharuskan dia untuk melakukan amalan-amalan tadi untuk
selain Alloh.” Dan seterusnya.
(selesai
dari “Majmu’ul Fatawa”/30/hal. 204-207).
Al Imam Ibnu Baz رحمه الله ditanya: “Apa hukum mengambil upah
dari mendidik murid untuk menghapal Al Qur’anul Karim, karena di tempat kami
ada imam di desa kami yang mengambil upah dari mendidik anak-anak untuk
menghapal Al Qur’an?”
Maka beliau رحمه الله menjawab: “Tidak mengapa mengambil
upah untuk pengajaran Al Qur’an dan pengajaran ilmu, karena orang-orang
membutuhkan pengajaran, dan karena si pengajar terkadang susah baginya mengajar
sambil meninggalkan mata pencaharian demi mengajar. Maka jika dia mengambil
upah untuk pengajaran Al Qur’an, penghapalan Al Qur’an dan pengajaran ilmu,
maka yang benar adalah tidak mengapa baginya hal itu.
lalu beliau menyebutkan hadits Abu
Sa’id tentang ruqyah, lalu beliau berkata- dan Nabi tidak mengingkari mereka
berbuat itu. Dan beliau صلى الله
عليه وسلم
bersabda:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian
ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
Maka
ini menunjukkan bahwasanya tidak mengapa mengambil upah dari pengajaran,
sebagaimana tidak mengapa mengambil upah dari ruqyah.”
(selesai
dari “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”/5/hal. 364-365).
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata tentang menyewa orang untuk
mengajarkan Al Qur’an: “Dan pendapat yang kuat adalah bahwasanya itu tidak
harom, dan bahwasanya boleh menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan hal
itu ditunjukkan oleh dalil berikut ini:
Yang pertama: sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Sesungguhnya yang paling berhak
untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).
Dan ini jelas sekali.
Yang kedua: Bahwasanya Rosul Nabi صلى الله عليه وسلم membolehkan mengambil pemberian
karena ruqyah, dalam hadits kisah orang yang tersengat binatang.
Yang ketiga: Bahwasanya Rosul صلى الله عليه وسلم menikahkan seorang wanita dengan
orang yang tidak punya mahar, dengan Al Qur’an yang dihapalkannya, untuk dia
mengajari wanita tadi. Maka Nabi menjadikan pernikahan tadi sebagai upah
pengajaran.
Jika ada orang bertanya: “Bagaimana
kalian membolehkan itu padahal itu adalah ibadah?”
Kita katakan: iya, kami
memperbolehkannya dalam keadaan dia adalah suatu pendekatan diri kepada Alloh,
karena kami membolehkan amalan tadi disebabkan oleh manfaat yang bisa diambil
oleh orang yang menyewa. Oleh karena itulah andaikata kami menyewa orang untuk
dia membaca (bukan membacakan) Al Qur’an semata, niscaya penyewaan tadi adalah
harom, tidak sah. Adapun pengajaran, tidak demikian, karena si pengajar capek
dan mendikte orang yang bodoh sampai si bodoh tadi mengetahui dan akan
mengulangi lagi apa yang dihapalkannya dari Al Qur’an dengan pemeriksaan. Dan
di sini ada amalan mubah untuk orang lain (ada pihak yang mendapatkan
manfaatnya). Jika demikian, pendapat yang kuat adalah: boleh adanya upah karena
pengajaran Al Qur’an. Dan kami telah menyebutkan tiga dalil, di antaranya
adalah dalil lafzhiy (tekstual), dan dua dalil amaliy (berupa pengamalan).”
(selesai
dari “Asy Syarhul Mumti’”./10/hal. 9-10).
Tidak diragukan bahwasanya
perbuatan tadi sekalipun boleh dilakukan, tapi jika dia itu tanpa udzur,
sedikit banyak akan mengurangi kehormatan pelakunya, sebagaimana ucapan
sebagian imam رحمهم الله.
Al Imam Abu Amr Ibnush Sholah رحمه الله berkata: “Barangsiapa mengambil
upah dari pembacaan hadits, sebagian imam hadits melarang untuk menerima
riwayatnya. Kami riwayatkan dari Ishaq bin Ibrohim bahwasanya beliau ditanya
tentang ahli hadits yang menyampaikan hadits dengan upah. Maka beliau menjawab:
“Janganlah engkau tulis hadits darinya.” Dan diriwayatkan seperti itu juga dari
Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim Ar Roziy.
Abu Nu’aim dan Ali bin Abdil Aziz
Al Makkiy dan yang lainnya mencari keringanan dalam mengambil upah dari
penyampaian hadits. Dan yang demikian itu mirip dengan mengambil upah dari
pengajaran Al Qur’an dan yang semacam itu.
Hanya saja perbuatan ini secara
adat kebiasaan akan merusak kehormatan pelakunya, dan membikin dia disangka
buruk. Kecuali jika dia diiringi dengan udzur yang meniadaan praduga buruk tadi
darinya, seperti berita yang diceritakan padaku oleh Asy Syaikh Abul Muzhoffar,
dari ayahnya Al Hafizh Abu Sa’d As Sam’aniy: bahwasanya Abul Fadhl Muhammad bin
Nashir As Salamiy menyebutkan: bahwasanya Abul Husain Ibnun Naqur berbuat itu,
karena Asy Syaikh Abu Ishaq Asy Syairoziy berfatwa kepadanya akan bolehnya
mengambil upah dari penyampaian hadits, karena para hali hadits selalu
menghalangi dirinya dari bekerja untuk keluarganya. Wallohu a’lam.”
(“Muqoddimah
Ibnush Sholah”/hal. 61).
Dan dikarenakan hal itu mengurangi
kehormatan dan memberatkan hati manusia yang tercipta untukmenyayangi harta
mereka, -sekalipun minta upah dari pengajaran tadi adalah boleh- maka Alloh
ta’ala mensucikan para Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام dari perbuatan itu sebagaimana telah lewat dalil-dalil tentang
itu.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ
أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian
upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Al Imam Muhammad bin Ali Al
Qoshshob رحمه الله berkata: “Dan
firman Alloh ta’ala: “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari
dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan” merupakan dalil
bahwasanya di dalam karakter manusia itu ada ketidaksukaan pada petuah yang
datang dari orang yang mengambil dinar dan dirham, dan bahwasanya menjaga
kehormatan dari dinar dan dirham itu terpuji di mata orang-orang di zaman
jahiliyyah, bagi orang yang zuhud terhadap dinar dan dirham, dan orang yang
bersegera mengambil dinar dan dirham itu martabatnya rendah. Maka Alloh
memerintahkan Rosul-Nya صلى الله
عليه وسلم
untuk mengumumkan pensucian diri kepada para makhluk yang diberi peringatan,
mensucikan diri dari mengambil upah harta atas dakwah beliau, yang mendakwahkan
Kitabulloh dan agama-Nya yang Dia syariatkan kepada para hamba-Nya, agar dakwah
beliau itu murni kepada Alloh جل وتعالى
, bersih tidak tercampurkan dengan kecondongan pada dunia, karena dunia itu
akan merendahkan pencarinya dan orang-orang yang condong kepadanya, merendahkan
mereka dari martabah-martabat kemuliaan dan derajat-derajat hamba yang
didekatkan. Dan dengan itu Alloh mengabarkan kisah para Rosul yang telah
berlalu sebelum beliau di dalam surat Asy Syu’aro dan lainnya dengan firman-Nyaعليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري
إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah
sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil
alamin.”
Dan
seterusnya.
(“Nukatul
Qur’an”/4/hal. 98-99/cet. Dar Ibnil Qoyyim).
Wahai saudara-saudaraku, inilah jalan para
Nabi jika kita ingin mendapatkan keutamaan yang lebih tinggi.
Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Firman Alloh ta’ala:
﴿ويا قوم لا أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الله﴾ الآية .
“Dan wahai kaumku, tidaklah aku minta pada
kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali menjadi
tanggungan Alloh.” Hingga akhir ayat. (QS. Hud: 29).
Alloh ta’ala dalam ayat yang mulia
ini menyebutkan dari Nabi-Nya Nuh –semoga sholawat dan salam tercurah pada
beliau dan pada Nabi kita-, bahwasanya beliau mengabarkan pada kaum beliau
bahwasanya beliau tidak minta pada mereka harta sebagai bayaran dari wahyu dan
petunjuk yang beliau datangkan, bahkan beliau itu mencurahkan kebaikan yang
agung tadi secara gratis kepada mereka, tanpa mengambil upah sebagai bayaran
amalan tadi.
Dan Alloh dalam ayat yang banyak
telah menjelaskan bahwasanya yang demikian itu adalah sifat para Rosul عليهم صلوات الله وسلامه, -kemudian Asy Syinqithiy
menyebutkan ayat-ayat yang banyak tentang hal itu, lalu beliau berkata:-, dan
aku telah menyebutkan sisi penggabungan antara ayat-ayat yang tersebut ini dengan firman Alloh ta’ala:
﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ
أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian
upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Dalam
kitab kami “Daf’u Ihamil Idhthirob ‘An Ayatil Kitab” dalam surat Saba, ketika
membahas firman Alloh ta’ala:
﴿قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّن
أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ﴾ [ سبأ : 47 ]
“Katakanlah: upah yang aku minta dari kalian,
maka itu adalah untuk kalian sendiri.”
Dan diambil dari ayat-ayat yang
mulia ini: bahwasanya yang wajib dilakukan para pengikut para Rosul, dari
kalangan ulama dan yang lainnya adalah: hendaknya mereka itu mencurahkan ilmu
yang mereka miliki secara gratis tanpa mengambil ganti dari amalan tadi, dan
bahwasanya tidak pantas mengambil upah atas pengajaran Kitabulloh ta’ala,
ataupun juga pengajaran aqidah-aqidah dan perkara halal dan harom.
Dan penjelasan ini didukung oleh
hadits-hadits yang menunjukkan makna tadi. Di antaranya adalah hadits riwayat
Ibnu Majah, Al Baihaqiy dan Ar Ruyaniy dalam Musnadnya dari Ubaiy bin Ka’b رضي الله عنه yang berkata:
علمت رجلاً القرآن ، فأهدى لي قوساً ، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم
فقال : «إن أخذت قوساً من نار» فرددتها
“Aku pernah mengajari seseorang Al Qur’an,
maka dia memberiku hadiah busur panah. Maka aku menceritakan hal itu kepada Nabi
صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika engkau
mau mengambil busur dari neraka.” Maka aku mengembalikannya.”
Al Baihaqiy dan Ibnu Abdil Barr
berkata tentang hadits ini: “Hadits ini munqothi’ (sanadnya terputus).” Yaitu
antara ‘Athiyyah Al Kila’iy dan Ubaiy bin Ka’b. Demikian pula dikatakan oleh Al
Mizziy. Tapi dibantah oleh Ibnu Hajar bahwasanya ‘Athiyyah dilahirkan pada
zaman Nabi صلى الله عليه وسلم.
Dan Ibnul Qoththon menyatakan
bahwasanya sanadnya berpenyakit karena ‘Athiyyah tersebut adalah Abdurrohman
bin Salm, dan dia itu majhul.
Ibnu Hajar berkata dalam “At
Taqrib”: “Orang ini majhul dari Syam.”
Asy Syaukaniy berkata dalam “Nailul
‘Author”: “Hadits ini punya jalur-jalur ke Ubaiyy. Ibnul Qoththon berkata:
“Tidak ada hadits yang tetap dalam masalah ini sedikitpun.” Al Hafizh (Ibnu
Hajar) berkata: “Ucapan beliau perlu diperiksa lagi.” Al Mizziy dalam “Al
Athrof” menyebutkan jalur-jalur untuk hadits tadi, di antaranya adalah:
bahwasanya orang yang diajari Al Qur’an oleh Ubaiyy adalah Ath Thufail bin Amr.
Dan ini didukung oleh apa yang diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam “Al
Ausath” dari Amr bin Thufail Ad Dausiy yang berkata: “Ubaiyy bin Ka’b
membacakan Al Qur’an kepadaku, maka aku memberinya hadiah busur panah. Maka
beliau berangkat menemui Nabi صلى الله عليه وسلمsambil
mengalungkannya ke lehernya. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Engkau mengalungkan busur dari Jahannam.” Al hadits.
(“Adhwaul
Bayan”/Asy Syinqithiy/366-367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah)
Saya
katakan –dengan taufiq Alloh semata-: Hadits Ubayy diriwayatkan oleh Ibnu Majah
(2158) dan Al Baihaqiy “Al Kubro” (126). Dan dihukumi berpenyakit oleh para
Huffazh, sebagaimana telah disebutkan.
Athiyyah
bin Qois majhul. Abdurrohman bin Salm majhul ‘ain.
Al
Hafizh Adz Dzahabiy رحمه الله dalam biografi
Abdurrohman bin Salm berkata: “Sanadnya goncang, tentang orang yang memberi
Ubayy hadiah busur panah. Dan tiada yang meriwayatkan darinya –Abdurrohman bin
Salm- kecuali Tsaur bin Yazid.” (“Mizanul I’tidal” (4878)).
Al
Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Di
dalam sanadnya banyak perselisihan.” (“Tahdzibut Tahdzib”/6/hal. 170).
Adapun
hadits Ath Thufail bin Amr رضي الله عنه diriwayatkan oleh Ath Thobroniy di “Al Ausath”, dan di dalam
sanadnya Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, tidak diketahui siapakah dia? Maka
dia itu majhul ‘ain, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Isma’il bin
‘Ayyasy. Dan tidak diketahui apakah dia mendengar dari Ath Thufail.
Al
Hafizh Al Haitsamiy رحمه الله berkata: “Di
dalam sanadnya ada Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, dan tidak aku dapati
biografinya, dan aku tidak mengira dia itu berjumpa dengan Ath Thufail.”
(“Majmu’uz Zawaid”/4/hal. 111).
Maka
mencari dukungan dengan hadits ini tidaklah kuat. Wallohu a’lam.
Bahkan
Al Hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan
hadits-hadits ini munkaroh, tidak ada yang shohih darinya sedikitpun menurut
ulama hadits.” (“At Tamhid”/21/hal. 114).
Kemudian
Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan
Asy Syaukaniy berkata juga: “Dan di dalam bab ini ada hadits dari Mu’adz
diriwayatkan oleh Al hakim dan Al Bazzar seperti hadits Ubaiyy. Dan dari Abud
Darda diriwayatkan oleh Ad Darimiy dengan sanad sesuai dengan syarat Muslim
seperti hadits Ubaiyy. (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil
‘Ilmiyyah).
Saya
katakan –dengan taufiq Alloh semata-: Adapun hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه maka saya belum menemukannya sampai
sekarang.
Adapun
hadits Abud Darda رضي الله عنه maka
diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di “Hilyatul Auliya” (6/hal. 86), dan Al Baihaqiy
di “As Sunanul Kubro” (6/hal. 126).
Al
Hafizh Duhaim –Abdurrohman bin Ibrohim-: “Hadits Abud Darda رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang orang yang mengalungkan
busur sebagai upah dari pengajaran Al Qur’an itu tidak punya asal (tidak punya
asal yang shohih).” (dinukilkan oleh Al Baihaqiy di “As Sunanul Kubro” (6/hal.
126)).
Kemudian
Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan
termasuk dari dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu
Majah dari Ubadah ibnush Shomit رضي الله عنه yang berkata:
علمت ناساً من أهل الصفة الكتاب والقرآن ، فأهدى إلى رجل منهم قوساً فقلت
ليست بمال أرمي بها في سبيل الله عز وجل ، لآتين رسول الله صلى الله عليه وسلم
فلأسألنه ، فأتيته فقلت: يا رسول الله ، أهدى إلي رجل قوساً ممن كنت أعلمه الكتاب
والقرآن وليست بمال أرمى عليها في سبيل الله؟ فقال : «إن كنت تحب أن تطوق طوقاً من
نار فاقبلها»
“Aku pernah mengajarkan tulisan dan Al Qur’an
para sekelompok orang dari Ahlush Shuffah, dan seorang dari mereka
menghadiahkan padaku sebuah busur panah. Maka aku berkata: “Ini bukan uang, dan
aku akan menembakkan panah dengannya di jalan Alloh. Sungguh aku akan
mendatangi Rosululloh صلى الله
عليه وسلم
dengannya untuk aku tanya beliau tentang ini. Maka aku mendatangi beliau dan
menanyai beliau. Maka beliau bersabda: “Jika engkau senang dikalungi busur dari
api, maka terimalah dia.”
Di dalam sanadnya ada Al Mughiroh
bin Ziyad Al Maushiliy. Asy Syaukaniy berkata: “Dia dihukumi tsiqoh oleh Waki’
dan Yahya bin Ma’in, tapi sekelompok huffazh mengkritiknya.”
Al Imam Ahmad berkata: “Al Mughiroh
ini lemah haditsnya, dia meriwayatkan hadits-hadits munkaroh. Dan setiap hadits
yang dia sebutkan sanadnya kepada Nabi maka itu adalah munkar.”
Abu Zur’ah Ar Roziy berkata: “Tidak
boleh berhujjah dengan haditsnya.”
Ibnu Hajar di “At Taqrib” berkata:
“Al Mughiroh bin Ziyad Al Bajaliy, Abu Hisyam atau Abu Hasyim Al maushiliy
shoduq punya kekeliruan-kekeliruan.”
(“Adhwaul
Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
aya katakan –dengan taufiq Alloh
semata-:
Hadits Ubadah ibnush shomit رضي الله عنه diriwayatkan oleh Abu Dawud (3416)
dan Ibnu Majah (2157). Di dalam sanadnya ada Al Mughiroh bin Ziyad Al
Maushiliy.
Al Mughiroh bin Ziyad adalah Abu
Hisyam Al Maushiliy. Dihukumi tsiqoh oleh sebagian imam, dan dia punya
hadits-hadits munkar.
Al Imam Ahmad berkata tentangnya:
“Dia itu haditsnya goncang, munkarul hadits, hadits-haditsnya itu munkaroh.”
Yahya bin Ma’in berkata: “Laisa
bihi ba’s, dan dia punya satu hadits yang munkar.”
Abu Zur’ah berkata: “Di dalam
haditsnya ada kegoncangan.”
Ibnu Adi berkata: “Hampir semua
yang diriwayatkannya itu lurus, hanya saja terjadi pada haditsnya kekeliruan
sebagaimana yang terjadi pada hadits rowi yang shoduq. Dia itu la ba’sa bih.”
(selesai
dari “Tahdzibut Tahdzib” (10/hal. 232)).
Al hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله telah menetapkan bahwasanya hadits
ini adalah bagian dari hadits-hadits munkarnya Al Mughiroh bin Ziyad. Setelah
menyebutkan hadits itu beliau berkata: “Adapun Al Mughiroh bin Ziyad maka dia
itu terkenal sebagai pembawa ilmu, akan tetapi dia punya hadits-hadits
munkaroh, di antaranya adalah hadits ini.” (“At Tamhid”/21/hal. 114).
Kemudian
Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan
hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur lain tidak ada di dalamnya Al
Mughiroh tersebut: Haddatsana Amr bin Utsman dan Katsir bin Ubaid yang keduanya
berkata: haddatsana Baqiyyah: haddatsani Bisyr bin Abdillah bin Yasar. Amr
berkata: dan haddatsaniy Ubadah bin Nusai dari Junadah bin Abi Umayyah, dari
Ubadah ibnush Shomit semisal hadits tadi. Dan hadits yang pertama lebih
sempurna: maka aku berkata: “Apa pandangan Anda tentang itu wahai Rosululloh –صلى الله عليه وسلم-? Maka beliau menjawab:
«جمرة بين كتفيك تقلدتها أو تعلقتها»
“Itu adalah bara api di antara kedua pundakmu
yang engkau kalungkan atau engkau gantungkan.”
Selesai
dari beliau dengan lafazhnya.
Dan di dalam sanad riwayat ini ada Baqiyyah
ibnul Walid, dikritik oleh sekelompok ulama dan ditsiqohkan oleh yang lain jika
meriwayatkan dari rowi-rowi yang tsiqot. Dan dia adalah rowi di dalam “Shohih
Muslim”. Dan Al Bukhoriy meriwayatkan untuknya secara mu’allaq (tidak
menyebutkan sebagian rantai sanad Antara beliau ke Baqiyyah). Ibnu Hajar
berkata tentangnya dalam “At Taqrib”: “Shoduq, banyak mentadlis (menyembunyikan
seorang rowi) dari rowi-rowi yang lemah.”
Yang
nampak bagiku bahwasanya pendapat yang paling adil tentangnya adalah: jika dia
terang-terangan meriwayatkan dengan lafazh yang menunjukkan bahwa dia mendengar
dari rowi yang tsiqot, maka tidak apa-apa. Dan haditsnya ini didukung oleh
riwayat yang telah terdahulu dan hadits yang akan datang insya Allohu ta’ala.”
(“Adhwaul
Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya
katakan –dengan taufiq Alloh semata-: hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud
(3417), di dalamnya Baqiyyah ibnul Walid terang-terangan meriwayatkan dengan
lafazh yang menunjukkan bahwa dia mendengar dari dari Bisyr bin Abdillah bin
Yasar.
Baqiyyah
ibnul Walid itu hafizh, termasuk imam Syam, akan tetapi riwayatnya dari
rowi-rowi yang majhul itu munkaroh.
Al Imam
Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku kira Baqiyyah itu tidak meriwayatkan
hadits-hadits yang munkar kecuali dari rowi-rowi yang majhul. Ternyata dia juga
meriwayatkan hadits-hadits yang munkar dari rowi-rowi yang terkenal. Maka
tahulah aku dari mana dia kena bencana ini.”
Abu
Mushir berkata: “Hadits-hadits Baqiyyah itu tidak bersih, maka lindungilah
dirimu dari hadits-haditsnya.”
(dua
penukilan ini ada di “Mizanul I’tidal”/ (1250)).
Abdulloh bin Ahmad berkata: “Ayahku
ditanya tentang Baqiyyah dan Isma’il, maka beliau menjawab: “Baqiyyah lebih aku
sukai. Tapi jika dia meriwayatkan dari orang-orang yang tidak terkenal maka
jangan kalian terima riwayatnya.”
Ibnu Abi Khoitsamah berkata: “Yahya
–bin Ma’in- ditanya tentang Baqiyyah, maka beliau menjawab: “Jika dia
meriwayatkan dari orang-orang tsiqoh semisal Shofwan bin Amr dan lainnya, maka
terimalah, tapi jika dia meriwayatkan dari para majhul maka jangan diterima.”
(dua
penukilan ini ada di “Tahdzibut Tahdzib” (878)).
Dan orang yang diriwayatkan oleh
Baqiyyah dalam hadits ini adalah Bisyr bin Abdillah bin Yasar, dari Himsh,
disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan tidak ditsiqohkan oleh imam
yang terpandang. Maka Bisyr ini majhul.
Jika
demikian maka sanad ini munkar juga (riwayat Baqiyyah dari majhul).
Akan tetapi Baqiyyah tidak
sendirian dengan riwayat ini. Dia telah diikuti oleh Abul Mughiroh, sebagaimana
diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dalam “Musnad” beliau (22818). Dan Abul
Mughiroh ini adalah Kholid bin Dahqon Al Qurosyiy, tsiqoh. Maka sanad ini lemah
karena adanya Bisyr bin Abdillah bin Yasar yang majhul tadi.
Kesimpulan dari ini semua:
Bahwasanya hadits Ubaiy bin Ka’b رضي الله عنه di dalamnya ada majhul hal, majhul
‘ain, dan dilemahkan karena inqitho’ (terputus) dan idhthirob (kegoncangan)
juga.
Bahwasanya hadits Ath Thufail bin
Amr رضي الله عنه di dalamnya ada
majhul ‘ain, dan dikhawatirkan terputus juga.
Bahwasanya hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه yang diisyaratkan oleh Asy
syaukaniy tidak saya dapatkan.
Bahwasanya hadits Abud Dardaرضي الله عنهtelah
dihukumi oleh Duhaim رحمه الله bahwasanya dia
itu tidak ada asalnya. Yaitu: tidak punya asal yang tetap.
Bahwasanya hadits Ubadah رضي الله عنه punya sanad munkar, dan punya sanad
lain yang lemah dan bisa untuk menjadi dukungan.
Jika demikian, maka seluruh hadits
dalam bab ini –sebatas apa yang saya dapati, dan pengetahuan saya itu dangkal-
lemah semua, tidak bisa saling menguatkan. Alloh ta’ala a’lam. Dan saya tidak
mengingkari pihak yang menghukumi hadits tadi hasan.
Al Hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata tentang hadits-hadits dalam
bab ini: “Semuanya lemah, tidak ada yang bisa menjadi hujjah sedikitpun.” (“Al
Istidzkar”/5/hal. 418).
Maka dikarenakan lemahnya
dalil-dalil yang melarang dan kuatnya dalil-dalil yang membolehkan, mayoritas
Salaf yang terdahulu membolehkan meminta upah pengajaran, atau mengambil upah
pengajaran, bersamaan dengan pendapat mereka bahwasanya memurnikan minta pahala
dari Alloh ta’ala itu lebih utama.
Kholid Al Hadzdza berkata: “Aku
bertanya kepada Abu Qilabah tentang pengajar yang mengajar dan mengambil upah.
Maka beliau berpandangan bahwasanya itu tidak apa-apa.” (“Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah” (20831)/shohih).
Dan Abdulloh bin Thowus menceritakan
dari ayahnya, bahwasanya beliau berpendapat tidak apa-apa pengajar mengajar dan
tidak memasang syarat, jika diberi sesuatu dia mengambilnya.” (“Mushonnaf Ibnu
Abi Syaibah” (20832), dan “Mushonnaf Abdurrozzaq” (14532) /shohih).
Dan dari Utsman Ibnul Harits, dari
Asy Sya’biy yang berkata: “Si pengajar jangan memasang syarat, adapun jika dia
diberi sesuatu, maka silakan dia menerimanya.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah”
(20833) /shohih).
Sekalipun hukumnya boleh, akan
tetapi para Salaf memakruhkan seorang pengajar memasang syarat upah pengajaran,
karena hal itu mengurangi kehormatan, dan menyelisihi jalan para Nabi, padahal
para pengajar itu seharusnya menjadi orang yang terdepan dalam mencontoh para
Nabi mereka.
Dari Al Mughiroh, dari Ibrohim –An
nakho’iy- yang berkata: “Dulu dibenci seorang pengajar yang mengajari anak-anak
dengan Al Qur’an itu memasang syarat (upah).” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah”
(20836) /shohih).
Dan dari Asy’ats –yaitu Ibnu Ishaq
Al Qummiy-, dari Al Hasan –yakni Al Bashriy- yang berkata: “Tidak mengapa
mengambil upah menulis, tapi pensyaratan itu dibenci.” (“Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah” (20838) /shohih).
Dan atsar-atsar tentang ini banyak.
Sebagian ulama dalam rangka
menggabungkan antara dalil-dalil yang membolehkan dengan dalil-dalil yang
melarang berkata: “Barangsiapa mengajarkan Al Qur’an dalam rangka mencari upah,
maka boleh baginya untuk mengambil upah tadi. Tapi barangsiapa mengajarkan Al
Qur’an dalam rangka ikhlas karena Alloh, jika dia diberi upah maka dia tidak
boleh mengambilnya agar niat pertamanya tidak rusak.
Akan tetapi pendapat ini lemah jika
dihdapkan kepada perintah Nabi صلى الله عليه وسلم untuk mengambil pemberian yang datang kepada kita tanpa kita
minta dan tanpa pengharapan hati akan datangnya pemberian tadi.
Dan Abdulloh As Sa’idiy yang
berkata:
استعملني عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الصدقة، فلما فرغت منها وأديتها
إليه أمر لي بعمالة، فقلت: إنما عملت لله، وأجري على الله. فقال: خذ ما أعطيت فإني
عملت على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فعملني، فقلت مثل قولك، فقال لي رسول
الله صلى الله عليه و سلم: «إذا أعطيت شيئا من غير أن تسأل فكل وتصدق».
“Umar ibnul Khoththob pernah mempekerjakan aku
untuk mengurus shodaqoh. Manakala aku selesai mengurusinya dan aku
menunaikannya kepada beliau, beliau memerintahkan agar aku diberi upah kerja.
Maka aku berkata: “Saya beramal hanyalah untuk Alloh, dan pahala saya menjadi
tanggungan Alloh.” Maka beliau berkata: “Ambillah apa yang kuberikan padamu,
karena aku pernah beramal pada zaman Rosululloh صلى الله عليه وسلم , lalu beliau memberiku upah kerja. Maka aku berkata pada
beliau seperti ucapanmu. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم berkata kepadaku: “Jika engkau diberi sesuatu tanpa engkau
memintanya, maka makanlah pemberian itu dan bershodaqohlah.” (HR. Al Bukhoriy
(7163) dan Muslim (1045), dan lafazh ini adalah lafazh Muslim).
Dan dalam lafazh Al Bukhoriy: Maka
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ambillah
dia, lalu jadikanlah itu sebagian bagian dari hartamu, dan bershodaqohlah
dengannya. Apapun yang datang kepadamu dari harta ini dalam keadaan engkau
tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, maka ambillah dia. Jika engkau
tidak diberi, maka janganlah jiwamu mengharap-harapkannya.”
Syamsul Haqq ‘Azhim Abadiy رحمه الله berkata tentang hadits ini: “Di
dalamnya ada dalil tentang bolehnya mengambil upah atas pekerjaan-pekerjaan
Muslimin dan perwalian-perwalian mereka yang bersifat agama dan keduniaan.”
(“Aunul Ma’bud”/5/hal. 43).
Kita kembali pada perkataan Al Imam
Asy Syinqithiy رحمه الله.
Kemudian beliau رحمه الله berkata: “Dan termasuk dalil yang
melarang adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Tirmidziy
dari ‘Imron bin Hushoin رضي الله
عنهما
dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya
beliau bersabda:
«اقرؤوا القرآن واسألوا الله به ، فإن من بعدكم قوماً
يقرؤون القرآن يسألون به الناس».
“Bacalah Al Qur’an, dan mintalah kepada Alloh
dengannya, karena sesungguhnya setelah kalian nanti ada suatu kaum yang membaca
Al Qur’an dan meminta kepada manusia dengan Al Qur’an.”
At
Tirmidziy berkata: “Sanadnya tidak seberapa kuat.”
(“Adhwaul
Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya berkata dengan taufiq Alloh
semata:
adits ini diriwayatkan oleh Al
Imam Ahmad (19958) dan At Tirmidziy (2917), dan di dalam sanadnya ada
Khoitsamah dari Al Hasan dari ‘Imron bin Hushoin رضي الله عنهما .
Khoitsamah ini adalah Abu Nashr ibn
Abi Khoitsamah. Nama ayahnya adalah Abdurrohman Al Bashriy. Ibnu Ma’in berkata
tentangnya: “Dia tidak ada harganya.” (“Tahdzibut Tahdzib”/ no. (337)).
Maka sanadnya adalah lemah sekali.
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan termasuk darinya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “Sunan” beliau: haddatsana
Wahb bin Baqiyyah: akhbarona: Kholid, ‘an Humaid Al A’roj, ‘an Muhammad ibnul
Munkadir, ‘an Jabir bin Abdillah yang berkata:
خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقرأ القرآن وفينا الأعرابي
والأعجمي فقال: «اقرؤوا فكل حسن ، وسيجيء أقوام يقيمونه كما يقال القدح يتعجلونه
ولا يتأجلونه»
.
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah keluar menemui kami dalam keadaan kami membaca Al
Qur’an, dan di antara kami ada orang-orang badui dan orang asing. Maka beliau
bersabda: “Bacalah, maka masing-masing dari bacaan kalian itu bagus. Dan nanti
akan datang kumpulan orang-orang yang menegakkan bacaan Al Qur’an sebagaimana
ditegakkannya anak-anak panah, mereka bersegera mencari upahnya dan tidak
menunda upahnya.”
(“Adhwaul
Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya katakan dengan taufiq Alloh
semata:
Hadits ini diriwayatkan oleh Al
Imam Ahmad (15308) dan Abu Dawud (830), dan para perowinya tsiqoh semua,
kecuali Humad Al A’roj, dia itu adalah Abu Shofwan Humaid bin Qois Al Makkiy,
shoduq. Maka hadits ini hasan.
Syamsul Haqq رحمه الله berkata tentang makna hadits ini:
“Yaitu: masing-masing dari bacaan kalian itu bagus, diharapkan pahalanya jika
kalian lebih mengutamakan Akhirat yang tertunda daripada dunia yang
disegerakan. Kalian tidak berdosa jika kalian tidak menegakkan lidah-lidah
kalian bagaikan ditegakkannya anak panah sebelum dipasangi bulu. Dan nanti akan
datang kumpulan orang-orang yang menegakkannya, yaitu: membenarkan
lafazh-lafazhnya dan kalimat-kalimatnya dan membebani diri dalam memperhatikan
tempat-tempat keluarnya huruf dan sifat-sifatnya, sebagaimana ditegakkannya
panah, yaitu mereka berlebihan dan mengamalkan bacaan dengan berlebihan yang
keterlaluan dalam rangka mencari pujian karena dilihat dan didengar orang dan
untuk kebanggaan dan kemasyhuran.”
Ath Thibiy berkata: “Dan di dalam
hadits ini ada dalil dihilangkannya kesusahan, dan dibangunnya perkara ini di
atas kemudahan secara lahiriyyah, dan bersungguh-sungguh dalam mencari pahala
Alloh dan keikhlasan dalam beramal, dan memikirkan makna-makna Al Qur’an dan
menyelami keajaiban-keajaiban Al Qur’an. “mereka bersegera mencari upahnya”
yaitu: pahala di dunia, “dan tidak menunda upahnya” yaitu: mereka tidak mencari
pahala di Akhirat tapi justru mereka lebih mengutamakan dunia yang disegerakan
dari pada pahala Akhirat yang ditunda, mereka mencari makan dari Al Qur’an dan
tidak mau bertawakkal pada Alloh.”
(selesai
dari “Aunul Ma’bud”/3/hal. 42).
Hadits ini bukanlah dalil untuk
mengharomkan meminta upah, akan tetapi di dalamnya ada celaan atas perbuatan
tadi.
Al Qodhi Al ‘Ainiy رحمه الله berkata: “Maksudnya adalah: mereka
menyegerakan pahalanya di dunia, dan menuntut upah atas bacaan mereka dari
herta-harta duniawiy, dan mereka tidak bersabar menanti pahala dan ganjaran
yang akan mereka dapatkan di Akhirat. Dan kejadian ini telah berlangsung
sebagaimana yang disabdakan oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم.” (“Syarh Sunan Abi Dawud”/Al Ainiy/4/hal. 12).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله menyebutkan dari Abu Dawud setelah
itu: haddatsana Ahmad bin Sholih: haddatsana Abdulloh bin Wahb: akhbaroni ‘Amr
wa Ibnu Lahi’ah: ‘an Bakr bin Sawadah: ‘an Wafa bin Syuroih Ash Shodafiy: ‘an
Sahl bin Sa’d As Sa’idiy:
خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقتري فقال : «الحمد لله ،
كتاب الله واحد ، وفيكم الأحمر وفيكم الأبيض وفيكم الأسود ، اقرؤوا قبل أن يقرأه
أقوام يقيمونه كما يقوم السهم يتعجل أجره ولا يتأجله»
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah keluar menemui kami dalam keadaan kami membaca Al
Qur’an, maka beliau bersabda: “Segala pujian bagi Alloh. Kitab Alloh itu satu,
dan di kalangan kalian itu ada orang kulit merah, di kalangan kalian itu ada
orang kulit putih, di kalangan kalian itu ada orang kulit hitam. Bacalah
sebelum Al Qur’an itu dibaca oleh orang-orang yang menegakkannya sebagaimana
menegakkan panah, dia bersegera mencari upahnya dan tidak menunda upahnya.”
(“Adhwaul
Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya katakan dengan taufiq Alloh
semata:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud (831), dan di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah, hapalannya buruk dan
beliau itu mudallis. Akan tetapi beliau didukung oleh ‘Amr, yaitu ‘Amr ibnul
Harits bin Ya’qub bin Abdillah Al Anshoriy, Abu Umayyah Al Mishriy, tsiqoh
tsabt. (“Tahdzibut Tahdzib”/8/hal. 13).
Dan Bakr bin Sawadah adalah Abu
Tsumamah Al Mishriy, tsiqoh. (“Tahdzibut Tahdzib” (886)).
Wafa bin Syuroih Ash Shodafiy
disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan tidak ditsiqohkan oleh imam
yang terpandang. Maka dia majhul.
Maka sanadnya lemah, dan hadits ini
hasan karena diperkuat oleh hadits yang sebelumnya.
Dan di dalam hadits tadi ada dalil
bahwasanya barangsiapa lebih mengutamakan pahala dunia daripada Akhirat maka
dia itu tercela.
Al Munawiy رحمه الله berkata: “Berita ini datang dalam
alur celaan terhadap orang-orang yang akan datang (dengan sifat yang tersebut
dalam hadits) itu.” (“Faidhul Qodir” (1341)).
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan di antaranya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad, dari Abdurrohman bin Syibl, dari
Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«اقرؤوا القرآن ولا تغلوا فيه ولا تجفوا عنه ولا تأكلوا
به ولا تستكثروا به».
“Bacalah Al Qur’an, dan janganlah kalian
berlebihan di dalamnya, dan janganlah kalian menjauh darinya, dan janganlah
kalian memakan harta dengannya, dan janganlah kalian memperbanyak harta
dengannya.”
Asy Syaukaniy رحمه الله berkata dalam “Nailul Author”
tentang hadits ini: “Al Haitsamiy berkata dalam “Majma’uz Zawaid”: para rowi
Ahmad tsiqot.”
(“Adhwaul
Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya katakan dengan taufiq dari
Alloh semata:
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (15568) dengan sanad shohih dari Yahya bin
Abi Namir, dari Abu Rosyid Al Hibroniy, dari Abdurrohman bin Syibl رضي الله عنه dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم .
Saya
tidak menemukan biografi Yahya bin Abi Namir. Akan tetapi dengan mengumpulkan
jalur-jalur hadits ini ketahuan bahwasanya yang benar adalah Yahya bin Abi
Katsir, bukan Yahya bin Abi Namir. Terjadi salah penulisan.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Mushonnaf” (7742) dari Waki’:
haddatsana Hisyam Ad Dustuwa’iy, dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Rosyid dari
Abdurrohman bin Syibl.
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Ath Thohawiy dalam “Musykilul Atsar” (3671) dari Ali
ibnul Mubarok: dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Sallam, dari Abu Sallam,
dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.
Yahya
bin Abi Katsir mudallis dan telah meriwayatkan dengan ‘an’anah. Dan telah
nampak dalam sanad Ath Thohawiy bahwasanya Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan
hadits ini dari Zaid bin Sallam, dari Abu Sallam –yaitu Mamthur Al Habsyiy-,
dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.
Yahya
bin Abi Katsir mendapat dukungan dari Mu’awiyah bin Sallam, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Al Ahad Wal Matsaniy” (1862) dari
jalur Muhammad bin Syu’aib bin Syabur: akhbaroniy Mu’awiyah bin Sallam, dari
saudara beliau: Zaid bin Sallam, bahwasanya beliau mengabarkan dari kakek
beliau: Abu Sallam, dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.
Diriwayatkan
oleh Abdurrozzaq dalam “Mushonnaf” (19444) dari Ma’mar: dari Yahya bin Abi
Katsir, dari Zaid bin Sallam, dari kakeknya yang berkata: Mu’awiyah –bin Abi
Sufyan- menulis surat kepada Abdurrohman bin Syibl. Tanpa menyebutkan Abu
Rosyid.
Akan
tetapi yang jelas adalah bahwasanya Abu Sallam –yaitu Mamthur Al Habsyiy-, kakek
Zaid bin Sallam meriwayatkan hadits ini dari Abu Rosyid, karena Abu Sallam
memang murid Abu Rosyid. Dan Abu Rosyid inilah yang langsung menghadiri kisah
tadi, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Jauzajaniy, sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Hajar dalam “Tahdzibut Tahdzib”, dalam biografi Abu Rosyid.
Dan
juga sebagaimana yang kami sebutkan dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim, Ath Thohawiy
dan Ibnu Abi Syaibah.
Abu
Rosyid ini adalah Al Hibroniy Al Himyariy Al Himshiy. Namanya Akhdhor. Ada yang
bilang namanya adalah Nu’man. Dia meriwayatkan dari Abdurrohman bin Syibl Al
Anshoriy dan sejumlah Shohabat. Meriwayatkan darinya Abu Sallam Al Aswad.
Beliau disebutkan oleh Abu Zur’ah Ad Dimasyqiy dalam ath thobaqotul ‘ulya
(tingkatan tertinggi) dari orang-orang yang di bawah Shohabat. Al ‘Ijliy
berkata: “Beliau adalah orang Syam, tabi’iy, tsiqoh. Tidak ada di zaman beliau
di Damaskus orang yang lebih utama daripada beliau.” Dan beliau disebutkan oleh
Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot.” (“Tahdzibut Tahdzib”/12/hal. 99).
Sesungguhnya
pentsiqohan Al ‘Ijliy dan Ibnu Hibban itu tidaklah kokoh. Akan tetapi manakala
sang rowi masuk dalam tingkatan tertinggi dari Tabi’in, maka derajatnya
terangkat, sehingga haditsnya bisa dihasankan.
Al
Munawiy رحمه الله berkata tentang makna hadits ini:
““Bacalah Al Qur’an, dan amalkanlah” dengan menjalankan perintahnya dan
menjauhi larangannya. “dan janganlah kalian menjauh darinya” yaitu: janganlah
kalian menjauhi bacaannya. “dan janganlah kalian berlebihan di dalamnya” yaitu:
janganlah kalian melampaui batasannya dari sisi lafazhnya atau maknanya, dengan
jalan kalian menakwilkannya dengan batil. Atau maksudnya adalah: janganlah
kalian sekedar mencurahkan kerja keras dalam membacanya tapi kalian
meninggalkan ibadah-ibadah yang lain. Menjauh adalah kekurangan. Dan berlebihan
adalah berdalam-dalam di situ. Dan dua-duanya adalah buruk, sementara Alloh
telah memerintahkan untuk bersikap tengah dalam berbagai perkara. Alloh
berfirman:
﴿لم يسرفوا ولم يقتروا﴾
“Mereka itu tidak menghamburkan harta dan
tidak pula bersikap pelit.”
“dan
janganlah kalian memakan harta dengannya, dan janganlah kalian memperbanyak
harta dengannya.” Yaitu: janganlah kalian menjadikan Al Qur’an sebagai sarana
untuk memperbanyak keduniaan. Dan termasuk dari adab yang diperintahkan adalah:
bersikap pertengahan dalam berbagai urusan. Sedangkan dua ujung pertengahan
adalah tercela.”
Ath
Thibiy berkata: “Nabi menginginkan agar kalian jangan menjauhi Al Qur’an dengan
meninggalkan bacaannya dan sibuk dengan takwil dan tafsirnya. Dan janganlah kalian
berlebihan dengannya dengan jalan mencurahkan kerja keras dalam membacanya dan
tajwidnya tanpa mau memikirkan kandungannya. Sebagaimana sabda beliau dalam
hadits yang lain:
«لم يفقه من قرأ القرآن في أقل من ثلاث».
“Tidak akan paham orang yang membaca Al Qur’an
kurang dari tiga hari (yaitu: khotam Al Qur’an dalam waktu kurang dri tiga
hari.”
(selesai
penukilan dari “Faidhul Qodir” (2/hal. 64)).
Hadits yang beliau isyaratkan
barusan adalah riwayat At Tirmidziy (2949) dan Ibnu Majah (1347) dari Abdulloh
bin ‘Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما . Hadits ini
shohih.
Dan hadits Abdurrohman bin Syibl رضي الله عنهmerupakan
dalil akan terlarangnya menjadikan Al Qur’an sebagai sarana untuk mendapatkan
keduniaan.
Ulama “Al Lajnatud Daimah Lil
Buhutsil ‘Ilmiyyah Wal Ifta” (4/hal. 318) dalam penjelasan mereka tentang
hadits ini berkata: “Rosul صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk membaca Al Qur’an dan mempelajarinya dalam
rangka mengingat Alloh dan beribadah kepada-Nya, dan mengharapkan pahala-Nya
dan takut kepada hukuman-Nya, dan dalam rangka memahami hukum-hukum-Nya dan
mengamalkannya serta mengambil petuah dari nasihat-nasihatnya. Dan Rosul صلى الله عليه وسلم melarang mengambil upah dari bacaan
Al Qur’an dan mencari makan dengannya.” Selesai.
Apakah orang yang melakukan itu
dikatakan bahwasanya dia membaca Al Qur’an untuk Alloh?
Barangsiapa merenungkan makna
hadits tersebut dan penjelasannya, tahulah dia bahwasanya barangsiapa mencari
makan dengan Al Qur’an, maka bacaannya tadi bukanlah untuk Alloh.
Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Bahwasanya bacaan itu
jika bukan untuk Alloh, maka dia itu adalah untuk riya, atau mencari makan dengan
Al Qur’an, dan yang semisal itu.” Lalu beliau menyebutkan beberapa dalil, di
antaranya adalah hadits Abdurrohman bin Syibl ini, dan berkata: “Sanadnya
kuat.” (“Fathul Bari”/9/hal. 100).
Maka orang itu sekalipun selamat
dari dosa, karena ada dalil-dalil yang membolehkan, tapi sebagian pahala
amalnya rusak sesuai dengan kadar niatnya, karena amalan itu jika tidak karena
Alloh maka dia itu batil, sehingga tinggal menjadi bagaikan akad jual beli atau
akad persewaan saja.
Kecuali jika dia memang dalam
kondisi berhajat kepada rizqi, dan dia meniatkan dengan niat yang jujur
bahwasanya menjadikan pekerjaannya tadi sebagai penolong dia dalam menaati
Alloh dan menunaikan kewajiban-kewajiban, maka dia mendapatkan pahala dari
amalan itu, sebagaimana telah lewat penjelasannya dari Syaikhul Islam رحمه الله.
Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan di antaranya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Al Atsrom dalam “Sunan” beliau dari Ubaiyy رضي الله عنه yang berkata:
كنت أختلف إلى رجل مسنّ قد أصابته علة ، قد احتبس في بيته أقرئه القرآن ،
فيؤتى بطعام لا آكل مثله بالمدينة ، فحاك في نفسي شيء فذكرته للنبي صلى الله عليه
وسلم فقال : «إن كان ذلك الطعام طعامه وطعام أهله فكل منه ، وإن كان يتحفك به فلا
تأكله»
“Dulu saya sering berbolak-balik ke seseorang
yang sudah tua dan terkena penyakit, dia tertahan di rumahnya. Saya membacakan
kepadanya Al Qur’an. Lalu didatangkanlah makanan yang belum pernah aku memakan
semisal itu di Madinah. Tapi terdesir di hatiku suatu perkara, maka aku
menceritakan itu pada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika makanan tadi adalah makanan dia dan
keluarganya, maka makanlah darinya. Tapi jika dia menghadiahkan untukmu
(sengaja membikinnya untukmu), maka jangan engkau makan.”
Selesai
dengan perantaraan penukilan Ibnu Qudamah dalam “Al Mughni” dan Asy Syaukaniy
dalam “Nailul Author.”
(“Adhwaul
Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Saya katakan dengan taufiq dari
Alloh semata:
Saya tidak punya “Sunan” Al Atsrom,
tapi hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Ubaid Al Qosim bin Sallam رحمه الله seraya berkata: haddatsana Abdulloh
bin Sholih: ‘an Musa bin Ulaiy bin Robah: ‘an Abihi:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأبي بن كعب
“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم berkata pada Ubaiyy,…”
Semisal
hadits ini.
(“Fadhoilul
Qur’an”/Abu Ubaid/no. (292)).
Abdulloh
bin Sholih adalah Abu Sholih Al Mishriy, sekretaris Al Laits, lemah, bisa untuk
pendukung. (“Tahdzibut Tahdzib”/5/hal. 227).
Musa
bin Ulaiy bin Robah adalah Abu Abdirrohman Al Bashriy, tsiqoh, kecuali jika
menyendiri.(“Tahdzibut Tahdzib”/10/hal. 323).
Ayahnya
adalah Ulaiy bin Robah bin Qushoir Al Lakhmiy, Abu Abdillah, tsiqoh.
(“Tahdzibut Tahdzib”/7/hal. 280).
Hadits
ini lemah karena lemahnya Abdulloh bin Sholih, dan juga karena bentuknya adalah
mursal (Ulaiyy tidak bertemu Nabi, dan tidak menghadiri kisah tadi).
Dan
telah lewat dalil-dalil yang membolehkan mengambil upah atau hadiah atau
pemberian karena mengajar, tanpa memasang syarat.
Kemudian
Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله menyebutkan
perselisihan para imam dalam masalah ini, dan menyebutkan seperti apa yang
disebutkan oleh Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله
disertai dengan dalil-dalil yang membolehkan. Kemudian beliau berkata: “Yang
jelas bagiku, dan Alloh ta’ala lebih tahu, adalah: bahwasanya seseorang itu
jika tidak ada tuntutan hajat darurat, maka lebih utama baginya untuk tidak
mengambil upah atas pengajaran Al Qur’an, aqidah-aqidah, dan halal-harom,
berdasarkan dalil-dalil yang telah lewat. Jika hajat menuntutnya untuk itu,
maka silakan dia mengambil upah sesuai kadar darurat yang dialaminya, dari
baitul mal milik Muslimin, karena yang nampak adalah bahwasanya harta yang
diambil dari baitul mal milik Muslimin itu memang disediakan untuk membantu
dilaksanakannya pengajaran, bukan sebagai upah.
Dan
lebih utama bagi orang yang telah Alloh cukupi untuk dia itu menjaga
kehormatan, jangan sampai mengambil sedikitpun dari upah pengajaran Al Qur’an,
aqidah-aqidah, dan halal-harom. Ilmu tentang ini ada di sisi Alloh ta’ala.
(selesai
dari “Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Kesimpulannya adalah: bahwasanya
dalil-dalil yang berisi ancaman terhadap orang yang mengambil upah itu semuanya
lemah, tidak tegak dengannya hujjah untuk mengharomkan mengambil upah dari
pengajaran. Dan dalil-dalil yang telah tetap itu menunjukkan bahwasanya orang
menuntut upah pengajaran, atau memasang syarat, itu tercela atau dibenci,
sekalipun tidak sampai harom. Adapun jika dia meminta upah karena punya hajat,
maka dia tidak tercela. Dan dalil-dalil shohih yang lain menunjukkan tentang
bolehnya mengambil upah pengajaran tanpa syarat.
Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Sebagian ulama
mendakwakan bahwasanya hadits-hadits yang membolehkan itu dihapus oleh
hadits-hadits yang datang yang berisi ancaman terhadap orang yang mengambil
upah dari pengajaran Al Qur’an, dan telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang
lain. Ini terbantah karena dakwaan tadi merupakan penetapan nasikh mansukh
dengan semata-mata kemungkinan, dan itu tak bisa diterima. Juga terbantah
karena hadits-hadits tadi tidak terang-terangan melarang mengambil upah secara
mutlak. Bahkan isinya adalah kejadian-kejadian khusus yang memungkinkan untuk
ditakwilkan agar sesuai dengan hadits-hadits yang shohih seperti hadits dalam
bab ini. Dan terbantah juga dengan bahwasanya hadits-hadits (yang mengancam)
tersebut tidak bisa tegak dengannya hujjah, maka tidak bisa berhadapan dengan
hadits-hadits shohih.” (“Fathul Bari”/4/hal. 453-454).
Kenapa adanya hajat itu membolehkan perkara
yang semua tercela dan dibenci? Yang demikian itu dikarenakan hajat itu timbul
dari kesulitan, sementara kesulitan itu menuntut adanya pemudahan, sebagaimana
itu telah tetap di dalam kaidah-kaidah fiqhiyyah yang diambil dari dalil-dalil
yang banyak.
Apa makna “hajat” secara syar’iy?
Al ‘Allamah Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Adapun perkara yang
bersifat hajat itu maknanya adalah: bahwa perkara tadi diperlukan dalam rangka
perluasan kondisi dan penghilangan kesempitan yang secara umum bisa memasukkan
orang kepada kesulitan dan kepayahan karena tidak berhasil mendapatkan perkara
yang diinginkan. Jika hajat-hajat tadi tidak diperhatikan, para hamba akan
masuk ke dalam kesulitan dan kepayahan, hanya saja perkara tadi secara adat
kebiasaan tidak sampai pada taraf yang dikhawatirkan akan merusak kemaslahatan
umum.” (“Al Muwafaqot”/2/hal. 10-11).
Ibnu Nujaim رحمه الله berkata: “Kaidah yang keempat:
kesulitan itu menuntut datangnya pemudahan. Asal dari kaidah ini adalah firman
Alloh ta’ala:
﴿يريد الله بكم اليسر ولا يريد
بكم العسر﴾
“Alloh menginginkan kemudahan untuk kalian,
dan Dia tidak menginginkan kalian tertimpa kesulitan.”
Dan firman Alloh ta’ala:
﴿وما جعل عليكم في الدين من حرج﴾.
“Dan Alloh tidak menjadikan di dalam agama ini
kesempitan terhadap kalian.”
(selesai
dari “Al Asybah Wan Nazhoir”/Ibnu Nujaim/hal. 75).
Bab
Tiga: Jawaban Terhadap Dua Kerumitan
Ada dua kerumitan.
Kerumitan yang pertama: bagaimana
kaitan bab ini dengan larangan menjual ayat-ayat Alloh dengan harga murah?
Firman Alloh ta’ala:
﴿وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ
كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ
فَاتَّقُونِ﴾ [البقرة: 41]؟
“Dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang
pertama mengingkari apa yang Kami wahyukan ini, dan janganlah kalian membeli
harga yang murah dengan ayat-ayat-Ku, dan hanya kepada-Ku sajalah kalian
bertaqwa.”
Al Qurthubiy رحمه الله dalam bantahan beliau kepada Abu
Hanifah telah menjelaskan dengan tafsir yang panjang, di antaranya adalah:
“Adapun jawaban tentang ayat ini adalah: yang pertama: yang dimaksudkan dengan
dengan ayat ini adalah Banu Isroil. Dan syariat umat sebelum kita apakah
menjadi syariat bagi kita? Di sini ada perselisihan, dan Abu Hanifah tidak
berpendapat bahwasanya itu adalah syariat bagi kita.
Yang kedua: ayat ini berlaku bagi
orang yang terkena fardhu ‘ain untuk mengajar, tapi dia tidak mau
menjalankannya sampai dia diberi upah. Adapun jika dia tidak terkena fardhu
‘ain untuk mengajar, maka boleh baginya mengambil upah dalam mengajar, dengan
dalil dari hadits. Terkadang dia terkena fardhu ‘ain untuk mengajar tapi dia
tidak memiliki harta untuk menafkahi dirinya sendiri ataupun keluarganya, maka
dia tidak wajib mengajar. Dan dia boleh menerima upah dari pekerjaannya dan
keahliannya.
Dan pemerintah wajib membantu sang
pengajar dalam menegakkan agama. Jika tidak demikian, maka wajib atas Muslimin
untuk menolong sang pengajar, karena Ash Shiddiq رضي الله عنه ketika terpilih memegang kekhilafahan beliau tidak punya harta
untuk menafkahi keluarga beliau, maka beliau mengambil baju-baju dan keluar ke
pasar (untuk berjualan). Maka beliau ditanya tentang hal itu, maka beliau
menjawab: “Dari mana aku menafkahi keluargaku?” Maka mereka menolak beliau
berjualan, dan mereka menetapkan jaminan untuk beliau.
Adapun hadits-hadits ini –yang
mengandung ancaman bagi pengambil upah-, maka tiada satupun yang tegak di atas
sanadnya, dan tiada satupun yang shohih menurut para ahli hadits.”
(“Al
Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/1/hal. 336).
Beliau رحمه الله
juga berkata: “Maka barangsiapa mengambil suap untuk merubah kebenaran, atau
membatalkan kebenaran, atau tidak mau mengajarkan apa yang wajib untuk dia
mengajarkannya atau yang dia wajib untuk menunaikan apa yang diketahuinya dalam
waktu yang sudah fardhu ‘ain untuk dia mengajarkannya sampai dia mengambil
upah, maka sungguh dia terkena tuntutan ayat ini. Alloh a’lam.
-kemudian beliau menyebutkan
perselisihan dalam hukum mengambil upah, kemudian beliau berkata:- yang
membolehkan mengambil upah pengajaran Al Qur’an adalah Malik, Asy Syafi’iy,
Ahmad, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama, berdasarkan sabda Nabi عليه السلام dalam hadits Ibnu Abbas, hadits
ruqyah:
«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian
ambil upah darinya adalah Kitabulloh.”
Diriwayatkan
oleh Al Bukhoriy, dan itu adalah nash yang menghilangkan perselisihan, maka
nash tadi harus menjadi patokan.
Adapun hujjah pihak yang
menyelisihi dengan memakai qiyas, yang mengqiyaskan pengajaran kepada sholat
dan puasa, maka itu adalah qiyas yang rusak karena berhadapan dengan nash tadi.
Kemudian juga Antara dua perkara tadi adalah perbedaan, yaitu: bahwasanya
sholat dan puasa itu adalah ibadah yang khusus untuk pelakunya (manfaatnya
untuk pelakunya saja), sementara pengajaran Al Qur’an itu ibadah yang mengena
kepada pihak selain pengajar (manfaatnya untuk orang lain juga), maka boleh
baginya untuk mengambil upah karena upaya dia untuk memindahkan ilmu,
sebagaimana pengajaran cara menulis Al Qur’an.”
(“Al
Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/1/hal. 334-336).
Kenapa Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Dan pemerintah wajib
membantu sang pengajar dalam menegakkan agama.”? Yang demikian itu dikarenakan
posisi pemerintah (wulatul umur) itu dijadikan untuk mengurusi manusia. Dan
manusia wajib mengetahui urusan agama mereka agar bisa beribadah pada Alloh
sebagaimana seharusnya, maka wajib bagi pemerintah untuk memudahkan itu semua.
Dari Abul Malih yang berkata:
أن عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار في مرضه، فقال له معقل: إني محدثك
بحديث لولا أني في الموت لم أحدثك به. سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول:
«ما من أمير يلي أمر المسلمين ثم لا يجهد لهم وينصح إلا لم يدخل معهم الجنة».
“Bahwasanya Ubaidulloh bin Ziyad menjenguk
Ma’qil bin Yasar saat beliau sakit. Maka Ma’qil berkata kepadanya: “Aku akan
menceritakan satu hadits kepadamu. Andaikata bukan karena aku sudah akan mati,
aku tak akan menceritakan padamu. Aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tidak ada seorang
amirpun yang mengurusi urusan Muslimin, kemudian dia tidak bekerja keras untuk
mereka dan tidak mau mencurahkan nasihat untuk mereka, kecuali dia tidak akan
masuk Jannah bersama mereka.” (HR. Al Buhoriy (7150) dan Muslim (142)).
Dan Al Khothib Al Baghdadiy رحمهالله berkata: “Maka wajib bagi setiap
orang untuk mempelajari perkara yang wajib diketahuinya, dari perkara-perkara
yang Alloh wajibkan padanya, sesuai dengan kemampuannya untuk mencurahkan kerja
kerasnya demi kebaikan dirinya sendiri. Dan setiap muslim yang baligh, berakal,
pria dan wanita, orang merdeka, budak, wajib bagi dirinya untuk bersuci,
sholat, dan puasa wajib. Maka wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui
ilmunya. Dan demikian pula wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui apa yang
halal baginya dan apa yang diharomkan untuknya, yang berupa makanan, minuman,
pakaian, kemaluan, darah, dan harta. Maka ini semua tidak boleh seseorang itu
untuk tidak mengetahuinya. Dan mereka wajib untuk memulai mempelajarinya sampai
mereka itu mencapai baligh dalam keadaan mereka itu muslimin, atau ketika
mereka masuk Islam setelah mencapai baligh. Pemerintah memaksa para suami dan
para tuan untuk mengajari para istri dan para budak perempuan tentang
perkara-perkara yang kami sebutkan tadi. Dan pemerintah harus menghukum
orang-orang jika membangkang dari perkara tadi. Dan pemerintah harus
menertibkan orang-orang untuk mengajari orang-orang yang bodoh, menetapkan gaji
untuk mereka dari baitul mal, dan wajib bagi para ulama untuk mengajari orang
bodoh, agar terpisahlah baginya kebenaran dari kebatilan.” (“Al Faqih Wal
Mutafaqqih”/1/hal. 185).
Kerumitan kedua: apa pendapatmu
tentang hadits Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه:
آخر ما عهد إلي النبي أن أتخذ مؤذنا لا يأخذعلىأذانهأجرا؟
“Akhir
dari perintah Nabi kepadaku adalah: agar aku mengambil muadzdzin yang tidak
mengambil upah dari adzan dia.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At
Tirmidziy (209) dari jalur Al hasan dari Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه. Jika Al Hasan Al Bashriy memang
mendengar hadits itu dari beliau, maka hadits ini shohih.
Dan yang memperkuat itu adalah
hadits Utsman bin Abil ‘Ash رضي الله عنه juga:
أنه
قال:يارسولاللهاجعلنيإمامقومي.قال:أنتإمامهمواقتدبأضعفهمواتخذمؤذنالايأخذ علىأذانهأجرا.
Beliau
berkata: “Wahai Rosululloh, jadikanlah saya sebagai imam bagi kaum saya.”
Beliau menjawab: “Engkau adalah imam mereka. Dan teladanilah orang yang paling
lemah dari mereka, dan ambillah muadzdzin yang tidak mengambil upah dari adzan
dia.” (HR. Ahmad (16316)/hadits shohih).
Tidak ada di dalam hadits ini
pengharoman mengambil upah tanpa syarat. Dan telah lewat dalil-dalil yang lain,
sehingga harus dilakukan penggabungan Antara dalil. Hanya saja Nabi صلى الله عليه وسلم memerintah para pemimpin untuk
memilih muadzdzin-muadzdzin yang ikhlas. Dan ulama telah bersepakat bahwasanya
adzan tanpa mengambil upah itu lebih utama dan lebih agung pahalanya di sisi
Alloh.
Al Qirofiy رحمه الله berkata dalam menjawab masalah ini:
“Tidak mengambil upah itu secara ijma’ lebih utama. Tapi perintah Nabi tadi
tidaklah menunjukkan haromnya mengambil upah.” (“Adz Dzakhiroh Fil Fiqhil
Malikiy”/Al Qirofiy/5/hal. 364).
Bab
Empat: Peringatan Penting
Tidaklah saya menulis ini dalam
rangka menginginkan harta orang kaya. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَلَاتَمُدَّنَّعَيْنَيْكَإِلَىمَامَتَّعْنَابِهِأَزْوَاجًامِنْهُمْزَهْرَةَالْحَيَاةِالدُّنْيَالِنَفْتِنَهُمْفِيهِوَرِزْقُرَبِّكَخَيْرٌوَأَبْقَى﴾
[طه: 131].
“Dan
janganlah engkau menjulurkan pandangan matamu kepada orang yang Kami beri dia
kesenangan dengan pasangan-pasangan bunga dunia di kalangan mereka untuk Kami
uji mereka di dalamnya. Dan rizqi Robbmu itu lebih baik dan lebih kekal.”
Hanya saja saya ditanya tentang
masalah ini sebagai bagian dari perkara agama, lalu saya menelusuri jawaban
yang benar, berdasarkan dalil dan penjelasan para ulama yang terdahulu dan yang
belakangan, lalu saya dapati apa yang saya dapati. Dan kita berjalan bersama
sunnah kemanapun sunnah itu berjalan. Dan kita tidak bertopang pada rasio, atau
hawa nafsu atau perasaan.
Hanya dengan pertolongan Alloh saja
didapatkannya taufiq.
Jiwa-jiwa yang mulia lebih
mengutamakan perkara yang paling utama dan paling Alloh cintai. Sementara
jiwa-jiwa yang rendah condong kepada kehinaan dunia. Dan manusia dalam masalah
ini ada di dalam tingkatan-tingkatan yang bermacam-macam.
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka jiwa-jiwa yang mulia
itu tidak rela kecuali perkara yang paling tinggi, paling utama dan paling
terpuji kesudahannya, sementara jiwa-jiwa yang rendah itu berputar di sekitar
perkara-perkara yang hina dan jatuh ke dalamnya sebagaimana lalat hinggap ke
kotoran.” (“Al Fawaid”/hal. 177).
Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما:
أنرسولاللهصلىاللهعليهوسلممربالسوقداخلاًمنبعضالعاليةوالناسكنفته،فمربجديأسكميتفتناولهفأخذبأذنهثمقال:«أيكميحبأنهذالهبدرهم؟»فقالوا:مانحبأنهلنابشيءومانصنعبه؟قال:«أتحبونأنهلكم؟»قالوا:واللهلوكانحياكانعيباًفيهلأنهأسك،فكيفوهوميت؟فقال:«فواللهللدنياأهونعلىاللهمنهذاعليكم».
Bahwasanya
Rosululloh صلى الله عليه وسلمmelewati pasar dan masuk ke sebagian dataran tinggi,
sementara orang-orang ada di sekeliling beliau. Lalu beliau melewati bangkai
anak kambing yang kecil kedua telinganya. Lalu beliau mengambilnya dan memegang
telinganya seraya bertanya: “Siapakah
dari kalian yang mau membeli bangkai ini dengan harga satu dirham?” Mereka
berkata: “Kami tidak mau membelinya dengan harga serendah apapun. Apa yang akan
kami perbuat dengannya?” Beliau bertanya lagi: “Apakah kalian senang bangkai
ini diberikan pada kalian?” Mereka menjawab: “Andaikata dia masih hidup, dia
itu punya cacat karena kedua telinganya kecil. Maka bagaimana sementara dia itu
sudah mati?” maka beliau bersabda: “Maka demi Alloh, dunia itu benar-benar
lebih rendah bagi Alloh daripada bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim (1957)).
Al Imam Abu Bakr Muhammad ibnul
Walid Al Qurosyiy Al Fihriy Al Andalusiy Ath Thurthusyiy Al faqih Al Malikiy Az
Zahid (wafat: 520 H) membacakan syair:
إن لـله عبـادا فـطـنا طلقوا الدنيا
وخافوا الفتنا
نظروا فيها فلما علموا أنها ليسـت لحـي
وطـنا
جعلوها لجة واتخذوا صالح الأعمال فيها
سفنا
“Sesungguhnya
Alloh punya para hamba yang cerdas. Mereka menceraikan dunia dan takut pada
fitnah. Mereka memperhatikan dunia, manakala mereka mengetahui bahwasanya dunia
itu bukan tempat tinggal bagi orang yang hidup, mereka menjadikan dunia sebagai
samudra, dan mereka menjadikan amal sholih di dalamnya sebagai kapal-kapal.”
(“Wafayatul
A’yan”/4/hal. 262/Ibnu Basykuwal).
Dari salah seorang penduduk badui
yang berkata:
أخذ بيدي رسول الله صلى الله عليه وسلم فجعل يعلمني مما علمه الله تبارك
وتعالى، وقال:«إنك لن تدع شيئا اتقاء الله جل وعز إلا أعطاك الله خيرا منه».
“Rosululloh
صلى الله عليه وسلم mengambil tanganku, lalu beliau
mulai mengajariku dari apa yang Alloh تبارك وتعالى ajarkan pada beliau. Dan beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau
tidaklah dirimu meninggalkan sesuatu dalam rangka bertaqwa pada Alloh عز وجل kecuali Alloh akan memberimu dengan
sesuatu yang lebih baik dari itu.” (HR. Al Imam Ahmad (20758) dan dishohihkan
oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash
Shohihul Musnad” (1489)).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Karena sesungguhnya
barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Alloh, maka Alloh عز وجل akan memberinya ganti dengan
sesuatu yang lebih baik dari itu.” (“Ighotsatul Lahfan”/hal. 47).
Kita kembali ke pembahasan.
Jika di dalam pengajaran dengan
upah itu ada bentuk akad, dan jual beli, dan persewaan, maka harus ada saling
ridho di antara kedua belah pihak. Jika keduanya saling ridho dalam masalah
manfaat dan harga, silakan dilanjutkan, jika tidak ada saling ridho maka tidak
ada paksaan untuk melanjutkan akad, dan silakan masing-masing pihak mencari
orang lain yang disukai untuk berakad dengannya.
Dan hendaknya pengajar yang
berhajat pada upah itu berkata: “Saya mensyaratkan upah karena hajat saya untuk
menafkahi keluarga saya,” atau yang semacam itu. Dan jangan dia berkata:
“Sesungguhnya dakwah berhajat pada dana sekian dan sekian,” karena yang
demikian itu menghinakan dakwah Ilahiyyah. Engkaulah yang berhajat pada harta
orang, jangan bersembunyi di balik tabir dakwah. Dakwah ini punya Alloh, Dialah
Yang menjamin akan menolong orang yang menolong-Nya. Dan Dia telah
memerintahkan para Nabi-Nya untuk menyeru manusia kepada-Nya, tanpa mengambil
upah.
Barangsiapa
memanfaatkan urusan dakwah untuk mengkorupsi harta orang, maka dia itu tercela,
pengekor dunia, tidak menempuh jalan para Nabi, dan tidak pula menelusuri jalan
Ahlussunnah.
Al Imam
Al Wadi’iy -rahimahulloh- pernah ditanya: “Ada seseorang yang datang ke Amerika
dan menisbatkan dirinya kepada Ahlussunnah. Di antara mereka adalah ‘Aqil Al
Maqthory. Dia berkhothbah di beberapa masjid, dan setelah itu dia berdiri untuk
mengumpulkan sumbangan buat jam’iyyah. Maka apa hukum perbuatan itu?”
Maka
beliau menjawab: “Dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah materiil keduniaan,
untuk mengumpulkan harta. Pernah pada suatu hari kami keluar untuk berdakwah,
dan keluarlah bersama kami Abdulloh An Nahmy -rahimahulloh- -beliau telah
terbunuh di Afganistan- dan juga Abdul Wahhab besan Hizam Al Bahluly. Dan
mereka berkata,”Kami akan meminta sumbangan. Maka kami berkata,”Ini bukanlah
alamat Ahlussunnah.Tapi jika kalian tetap bersikeras berbuat itu, janganlah
kalian yang menerima langsung uang itu. Ucapkanlah: “Si Fulan dari penduduk
desa ini yang akan menerimanya.” Orang-orang sekarang menjadi berburuk sangka
kepada para dai ilalloh, padahal Alloh عز وجل
telah menceritakan banyak dari Nabi-Nya dalam surat Asy Syu’aroعليه السلام:
﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري
إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،
“Dan tidaklah aku minta pada kalian upah
sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil
alamin.”
Dan
Alloh سبحانه وتعالىmenceritakan ucapan sebagian sholihin:
﴿اتّبعوا من لا يسألكم أجرًا وهم
مهتدون﴾
“Ikutilah
orang yang tidak meminta pada kalian upah dan mereka itu adalah orang-orang
yang mengikuti petunjuk.”
Dan Alloh سبحانه وتعالىberfirman:
﴿اتّبعوا من لا يسألكم أجرًا وهم
مهتدون﴾
“Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian
upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”
Alloh memfirmankan ini kepada Nabi
kita Muhammad صلى الله عليه وسلم . maka dakwah
itu harus untuk Alloh عز وجل semata.
firman-Nya :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى الله عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ
اتَّبَعَنِي
“Katakanlah:
Inilah jalanku, aku menyeru kepada Alloh di atas bashiroh –ilmu dan keyakinan-,
aku dan orang yang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf : 108)
Sementara mereka itu (Ikhwaniyyun),
menurut mereka hari yang diberkahi adalah hari di mana mereka keluar dari
majelis dalam keadaan kantong mereka penuh sumbangan, sama saja apakah
orang-orang mengambil manfaat dari mereka ataukan tidak. Maka ini adalah
perbuatan buruk terhadap ilmu dan dakwah.
Sang khothib dari mereka bangkit
dan mendorong mereka untuk berpegang teguh dengan Kitab Alloh dan Sunnah
Rosululloh صلى الله عليه وسلمdan memperingatkan mereka dari hukuman Alloh, serta
mengingatkan mereka dengan Jannah dan Neraka. Kemudian di akhir ceramah dia
berkata : “Berilah kami uang.” Padahal Alloh عز وجل
berfirman :
﴿ولا يسألكم أموالكم إن
يسألكموها فيحفكم تبخلوا ويخرج أضغانكم﴾.
“Dan
Alloh tidak minta pada kalian harta kalian. Jika Dia minta harta pada kalian
lalu mengulang-ulang permintaan pada kalian niscaya kalian akan bersikap pelit
dan Alloh mengeluarkan kedongkolan hati kalian.”
Dan kisah Sa’d ibnur Robi’ dan
Abdurrohman bin ‘Auf telah terkenal, ketika Sa’d ibnur Robi’ berkata : “Aku
adalah orang Anshor yang paling banyak harta, maka aku akan membaginya jadi
dua, dan aku punya dua istri, lihatlah siapa yang paling engkau sukai, aku akan
menceraikannya dan memberikannya untukmu, jika telah selesai iddahnya silakan
engkau nikahi dia.” Maka Abdurrohman menjawab : “Semoga Alloh memberkahi
untukmu dalam keluargamu dan hartamu. Tunjukkanlah padaku pasar.” Sa’d ibnur
Robi’ di puncak kedermawanan, sementara Abdurrohman bin ‘Auf di puncak
penjagaan kehormatan.”
Sebenarnya mereka (para pengemis
dengan nama dakwah) itu memperburuk citra dakwah.” –sampai pada ucapan beliau
:- “Dan bukanlah kami mendakwahi manusia untuk mengambil harta mereka. Kalaupun
engkau pergi ke negri manapun dari negri-negri Islam engkau tak akan melihat
seorang sunni yang berdiri dan memberikan nasihat kepada manusia hingga
membikin mereka menangis, lalu setelah itu dia menggelar sorbannya di pintu.”
(“Tuhfatul
Mujib”/ hal. 75-79).
Adapun jika tidak ada di antara
dirinya dengan orang lain akad pemanfaatan atau semisalnya, harom bagi dirinya
untuk meminta harta orang lain, karena di dalamnya ada semacam penundukan diri
kepada selain Alloh dan penghinaan diri.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahulloh- berkata:”Hamba itu manakala dia semakin
menghinakan diri kepada Alloh dan semakin merasa butuh kepada-Nya, serta
semakin besar penundukan dirinya kepada-Nya, dia semakin dekat kepada-Nya, semakin
mulia di sisi-Nya dan semakin agung nilainya. Maka makhluk yang paling
berbahagia adalah makhluk yang paling agung penghambaan dirinya kepada Alloh.
Adapun makhluk, maka sebagaimana dikatakan : silakan engkau butuh kepada siapa
yang engkau inginkan, maka engkau akan menjadi tawanannya. Janganlah engkau
butuh pada siapapun yang engkau inginkan, maka engkau akan menjadi sepadan
dengannya. Berbuat baiklah kepada siapapun yang engkau inginkan, maka engkau
akan jadi pemimpin baginya
–sampai
pada ucapan beliau :- Maka nilai seorang hamba yang paling agung dan paling
terhormat di sisi para makhluk adalah jika dia tidak butuh sama sekali pada
mereka. Jika engkau berbuat baik pada mereka bersamaan dengan ketidakbutuhan
kepada mereka, engkau menjadi makhluk paling agung di sisi mereka. Dan kapan
saja engkau butuh kepada mereka –meskipun seteguk air- berkuranglah nilaimu di
sisi mereka sesuai dengan kadar kebutuhanmu pada mereka. Dan ini adalah bagian
dari hikmah Alloh dan Rohmat-Nya agar ketundukan itu hanya diberikan untuk
Alloh, dan tiada sesuatupun yang disekutukan dengan-Nya.” dst.
(selesai
dari “Majmu’ul Fatawa”/ 1/hal. 39).
Dan dikarenakan adanya kekurangan
kesempurnaan tauhid pada kasus meminta pada makhluk, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلمmencela
hal itu dalam dalil-dalil yang banyak.
Hakim
bin Hizam rodhiyallohu ‘anhu berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ الله صلى الله
عليه وسلم فَأَعْطَانِى، ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِى ثُمَّ قَالَ لِى: « يَا
حَكِيمُ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ
نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ
لَهُ فِيهِ، وَكَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا
خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى». قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ الله،
وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى
أُفَارِقَ الدُّنْيَا.
“Aku
meminta pada Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- maka beliau memberiku,
lalu aku minta lagi padanya, maka beliau memberiku, lalu beliau bersabda
padaku: “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau dan manis. Barangsiapa
mengambilnya dengan kedermawanan jiwa, dia akan diberi keberkahan padanya. Tapi
barangsiapa mengambilnya dengan keinginan dan harapan jiwa, maka tak akan
diberkahi untuknya. Seperti orang yang makan tapi tidak kenyang. Dan tangan di
atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.” Maka aku berkata,”Wahai
Rosululloh, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tak akan lagi
mengurangi harta orang setelah Anda dengan permintaan sedikitpun, sampai saya
meninggalkan dunia. (HR. Al Bukhory (2750)).
Abu
Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-
bersabda:
« مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا
فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
».
“Barangsiapa
meminta harta orang lain dalam rangka memperbanyak harta, maka dia itu
sebenarnya hanyalah meminta bara api. Maka silakan menyedikitkan atau
memperbanyak.” (HR. Al Bukhoriy (2047) dan Muslim (1041)).
Samuroh رضي الله عنه berkata: dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«الْمَسَائِلُ كُدُوحٌ يَكْدَحُ بِهَا الرَّجُلُ
وَجْهَهُ فَمَنْ شَاءَ أَبْقَى عَلَى وَجْهِهِ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ إِلاَّ أَنْ
يَسْأَلَ الرَّجُلُ ذَا سُلْطَانٍ أَوْ فِى أَمْرٍ لاَ يَجِدُ مِنْهُ بُدًّا ».
“Minta-minta
itu adalah goresan yang dengannya seseorang menggores wajahnya sendiri. Maka
barangsiapa ingin minta, silakan dia membiarkan goresan itu ada di wajahnya.
Dan barangsiapa ingin bersih, hendaknya dia meninggalkan meminta-minta. Kecuali
orang itu minta pada pemerintah atau dalam perkara yang tidak sanggup
dihindari.” (HR. Abu Dawud (5/hal. 19) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi’iy dalam
“Ash Shohihhul Musnad” (455)).
Sahl
Ibnul Handholiyyah rodhiyallohu ‘anhu berkata:
قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا
يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ ». –وفي رواية- « مِنْ جَمْرِ
جَهَنَّمَ ». فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا يُغْنِيهِ –وفي رواية- وَمَا
الْغِنَى الَّذِى لاَ تَنْبَغِى مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ قَالَ « قَدْرُ مَا
يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ ». –وفي رواية- « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ
وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ ».
Rosululloh
-shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, dan di
sisinya ada sesuatu yang telah mencukupinya, maka dia itu hanyalah sedang
memperbanyak api.” –dalam riwayat lain: “Dari api Jahannam” Maka mereka
bertanya: “Wahai Rosululloh, apa itu sesuatu yang telah mencukupinya?” dalam
riwayat lain: “Apa itu kekayaan yang dengan tidak diperbolehkan meminta-minta?”
Beliau menjawab,“Sekadar makan siang, atau makan malam.” dalam riwayat lain:
“Yang bisa mengenyangkannya sehari semalam.” (HR. Abu Dawud (1631) dan
dishohihkan Imam Al Wadi’iy -rohimahulloh- dalam “Ash Shohihul Musnad”
(461)/Darul Atsar).
Qobishoh
bin Mukhoriq Al Hilaliy -rodhiyallohu ‘anhu- berkata:
عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلاَلِىِّ قَالَ تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً
فَأَتَيْتُ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ: «أَقِمْ
حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا». قَالَ ثُمَّ قَالَ: « يَا
قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ
تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ
يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ
عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُول ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى
الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ
عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا
صَاحِبُهَا سُحْتًا».
“Aku
pernah memikul suatu tanggungan, maka kudatangi Rosululloh –shollallohu ‘alaihi
wasallam- untuk meminta beliau membantu melunasinya. Maka beliau bersabda:
“Tinggallah di sini sampai datang shodaqoh, maka kami akan memerintahkan mereka
untuk memberikannya padamu.” Lalu beliau bersabda: “Wahai Qobishoh,
sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk salah satu dari tiga
orang saja: Orang yang memikul suatu tanggungan, halal baginya meminta sampai
bisa membayarnya, lalu dia berhenti dari minta-minta. Dan (yang kedua) orang
yang tertimpa malapetaka yang menghabiskan hartanya, halal baginya minta-minta
sampai bisa tegak hidupnya. Dan (yang ketiga) orang yang tertimpa kemiskinan
sampai ada tiga orang berakal dari kaumnya berkata: “kemiskinan telah menimpa
si Fulan.” Maka halal baginya minta-minta
sampai bisa tegak hidupnya. Adapun minta-minta yang selain tiga jenis
itu –wahai Qobishoh- dia itu adalah keharoman, pelakunya memakannya dengan
harom.” (HR. Muslim (1044)).
Dari Abu Sa’id Al Khudriy رضي الله عنه yang berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من سأل وله قيمة أوقية فقد ألحف». فقلت:
ناقتي الياقوتة هى خير من أوقية. قال هشام –أحد الرواة-: خير من أربعين درهما.
فرجعت فلم أسأله شيئا.
Rosululloh
-shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barangsiapa minta-minta dalam keadaan
dia punya harta senilai satu uqiyah, maka sungguh dia itu telah
merengek-rengek.” Maka aku berkata : “Ontaku Yaqutah itu lebih bagus daripada
uang satu uqiyah.” –Hisyam, seorang rowi, mengatakan: yaitu lebih baik daripada
empat puluh dirham.- “Maka aku pulang dan tidak jadi meminta pada Beliau.” (HR.
Abu Dawud (5/hal. 176) dan dihasankan Imam Al Wadi’iy -rohimahulloh- dalam “Ash
Shohihul Musnad” (392)/Darul Atsar).
Lihatlah betapa sabarnya para
Shohabat dalam menjaga kehormatan dan menaati perintah Nabi صلى الله عليه وسلمuntuk
tidak meminta-minta, padahal kondisi ekonomi kebanyakan dari mereka lebih
rendah daripada kita di zaman ini.
Dan dari Hubsyiy bin Junadah رضي الله عنه yang berkata: Rosulullohصلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ
الْجَمْرَ
».
“Barangsiapa
meminta bukan karena faqir maka seakan-akan dia itu memakan bara api.”(HR.
Ahmad (37/hal. 472) dan dishohihkan Imam Al Wadi’iy -rohimahulloh- dalam “Ash
Shohihul Musnad” (288)/Darul Atsar).
Abdulloh
bin ‘Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- berkata: Rosululloh –shollallohu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
«مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى
يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ».
“Senantiasa seseorang itu meminta pada orang
lain sampai dia datang pada hari kiamat dalam keadaan di wajahnya tiada
potongan daging.” (HR. Muslim (2445)).
Maka barangsiapa merenungkan
dalil-dalil ini dan yang semisalnya, tahulah dia insya Alloh bahwasanya meminta
pada makhluk itu harom pada asalnya, dan tidak diperbolehkan kecuali dalam
kondisi darurat. Barangsiapa melampaui batas syariat maka dia itu berdosa dan
tercela.
Al Imam
Al Hafizh Ibnul Qoththon Al Fasiy –rohimahulloh- berkata:“Para ulama telah
sepakat bahwasanya meminta-minta itu harom.” (“Al Iqna’ Fi Masailil Ijma’”/7/3/hal.
397).
Al Imam
An Nawawiy -rahimahulloh- berkata:”Maksud dari bab ini dan hadits-haditsnya
adalah larangan dari meminta-minta. Dan para ulama telah bersepakat dalam
larangan ini, jika bukan dalam keadaan darurat. Adapun masalah orang yang mampu
untuk bekerja tapi dia meminta-minta, para sahabat kami –Asy Syafi’iyyah-
berselisih menjadi dua pendapat. Yang paling shohih adalah dia itu harom,
berdasarkan lahiriyah dari hadits-hadits tersebut. Dan pendapat yang kedua:
halal tapi dibenci, dengan tiga syarat: tidak sampai dia merendahkan dirinya,
tidak berbuat “ilhah” (merengek-rengek) dalam meminta, dan tidak menyakiti atau
mengganggu orang yang dimintai. Apabila salah satu dari syarat-syarat ini tidak
terpenuhi, maka dia itu harom secara kesepakatan. Wallohu a’lam. (“Syarh Shohih
Muslim” /3/hal. 488).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh- berkata: “Maka jika dia meminta rizqinya
dari Alloh, jadilah dia hamba bagi Alloh dan menjadi orang yang butuh pada
Alloh. Tapi jika dia meminta rizqinya dari makhluq, jadilah dia hamba bagi
makhluq itu dan menjadi orang yang butuh padanya. Oleh karena itulah maka minta-minta pada makhluq itu diharomkan pada
asalnya, dan hanyalah dia itu diperbolehkan di saat darurat. Dan tentang
larangan minta-minta itu ada hadits-hadits yang banyak dalam kitab-kitab Shohih
dan sunan-sunan dan musnad-musnad.” (“Majmu’ul Fatawa”/10/hal. 182).
Al Imam
Muqbil Al Wadi’iy –rohimahulloh- berkata: “Ya Alloh, alangkah banyaknya da’i
besar yang menghapal ayat-ayat yang mengandung penyemangatan untuk bershodaqoh,
dia pindah dari masjid ini ke masjid itu, membacakan:
﴿وما تقدّموا لأنفسكم من خير
تجدوه عند الله هو خيرًا وأعظم أجرًا﴾
“Dan kebaikan apapun yang kalian lakukan untuk
diri kalian sendiri, kalian akan mendapatkannya di sisi Alloh dengan yang lebih
baik dan lebih besar pahalanya.”
Dan
berbaliklah si malang ini dari posisi da’i kepada posisi pengemis. Sungguh
benar Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa alihi wasallam- ketika bersabda:
((لكلّ أمّة فتنةً، وفتنة أمّتي المال)).
“Setiap umat itu punya fitnah, dan fitnah
umatku adalah harta.”
(“Dzammul
Mas’alah”/hal. 218/Majmu’ Rosail/cet. Darul Atsar).
Dan Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما:
«إذا سألت فاسأل الله، وإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِالله».
“Jika
engkau minta, maka mintalah kepada Alloh. Dan jika engkau minta tolong,
mintalah tolong kepada Alloh.”(HR. At Tirmidziy (2516), shohih lighoirih. Dalam
“Ash Shohihul Musnad” (685)/Darul Atsar).
Lihatlah bagaimana Rosululloh صلى الله عليه وسلم mengajarkan aqidah yang kokoh ini
kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما padahal beliau
masih kecil dan butuh pada orang lain, Rosululloh صلى الله عليه وسلمmemerintahkan beliau
untuk tidak meminta kecuali kepada Alloh.
Dengan inilah para Shohabat
Rosululloh صلى الله عليه وسلم terdidik, yang
besar ataupun yang kecil.
Abul
‘Aliyah -rahimahulloh- berkata:
كَانَ ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ قَالَ
رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَكَفَّلَ لِى أَنْ لاَ يَسْأَلَ
النَّاسَ شَيْئًا وَأَتَكَفَّلَ لَهُ بِالْجَنَّةِ ». فَقَالَ ثَوْبَانُ أَنَا.
فَكَانَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا.
“Dari
Tsauban –dan beliau adalah maula dari Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa
sallam—yang berkata: Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Siapakah menjamin kepadaku untuk tidak meminta pada manusia sedikitpun, dan
aku menjamin untuknya dengan Jannah?” Maka Tsauban berkata,”Saya”. Dan Tsauban
tak pernah meminta kepada seorangpun sesuatu apapun.” (HR. Abu Dawud
(1643)/shohih).
‘Auf
bin Malik Al Asyja’iy rodhiyallohu ‘anhu berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً
أَوْ سَبْعَةً فَقَالَ: « أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله » وَكُنَّا حَدِيثَ
عَهْدٍ بِبَيْعَةٍ فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله. ثُمَّ قَالَ:
«أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». فَقُلْنَا: قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ
الله. ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ تُبَايِعُونَ رَسُولَ الله ». قَالَ: فَبَسَطْنَا
أَيْدِيَنَا وَقُلْنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ الله فَعَلاَمَ نُبَايِعُكَ
قَالَ: « عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا الله وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلاَ
تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا ». فَلَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضَ أُولَئِكَ النَّفَرِ
يَسْقُطُ سَوْطُ أَحَدِهِمْ فَمَا يَسْأَلُ أَحَدًا يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ .
“Kami
pernah ada di sisi Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam-, sembilan, atau
delapan atau tujuh orang. Maka beliau bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada
Rosululloh”, padahal kami baru saja membai’at beliau. Maka kami berkata,”Kami
telah membai’at Anda wahai Rosululloh.” Lalu beliau bersabda:“Berbai’atlah
kalian kepada Rosululloh”. Maka kami berkata,”Kami telah membai’at Anda wahai
Rosululloh.” Lalu beliau bersabda:“Berbai’atlah kalian kepada Rosululloh”. Maka
kami mengulurkan tangan kami seraya berkata,” Kami telah membai’at Anda wahai
Rosululloh. Maka kami membai’at Anda untuk berbuat apa?” Beliau bersabda:“Agar
kalian beribadah pada Alloh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Dan untuk sholat lima waktu, dan agar kalian taat.” Dan beliau berbicara dengan
lirih: “Dan agar kalian tidak meminta pada manusia sedikitpun.” Maka sungguh
aku melihat sebagian dari rombongan tadi, cambuk dari salah seorang dari mereka
terjatuh. Maka dia tidak meminta pada seorangpun untuk mengambilkannya
untuknya.” (HR. Muslim /1043)
Dari
Ummud Darda’ -rahimahalloh-, beliau berkata:
قال لي أبو الدرداء : لا تسألي الناس شيئا ، قالت : فقلت : فإن احتجت ؟ قال
: فإن احتجت فتتبعي الحصادين فانظري ما سقط منهم فاخبطيه ثم اطحنيه ثم كليه، ولا تسألي
الناس شيئا
“Abud
Darda’ –rodhiyallohu ‘anhu – berkata padaku,”Janganlah engkau meminta pada
manusia sedikitpun.” Maka aku bertanya,”Kalau aku berhajat?” Beliau
menjawab,”Jika engkau berhajat, maka ikutlah di belakang para tukang panen,
lalu lihatlah apa yang berjatuhan dari bawaan mereka, lalu pungutlah ia,
masaklah dan makanlah, dan jangan engkau meminta pada manusia sedikitpun.” (“Az
Zuhd”/2/291/ Imam Ahmad -rahimahulloh-, dan dishohihkan Syaikhuna Yahya Al
Hajury – hafidzahulloh – di tahqiq “As Sunanul Kubro” Imam Al Bauhaqy
-rahimahulloh-. Dan sanadnya memang shohih).
Salim bin Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما berkata:
عن عبدِ الله بن عمر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم
كَانَ يُعْطِى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه الْعَطَاءَ فَيَقُولُ لَهُ
عُمَرُ: أَعْطِهِ يَا رَسُولَ الله أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي. فَقَالَ لَهُ
رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: «خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ أَوْ تَصَدَّقْ بِهِ
وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ
وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ». قَالَ سَالِم: فَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَانَ
ابْنُ عُمَرَ لاَ يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا وَلاَ يَرُدُّ شَيْئًا أُعْطِيَهُ.
“Dari
Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما : Bahwasanya
Rosululloh صلى الله عليه وسلم sering memberi
Umar ibnul Khoththob pemberian, maka Umar berkata: “Wahai Rosululloh,
berikanlah itu kepada orang yang lebih membutuhkannya daripada saya.” Maka
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda
kepadanya: “Ambillah ini, lalu jadikan dia sebagai bagian dari hartamu, atau
engkau shodaqohkan kepada orang lain. Apapun yang datang kepadamu dari harta
ini dalam keadaan engkau tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, maka
ambillah dia. Jika engkau tidak diberi, maka janganlah jiwamu
mengharap-harapkannya.”
Salim
berkata: “Oleh karena itulah maka Ibnu Umar tidak pernah minta sesuatu apapun
kepada seorangpun, dan tidak menolak apapun yang diberikan kepada beliau.” (HR.
Al Bukhoriy (7163) dan Muslim (1045), ini lafazh Muslim).
Inilah dia sifat mukmin sejati, benar-benar
memurnikan tawakkal kepada Alloh, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala:
]إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ الله
وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ * أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ[. (الأنفال: 2-4)
“Hanyalah
orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang jika disebut nama Alloh,
hati mereka merasa takut, dan jika ayat-ayat-Nya dibacakan pada mereka, ayat
itu menambahi mereka dengan keimanan, dan hanya kepada Robb mereka sajalah
mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang menegakkan sholat, dan menginfaqkan
sebagian dari apa yang Kami rizqikan pada mereka. Mereka itulah mukminun yang
sebenarnya. Mereka akan mendapatkan derajat-derajat di sisi Robb mereka,
ampunan, dan rizqi yang mulia.”
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: dan ini adalah sifat
mukmin yang sebenarnya, -sampai pada ucapan beliau:- Yaitu: mereka tidak mengharapkan selain-Nya,
dan tidak menginginkan selain-Nya, tidak berlindung kecuali dengan sisi-Nya,
tidak meminta kebutuhan kecuali dari-Nya, tidak berdoa kecuali kepada-Nya, dan
mereka mengetahui bahwasanya apa yang diinginkan-Nya pasti terjadi, dan apa
yang tidak diinginkan-Nya pasti tak akan terjadi, dan bahwasanya Dia itu
sajalah yang mengurusi kerajaan-Nya, satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya,
tiada yang membantah hukum-Nya, dan Dia itu Mahacepat perhitungan-Nya. Oleh
karena itulah Sa’id bin Jubair berkata: “Tawakkal pada Alloh merupakan kumpulan
iman.”
(“Tafsirul
Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 392/cet. Darush Shiddiq).
Hukum
Menjual Ayat Allah
وَآمِنُواْ بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَكُمْ وَلاَ تَكُونُواْ
أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَإِيَّايَ
فَاتَّقُونِ
Dan berimanlah kamu
kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada
padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya,
dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya
kepada Akulah kamu harus bertakwa. ( Qs Al Baqarah : 41 )
Beberapa pelajaran
dari ayat di atas :
Pelajaran Pertama :
َوآمِنُواْ بِمَا
أَنزَلْتُ
” Dan berimanlah kamu
kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran )” Ayat ini menunjukkan empat hal
:
1/ Menunjukkan bahwa
Bani Israil diperintahkan untuk beriman terhadap apa yang diturunkan Allah di
dalam Al Qur’an, termasuk di dalamnya beriman kepada nabi Muhammad saw
2/ Ayat ini merupakan
dakwah atau ajakan kepada Bani Israel agar masuk dan memeluk Islam, setelah
pada ayat sebelumnya mereka diingatkan tentang nikmat-nikmat Allah yang
diberikan kepada nenek moyang mereka ([1]).Ini merupakan cara Al Qur’an
berdakwah, yaitu mengingatkan nikmat Allah yang diberikan kepada mereka, atau
mengingat kelebihan yang diberikan Allah kepada mereka, setelah itu baru diajak
untuk mengikuti ajaran Allah. Atau dengan kata lain : Mengingatkan tauhid
rubiyah, kemudian baru diajak untuk bertauhid uluhiyah. Dan cara seperti ini,
sangat banyak kita dapatkan dalam Al Qur’an, sebagiannya sudah diterangkan.
3/ Allah dalam ayat
ini tidak menyebut Al Qur’an secara langsung, akan tetapi menyebut dengan ” apa
yang Aku turunkan, ” hal ini dimaksudkan bahwa alasan kenapa Bani Israel
diperintahkan untuk beriman kepada Al Qur’an ? karena Al Qur’an adalah kitab
yang diturunkan Allah sama dengan kitab Taurat yang juga diturunkan dari Allah.
([2])
4/ Menunjukkan juga
bahwa Tajdid al Iman atau pembaharuan Iman, atau bahkan Tazkiyah Nafs (
pembersihan diri ) yang paling efektif adalah dengan menggunakan Al Qur’an. (
[3] )Dalam sebuah ceramah yang disampaikan oleh seorang ulama di Madinah
Munawarah, salah seorang pendengar bertanya tentang buku terbaik dalam tazkiyah
nafs, maka syekh tersebut mengatakan bhawa sebaik –baik buku untuk tazkiyah
nafz adalah Al Qur’an.
Pelajaran Kedua :
مُصَدِّقاً لِّمَا
مَعَكُمْ
” yang membenarkan
apa yang ada padamu, yaitu Taurat ”
(1) Ayat ini
menunjukkan bahwa Bani Israil dilarang untuk menyembunyikan kebenaran yang
terdapat dalam kitab Taurat, yaitu berita diutusnya nabi Muhammad saw di akhir
zaman untuk membenarkan apa yang ada di dalam Taurat dan Injil. Mereka merubah
sifat-sifat nabi Muhammad saw karena ingin mengambil keuntungan dunia darinya (
[4] )
(2) ” yang
membenarkan apa yang ada padamu ” maksudnya Al Qur’an yang dibawa oleh nabi
Muhammad saw ini membenarkan kitab suci-kitab suci yang diturunkan kepada Bani
Israel , yang meliputi : At Taurat, Injil, Zabur, Asy’iya’ , Armiya’, Hazqiyal,
Danial, dan lain-lainnya
( 3 ) Yang dimaksud ”
membenarkan ” adalah bahwa isi Al Qur’an mencakup petunjuk yang dibawa oleh
para nabi sebelumnya, seperti ajakan kepada ajaran Tauhid, dan perintah untuk
berbuat baik, menjauhi kejelekan, menegakkan keadilan. Jika terjadi perbedaan,
itupun hanya karena perbedaan zaman, keadaan dan tempat, akan tetapi semuanya
berasal dari satu sumber yaitu Allah swt. Oleh karenanya, Al Qur’an dikatakan
menghapus hukum-hukum yang ada pada kitab-kitab sebelumnya, karena perbedaan
tempat, zaman dan maslahat. Penghapusan ini dalam istilah ushul fiqh disebut ”
Naskh ” , dan tidak dikatakan ” Ibthal ” ( pembatalan ) ataupun ” takdzib ” (
pendustaan ) . Inilah arti bahwa Al Qur’an merupakan ” pembenar ” dari kitab-kitab
sebelumnya . ([5])
Pelaran Ketiga :
وَلاَ تَكُونُواْ
أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ
” Janganlan kalian
menjadi orang-orang pertama yang mengkafirinya “, Maksudnya : wahai Bani Israel
yang di Madinah janganlah kalian menjadi golongan pertama dari orang-orang
Yahudi yang mengkafiri Al Qur’an ini. Karena sebelum mereka orang-orang Quraisy
telah terlebih dahulu mengkafiri Al Qur’an ini sebelum mereka. ( [6] )
Pelajaran Keempat
وَلاَ تَشْتَرُواْ
بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً
” janganlah kamu
menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah ”
( 1 ) Ayat ini
diturunkan karena sebagian pendeta Bani Israil tidak mau mengajarkan kebenaran
yang mereka ketahui kepada manusia, kecuali dengan meminta uang dari
pekerjaannya tersebut, maka Allah melarang mereka untuk berbuat seperti itu.
( 2 ) Sebagian ulama
mengatakan bahwa Bani Israil tidak mau beriman kepada Al Qur’an karena
kecintaan mereka kepada dunia. ( [7] ) Mereka mengira bahwa dengan beriman
kepada Al Qur’an dan mengikuti apa yang dibawa nabi Muhammad saw, mereka akan
menjadi golongan yang tersingkir, karena nabi Muhammad saw berasal dari
keturunan Arab, sedang mereka dari keturunan Yahudi, yang selama ini menjadi
golongan yang terhormat di kota Yastrib ( Madinah ). Itulah yang disebut
menukar keimanan dengan dunia, atau menukar keimanan dengan jabatan yang
harganya sangat sedikit.
Pelajaran Kelima:
Ayat di atas walaupun
diturunkan kepada Bani Israel, akan tetapi berlaku kepada siapa saja yang
mempunyai sifat seperti sifat Bani Israel. Berkata Imam Al Qurtubi : ” Dan ayat
ini , walaupun khusus untuk Bani Israel, akan tetapi juga mencakup semua orang
yang berbuat seperti perbuatan mereka. Maka barang siapa yang mengambil uang
suap untuk memanipulasi suatu hak, atau menghilangkannya, atau tidak mau
mengajar sesuatu yang wajib diajarkannya kepada orang lain, padahal itu menjadi
kewajibannya kecuali dengan meminta upah dari pekerjaannya itu,maka sungguh
termasuk dalam larangan ayat di atas. Wallahu A’lam . ( [8] )
Oleh karenanya, kita
sebagai umat Islam dilarang untuk belajar suatu ilmu yang seharusnya dilakukan
dengan ikhlas, tetapi justru kita mencari ilmu tersebut demi mencari keuntungan
dunia yang sedikit itu. Dalam suatu hadist Rosulullah saw pernah bersabda :
من تعلم علما مما يبتغي
به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا
“ Barang siapa yang
belajar suatu ilmu yang seharusnya dilakukan dengan ikhlas, tetapi dia
menuntutnya demi untuk mencari keuntungan dunia darinya, maka dia tidak akan
bisa menyium baunya syurga pada hari kiamat “ ( HR Abu Daud no : 3664 )
Maka, orang seperti
ini ada kesamaannya dengan orang-orang Yahudi yang menjual ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit.
Dari situ timbul
suatu pertanyaan : Bagaimana hukum belajar di perguruan tinggi atau sekolahan
untuk mencari ijazah ? Jawabannya adalah bahwa hukumnya tergantung kepada niat,
jika ia berniat dengan ijzahnya tersebut hanya sekedar untuk mencari pekerjaan,
maka ia termasuk yang dilarang dalam hadits tersebut. Sebaliknya jika ia
berniat dengan ijazah tersebut untuk menegakkan kebenaran dan mengajarkan Islam
kepada masyarakat, maka tidak termasuk dalam larangan dalam hadits tersebut. (
[9] )
Pelajaran Ke-enam:
Disana ada beberapa
pertanyaan yang ada kaitannya dengan ayat di atas , diantara pertanyaan-pertanyaan
tersebut adalah :
Pertanyaan Pertama :
Bolehkah kita mengajar Al Qur’an kepada orang lain dan mengambil gaji darinya ?
Jawabannya adalah :
menurut mayoritas ulama, diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’I, dan Ahmad
menyatakan bahwa hal itu dibolehkan, adapun alasan mereka sebagai berikut : (
[10] )
( 1 ) Dalil Pertama :
Sabda Rosulullah saw :
إن أحق ما أخذتم
عليه أجرا كتاب الله
“ Sesungguhnya yang
paling berhak untuk diambil upahnya adalah mengajar Al Qur’an. “ ( HR Bukhari
no : 2276 )
(2 ) Dalil Kedua :
Bahwa mengajar Al Qur’an bukan semata-mata ibadat ansich, akan tetapi juga
mengandung unsur memberikan manfaat kepada orang lain, seperti halnya mengajar
menulis Al Qur’an
( 3 ) Dalil Ketiga :
Larangan untuk menjual ayat Allah di atas ditujukan kepada orang yang memang
sangat dibutuhkan untuk mengajar Al Qur’an dan tidak ada yang lain, kemudian
dia menolaknya kecuali dengan mengambil gaji darinya, khususnya bagi
orang-orang yang sebenarnya kurang membutuhkan upah tersebut. Adapun bagi orang
yang mengajar Al Qur’an bukan suatu kewajiban baginya, apalagi dia sangat
membutuhkan uang untuk hidup, maka dalam hal ini dibolehkan.
( 4 ) Dalil Keempat :
Ketika Abu Bakar As Siddiq diangkat menjad khalifah, dia sangat membutuhkan
uang untuk nafkah keluarganya, sehingga ia terpaksa pergi ke pasar berjualan
baju. Mengetahui hal tersebut , para sahabat sepakat untuk memberinya gaji atas
pekerjaannya sebagai khalifah.
( 5 ) Ibnu Katsir (
[11] ) menambahkan dalil yang kelima , yaitu kisah seorang sahabat yang menikah
dengan mahar yaitu dengan mengajarkan Al Qur’an, Rasulullah bersabda :
زوجتكها بما معك من
القرآن
” Saya menikahkan
kamu dengan perempuan ini dan maharnya adalah mengajarkannya Al Qur’an “ ( HR
Ahmad : 5/ 315 )
Pertanyaan kedua :
Bagaimana hukum membaca Al Qur’an kemudian mengambil upah darinya ?
Jawabannya : Para
ulama membedakan antara mengajar dengan membaca, mereka membolehkan mengambil
upah dari pengajaran Al Qur’an , karena manfaatnya langsung bisa dirasakan oleh
yang diajar, ini dikuatkan dengan adanya contoh dari dari sahabat pada zaman
Rosulullah saw sebagaimana yang dijelaskan di atas. Adapun membaca Al Qur’an
sebenarnya manfaatnya kembali kepada diri pembaca, maka tidak kita dapatkan
para ulama salaf melakukan hal tersebut. Apalagi dikuatkan dengan suatu hadist
yang menyebutkan :
عن عمرا بن حصين أنه
مر على قاص يقرأ ثم سأل ، فسترجع ثم قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
: من قرأ القرآن فليسأل الله به ، فإنه سيجئ أقوام يقرءون القرآن يسألون به الناس
” Dari Imran bin
Hushain, pada suatu hari dia melewati tukang cerita yang membaca Al Qur’an
kemudian meminta upah dari bacaannya, makanya dia segera mengucapkan : Inna
lillah wa inna ilahi rojiun, kemudian berkata : ” Aku pernah mendengar
Rosulullah saw bersabda : ” Barang siapa yang membaca Al Qur’an, hendaknya
meminta Allah dengannya, karena akan datang suatu kaum yang membaca Al Qur’an
dan meminta upah dari manusia darinya. “ ( HR Tirmidzi , no : 2926, Ahmad : 4/
432 )
Dengan demikian, bisa
kita katakan bahwa mengambil upah dari pekerjaan membaca Al Qur’an hukumnya
Khilaf Al –Sunnah ( menyelisihi Sunnah ) dan sebaiknya dihindari. ( [12] )
Pertanyaan ketiga :
Bagaimana hukumnya menjual Mushaf Al Qur’an ? Jawabannya : Mayoritas ulama,
yang diwakili oleh madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan riwayat dari madzhab
hambali membolehkan jual beli mushaf Al Qur’an. Mereka berdalil dengan firman
Allah swt :
وأحل الله البيع
والربا
” Dan Allah
menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba ” ( Qs Al Baqarah : 275 )
Menjual mushaf Al
Qur’an termasuk dalam keumuman ayat di atas.
Mereka juga beralasan
bahwa yang dijual dalam hal ini bukanlah ayat-ayat Al Qur’an, akan tetapi yang
dijual adalah kertas, tinta, dan sampul yang ada dalam mushaf. ( [13] )
Pelajaran Ke-tujuh :
ثَمَناً قَلِيلاً
“dengan harga yang
sedikit “
maksudnya adalah
dunia dengan seluruh kesenangannya. ( [14] ) Kenikmatan dan kesenangan dunia
ini menurut pandangan kebanyakan orang adalah kenikmatan yang sangat banyak,
akan tetapi menurut pandangan Allah adalah sesuatu yang berharga rendah dan
sedikit, karena sifatnya yang menipu dan tidak kekal. Sebagai contoh saja,
kalau seseorang membeli makanan yang sangat mahal dan hanya ada di luar negri,
maka ketika ia memakannya, nikmat yang ia rasakan hanya beberapa menit, tepatnya
ketika makanan itu melewati tenggorakan, setelah itu sirna kembali. Bukanlah
ini adalah nikmat yang sedikit dan menipu, dan begitu seterusnya.
Pelajaran Ke-delapan
:
وَإِيَّايَ
فَاتَّقُونِ
” dan hanya kepada
Akulah kamu harus bertakwa ”
( 1 ) Taqwa menurut
Talq bin Habib adalah beramal dengan mentaati Allah, mengharapkan rahmat Allah,
dengan pijakan cahaya Allah, sambil meninggalkan maksiat kepada Allah, di atas
pijakan cahaya Allah, serta takut dengan siksaan Allah.( [15] )
( 2 ) Pada ayat
sebelumnya Allah memerintahkan Bani Israel untuk takut hanya kepada Allah,
sedang dalam ayat ini Allah memerintahkan bani Isarel untuk bertaqwa kepada
Allah , apa rahasianya ? Paling tidak ada dua hal yang bisa dipetik darinya :
- Pertama : Sebuah
ketaqwaan harus didahului dengan rasa takut kepada Allah, karena ketaqwaan itu
sendiri merupakan hasil dari rasa takut kepada Allah swt. .( [16] )
- Kedua : Karena ayat
sebelumnya mengandung perintah untuk menepati janji,maka Allah mengancam kepada
siapa saja yang menyelesihi janji tersebut, sehingga diakhiri dengan perintah
untuk takut hanya kepada Allah saja. Sedang ayat ini mengandung perintah untuk
beriman kepada Al Qur’an yang banyak didustakan oleh para pemimpin mereka,
sehingga sangat tepat kalau Allah memerintahkan agar mereka bertaqwa kepada
Allah saja. ([17])
( 3 ) Ayat ini juga
merupakan ancaman kepada siapa saja yang menyembunyikan kebenaran padahal dia
mengetahuinya .( [18] )
Kairo, 2 Juli 2007 M
( [1] ) Ibnu Asyur,
Al Tahrir wa Al Tanwir, juz I , hlm : 259
( [2] ) Ibid
( [3] ) Al Biqa’I,
Nudhumu al Durar fi Tanasub al Ayat wa al Suwar, juz I , hlm : 77
( [4] ) Ibnu Katsir,
Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 132
( [5] ) Ibnu Asyur,
Op.Cit,
( [6] ) Ibnu Katsir,
Op. Cit.
( [7] )Tafsir Syekh
Ibnu Utsaimin
( [8] ) Al Qurtubi,
Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an ,( Beirut : Dar Al Kutub Ilmiyah ) 1996, Cet, ke V,
Juz I, hlm : 228-229
( [9] ) Tafsir Syekh
Ibnu Utsaimin
( [10] ) Al Qurtubi,
Op. Cit, hlm : 229
( [11] ) Ibnu Katsir,
Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 132
( [12] ) Fatawa Kibar
Ulama Al Ummah, ( Kairo : Al Maktabah Al Islamiyah ), 2002, Cet ke : II, hlm :
1013
( [13] ) Syekh Adil
Yusuf Al Azazy, Tamam Al Minnah fi Fiqh Al Kitab wa Shohih As Sunnah,Kitab Al
Buyu’ ( Kairo : Muasyasyah Qurtubah ),2005, Cet. I, hlm : 78
( [14] ) Ibnu Katsir,
Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 133
( [15] ) Ibid
( [16] ) Al Biqa’i,
Op. Cit .
( [17] ) Ibnu Asyur,
Op. Cit, , hlm : 267
( [18] ) Ibnu Katsir,
Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 133