Ikhwanul Muslimin menerima orang-orang
yang mempersekutukan Allah dengan syirik akbar (*yang berdoa, menyembelih,
nadzar dan selainnya kepada selain Allah) untuk masuk dalam keanggotaannya dan
menganggap mereka sebagai saudara, padahal akidah mereka meniadakan sendi Islam
yang paling agung.
Di samping itu mereka menganggap Syiah
Rafidhah sebagai saudara padahal mereka telah mencela para shahabat Rasulullah
dan meyakini bahwa para imam mereka adalah ma’shum dan selain itu …
Dalil kami tentang perkara di atas:
[1.] Ketika menegakkan dakwahnya di
Mesir, Hasan Al-Banna diikuti oleh puluhan bahkan ratusan ribu orang, tetapi
belum pernah sekalipun kita dengar dia memberikan syarat kepada seseorang yang
masuk dalam partainya untuk melepas akidah mereka sebelumnya, yakni syirik dan
khurafat, Jahmiyyah (yang suka menolak nama dan sifat-sifat Allah), Mu’tazilah
yang meniadakan takdir, mereka yang berpaham bahwa Al-Quran adalah makhluk dan
menentang keyakinan ru’yah bahwa (penghuni surga, ed.) kelak akan melihat Allah
di akhirat, dan lain sebagainya.
Belum pernah kita dengar dan kita baca
dalam buku-bukunya bahwa dia berkata kepada seseorang:
“Janganlah engkau bergabung dalam dakwah
kami sampai engkau meninggalkan akidahmu yang lalu.”
[2.] Upaya Syaikh Al-Banna untuk
mempertemukan antara Sunnah dan Syi’ah dan menganggap Syi’ah sebagai saudara
se-lslam, walaupun mereka memeluk banyak akidah yang bertentangan dengan Islam
secara nyata.
– Misalnya; Sangkaan buruk Syi’ah bahwa
para imam mereka ma’shum, dalam persoalan ini mereka telah menyelisihi
kesepakatan ulama kaum muslimin bahwa kema’shuman hanya dimiliki oleh para
nabi.
– Di antaranya juga; Sangkaan buruk
Syi’ah atau sebagian dari mereka -semoga Allah melaknat mereka -bahwa Jibril telah
berkhianat, di mana dia memberikan kerasulan kepada Muhammad yang seharusnya
diberikan kepada Ali, ini termasuk kekafiran yang paling busuk.
– Juga; Makian Syi’ah terhadap Abu Bakar,
Umar, Utsman dan seluruh shahabat serta tuduhan dusta mereka terhadap Aisyah
Ummul Mukminin padahal Allah telah melepaskan beliau; dari tuduhan zina itu,
maka ini adalah kekafiran, pengingkaran dan penentangan terhadap ayat Al-Quran
yang telah membebaskan beliau dari tuduhan tersebut.
– Juga; Sangkaan jahat mereka bahwa Al-Quran
telah ditukar dan diubah, serta telah dihapus lebih dari setengahnya, ini
berarti mendustakan firman Allah,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا
لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [QS. Al-Hijr: 9.]
– Juga; keyakinan mereka tentang bolehnya
melakukan nikah mut’ah, dalam hal ini mereka telah menyalahi konsensus kaum
muslimin bahwa perkara tersebut sudah dihapus.
– Juga; Keyakinan mereka bahwa boleh
seorang laki-laki menikahi lebih dari empat perempuan, hal ini juga menyelisihi
kesepakatan kaum muslimin.
– Juga; Mereka telah mempertuhankan
imam-imamnya khususnya atau seluruh ahli bait secara umum dengan cara
menghambakan anak keturunan mereka kepadanya dengan menamakan anak
keturunannya; Abduz-Zahra, Abdul-Husein, Abdul-Kazhim, dan lain-lain.
– Serta mereka meyakini bahwa siapa di
antara mereka yang telah meninggal, maka akan sanggup mengabulkan doa dan
menghilangkan kesusahan.
Walaupun semua perkara yang mengkafirkan
dan bala’ kekufuran yang sangat buruk ini melekat pada Syi’ah, namun Hasan
Al-Banna tetap menganggap mereka sebagai saudara dalam Dien Islam, kemudian
dengan gencarnya dia melakukan upaya rekonsiliasi antara Syi’ah dengan
Ahlussunnah dan menguras tenaga yang tidak sedikit demi tujuan ini hingga para
pengikutnya setelah itu menempuh jejak manhajnya.
Berkata Umar At-Tilmisani, penasehat umum
Ikhwanul Muslimin:
“Antusias Hasan Al-Banna untuk mencapai
penyatuan kalimat kaum muslimin, di mana dia mengusulkan diadakannya muktamar
untuk mengumpulkan firqah-firqah Islam semoga Allah memberikan mereka petunjuk
sehingga menghasilkan konsensus akan suatu hal yang dapat menghalangi mereka
dari tindakan mengkafirkan sebagian lainnya secara khusus, sedangkan Al-Quran
kita satu, Dien kita satu, Ilah (*Tuhan) kita satu, dan Rasul kita satu.
(*Komentar Syaikh Ahmad: “Saya katakan: Apakah dapat
terbayangkan firqah-firqah yang telah hidup dalam perselisihan selama seribu
tahun bahkan lebih kemudian seluruhnya akan bersatu?”)
(Lanjutan ucapan At-Tilmisani), “…
Fadhilatusy Syaikh Muhammad Al-Qummi, salah seorang tokoh ulama dan pemimpin
Syi’ah, telah berkunjung ke markaz umum (*Ikhwanul Muslimin) selama jangka
waktu yang relatif tidak singkat. Sebagaimana juga sudah diketahui bersama
bahwa Imam Al-Banna telah menemui tokoh utama Syi’ah, Ayatullah Al-Kasysyani di
musim Haji tahun 1948 M., hingga terjadi kesatuan paham antara keduanya,
seperti yang diisyaratkan oleh salah seorang sosok tokoh IkhwanuI Muslimin hari
ini dan salah seorang murid Imam Syahid (*) yaitu Ustadz Abdul Muta’ali
Al-Jabari dalam bukunya. (Limadza Ughtiila Hasan al-Banna hal. 32, dinukil dari
Ikhwanul Muslimin fil Mizan.)
Al-I’tisham menukil sebuah ucapan penulis
Inggris yang menyebutkan peran Al-Banna dalam mendekatkan Syi’ah. Ustadz
Al-Jabari memberikan komentar:
“Robert benar! Dia telah mencium dengan
indera politiknya, kurasan tenaga Imam (Al-Banna) dalam mendekatkan antara
mazhab-mazhab Islam. Bagaimana seandainya dia mengetahui lebih jauh lagi peran
super besar yang dilakukan oleh Imam dalam urusan ini, di mana kesempatan
seperti ini tidaklah cukup untuk menyebutkannya. (Hasan al-Banna al-Qaid, hal
78.)”
Juga dinukil dari buku At-Tilmisani,
Dzikrayat La Mudzakkirat (hal. 249-250), ia berkata:
“Di tahun empat puluhan seingat saya,
Sayyid Qummi yang ber-mazhab Syi’ah berkunjung sebagai tamu ke markaz umum
Ikhwanul Muslimin. Saat itu Imam (Al-Banna) sedang berupaya serius untuk
mendekatkan golongan-golongan yang ada agar musuh-musuh Islam tidak mengambil
perpecahan ini sebagai jalan mengoyak persatuan umat Islam.
Suatu hari kami menanyakan kepadanya tentang
seberapa jauh perbedaan antara Ahlussunnah dan Syi’ah, maka dia melarang kami
untuk terjun masuk ke dalam permasalahan-permasalahan semacam ini yang tidak
sepantasnya bagi kaum muslimin menyibukkan diri mereka dengannya. Adapun
sengketa yang terjadi antara kaum muslimin seperti yang engkau lihat, maka
musuh-musuh Islam bekerja di balik itu mengobarkan apinya.
Maka kami berkata kepada beliau:
“Kami tidak menanyakan hal ini karena
ta’ashshub (fanatik golongan) atau meluaskan perselisihan antara kaum muslimin
tetapi kami menanyakannya demi ilmu, sebab perselisihan antara Ahlussunnah dan
Syi’ah sudah disebutkan di dalam karangan yang banyak tanpa batas, sedangkan
kami tidak mempunyai cukup waktu untuk mencari di dalam semua buku rujukan
itu.”
Maka ia menjawab:
“Ketahuilah! Sesungguhnya Sunnah dan
Syi’ah semuanya adalah kaum muslimin yang dikumpulkan oleh kalimat Laa ilaha
illallah Muhammad Rasulullah, inilah asas akidah, sedangkan Sunnah dan Syi’ah
dalam masalah ini sama dan semuanya berada dalam kesucian. Adapun perselisihan
antara keduanya, maka itu terjadi pada perkara-perkara yang memungkinkan untuk
dilakukan rekonsiliasi antara keduanya.”
Saya (*Syaikh Ahmad) katakan: Perkataan
bahwa, “Syi’ah dan Ahlussunnah sama dan semuanya berada dalam kesucian …”,
perkataan ini tidak akan muncul melainkan dari seorang yang jahil atau salah
besar, sebab:
1- Apakah orang yang memaki Abu Bakar dan
Umar, mengkafirkan dan menuduh keduanya telah melakukan pengkhianatan, adalah
sama dengan siapa yang memuliakan keduanya, selalu mendoakan agar mendapatkan
keridhaan, dan meyakini bahwa keduanya adalah umat Muhammad yang paling afdhal
setelah Nabi-nya?
2- Apakah orang yang meyakini bahwa imam
yang dua belas dari ahli bait adalah ma’shum, itu sama dengan orang yang menganggap
mereka semua sama dengan muslimin lainnya?
3- Apakah orang yang menghambakan
generasi penerusnya kepada ahli bait dan menamakan generasinya dengan;
Abduz-Zahra, Abdul-Husein, dan lainnya dapat disamakan dengan orang yang hanya
memberikan penghambaan kepada Allah saja
4- Dan seterusnya.
Khomeini telah menyatakan dengan tegas di
dalam sebagian bukunya bahwa jika Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu sudah datang
maka dia akan menyelamatkan umat lebih banyak daripada yang diselamatkan oleh
(Nabi) Muhammad bin Abdullah.
Sesungguhnya jarak perbedaan antara Ahlussunnah
dan Syi’ah sangatlah jauh, tidak mungkin dilakukan rekonsiliasi kecuali salah
satu pihak mau melepaskan akidahnya, lalu ridha menganut akidah pihak lain.
(*Syi’ah taubat kemudian menjadi Sunni, atau Sunni murtad kemudian menjadi
Syi’ah).
Dan hal ini tidak boleh dilakukan oleh
seorang Sunni dan tidak mungkin dilakukan oleh Syi’ah, sekalipun sebenarnya
wajib bagi Syi’ah untuk tunduk mengakui kebenaran yang dianut oleh Ahlussunnah.
Adapun perkataannya: “Semuanya berada
dalam kesucian“; Di manakah kesucian dari kaum yang berpandangan bahwa
pendekatan diri kepada Allah yang afdhal ialah dengan menyakiti Ahlussunnah,
demikian banyak kabar tentang permasalahan ini.
Saya teringat ketika kami pergi untuk
melakukan thawaf ifadhah dan sa’i di akhir malam 11 atau 12 Dzulhijjah, maka
kami mendapati di bawah Shafa (setelah Marwa, sebelum sampai ke Shafa) banyak
kotoran sepanjang kira-kira 15 meter dalam jumlah yang banyak, menunjukkan
bahwa pelakunya telah mengumpulkannya dalam karung lalu menebarkannya. Ketika
itu orang-orang sepakat menuduh Syi’ah sebagai pelakunya, sebab menyakiti
Ahlus-sunnah adalah salah satu sendi dan Dien mereka.
Upaya dia dan seluruh pengikutnya untuk
mendekatkan antara Syi’ah (*si pembawa virus yang dapat membuat kafir atau
fasik seorang muslim) dengan Ahlussunnah, dengan asumsi bahwa Syi’ah dan Sunni
seluruhnya adalah muslim.
Saya katakan:
1- Apakah masih teranggap muslim seorang
yang mencela Abu Bakar dan Umar dengan celaan yang paling buruk, hina dan
busuk?
2- Apakah masih muslim seorang yang
mencela Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah
dilepaskan dari tuduhan zina oleh Allah dari atas tujuh lapis langit?! Namun
Syi’ah masih tetap melemparkan kepada beliau tuduhan perbuatan keji itu,
padahal Allah telah membebaskan beliau di dalam Al-Quran, yang sama artinya
mereka telah mendustakan Al-Quran yang telah menyucikan beliau.
3- Apakah masih muslim siapa yang
menghukumi seluruh shahabat telah murtad dari Islam kecuali segelintir dari
mereka saja. Mereka menyangka seluruh shahabat adalah kafir sebab bersepakat
merampas jabatan khalifah dari Ali bin Abi Thalib, padahal Nabi telah bersabda:
“Umatku tidak akan sepakat (*konsensus) di atas kesesatan”. Para shahabat
adalah sebaik-baik manusia, paling afdhal dan teladan umat, maka apakah dapat
diterima oleh akal bahwa mereka semua akan bersepakat di atas kesesatan?!
4- Apakah masih muslim siapa yang
mempropagandakan kema’shuman Ali bin Abi Thalib dan dua belas orang
keturunannya?! Padahal kema’shuman tidak tsabit bagi selain Rasulullah. Juga
demi Allah, Ali sendiri tidak pemah mengaku dirinya ma’shum, tidak pula
Al-Hasan, Al-Husein, dan siapapun keturunan mereka yang mulia, sebagaimana
digembar-gemborkan kema’shumannya oleh Syi’ah.
5- Apakah masih muslim siapa yang menyembah
makhluk baik yang hidup atau sudah mati, memanggil mereka ketika menghadapi
kesusahan, thawaf di kubur mereka, bahkan menduga berhaji ke Karbala’ sama
dengan berhaji ke Baitullah Al-Haram?!
6- Apakah masih muslim siapa yang
menjadikan anak cucunya sebagai hamba para makhluk, menamainya dengan Abdul
Husein, Abdul Kazhim, Abdu Az-Zahra, dan selainnya.
7- Apakah masih muslim, siapa yang
berkeyakinan bahwa Jibril telah berkhianat dengan membawa misi kerasulan kepada
Muhammad. Menurut mereka seharusnya kerasulan itu diberikan kepada Ali, namun
Jibril memalingkannya. Dengan itu mereka telah melakukan konsekwensi
mengkafirkan sebagai berikut:
> Menuduh Jibril Al-Amin sebagai
pengkhianat, padahal Allah mensifatinya:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
Al-Qur’an dibawa turun oleh Ar-Ruh
Al-Amin (Jibril),
عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ
ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
dengan bahasa Arab yang jelas. [QS.
Asy-Syu’ara’: 193-195.]
Berarti mereka telah mendustakan
pengabaran Allah, inilah kekufuran yang nyata.
> Meniadakankan ilmu tentang ghaib
dari Allah. Berarti Allah dapat dikhianati tanpa sepengetahuan-Nya sebagaimana
seseorang dapat melakukan pengkhianatan terhadap sesamanya makhluk tanpa
diketahuinya. Ini adalah kekafiran berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
> Allah tidak mengetahui kemaslahatan
sedangkan Jibril-lah yang lebih mengetahuinya, sebab sebenarnya Allah
memperuntukkan risalah itu kepada anak berumur delapan tahun (Ali) lalu
diselewengkan oleh Jibril dan diberikannya kepada seorang dewasa yang berumur
empat puluh tahun (RasuIullah), yang berarti menuduh Allah bodoh dan tidak bijak,
sungguh ini termasuk kekafiran yang terbesar.
8- Apakah masih muslim seorang yang
berkeyakinan bahwa Hari Kiamat adalah hari menghidupkan para musuh keluarga
Muhammad. Ketika Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu telah keluar, lalu ditegakkan
qishash untuk kerabat Muhammad terhadap semua manusia?! Mereka berprasangka
bodoh bahwa orang pertama yang akan dikenakan hukuman qishash adalah Abu Bakar
dan Umar.
9- Apakah masih muslim seorang yang
berprasangka bodoh bahwa Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu kalau telah keluar, maka
dia akan mewujudkan sesuatu yang belum diwujudkan oleh RasuIullah. Beginilah
ucapan Khomeini yang dia tegaskannya di dalam kitabnya.
10- Apakah masih muslim siapa yang
menghalalkan zina dalam bentuk nikah mut’ah?! Andaikan itu dihalalkan, maka
tidak ada perbedaan antara nikah satu malam, beberapa malam, satu bulan, kurang
dari sebulan ataupun lebih, inilah zina itu sendiri.
11- Terakhir: Apakah masih muslim siapa
yang melekat padanya semua bala’ ini bahkan lebih banyak lagi?!
Apakah mungkin diadakan rekonsiliasi
antara mereka dengan AhIussunnah?!
Apakah mungkin terjadi rekonsiliasi
antara orang-orang yang berakidah saling bertentangan sementara salah satu atau
kedua pihak tidak ada yang mau mengalah melepaskan asas akidahnya?!
Apakah Rafidhah (Syi’ah) sudah
menanggalkan semua akidah mereka atau sebagiannya yang telah mereka anut lebih
dari seribu tahun lalu? Tidaklah hal ini terjadi kecuali Allah menghendaki!?
Apakah mungkin AhIussunnah akan mengalah
melepaskan akidah-nya demi bersepakat dengan Rafidhah. Tentu ini tidak akan
terjadi kecuali Allah yang menghendaki. Sesungguhnya siapa yang mengkhayalkan
hal tersebut, maka sebenarnya dia sedang terkecoh oleh fatamorgana yang dia
kira air padahal tidak ada air padanya dan dia mengkhayalkan berbagai sangkaan
yang tidak ada realitanya.
Upaya untuk mendekatkan (Syi’ah dan
Ahlussunnah) tidak hanya dilakukan oleh Al-Banna semasa hidupnya, namun
dilanjutkan oleh para pengikutnya. Al-lkhwan telah mengutus dutanya kepada
Khomeini di hari-hari pergerakan revolusinya (Revolusi Iran), memberikan ucapan
selamat kepadanya dengan menyebutnya ‘Revolusi lslam’ (?)’. Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un.
Izzuddin Ibrahim, pengarang Mauqif ‘Ulama
Al-Muslimin minasy Syi’ah wats-Tsauratil Islamiyyah, mengatakan:
“Sebelum kita meninggalkan Al-Azhar, maka
kita akan mendengarkan fatwa yang dikeluarkannya, khususnya tentang mazhab
Syiah. Isi fatwa itu adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya Mazhab Al-Ja’fariyyah yang
dikenal sebagai mazhab Syi’ah Imam Dua Belas (Itsna Asyariyyah – Rafidhah)
adalah sebuah mazhab yang secara syar’i boleh beribadah dengannya sebagaimana
seluruh mazhab Ahlus-sunnah. Maka seharusnya kaum muslimin mengetahui hal ini
dan berlepas diri dari sikap ta’ashshub yang tidak benar dengan mazhab-mazhab
tertentu. Dinullah dan syari’at-Nya tidak akan mengikut pada mazhab tertentu
atau terbatas pada satu mazhab, mereka semua adalah para mujtahid yang diterima
di sisi Allah”,
Fatwa yang muncul dari Syaikh Mahmud
Syaltut, Syaikh Al-Azhar yang lalu ini dikomentari oleh Syaikh Muhammad
Al-Ghazzali, salah seorang penulis dan penasehat Al-lkhwan. Dia katakan dalam
bukunya Difa’ ‘anil ‘Aqidah Al-Islamiyyah Dhiddu Matha’in Al-Mustasyriqin (hal.
256):
“Seseorang dari kalangan awam datang
kepadaku dalam keadaan emosi mempertanyakan bagaimana bisa Syaikh Al-Azhar
mengeluarkan fatwanya bahwa Syi’ah adalah sebuah mazhab Islam sebagaimana
mazhab-mazhab yang sudah dikenal lainnya.
Maka saya katakan kepada laki-laki
tersebut: Apa yang engkau ketahui tentang Syi’ah? Dia terdiam sebentar kemudian
menjawab, “Orang-orang yang tidak sejalan dengan Dien kita”,
Maka saya katakan kepadanya, “Akan tetapi
saya melihat mereka itu melakukan shalat dan puasa sebagaimana kita shalat dan
puasa”.
Laki-laki tersebut terheran seraya
berkata, “Bagaimana itu?!”
Saya katakan, “Lebih mengherankan lagi,
mereka itu membaca Al-Quran, mengagungkan Rasulullah dan berhaji ke Baitul
Haram”,
Dia katakan, “Sampai kabar kepadaku bahwa
mereka mempunyai Al-Quran yang lain dan datang ke Ka’bah untuk menghinakannya”.
Saya memandang kepada laki-laki itu
dengan kasihan pada keadaannya dan saya katakan: “Kamu mendapat udzur,
sesungguhnya ada sebagian orang dari kita yang menyebarkan keadaan orang lain
untuk menghancurkan dan melukai kehormatannya.”
Saya (*Syaikh Ahmad) katakan: “Semoga
Allah membinasakan hawa nafsu! Seorang awam telah mengetahui bahwa Syi’ah
menganut agama yang tidak sama dengan Dien kita sekalipun mereka itu shalat dan
berpuasa, juga mempunyai akidah yang tidak sama dengan akidah kita walaupun
mereka menutupinya dengan tirai dan mengingkarinya di hadapan orang lain
sebagai pengamalan salah satu dasar akidah mereka yaitu ‘taqiyah
(*menyamar/kamuflase)’, sementara Al-Ghazzali berupaya untuk menutupi dan
mengingkari semua atau sebagian akidah mereka itu.”
Izzuddin Ibrahim dalam Mauqif ‘Ulama
Al-Muslimin minasy Syi’ah wats-Tsauratil Islamiyyah (hal. 22) sesudah menukil
dari berbagai kitab Al-Ghazzali yang mendukung ide ‘pendekatan’, lantas
mengatakan:
“Al-Ghazzali menegaskan dalam Thali’ah
Islamiyyah (edisi 26 Maret/nomor 85) memberi jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan kepadanya seputar peranannya dalam ‘Kelompok Rekonsiliasi’, ia
katakan,
“Ya, saya dulu termasuk orang yang
ditunjuk untuk mengupayakan pendekatan antara tiap-tiap mazhab Islam. Saat itu
saya mempunyai pekerjaan marathon di kantor Kelompok Rekonsiliasi Cairo. Saya
berteman dengan Syaikh Muhammad Taqi Al-Qummi dan Muhammad Jawwad Mughniyyah,
serta saya juga mempunyai banyak teman dari kalangan ulama dan pembesar Syi’ah.
Saya benar-benar menginginkan hilangnya saling antipati dan permusuhan pahit
yang telah tersebar di antara kaum muslimin”.”
Lalu penulis buku di atas menyertainya
dengan penukilan dari para tokoh manhaj Al-Ikhwan, di antaranya:
1.Subhi Shaleh,
2.Abdul Karim Zaidan,
3.Muhammad Abu Zahrah,
4.Dr. Mushthafa Asy-Syak’ah,
5.Syaikh Hasan Ayyub,
6.Hasan At-Turabi,
7.Fathi yakan,
8.Syaikh Sa’id Hawa,
9.Anwar Jundi,
10.Ustadz Samih Athif Az-Zain,
11.Ustadz Shabir Tha’imah,
12.Ustadz Ali Sami An-Nasysyar,
13.Dr. Ali Abdul Wahid Wafi,
14.Zainab AI-Ghazzali,
15.At-Tilmisani,
16.Yusuf Al-Azham, dan
17.AI-Ghannusyi.
Semuanya mempunyai tulisan yang termaktub
dalam berbagai kitab karangan ataupun jawaban pertanyaan untuk mendukung ide
upaya pendekatan antara Ahlussunnah dan Syi’ah. Mereka membebaskan Syi’ah dari
tuduhan mempunyai akidah menyimpang yang menyebabkan kekafiran atau kefasikan.
Semuanya menetapkan bahwa Syi’ah adalah
muslimin sebagaimana layaknya seluruh kaum muslimin lainnya, sebab Syi’ah
mengucapkan La ilaha illallah, shalat, puasa dan berhaji, serta perselisihan
yang terjadi antara mereka dengan Ahlussunnah hanyalah seperti halnya antara
mazhab-mazhab.
Tatkala Khomeini melakukan revolusi di
Iran, dengan segera Al-Ikhwan memberikan dukungan:
●Si A mengirim surat,
●Si B memoles tulisan di koran-koran,
●Si C turun ke jalan menampakkan dukungan bagi
Al-
Khomeini sebagai pemimpin negara yang
benar dan negaranya itulah satu-satunya negara yang beriman.
Dengarkanlah ucapan Yusuf Al-Azham ketika
dia berkata:
●Demi Khameini Sang Pemimpin dan lmam
●Merobohkan istana kezhaliman tanpa takut akan
kematian
●Kami telah memberikannya selempang dan bintang
jasa
●dari darah kami dan kami berjalan untuk Sang
lmam
●Kami menghancurkan syirik dan menghapus
kegelapan
●Agar alam ini kembali menjadi cahaya dan
keselamatan
Lihatlah wahai pembaca saudaraku kepada
kebutaan dan kebodohan ini, syirik apa yang dihancurkan oleh Khomeini sementara
syirik di tubuh kaum Syi’ah telah tertanam dan bertunas?!
Syirik apa yang dihancurkan oleh
Al-Ikhwan sedangkan mereka sejak hari pertamanya telah ridha kepadanya dan
menyetujuinya bahkan mereka sendiri terjatuh ke dalamnya?!
Yang sangat mengherankan, mereka marah
pada negara Saudi, sebuah Negara Tauhid yang berdiri di atas Tauhid sejak hari
pertamanya. Dialah satu-satunya negara di mana diajarkan tauhid pada semua
jenjang sekolah, ma’had, dan universitasnya. Tidak didapati di dalamnya kuburan
atau tempat ibadah di tengah makam yang menjadi tempat kunjungan tetap kaum
musyrikin yang datang dari segala penjuru untuk memohon kepada penghuni kubur
sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah, sebaliknya menyukai
negara syirik, kufur, dan melenceng, serta menjadikannya sebagai satu-satunya
negara muslim.
Jabir bin Rizq berkata pada sebuah
tulisannya dalam majalah Al-I’tisham (hal. 37, edisi Muharram 1401 H.):
“Saddam Husein telah lupa kalau dia akan
memerangi sebuah negara yang jumlah penduduknya lebih banyak empat kali lipat
dari jumlah penduduk Irak. Juga bahwa negara ini adalah negara Islam
satu-satunya yang sanggup menentang imperialisme kaum Salib dan Yahudi.
Tatanan negara yang dituliskan oleh
Al-Ikhwan menyebutkan: Kalaulah urusan ini khusus bagi bangsa Iran saja, tentu
dia telah datang sebagai solusi yang adil setelah tampak jelas bagimu apa yang
ada di sekitarnya. Akan tetapi, Islam dan semua rakyatnya di segala tempat
telah menjadi sebuah amanah di pundak hukum Islam satu-satunya di dunia ini
yang mengorbankan dirinya dengan darah rakyatnya di abad ke-20, agar hukum
Allah menancap kokoh di atas hukum para pemerintah, penjajah dan Zionis
internasional *….”
Lihatlah bagaimana dia seolah melupakan
pemerintah Saudi dan tidak menganggapnya sebagai negara Islam, serta dia
membatasi Islam adalah negara Iran saja. Lebih mengherankan lagi, manhaj
Al-Ikhwan mengaku diri mereka sebagai Salafiyyah, padahal sebaliknya mereka
justru mengkhususkan permusuhan dengan Salafiyyah kemudian beramah-tamah dengan
semua golongan yang menyimpang sebagaimana anda lihat dan yang akan kami
sebutkan (… Insya Allah).
Siasat mereka mengumpulkan semua penganut
akidah yang bermacam-macam: Sunni, Syi’ah, Jahmi, Asy’ari, penyembah berhala,
dan lain-lain; menunjukkan tidak adanya wala’ dan bara’ pada mereka. [Lihat
Nazharat fi Manahij al-Ikhwan, karya Ahmad Salam, hal. 96-97.]
Ahmad Salam berkata dalam kitabnya
Nazharat fi Manahij al-Ikhwan (hal. 161):
“Dakwah ini telah berjalan
berkesinambungan berdasarkan sketsa bangunannya dengan menekankan pergerakan
sebagai prioritas utamanya. Sementara perhatian terhadap pembenaran akidah
berada pada urutan ketiga atau keempat dan dalam ukuran yang kecil. Adapun
masalah pengistimewaan terhadap asas akidah, maka ia tidak disebutkan sama
sekali dalam perencanaan jama’ah Al-Ikhwan. Sejak hari-hari pertama pusat
perhatian tertuju kepada makna-makna Islam yang umum, sehingga engkau dapat
melihat jama’ah ini menggabungkan ke dalam barisannya campuran yang tidak
mempunyai warna dan manhaj selain ushuI Al-Banna yang dua puluh itu yang (pada
akhimya) menyulitkan titik tolak pemikiran jama’ah Al-Ikhwan itu sendiri.”
Lihat: Syaikh Ahmad an-Najmi, المورد
العذب الزلال فيما انتقد على بعض المناهج الدعوية من العقائد و الأعمال
*Kitab ini mendapat pujian dari Syaikh
Shalih al-Fauzan tertanggal 27-11-1414 H.