Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i:
# Shalah Falyatah
Shalah Falyatah tidak termasuk ahlul-bait
secara nasab (keturunan), dia hanyalah seorang yang ingin dirinya dekat dengan
para penganut Syi’ah yang melampaui batas dengan menampakkan pembelaan terhadap
madzhab tersebut dan terhadap ahlul-bait.
Saya kagum dengan tulisan Imam
Asy-Syaukani rahimahullah dalam Al-Badruth-Thaali’ ketika beliau mengulas
biografi Muhammad bin Ismail Al-Amir. Beliau berkata,
“Beliau (Muhammad bin Ismail Al-Amir)
terus menyebarkan ilmu dengan mengajar, mengeluarkan fatwa dan menulis,
walaupun beliau terus mendapat ujian dari masyarakat waktu itu. Orang-orang
awam memusuhinya, hanya karena beliau bersandar kepada kitab-kitab rujukan
utama dan seluruh kitab hadits yang ada serta berusaha mengamalkannya.
Siapa saja yang melakukan hal seperti
ini, maka ia akan mendapatkan perlakuan yang sama dari orang banyak. Apalagi
jika ia menampakkan perbuatan yang merupakan Sunnah dari ibadah shalat, seperti
mengangkat tangan dan melipatnya (bersedekap) serta yang lainnya, maka
masyarakat akan lari darinya, memusuhinya dan tidak menghormatinya. Padahal
mereka, semua penduduk wilayah tersebut, merupakan pengikut Imam Zaid bin Ali
(pemimpin Zaidiyah) yang berpendapat disyariatkannya mengangkat kedua tangan
dan bersedekap. Juga para pemuka madzhab Zaidiyah tetap membaca kitab-kitab
induk hadits dan kitab-kitab lainnya semenjak saya menetap di Yaman dan mereka
juga menukilnya ke dalam kitab-kitab mereka.
Jadi, sebenarnya tidak ada yang
mengingkarinya kecuali ia seorang yang bodoh atau pura-pura bodoh. Kesalahan
bukan pada permusuhan orang-orang awam, mereka yang tidak punya kaitan dengan
ilmu pengetahuan, karena mereka hanya mengikut kepada para pembual. Jika
seorang yang kelihatannya punya ilmu berkata kepada mereka bahwa ini adalah
benar, maka mereka pun akan berkata demikian; dan jika dikatakan bahwa ini
adalah batil, maka mereka pun akan mengatakan batil.
Dosa dan kesalahan terletak pada
sekelompok orang yang membaca sesuatu dari kitab-kitab fiqih dan tidak
memahaminya secara dalam, serta tidak tahu-menahu yang lainnya. Lalu dengan
kekurangan ini mereka kemudian menyangka bahwa siapa yang menyalahi sesuatu dari
kitab-kitab tcrsebut sama dengan menyalahi syariat, bahkan yang qath’i darinya
merupakan qath’i syariat pula. Padahal mereka membaca dalam kitab-kitab
tersebut sesuatu yang menyalahi para ulama besar maupun yang biasa merupakan
pilihan untuk ditulis di dalamnya, tetapi mereka pada hakikatnya tidak memahami
dan tidak mendapatkan petunjuk. Bahkan jika ada ulama yang sudah mencapai
derajat mujtahid lalu ijtihad-nya berbeda dengan pemahaman mereka, maka mereka
menuduh ulama tersebut telah keluar dari agama.
Hal ini terjadi pada mereka bukan karena
tujuan agama, namun karena mengharapkan keuntungan duniawi yang bisa diketahui
oleh siapa saja yang mengamatinya. Yaitu supaya tersebar di kalangan
orang-orang, bahwa siapa yang menentang ulama-ulama besar -yang ijtihad mereka
menentang madzhab mereka- maka ia adalah orang yang paling murni Syi’ah-nya,
yang membela madzhab ahlul-bait, dan itu biasanya akan mendatangkan keuntungan
duniawi. Oleh karena itu, mereka selalu menyalahkan ulama-ulama besar dan
menuduh mereka membangkang dan menentang ahlul-bait, yang kemudian didengar
oleh orang-orang awam sehingga mereka pun menyangka itu adalah benar dan
akhirnya mereka mengagungkan si pelaku kemungkaran tersebut. Ini karena telah
tertanam dalam akal orang-orang akan dakwaan kebenaran ucapannya dan menyangka
bahwa ia telah membela madzhab para imam.
Padahal seandainya mereka mengetahui yang
sebenarnya, pasti mereka akan mengetahui bahwa si pelaku kemungkaran inilah
yang sebenarnya menyalahi madzhab para imam dari kalangan ahlul-bait. Bahkan ia
telah keluar dari ijma’ ahlul-bait, karena ahlul-bait seluruhnya telah
mengharamkan taqlid bagi seorang yang sudah mencapai derajat mujtahid dan
diwajibkan untuk ber-ijtihad sendiri, dan itu tidak terbatas hanya pada satu
masalah saja. Akan tetapi seorang yang fanatik buta dan lalai tidak akan diberi
petunjuk kepada kebenaran, dan tidak akan keluar dari keyakinannya kecuali jika
ia seorang yang mau berpikir.
Padahal masalah keharaman taqlid bagi
seorang mujtahid sudah tercantum dalam kitab-kitab yang dipelajari oleh
penuntut ilmu, bahkan merupakan pelajaran pertama yang dipelajari para
anak-anak dan pemula di sekolah.” Sampai di sini penuturan beliau rahimahullah.
# Shalah Falyatah dan Al-Mukhtafi adalah
Penyebab Fitnah dan Sumber Malapetaka
Saya pernah berbicara di masjid Al-Hadi
setelah shalat Jum’at, di mana saya saat itu mengingatkan manusia dari syirik,
bid’ah dan khurafat. Maka, para pemuka Syi’ah pun marah dan memprovokasi supaya
saya dilarang berbicara di masjid tersebut. Mereka lalu mengumpulkan para
berandalan, preman-preman pasar dan orang-orang fasik, dan menyebarkan berbagai
isu dan propaganda ke telinga para berandalan tersebut.
Terkadang mereka mengatakan saya seorang
Wahabi, terkadang pula Syafi’i, atau mereka menuduh saya bergabung dengan
kelompok yang ingin meruntuhkan madzhab. Terkadang juga saya dituduh Nashibi,
dan di lain kesempatan saya dikatakan mereka adalah agar saya dilarang
berbicara tentang kebenaran. Tidaklah saya berdiri setelah shalat Jum’at lalu
saya mengucapkan “alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin”, melainkan manusia bagaikan
air bah yang hendak menyerang saya. Namun Allah menggagalkan rencana mereka dan
saya pun dilindungi oleh beberapa kabilah, semoga Allah membalas mereka dengan
kebaikan, sehingga saya selamat dan alhamdulillah.
Saya –begitu pula beberapa yang menentang
saya- pernah ditahan beberapa hari, karena pihak yang berwenang tidak tahu akan
kebenaran, apalagi di antara mereka masih menyimpan bekas-bekas pengaruh
Syi’ah. Namun selang beberapa hari terbukti bahwa mereka adalah pembohong, dan
yang mendorong mereka hanyalah kedengkian. Jika mereka adil, tentu mereka akan
bersedia berdebat denganku atau menanggapi ceramahku saat itu tanpa perlu
menghasut orang-orang bodoh dan pengacau. Tindakan mereka ini persis tindakan
orang-orang kafir Quraisy ketika mereka tidak kuasa menolak dan membantah
hujjah Rasulullah. Seorang dari mereka lalu memprovokasi,
“Janganlah kalian mendengarkan Al-Qur’an
dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kalian dapat mengalahkan mereka.”
(QS. Fushshilat (41) : 26)
# Peristiwa Dahsyat yang Pernah Kami
Alami
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata
dalam Al-Badruth-Thaali’ pada ulasan biografi Yahya bin Muhammad Al-Hutsi,
“Pada malam tanggal 14 bulan Ramadhan
tahun 1216 H., muncul fitnah (bencana) besar yang disebabkan oleh dia. Bermula
dari sebagian penduduk negeri yang mengatakan diri mereka sebagai penganut
Syi’ah, di mana kebodohan yang sangat dan pembangkangan tersembunyi dalam hati
mereka, mereka mendudukkan (mengundang) sang penerjemah di atas kursi yang
biasa diduduki ulama-ulama yang menyampaikan nasihat, lalu dia disuruh
membacakan kitab Tafrijul-Kurub kepada khalayak ramai, kitab tentang manaqib
(keutamaan-keutamaan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu).
Tetapi dia tidak hanya membaca apa yang
ada pada kitab tersebut, tetapi lebih dari itu, dia mencaci sebagian
Salafush-Shalih sesuai keinginan mereka yang mendudukkan dia dengan tujuan
supaya menimbulkan kemarahan di kalangan orang-orang yang merupakan keturunan
Bani Umayyah. Ini semua oleh karena kedua orang ini berlomba-lomba mendapatkan
dunia, mendekatkan diri dengan orang-orang pemerintahan, serta mengumpulkan
harta.
Sang penerjemah meneriakkan caci maki di
atas kursi, diikuti oleh masyarakat awam yang yang jumlahnya sangat banyak.
Mereka hadir untuk melihat “lilin yang dinyalakan”, juga untuk kursi yang sudah
jauh dari mereka dan bukan untuk menuntut ilmu. Akhirnya, kacaulah situasi
masjid saat itu. Kegaduhan semakin menjadi, suara dan teriakan meninggi
sementara sang penerjemah sendiri tidak paham akan apa yang ada dalam kitab
tersebut, baik lafazh maupun maknanya. Bahkan dia banyak mengubah dan menambah,
melakukan kesalahan yang fatal dalam berbahasa, serta mengungkapkan dengan
bahasa yang biasa digunakan masyarakat awam di pasar-pasar.
Begitulah, setiap hari orang-orang
berkumpul mendengarnya membacakan kitab tersebut di masjid Imam Shalahuddin
yang berakhir dengan kejadian serupa. Lalu dia juga bermaksud melakukannya di
masjid Shan’a yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dan para ulama
untuk belajar dan mengajar, dengan maksud menyebarkan caci maki dan laknat
serta menampakkan diri dengannya.
Maka tatkala hal itu sampai kepada yang
mulia Khalifah Al-Ashr -semoga Allah memelihara beliau-, beliau pun menugaskan
penanggung jawab bagian waqaf -Sayyid Ismail bin Al-Hasan Asy-Syami- agar
memerintahkan kepada sang penerjemah kembali ke masjid Shalahuddin. Maka Sayyid
Ismail pun menyuruh Ahmad bin Muhsin Hatim, kepala menara, untuk menyampaikan
hal itu kepada si penerjemah.
Pada suatu malam hadir orang-orang
seperti biasanya, juga hadir orang yang dianggap ulama dan fuqaha padahal
mereka lebih bodoh dari orang-orang yang hadir. Tetapi sang penerjemah tidak
hadir pada waktu biasanya, yakni sebelum shalat lsya. Akhirnya mereka pun
membuat kegaduhan di masjid dan berteriak mengeluarkan makian dan kata-kata
laknat serta melarang mendirikan shalat Isya.
Kemudian orang yang jahat terhadap negara
atau diam-diam menjadi penganut Syi’ah Rafidhah bergabung dengan mereka,
diikuti orang-orang awam. Mereka keluar dari masjid sambil berteriak-teriak di
jalan-jalan, mencaci-maki orang yang masih hidup dan yang sudah mati. Jumlah
mereka meningkat menjadi ribuan yang kemudian menuju rumah Al-Faqih Ahmad, lalu
mereka melemparinya. Setelah itu mereka menuju rumah Sayyid Ismail bin Al-Hasan
Asy-Syami dan melemparinya dengan brutal sampai menghancurkan banyak perabot
dan bangunan rumah beliau. Selanjutnya mereka menuju sekolah Al-Imam
Syarifuddin untuk membunuhnya. Namun Allah Ta’ala menyelamatkan beliau, beliau
berhasil lolos dan melarikan diri tanpa mereka sadari.
Sebelumnya mereka juga mencari Al-Faqih
Ahmad Hatim yang kemudian berhasil lolos pula dan lari menuju rumah saya.
Setelah itu jumlah massa yang makin berlipat ganda menuju rumah Sayyid Ali bin
Ibrahim Al-Amir, lalu melemparinya dan menteror anak-anak dan wanita yang ada
dalam rumah tersebut serta mengganggu kehormatan mereka. Adapun yang
menyebabkan mereka melakukan ini terhadap Sayyid Ali bin Ibrahim Al-Amir,
dikarenakan beliau pada beberapa hari menjelang peristiwa tersebut memberikan
nasihat di Masjid Jami’, dan beliau bukan pengikut Rafidhah yang ikut mencaci
saat itu.
Massa kemudian sepakat sambil meneriakkan
yel-yel dan orasi, menuju rumah menteri Al-Hasan bin Utsman Al-Alafi dan rumah
menteri Al-Hasan bin Ali Hanasy yang keduanya bertetangga, lalu mereka pun
melempari kedua rumah tersebut. Adapun rumah yang pertama oleh karena Al-Hasan
bin Utsman keturunan Bani Umayyah, sedangkan rumah yang kedua oleh karena
Al-Hasan bin Ali terang-terangan mengikuti Sunnah dan menolak faham Rafidhah.
Adapun rumah Al-Faqih Hasan Hanasy, sebagian kerabat beliau naik ke atap
melempar ke bawah sehingga beliau dan yang ada di dalam lari dan sebagian
terkena lemparan. Rumah Hasan bin Utsman dilempari pula dengan brutal, dan
mereka terus melemparinya selama empat jam sehingga hampir menghancurkan dan
merobohkannya. Setelah itu baru datang pasukan pengaman yang lalu menembaki
mereka dengan tujuan agar mereka berhenti melakukan aksi kekerasan, tetapi
mereka terus saja melakukan aksi karena penembakan dimaksudkan hanya untuk menteror
mereka. Maka sebagian anak cucu Khalifah -semoga Allah menjaga mereka- dan
rekan-rekan berang dan marah lalu membubarkan massa dengan paksa dan akhimya
massa pun berhenti melakukan aksi. Mereka telah melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan seorang mukmin, bahkan oleh seorang kafir.”
Beliau melanjutkan, “Pada hari berikutnya
Khalifah -semoga Allah menjaga beliau- juga mengundang para menteri dan kepala
pemerintahan wilayah untuk mengadakan sidang, di mana saat itu sangat
dikhawatirkan akan terjadi revolusi dari masyarakat. Setelah itu saya diundang
oleh Khalifah untuk ikut dimintai saran dan pendapat, maka saya pun memberi
saran bahwa tindakan terbaik yang harus diambil segera adalah menangkap mereka
yang terang-terangan membuat kegaduhan di masjid dan memprovokasi orang banyak,
serta memperlihatkan bahwa di antara mereka memang ada yang melenceng dari
tujuan pokok dan bahwa apa yang mereka perlihatkan berupa caci maki, tujuannya
adalah hanya untuk membangkitkan amarah para penyeleweng tersebut serta tujuan
yang lain, yang motivasinya tidak lain hanya demi keuntungan duniawi belaka,
jabatan dan mendapat tempat di hati orang banyak.
Yang paling besar perannya dalam hal ini
adalah Sayyid Ismail bin Izzuddin An-Na’ami, seorang yang sesungguhnya adalah
pengikut Rafidhah yang sangat fanatik. Walaupun dia sebenarnya adalah orang
yang bodoh dengan kebodohan yang berlipat, bahkan pada sisi tertentu dia
seorang yang gila. Dia ini mengumpulkan berbagai karangan dan tulisan dari
kitab-kitab Rafidhah, lalu dibacakannya di masjid kepada orang-orang yang lebih
bodoh lagi darinya.
Dia berusaha memecah-belah kaum muslimin
dan menanamkan dugaan kepada mereka bahwa ulama-ulama besar dan orang-orang
tertentu dari mereka adalah Nashibah, golongan yang membenci ‘Ali karramallahu
wajhahu. Bahkan dia mengumpulkan buku-buku yang menyebutkan ulama-ulama
tertentu di dalamnya, lalu memprovokasi orang-orang untuk menjauhi mereka. Dia
memberi gelar bagi ulama-ulama ini dengan nama Sunniyah (Sunni; pengikut
Sunnah). Terkadang dengan nama Nashibah, padahal sebenarnya dia tidak mengerti
ilmu nahwu, sharaf, yang ushul (pokok) maupun furu'(cabang), tidak juga tafsir
ataupun hadits, bahkan dia seperti si penerjemah di atas yang tidak mempunyai
ilmu pengetahuan.”
Asy-Syaukani rahimahullah berkata,
“Kemudian saya pun memberi saran (yaitu kepada Khalifah saat itu) untuk
menyelidiki siapa saja orang-orang melakukan pelemparan dan membuat kerusuhan.
Maka mulailah dilakukan pencarian. Siapa yang terbukti di antara mereka, maka
ditangkap dan dipenjara. Ini berlangsung terus-menerus selama sisa bulan
Ramadhan, sehingga banyak yang berhasil ditahan dan dipenjara. Kemudian pada
tanggal empat Syawal, Khalifah memerintahkan untuk melempari (menghukum dengan
melempar) para fuqaha dan orang-orang yang terlibat langsung. Mereka pun
dilukai dengan lemparan di bawah pengawasan Khalifah, kemudian mereka
dikembalikan lagi ke tahanan setelah itu.
Pada hari kedua, Khalifah kembali
memerintahkan penduduk Shan’a dan yang lainnya untuk melempari mereka, dan
beberapa tokoh mereka dihukum tembak. Selang beberapa hari kemudian mereka
dirantai besi, lalu sebagian dari mereka dikirim ke penjara Zaila’ dan sebagian
lainnya ke penjara Kamran….” Dan seterusnya sampai akhir kisah.
Dengan ini, saya telah menguraikan
sebagian besar kisah karena di dalamnya menjelaskan bahwa siapa yang menyeru
kepada Sunnah, maka ia akan ditekan oleh orang-orang Rafidhah, sehingga para
ulama pun tidak sanggup mengangkat kepala mereka demi Sunnah. Maka
alhamdulillah, karena panji-panji mereka sudah runtuh dan tidak lagi berkibar,
dan kita pun mengucapkan alhamdulillaah, karena sudah bisa mengamalkan Sunnah
tanpa mendapat gangguan lagi dari mereka. Orang-orang yang masih ragu atas hal
ini, maka kita katakan kepadanya bahwa kita siap berdialog dengan mereka.
Tetapi mereka justru enggan berdialog, sehingga orang-orang pun tahu bahwa
mereka adalah orang-orang yang batil dan sesat.