Monday, August 7, 2017

IM Dan Syi’ah, Sebuah Rahasia Hubungan Terlarang

Hasil gambar untuk ikhwanul muslimin syiah

Ikhwanul Muslimin menerima orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan syirik akbar (*yang berdoa, menyembelih, nadzar dan selainnya kepada selain Allah) untuk masuk dalam keanggotaannya dan menganggap mereka sebagai saudara, padahal akidah mereka meniadakan sendi Islam yang paling agung.

Di samping itu mereka menganggap Syiah Rafidhah sebagai saudara padahal mereka telah mencela para shahabat Rasulullah dan meyakini bahwa para imam mereka adalah ma’shum dan selain itu …

Dalil kami tentang perkara di atas:

[1.] Ketika menegakkan dakwahnya di Mesir, Hasan Al-Banna diikuti oleh puluhan bahkan ratusan ribu orang, tetapi belum pernah sekalipun kita dengar dia memberikan syarat kepada seseorang yang masuk dalam partainya untuk melepas akidah mereka sebelumnya, yakni syirik dan khurafat, Jahmiyyah (yang suka menolak nama dan sifat-sifat Allah), Mu’tazilah yang meniadakan takdir, mereka yang berpaham bahwa Al-Quran adalah makhluk dan menentang keyakinan ru’yah bahwa (penghuni surga, ed.) kelak akan melihat Allah di akhirat, dan lain sebagainya.

Belum pernah kita dengar dan kita baca dalam buku-bukunya bahwa dia berkata kepada seseorang:

“Janganlah engkau bergabung dalam dakwah kami sampai engkau meninggalkan akidahmu yang lalu.”

[2.] Upaya Syaikh Al-Banna untuk mempertemukan antara Sunnah dan Syi’ah dan menganggap Syi’ah sebagai saudara se-lslam, walaupun mereka memeluk banyak akidah yang bertentangan dengan Islam secara nyata.

– Misalnya; Sangkaan buruk Syi’ah bahwa para imam mereka ma’shum, dalam persoalan ini mereka telah menyelisihi kesepakatan ulama kaum muslimin bahwa kema’shuman hanya dimiliki oleh para nabi.

– Di antaranya juga; Sangkaan buruk Syi’ah atau sebagian dari mereka -semoga Allah melaknat mereka -bahwa Jibril telah berkhianat, di mana dia memberikan kerasulan kepada Muhammad yang seharusnya diberikan kepada Ali, ini termasuk kekafiran yang paling busuk.

– Juga; Makian Syi’ah terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh shahabat serta tuduhan dusta mereka terhadap Aisyah Ummul Mukminin padahal Allah telah melepaskan beliau; dari tuduhan zina itu, maka ini adalah kekafiran, pengingkaran dan penentangan terhadap ayat Al-Quran yang telah membebaskan beliau dari tuduhan tersebut.

– Juga; Sangkaan jahat mereka bahwa Al-Quran telah ditukar dan diubah, serta telah dihapus lebih dari setengahnya, ini berarti mendustakan firman Allah,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [QS. Al-Hijr: 9.]

– Juga; keyakinan mereka tentang bolehnya melakukan nikah mut’ah, dalam hal ini mereka telah menyalahi konsensus kaum muslimin bahwa perkara tersebut sudah dihapus.

– Juga; Keyakinan mereka bahwa boleh seorang laki-laki menikahi lebih dari empat perempuan, hal ini juga menyelisihi kesepakatan kaum muslimin.

– Juga; Mereka telah mempertuhankan imam-imamnya khususnya atau seluruh ahli bait secara umum dengan cara menghambakan anak keturunan mereka kepadanya dengan menamakan anak keturunannya; Abduz-Zahra, Abdul-Husein, Abdul-Kazhim, dan lain-lain.

– Serta mereka meyakini bahwa siapa di antara mereka yang telah meninggal, maka akan sanggup mengabulkan doa dan menghilangkan kesusahan.

Walaupun semua perkara yang mengkafirkan dan bala’ kekufuran yang sangat buruk ini melekat pada Syi’ah, namun Hasan Al-Banna tetap menganggap mereka sebagai saudara dalam Dien Islam, kemudian dengan gencarnya dia melakukan upaya rekonsiliasi antara Syi’ah dengan Ahlussunnah dan menguras tenaga yang tidak sedikit demi tujuan ini hingga para pengikutnya setelah itu menempuh jejak manhajnya.

Berkata Umar At-Tilmisani, penasehat umum Ikhwanul Muslimin:

“Antusias Hasan Al-Banna untuk mencapai penyatuan kalimat kaum muslimin, di mana dia mengusulkan diadakannya muktamar untuk mengumpulkan firqah-firqah Islam semoga Allah memberikan mereka petunjuk sehingga menghasilkan konsensus akan suatu hal yang dapat menghalangi mereka dari tindakan mengkafirkan sebagian lainnya secara khusus, sedangkan Al-Quran kita satu, Dien kita satu, Ilah (*Tuhan) kita satu, dan Rasul kita satu.

(*Komentar  Syaikh Ahmad: “Saya katakan: Apakah dapat terbayangkan firqah-firqah yang telah hidup dalam perselisihan selama seribu tahun bahkan lebih kemudian seluruhnya akan bersatu?”)

(Lanjutan ucapan At-Tilmisani), “… Fadhilatusy Syaikh Muhammad Al-Qummi, salah seorang tokoh ulama dan pemimpin Syi’ah, telah berkunjung ke markaz umum (*Ikhwanul Muslimin) selama jangka waktu yang relatif tidak singkat. Sebagaimana juga sudah diketahui bersama bahwa Imam Al-Banna telah menemui tokoh utama Syi’ah, Ayatullah Al-Kasysyani di musim Haji tahun 1948 M., hingga terjadi kesatuan paham antara keduanya, seperti yang diisyaratkan oleh salah seorang sosok tokoh IkhwanuI Muslimin hari ini dan salah seorang murid Imam Syahid (*) yaitu Ustadz Abdul Muta’ali Al-Jabari dalam bukunya. (Limadza Ughtiila Hasan al-Banna hal. 32, dinukil dari Ikhwanul Muslimin fil Mizan.)


Al-I’tisham menukil sebuah ucapan penulis Inggris yang menyebutkan peran Al-Banna dalam mendekatkan Syi’ah. Ustadz Al-Jabari memberikan komentar:

“Robert benar! Dia telah mencium dengan indera politiknya, kurasan tenaga Imam (Al-Banna) dalam mendekatkan antara mazhab-mazhab Islam. Bagaimana seandainya dia mengetahui lebih jauh lagi peran super besar yang dilakukan oleh Imam dalam urusan ini, di mana kesempatan seperti ini tidaklah cukup untuk menyebutkannya. (Hasan al-Banna al-Qaid, hal 78.)”

Juga dinukil dari buku At-Tilmisani, Dzikrayat La Mudzakkirat (hal. 249-250), ia berkata:

“Di tahun empat puluhan seingat saya, Sayyid Qummi yang ber-mazhab Syi’ah berkunjung sebagai tamu ke markaz umum Ikhwanul Muslimin. Saat itu Imam (Al-Banna) sedang berupaya serius untuk mendekatkan golongan-golongan yang ada agar musuh-musuh Islam tidak mengambil perpecahan ini sebagai jalan mengoyak persatuan umat Islam.

Suatu hari kami menanyakan kepadanya tentang seberapa jauh perbedaan antara Ahlussunnah dan Syi’ah, maka dia melarang kami untuk terjun masuk ke dalam permasalahan-permasalahan semacam ini yang tidak sepantasnya bagi kaum muslimin menyibukkan diri mereka dengannya. Adapun sengketa yang terjadi antara kaum muslimin seperti yang engkau lihat, maka musuh-musuh Islam bekerja di balik itu mengobarkan apinya.

Maka kami berkata kepada beliau:

“Kami tidak menanyakan hal ini karena ta’ashshub (fanatik golongan) atau meluaskan perselisihan antara kaum muslimin tetapi kami menanyakannya demi ilmu, sebab perselisihan antara Ahlussunnah dan Syi’ah sudah disebutkan di dalam karangan yang banyak tanpa batas, sedangkan kami tidak mempunyai cukup waktu untuk mencari di dalam semua buku rujukan itu.”

Maka ia menjawab:

“Ketahuilah! Sesungguhnya Sunnah dan Syi’ah semuanya adalah kaum muslimin yang dikumpulkan oleh kalimat Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah, inilah asas akidah, sedangkan Sunnah dan Syi’ah dalam masalah ini sama dan semuanya berada dalam kesucian. Adapun perselisihan antara keduanya, maka itu terjadi pada perkara-perkara yang memungkinkan untuk dilakukan rekonsiliasi antara keduanya.”

Saya (*Syaikh Ahmad) katakan: Perkataan bahwa, “Syi’ah dan Ahlussunnah sama dan semuanya berada dalam kesucian …”, perkataan ini tidak akan muncul melainkan dari seorang yang jahil atau salah besar, sebab:

1- Apakah orang yang memaki Abu Bakar dan Umar, mengkafirkan dan menuduh keduanya telah melakukan pengkhianatan, adalah sama dengan siapa yang memuliakan keduanya, selalu mendoakan agar mendapatkan keridhaan, dan meyakini bahwa keduanya adalah umat Muhammad yang paling afdhal setelah Nabi-nya?

2- Apakah orang yang meyakini bahwa imam yang dua belas dari ahli bait adalah ma’shum, itu sama dengan orang yang menganggap mereka semua sama dengan muslimin lainnya?

3- Apakah orang yang menghambakan generasi penerusnya kepada ahli bait dan menamakan generasinya dengan; Abduz-Zahra, Abdul-Husein, dan lainnya dapat disamakan dengan orang yang hanya memberikan penghambaan kepada Allah saja

4- Dan seterusnya.

Khomeini telah menyatakan dengan tegas di dalam sebagian bukunya bahwa jika Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu sudah datang maka dia akan menyelamatkan umat lebih banyak daripada yang diselamatkan oleh (Nabi) Muhammad bin Abdullah.

Sesungguhnya jarak perbedaan antara Ahlussunnah dan Syi’ah sangatlah jauh, tidak mungkin dilakukan rekonsiliasi kecuali salah satu pihak mau melepaskan akidahnya, lalu ridha menganut akidah pihak lain. (*Syi’ah taubat kemudian menjadi Sunni, atau Sunni murtad kemudian menjadi Syi’ah).

Dan hal ini tidak boleh dilakukan oleh seorang Sunni dan tidak mungkin dilakukan oleh Syi’ah, sekalipun sebenarnya wajib bagi Syi’ah untuk tunduk mengakui kebenaran yang dianut oleh Ahlussunnah.

Adapun perkataannya: “Semuanya berada dalam kesucian“; Di manakah kesucian dari kaum yang berpandangan bahwa pendekatan diri kepada Allah yang afdhal ialah dengan menyakiti Ahlussunnah, demikian banyak kabar tentang permasalahan ini.

Saya teringat ketika kami pergi untuk melakukan thawaf ifadhah dan sa’i di akhir malam 11 atau 12 Dzulhijjah, maka kami mendapati di bawah Shafa (setelah Marwa, sebelum sampai ke Shafa) banyak kotoran sepanjang kira-kira 15 meter dalam jumlah yang banyak, menunjukkan bahwa pelakunya telah mengumpulkannya dalam karung lalu menebarkannya. Ketika itu orang-orang sepakat menuduh Syi’ah sebagai pelakunya, sebab menyakiti Ahlus-sunnah adalah salah satu sendi dan Dien mereka.

Upaya dia dan seluruh pengikutnya untuk mendekatkan antara Syi’ah (*si pembawa virus yang dapat membuat kafir atau fasik seorang muslim) dengan Ahlussunnah, dengan asumsi bahwa Syi’ah dan Sunni seluruhnya adalah muslim.

Saya katakan:

1- Apakah masih teranggap muslim seorang yang mencela Abu Bakar dan Umar dengan celaan yang paling buruk, hina dan busuk?

2- Apakah masih muslim seorang yang mencela Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah dilepaskan dari tuduhan zina oleh Allah dari atas tujuh lapis langit?! Namun Syi’ah masih tetap melemparkan kepada beliau tuduhan perbuatan keji itu, padahal Allah telah membebaskan beliau di dalam Al-Quran, yang sama artinya mereka telah mendustakan Al-Quran yang telah menyucikan beliau.

3- Apakah masih muslim siapa yang menghukumi seluruh shahabat telah murtad dari Islam kecuali segelintir dari mereka saja. Mereka menyangka seluruh shahabat adalah kafir sebab bersepakat merampas jabatan khalifah dari Ali bin Abi Thalib, padahal Nabi telah bersabda: “Umatku tidak akan sepakat (*konsensus) di atas kesesatan”. Para shahabat adalah sebaik-baik manusia, paling afdhal dan teladan umat, maka apakah dapat diterima oleh akal bahwa mereka semua akan bersepakat di atas kesesatan?!

4- Apakah masih muslim siapa yang mempropagandakan kema’shuman Ali bin Abi Thalib dan dua belas orang keturunannya?! Padahal kema’shuman tidak tsabit bagi selain Rasulullah. Juga demi Allah, Ali sendiri tidak pemah mengaku dirinya ma’shum, tidak pula Al-Hasan, Al-Husein, dan siapapun keturunan mereka yang mulia, sebagaimana digembar-gemborkan kema’shumannya oleh Syi’ah.

5- Apakah masih muslim siapa yang menyembah makhluk baik yang hidup atau sudah mati, memanggil mereka ketika menghadapi kesusahan, thawaf di kubur mereka, bahkan menduga berhaji ke Karbala’ sama dengan berhaji ke Baitullah Al-Haram?!

6- Apakah masih muslim siapa yang menjadikan anak cucunya sebagai hamba para makhluk, menamainya dengan Abdul Husein, Abdul Kazhim, Abdu Az-Zahra, dan selainnya.

7- Apakah masih muslim, siapa yang berkeyakinan bahwa Jibril telah berkhianat dengan membawa misi kerasulan kepada Muhammad. Menurut mereka seharusnya kerasulan itu diberikan kepada Ali, namun Jibril memalingkannya. Dengan itu mereka telah melakukan konsekwensi mengkafirkan sebagai berikut:

> Menuduh Jibril Al-Amin sebagai pengkhianat, padahal Allah mensifatinya:

نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
Al-Qur’an dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),

عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ
ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,

بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
dengan bahasa Arab yang jelas. [QS. Asy-Syu’ara’: 193-195.]

Berarti mereka telah mendustakan pengabaran Allah, inilah kekufuran yang nyata.

> Meniadakankan ilmu tentang ghaib dari Allah. Berarti Allah dapat dikhianati tanpa sepengetahuan-Nya sebagaimana seseorang dapat melakukan pengkhianatan terhadap sesamanya makhluk tanpa diketahuinya. Ini adalah kekafiran berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

> Allah tidak mengetahui kemaslahatan sedangkan Jibril-lah yang lebih mengetahuinya, sebab sebenarnya Allah memperuntukkan risalah itu kepada anak berumur delapan tahun (Ali) lalu diselewengkan oleh Jibril dan diberikannya kepada seorang dewasa yang berumur empat puluh tahun (RasuIullah), yang berarti menuduh Allah bodoh dan tidak bijak, sungguh ini termasuk kekafiran yang terbesar.

8- Apakah masih muslim seorang yang berkeyakinan bahwa Hari Kiamat adalah hari menghidupkan para musuh keluarga Muhammad. Ketika Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu telah keluar, lalu ditegakkan qishash untuk kerabat Muhammad terhadap semua manusia?! Mereka berprasangka bodoh bahwa orang pertama yang akan dikenakan hukuman qishash adalah Abu Bakar dan Umar.

9- Apakah masih muslim seorang yang berprasangka bodoh bahwa Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu kalau telah keluar, maka dia akan mewujudkan sesuatu yang belum diwujudkan oleh RasuIullah. Beginilah ucapan Khomeini yang dia tegaskannya di dalam kitabnya.

10- Apakah masih muslim siapa yang menghalalkan zina dalam bentuk nikah mut’ah?! Andaikan itu dihalalkan, maka tidak ada perbedaan antara nikah satu malam, beberapa malam, satu bulan, kurang dari sebulan ataupun lebih, inilah zina itu sendiri.

11- Terakhir: Apakah masih muslim siapa yang melekat padanya semua bala’ ini bahkan lebih banyak lagi?!

Apakah mungkin diadakan rekonsiliasi antara mereka dengan AhIussunnah?!

Apakah mungkin terjadi rekonsiliasi antara orang-orang yang berakidah saling bertentangan sementara salah satu atau kedua pihak tidak ada yang mau mengalah melepaskan asas akidahnya?!

Apakah Rafidhah (Syi’ah) sudah menanggalkan semua akidah mereka atau sebagiannya yang telah mereka anut lebih dari seribu tahun lalu? Tidaklah hal ini terjadi kecuali Allah menghendaki!?

Apakah mungkin AhIussunnah akan mengalah melepaskan akidah-nya demi bersepakat dengan Rafidhah. Tentu ini tidak akan terjadi kecuali Allah yang menghendaki. Sesungguhnya siapa yang mengkhayalkan hal tersebut, maka sebenarnya dia sedang terkecoh oleh fatamorgana yang dia kira air padahal tidak ada air padanya dan dia mengkhayalkan berbagai sangkaan yang tidak ada realitanya.

Upaya untuk mendekatkan (Syi’ah dan Ahlussunnah) tidak hanya dilakukan oleh Al-Banna semasa hidupnya, namun dilanjutkan oleh para pengikutnya. Al-lkhwan telah mengutus dutanya kepada Khomeini di hari-hari pergerakan revolusinya (Revolusi Iran), memberikan ucapan selamat kepadanya dengan menyebutnya ‘Revolusi lslam’ (?)’. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Izzuddin Ibrahim, pengarang Mauqif ‘Ulama Al-Muslimin minasy Syi’ah wats-Tsauratil Islamiyyah, mengatakan:

“Sebelum kita meninggalkan Al-Azhar, maka kita akan mendengarkan fatwa yang dikeluarkannya, khususnya tentang mazhab Syiah. Isi fatwa itu adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya Mazhab Al-Ja’fariyyah yang dikenal sebagai mazhab Syi’ah Imam Dua Belas (Itsna Asyariyyah – Rafidhah) adalah sebuah mazhab yang secara syar’i boleh beribadah dengannya sebagaimana seluruh mazhab Ahlus-sunnah. Maka seharusnya kaum muslimin mengetahui hal ini dan berlepas diri dari sikap ta’ashshub yang tidak benar dengan mazhab-mazhab tertentu. Dinullah dan syari’at-Nya tidak akan mengikut pada mazhab tertentu atau terbatas pada satu mazhab, mereka semua adalah para mujtahid yang diterima di sisi Allah”,

Fatwa yang muncul dari Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Al-Azhar yang lalu ini dikomentari oleh Syaikh Muhammad Al-Ghazzali, salah seorang penulis dan penasehat Al-lkhwan. Dia katakan dalam bukunya Difa’ ‘anil ‘Aqidah Al-Islamiyyah Dhiddu Matha’in Al-Mustasyriqin (hal. 256):

“Seseorang dari kalangan awam datang kepadaku dalam keadaan emosi mempertanyakan bagaimana bisa Syaikh Al-Azhar mengeluarkan fatwanya bahwa Syi’ah adalah sebuah mazhab Islam sebagaimana mazhab-mazhab yang sudah dikenal lainnya.

Maka saya katakan kepada laki-laki tersebut: Apa yang engkau ketahui tentang Syi’ah? Dia terdiam sebentar kemudian menjawab, “Orang-orang yang tidak sejalan dengan Dien kita”,

Maka saya katakan kepadanya, “Akan tetapi saya melihat mereka itu melakukan shalat dan puasa sebagaimana kita shalat dan puasa”.

Laki-laki tersebut terheran seraya berkata, “Bagaimana itu?!”

Saya katakan, “Lebih mengherankan lagi, mereka itu membaca Al-Quran, mengagungkan Rasulullah dan berhaji ke Baitul Haram”,

Dia katakan, “Sampai kabar kepadaku bahwa mereka mempunyai Al-Quran yang lain dan datang ke Ka’bah untuk menghinakannya”.

Saya memandang kepada laki-laki itu dengan kasihan pada keadaannya dan saya katakan: “Kamu mendapat udzur, sesungguhnya ada sebagian orang dari kita yang menyebarkan keadaan orang lain untuk menghancurkan dan melukai kehormatannya.”

Saya (*Syaikh Ahmad) katakan: “Semoga Allah membinasakan hawa nafsu! Seorang awam telah mengetahui bahwa Syi’ah menganut agama yang tidak sama dengan Dien kita sekalipun mereka itu shalat dan berpuasa, juga mempunyai akidah yang tidak sama dengan akidah kita walaupun mereka menutupinya dengan tirai dan mengingkarinya di hadapan orang lain sebagai pengamalan salah satu dasar akidah mereka yaitu ‘taqiyah (*menyamar/kamuflase)’, sementara Al-Ghazzali berupaya untuk menutupi dan mengingkari semua atau sebagian akidah mereka itu.”

Izzuddin Ibrahim dalam Mauqif ‘Ulama Al-Muslimin minasy Syi’ah wats-Tsauratil Islamiyyah (hal. 22) sesudah menukil dari berbagai kitab Al-Ghazzali yang mendukung ide ‘pendekatan’, lantas mengatakan:

“Al-Ghazzali menegaskan dalam Thali’ah Islamiyyah (edisi 26 Maret/nomor 85) memberi jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya seputar peranannya dalam ‘Kelompok Rekonsiliasi’, ia katakan,

“Ya, saya dulu termasuk orang yang ditunjuk untuk mengupayakan pendekatan antara tiap-tiap mazhab Islam. Saat itu saya mempunyai pekerjaan marathon di kantor Kelompok Rekonsiliasi Cairo. Saya berteman dengan Syaikh Muhammad Taqi Al-Qummi dan Muhammad Jawwad Mughniyyah, serta saya juga mempunyai banyak teman dari kalangan ulama dan pembesar Syi’ah. Saya benar-benar menginginkan hilangnya saling antipati dan permusuhan pahit yang telah tersebar di antara kaum muslimin”.”

Lalu penulis buku di atas menyertainya dengan penukilan dari para tokoh manhaj Al-Ikhwan, di antaranya:

1.Subhi Shaleh,
2.Abdul Karim Zaidan,
3.Muhammad Abu Zahrah,
4.Dr. Mushthafa Asy-Syak’ah,
5.Syaikh Hasan Ayyub,
6.Hasan At-Turabi,
7.Fathi yakan,
8.Syaikh Sa’id Hawa,
9.Anwar Jundi,
10.Ustadz Samih Athif Az-Zain,
11.Ustadz Shabir Tha’imah,
12.Ustadz Ali Sami An-Nasysyar,
13.Dr. Ali Abdul Wahid Wafi,
14.Zainab AI-Ghazzali,
15.At-Tilmisani,
16.Yusuf Al-Azham, dan
17.AI-Ghannusyi.

Semuanya mempunyai tulisan yang termaktub dalam berbagai kitab karangan ataupun jawaban pertanyaan untuk mendukung ide upaya pendekatan antara Ahlussunnah dan Syi’ah. Mereka membebaskan Syi’ah dari tuduhan mempunyai akidah menyimpang yang menyebabkan kekafiran atau kefasikan.

Semuanya menetapkan bahwa Syi’ah adalah muslimin sebagaimana layaknya seluruh kaum muslimin lainnya, sebab Syi’ah mengucapkan La ilaha illallah, shalat, puasa dan berhaji, serta perselisihan yang terjadi antara mereka dengan Ahlussunnah hanyalah seperti halnya antara mazhab-mazhab.

Tatkala Khomeini melakukan revolusi di Iran, dengan segera Al-Ikhwan memberikan dukungan:

Si A mengirim surat,
Si B memoles tulisan di koran-koran,
Si C turun ke jalan menampakkan dukungan bagi Al-

Khomeini sebagai pemimpin negara yang benar dan negaranya itulah satu-satunya negara yang beriman.
Dengarkanlah ucapan Yusuf Al-Azham ketika dia berkata:

Demi Khameini Sang Pemimpin dan lmam
Merobohkan istana kezhaliman tanpa takut akan kematian
Kami telah memberikannya selempang dan bintang jasa
dari darah kami dan kami berjalan untuk Sang lmam
Kami menghancurkan syirik dan menghapus kegelapan
Agar alam ini kembali menjadi cahaya dan keselamatan

Lihatlah wahai pembaca saudaraku kepada kebutaan dan kebodohan ini, syirik apa yang dihancurkan oleh Khomeini sementara syirik di tubuh kaum Syi’ah telah tertanam dan bertunas?!

Syirik apa yang dihancurkan oleh Al-Ikhwan sedangkan mereka sejak hari pertamanya telah ridha kepadanya dan menyetujuinya bahkan mereka sendiri terjatuh ke dalamnya?!

Yang sangat mengherankan, mereka marah pada negara Saudi, sebuah Negara Tauhid yang berdiri di atas Tauhid sejak hari pertamanya. Dialah satu-satunya negara di mana diajarkan tauhid pada semua jenjang sekolah, ma’had, dan universitasnya. Tidak didapati di dalamnya kuburan atau tempat ibadah di tengah makam yang menjadi tempat kunjungan tetap kaum musyrikin yang datang dari segala penjuru untuk memohon kepada penghuni kubur sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah, sebaliknya menyukai negara syirik, kufur, dan melenceng, serta menjadikannya sebagai satu-satunya negara muslim.

Jabir bin Rizq berkata pada sebuah tulisannya dalam majalah Al-I’tisham (hal. 37, edisi Muharram 1401 H.):

“Saddam Husein telah lupa kalau dia akan memerangi sebuah negara yang jumlah penduduknya lebih banyak empat kali lipat dari jumlah penduduk Irak. Juga bahwa negara ini adalah negara Islam satu-satunya yang sanggup menentang imperialisme kaum Salib dan Yahudi.

Tatanan negara yang dituliskan oleh Al-Ikhwan menyebutkan: Kalaulah urusan ini khusus bagi bangsa Iran saja, tentu dia telah datang sebagai solusi yang adil setelah tampak jelas bagimu apa yang ada di sekitarnya. Akan tetapi, Islam dan semua rakyatnya di segala tempat telah menjadi sebuah amanah di pundak hukum Islam satu-satunya di dunia ini yang mengorbankan dirinya dengan darah rakyatnya di abad ke-20, agar hukum Allah menancap kokoh di atas hukum para pemerintah, penjajah dan Zionis internasional *….”

Lihatlah bagaimana dia seolah melupakan pemerintah Saudi dan tidak menganggapnya sebagai negara Islam, serta dia membatasi Islam adalah negara Iran saja. Lebih mengherankan lagi, manhaj Al-Ikhwan mengaku diri mereka sebagai Salafiyyah, padahal sebaliknya mereka justru mengkhususkan permusuhan dengan Salafiyyah kemudian beramah-tamah dengan semua golongan yang menyimpang sebagaimana anda lihat dan yang akan kami sebutkan (… Insya Allah).

Siasat mereka mengumpulkan semua penganut akidah yang bermacam-macam: Sunni, Syi’ah, Jahmi, Asy’ari, penyembah berhala, dan lain-lain; menunjukkan tidak adanya wala’ dan bara’ pada mereka. [Lihat Nazharat fi Manahij al-Ikhwan, karya Ahmad Salam, hal. 96-97.]

Ahmad Salam berkata dalam kitabnya Nazharat fi Manahij al-Ikhwan (hal. 161):

“Dakwah ini telah berjalan berkesinambungan berdasarkan sketsa bangunannya dengan menekankan pergerakan sebagai prioritas utamanya. Sementara perhatian terhadap pembenaran akidah berada pada urutan ketiga atau keempat dan dalam ukuran yang kecil. Adapun masalah pengistimewaan terhadap asas akidah, maka ia tidak disebutkan sama sekali dalam perencanaan jama’ah Al-Ikhwan. Sejak hari-hari pertama pusat perhatian tertuju kepada makna-makna Islam yang umum, sehingga engkau dapat melihat jama’ah ini menggabungkan ke dalam barisannya campuran yang tidak mempunyai warna dan manhaj selain ushuI Al-Banna yang dua puluh itu yang (pada akhimya) menyulitkan titik tolak pemikiran jama’ah Al-Ikhwan itu sendiri.”

Lihat: Syaikh Ahmad an-Najmi, المورد العذب الزلال فيما انتقد على بعض المناهج الدعوية من العقائد و الأعمال

*Kitab ini mendapat pujian dari Syaikh Shalih al-Fauzan tertanggal 27-11-1414 H.