Sunday, August 6, 2017

Kerusuhan Syiah Di Yaman Pada Masa Imam Asy-Syaukani

Hasil gambar untuk yaman

Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i:
# Shalah Falyatah
Shalah Falyatah tidak termasuk ahlul-bait secara nasab (keturunan), dia hanyalah seorang yang ingin dirinya dekat dengan para penganut Syi’ah yang melampaui batas dengan menampakkan pembelaan terhadap madzhab tersebut dan terhadap ahlul-bait.

Saya kagum dengan tulisan Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam Al-Badruth-Thaali’ ketika beliau mengulas biografi Muhammad bin Ismail Al-Amir. Beliau berkata,
“Beliau (Muhammad bin Ismail Al-Amir) terus menyebarkan ilmu dengan mengajar, mengeluarkan fatwa dan menulis, walaupun beliau terus mendapat ujian dari masyarakat waktu itu. Orang-orang awam memusuhinya, hanya karena beliau bersandar kepada kitab-kitab rujukan utama dan seluruh kitab hadits yang ada serta berusaha mengamalkannya.

Siapa saja yang melakukan hal seperti ini, maka ia akan mendapatkan perlakuan yang sama dari orang banyak. Apalagi jika ia menampakkan perbuatan yang merupakan Sunnah dari ibadah shalat, seperti mengangkat tangan dan melipatnya (bersedekap) serta yang lainnya, maka masyarakat akan lari darinya, memusuhinya dan tidak menghormatinya. Padahal mereka, semua penduduk wilayah tersebut, merupakan pengikut Imam Zaid bin Ali (pemimpin Zaidiyah) yang berpendapat disyariatkannya mengangkat kedua tangan dan bersedekap. Juga para pemuka madzhab Zaidiyah tetap membaca kitab-kitab induk hadits dan kitab-kitab lainnya semenjak saya menetap di Yaman dan mereka juga menukilnya ke dalam kitab-kitab mereka.

Jadi, sebenarnya tidak ada yang mengingkarinya kecuali ia seorang yang bodoh atau pura-pura bodoh. Kesalahan bukan pada permusuhan orang-orang awam, mereka yang tidak punya kaitan dengan ilmu pengetahuan, karena mereka hanya mengikut kepada para pembual. Jika seorang yang kelihatannya punya ilmu berkata kepada mereka bahwa ini adalah benar, maka mereka pun akan berkata demikian; dan jika dikatakan bahwa ini adalah batil, maka mereka pun akan mengatakan batil.

Dosa dan kesalahan terletak pada sekelompok orang yang membaca sesuatu dari kitab-kitab fiqih dan tidak memahaminya secara dalam, serta tidak tahu-menahu yang lainnya. Lalu dengan kekurangan ini mereka kemudian menyangka bahwa siapa yang menyalahi sesuatu dari kitab-kitab tcrsebut sama dengan menyalahi syariat, bahkan yang qath’i darinya merupakan qath’i syariat pula. Padahal mereka membaca dalam kitab-kitab tersebut sesuatu yang menyalahi para ulama besar maupun yang biasa merupakan pilihan untuk ditulis di dalamnya, tetapi mereka pada hakikatnya tidak memahami dan tidak mendapatkan petunjuk. Bahkan jika ada ulama yang sudah mencapai derajat mujtahid lalu ijtihad-nya berbeda dengan pemahaman mereka, maka mereka menuduh ulama tersebut telah keluar dari agama.

Hal ini terjadi pada mereka bukan karena tujuan agama, namun karena mengharapkan keuntungan duniawi yang bisa diketahui oleh siapa saja yang mengamatinya. Yaitu supaya tersebar di kalangan orang-orang, bahwa siapa yang menentang ulama-ulama besar -yang ijtihad mereka menentang madzhab mereka- maka ia adalah orang yang paling murni Syi’ah-nya, yang membela madzhab ahlul-bait, dan itu biasanya akan mendatangkan keuntungan duniawi. Oleh karena itu, mereka selalu menyalahkan ulama-ulama besar dan menuduh mereka membangkang dan menentang ahlul-bait, yang kemudian didengar oleh orang-orang awam sehingga mereka pun menyangka itu adalah benar dan akhirnya mereka mengagungkan si pelaku kemungkaran tersebut. Ini karena telah tertanam dalam akal orang-orang akan dakwaan kebenaran ucapannya dan menyangka bahwa ia telah membela madzhab para imam.

Padahal seandainya mereka mengetahui yang sebenarnya, pasti mereka akan mengetahui bahwa si pelaku kemungkaran inilah yang sebenarnya menyalahi madzhab para imam dari kalangan ahlul-bait. Bahkan ia telah keluar dari ijma’ ahlul-bait, karena ahlul-bait seluruhnya telah mengharamkan taqlid bagi seorang yang sudah mencapai derajat mujtahid dan diwajibkan untuk ber-ijtihad sendiri, dan itu tidak terbatas hanya pada satu masalah saja. Akan tetapi seorang yang fanatik buta dan lalai tidak akan diberi petunjuk kepada kebenaran, dan tidak akan keluar dari keyakinannya kecuali jika ia seorang yang mau berpikir.
Padahal masalah keharaman taqlid bagi seorang mujtahid sudah tercantum dalam kitab-kitab yang dipelajari oleh penuntut ilmu, bahkan merupakan pelajaran pertama yang dipelajari para anak-anak dan pemula di sekolah.” Sampai di sini penuturan beliau rahimahullah.

# Shalah Falyatah dan Al-Mukhtafi adalah Penyebab Fitnah dan Sumber Malapetaka

Saya pernah berbicara di masjid Al-Hadi setelah shalat Jum’at, di mana saya saat itu mengingatkan manusia dari syirik, bid’ah dan khurafat. Maka, para pemuka Syi’ah pun marah dan memprovokasi supaya saya dilarang berbicara di masjid tersebut. Mereka lalu mengumpulkan para berandalan, preman-preman pasar dan orang-orang fasik, dan menyebarkan berbagai isu dan propaganda ke telinga para berandalan tersebut.

Terkadang mereka mengatakan saya seorang Wahabi, terkadang pula Syafi’i, atau mereka menuduh saya bergabung dengan kelompok yang ingin meruntuhkan madzhab. Terkadang juga saya dituduh Nashibi, dan di lain kesempatan saya dikatakan mereka adalah agar saya dilarang berbicara tentang kebenaran. Tidaklah saya berdiri setelah shalat Jum’at lalu saya mengucapkan “alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin”, melainkan manusia bagaikan air bah yang hendak menyerang saya. Namun Allah menggagalkan rencana mereka dan saya pun dilindungi oleh beberapa kabilah, semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan, sehingga saya selamat dan alhamdulillah.

Saya –begitu pula beberapa yang menentang saya- pernah ditahan beberapa hari, karena pihak yang berwenang tidak tahu akan kebenaran, apalagi di antara mereka masih menyimpan bekas-bekas pengaruh Syi’ah. Namun selang beberapa hari terbukti bahwa mereka adalah pembohong, dan yang mendorong mereka hanyalah kedengkian. Jika mereka adil, tentu mereka akan bersedia berdebat denganku atau menanggapi ceramahku saat itu tanpa perlu menghasut orang-orang bodoh dan pengacau. Tindakan mereka ini persis tindakan orang-orang kafir Quraisy ketika mereka tidak kuasa menolak dan membantah hujjah Rasulullah. Seorang dari mereka lalu memprovokasi,
“Janganlah kalian mendengarkan Al-Qur’an dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kalian dapat mengalahkan mereka.” (QS. Fushshilat (41) : 26)

# Peristiwa Dahsyat yang Pernah Kami Alami

Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Al-Badruth-Thaali’ pada ulasan biografi Yahya bin Muhammad Al-Hutsi,
“Pada malam tanggal 14 bulan Ramadhan tahun 1216 H., muncul fitnah (bencana) besar yang disebabkan oleh dia. Bermula dari sebagian penduduk negeri yang mengatakan diri mereka sebagai penganut Syi’ah, di mana kebodohan yang sangat dan pembangkangan tersembunyi dalam hati mereka, mereka mendudukkan (mengundang) sang penerjemah di atas kursi yang biasa diduduki ulama-ulama yang menyampaikan nasihat, lalu dia disuruh membacakan kitab Tafrijul-Kurub kepada khalayak ramai, kitab tentang manaqib (keutamaan-keutamaan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu).
Tetapi dia tidak hanya membaca apa yang ada pada kitab tersebut, tetapi lebih dari itu, dia mencaci sebagian Salafush-Shalih sesuai keinginan mereka yang mendudukkan dia dengan tujuan supaya menimbulkan kemarahan di kalangan orang-orang yang merupakan keturunan Bani Umayyah. Ini semua oleh karena kedua orang ini berlomba-lomba mendapatkan dunia, mendekatkan diri dengan orang-orang pemerintahan, serta mengumpulkan harta.

Sang penerjemah meneriakkan caci maki di atas kursi, diikuti oleh masyarakat awam yang yang jumlahnya sangat banyak. Mereka hadir untuk melihat “lilin yang dinyalakan”, juga untuk kursi yang sudah jauh dari mereka dan bukan untuk menuntut ilmu. Akhirnya, kacaulah situasi masjid saat itu. Kegaduhan semakin menjadi, suara dan teriakan meninggi sementara sang penerjemah sendiri tidak paham akan apa yang ada dalam kitab tersebut, baik lafazh maupun maknanya. Bahkan dia banyak mengubah dan menambah, melakukan kesalahan yang fatal dalam berbahasa, serta mengungkapkan dengan bahasa yang biasa digunakan masyarakat awam di pasar-pasar.
Begitulah, setiap hari orang-orang berkumpul mendengarnya membacakan kitab tersebut di masjid Imam Shalahuddin yang berakhir dengan kejadian serupa. Lalu dia juga bermaksud melakukannya di masjid Shan’a yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dan para ulama untuk belajar dan mengajar, dengan maksud menyebarkan caci maki dan laknat serta menampakkan diri dengannya.
Maka tatkala hal itu sampai kepada yang mulia Khalifah Al-Ashr -semoga Allah memelihara beliau-, beliau pun menugaskan penanggung jawab bagian waqaf -Sayyid Ismail bin Al-Hasan Asy-Syami- agar memerintahkan kepada sang penerjemah kembali ke masjid Shalahuddin. Maka Sayyid Ismail pun menyuruh Ahmad bin Muhsin Hatim, kepala menara, untuk menyampaikan hal itu kepada si penerjemah.

Pada suatu malam hadir orang-orang seperti biasanya, juga hadir orang yang dianggap ulama dan fuqaha padahal mereka lebih bodoh dari orang-orang yang hadir. Tetapi sang penerjemah tidak hadir pada waktu biasanya, yakni sebelum shalat lsya. Akhirnya mereka pun membuat kegaduhan di masjid dan berteriak mengeluarkan makian dan kata-kata laknat serta melarang mendirikan shalat Isya.
Kemudian orang yang jahat terhadap negara atau diam-diam menjadi penganut Syi’ah Rafidhah bergabung dengan mereka, diikuti orang-orang awam. Mereka keluar dari masjid sambil berteriak-teriak di jalan-jalan, mencaci-maki orang yang masih hidup dan yang sudah mati. Jumlah mereka meningkat menjadi ribuan yang kemudian menuju rumah Al-Faqih Ahmad, lalu mereka melemparinya. Setelah itu mereka menuju rumah Sayyid Ismail bin Al-Hasan Asy-Syami dan melemparinya dengan brutal sampai menghancurkan banyak perabot dan bangunan rumah beliau. Selanjutnya mereka menuju sekolah Al-Imam Syarifuddin untuk membunuhnya. Namun Allah Ta’ala menyelamatkan beliau, beliau berhasil lolos dan melarikan diri tanpa mereka sadari.

Sebelumnya mereka juga mencari Al-Faqih Ahmad Hatim yang kemudian berhasil lolos pula dan lari menuju rumah saya. Setelah itu jumlah massa yang makin berlipat ganda menuju rumah Sayyid Ali bin Ibrahim Al-Amir, lalu melemparinya dan menteror anak-anak dan wanita yang ada dalam rumah tersebut serta mengganggu kehormatan mereka. Adapun yang menyebabkan mereka melakukan ini terhadap Sayyid Ali bin Ibrahim Al-Amir, dikarenakan beliau pada beberapa hari menjelang peristiwa tersebut memberikan nasihat di Masjid Jami’, dan beliau bukan pengikut Rafidhah yang ikut mencaci saat itu.

Massa kemudian sepakat sambil meneriakkan yel-yel dan orasi, menuju rumah menteri Al-Hasan bin Utsman Al-Alafi dan rumah menteri Al-Hasan bin Ali Hanasy yang keduanya bertetangga, lalu mereka pun melempari kedua rumah tersebut. Adapun rumah yang pertama oleh karena Al-Hasan bin Utsman keturunan Bani Umayyah, sedangkan rumah yang kedua oleh karena Al-Hasan bin Ali terang-terangan mengikuti Sunnah dan menolak faham Rafidhah. Adapun rumah Al-Faqih Hasan Hanasy, sebagian kerabat beliau naik ke atap melempar ke bawah sehingga beliau dan yang ada di dalam lari dan sebagian terkena lemparan. Rumah Hasan bin Utsman dilempari pula dengan brutal, dan mereka terus melemparinya selama empat jam sehingga hampir menghancurkan dan merobohkannya. Setelah itu baru datang pasukan pengaman yang lalu menembaki mereka dengan tujuan agar mereka berhenti melakukan aksi kekerasan, tetapi mereka terus saja melakukan aksi karena penembakan dimaksudkan hanya untuk menteror mereka. Maka sebagian anak cucu Khalifah -semoga Allah menjaga mereka- dan rekan-rekan berang dan marah lalu membubarkan massa dengan paksa dan akhimya massa pun berhenti melakukan aksi. Mereka telah melakukan sesuatu yang tidak dilakukan seorang mukmin, bahkan oleh seorang kafir.”

Beliau melanjutkan, “Pada hari berikutnya Khalifah -semoga Allah menjaga beliau- juga mengundang para menteri dan kepala pemerintahan wilayah untuk mengadakan sidang, di mana saat itu sangat dikhawatirkan akan terjadi revolusi dari masyarakat. Setelah itu saya diundang oleh Khalifah untuk ikut dimintai saran dan pendapat, maka saya pun memberi saran bahwa tindakan terbaik yang harus diambil segera adalah menangkap mereka yang terang-terangan membuat kegaduhan di masjid dan memprovokasi orang banyak, serta memperlihatkan bahwa di antara mereka memang ada yang melenceng dari tujuan pokok dan bahwa apa yang mereka perlihatkan berupa caci maki, tujuannya adalah hanya untuk membangkitkan amarah para penyeleweng tersebut serta tujuan yang lain, yang motivasinya tidak lain hanya demi keuntungan duniawi belaka, jabatan dan mendapat tempat di hati orang banyak.

Yang paling besar perannya dalam hal ini adalah Sayyid Ismail bin Izzuddin An-Na’ami, seorang yang sesungguhnya adalah pengikut Rafidhah yang sangat fanatik. Walaupun dia sebenarnya adalah orang yang bodoh dengan kebodohan yang berlipat, bahkan pada sisi tertentu dia seorang yang gila. Dia ini mengumpulkan berbagai karangan dan tulisan dari kitab-kitab Rafidhah, lalu dibacakannya di masjid kepada orang-orang yang lebih bodoh lagi darinya.
Dia berusaha memecah-belah kaum muslimin dan menanamkan dugaan kepada mereka bahwa ulama-ulama besar dan orang-orang tertentu dari mereka adalah Nashibah, golongan yang membenci ‘Ali karramallahu wajhahu. Bahkan dia mengumpulkan buku-buku yang menyebutkan ulama-ulama tertentu di dalamnya, lalu memprovokasi orang-orang untuk menjauhi mereka. Dia memberi gelar bagi ulama-ulama ini dengan nama Sunniyah (Sunni; pengikut Sunnah). Terkadang dengan nama Nashibah, padahal sebenarnya dia tidak mengerti ilmu nahwu, sharaf, yang ushul (pokok) maupun furu'(cabang), tidak juga tafsir ataupun hadits, bahkan dia seperti si penerjemah di atas yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.”

Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Kemudian saya pun memberi saran (yaitu kepada Khalifah saat itu) untuk menyelidiki siapa saja orang-orang melakukan pelemparan dan membuat kerusuhan. Maka mulailah dilakukan pencarian. Siapa yang terbukti di antara mereka, maka ditangkap dan dipenjara. Ini berlangsung terus-menerus selama sisa bulan Ramadhan, sehingga banyak yang berhasil ditahan dan dipenjara. Kemudian pada tanggal empat Syawal, Khalifah memerintahkan untuk melempari (menghukum dengan melempar) para fuqaha dan orang-orang yang terlibat langsung. Mereka pun dilukai dengan lemparan di bawah pengawasan Khalifah, kemudian mereka dikembalikan lagi ke tahanan setelah itu.
Pada hari kedua, Khalifah kembali memerintahkan penduduk Shan’a dan yang lainnya untuk melempari mereka, dan beberapa tokoh mereka dihukum tembak. Selang beberapa hari kemudian mereka dirantai besi, lalu sebagian dari mereka dikirim ke penjara Zaila’ dan sebagian lainnya ke penjara Kamran….” Dan seterusnya sampai akhir kisah.

Dengan ini, saya telah menguraikan sebagian besar kisah karena di dalamnya menjelaskan bahwa siapa yang menyeru kepada Sunnah, maka ia akan ditekan oleh orang-orang Rafidhah, sehingga para ulama pun tidak sanggup mengangkat kepala mereka demi Sunnah. Maka alhamdulillah, karena panji-panji mereka sudah runtuh dan tidak lagi berkibar, dan kita pun mengucapkan alhamdulillaah, karena sudah bisa mengamalkan Sunnah tanpa mendapat gangguan lagi dari mereka. Orang-orang yang masih ragu atas hal ini, maka kita katakan kepadanya bahwa kita siap berdialog dengan mereka. Tetapi mereka justru enggan berdialog, sehingga orang-orang pun tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang batil dan sesat.