Wednesday, June 13, 2018

Kedudukan Ittibaa’ dalam Syari’at Islam. Ittiba’ kepada Dalil Bukan Berarti Meninggalkan Perkataan Para ‘Ulama !!


Kedudukan Ittibaa’ dalam 
Syari’at Islam

Diposting oleh Abu Al-Jauzaa'
Ittibaa’[1] mempunyai kedudukan sangat agung dalam syari’at Islam yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.     Ittibaa’ merupakan syarat diterimanya ibadah.
Satu amalan ibadah tidaklah akan diterima kecuali bila disertai ittibaa’ dan berkesesuaian dengan apa yang datang dari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Segala amalan yang tidak disertai dengan ittibaa’ tidaklah menambah sesuatu bagi pelakunya kecuali semakin jauh dari Allah ta’ala. Hal itu dikarenakan Allah ta’ala hanyalah disembah/diibadahi dengan sesuatu yang dengannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus; bukan disembah berdasarkan pendapat dan hawa nafsu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang bukan berasal dari urusan kami, maka ia tertolak”.[2]
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah berkata:
لا يَصِحُّ الْقَوْلُ إِلا بِعَمَلٍ، وَلا يَصِحُّ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إِلا بِنِيَّةٍ، وَلا يَصِحُّ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إِلا بِالسُّنَّةِ
“Tidak sah perkataan kecuali dengan perbuatan; tidak sah perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat; dan tidak sah perkataan, perbuatan, dan niat kecuali dengan mengikuti sunnah”.[3]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
فكما أن كل عمل لا يراد به وجه الله - تعالى - فليس لعامله فيه ثواب؛ فكذلك كل عمل لا يكون عليه أمر الله ورسوله فهو مردود على عامله، وكل من أحدث في الدين ما لم يأذن به الله ورسوله فليس من الدين في شيء
“Sebagaimana setiap amal perbuatan yang tidak dimaksudkan dengannya untuk wajah Allah ta’ala tidak ada pahala bagi pelakunya, maka begitu juga untuk semua amal perbuatan yang tidak didasarkan pada perintah Allah dan Rasul-Nya, maka tertolak bagi pelakunya. Dan setiap yang diada-adakan dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka bukan termasuk agama sedikitpun”.[4]
2.     Ittibaa’ merupakan salah satu pokok Islam yang asasi.
Ikhlas dan menunggalkan Allah dalam ibadah merupakan hakekat keimanan seorang hamba dan persaksiannya bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah. Adapun ittibaa’ dan meniru Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan hakekat keimanan seorang hamba dan persaksiannya bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan utusan Allah.  Oleh karena itu, tidak terwujud keislaman seorang hamba serta tidak diterima perkataan, perbuatan, dan keyakinan kecuali jika mewujudkan dua pokok ini - yaitu ikhlash dan ittibaa’ – serta melakukan segala konsekuensinya. Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya” [QS. Al-Kahfi : 110].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وبالجملة فمعنا أصلان عظيمان أحدهما أن لا نعبد إلا الله والثانى أن لا نعبده إلا بما شرع لا نعبده بعبادة مبتدعة. وهذان الأصلان هما تحقيق شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله.
“Dan secara umum, makna dua pokok yang agung ini adalah : (1) kita tidak beribadah kecuali kepada Allah, dan (2) kita tidak beribadah kepada-Nya kecuali dengan apa yang disyari’atkan (oleh-Nya), tidak beribadah kepada-Nya dengan peribadahan-peribadahan yang bid’ah. Kedua pokok ini merupakan perwujudkan persaksian bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah”.[5]
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
فلا يكون العبد متحققا ب إياك نعبد إلا بأصلين عظيمين أحدهما متابعة الرسول . والثاني الإخلاص للمعبود.
“Tidaklah seorang hamba dapat mewujudkan tuntutan kalimat ‘iyyaaka na’budu’ (hanya kepada Engkaulah kami menyembah) (QS. Al-Faatihah : 5) kecuali dengan dua pokok yang agung, yaitu : (1) ittibaa’ kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan (2) ikhlash kepada Allah”.[6]
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata:
فهما توحيدان لا نجاة للعبد من عذاب الله إلا بهما : توحيد المُرْسِل، وتوحيد متابعة الرسول صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dua ketauhidan dimana hamba tidak akan dapat selamat dari ‘adzab Allah kecuali dengannya, yaitu : (1) ketauhidan kepada Allah, dan (2) ketauhidan dalam ittibaa’ kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.[7]
3.     Ittibaa’ merupakan sebab masuk ke dalam surga.
Hal itu ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟، قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap orang dari umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Barangsiapa yang mentaatiku masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, sungguh ia telah enggan (masuk surga)”.[8]
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu berkata saat menjelaskan firman Allah ta’ala : ‘pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri’ (Aali ‘Imraan : 106):
فَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأُولُو الْعِلْمِ، وَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ فَأَهْلُ الْبِدَعِ وَالضَّلالَةِ
“Orang-orang yang putih wajahnya adalah Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah dan para ulama. Adapun orang-orang yang hitam wajahnya adalah ahlul-bid’ah dan orang-orang yang sesat”.[9]
Az-Zuhriy rahimahullah berkata:
الاعتصام بالسنة نجاة
“Berpegang kepada sunnah merupakan keselamatan”.[10]
4.     Ittibaa’ merupakan tanda kecintaan kepada Allah ta’ala.
Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 31].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومما ينبغى التفطن له ان الله سبحانه قال فى كتابه قل ان كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله قال طائفة من السلف ادعى قوم على عهد النبى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انهم يحبون الله فانزل الله هذه الآية قل ان كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله الآية فبين سبحابه ان محبته توجب اتباع الرسول وان اتباع الرسول يوجب محبة الله للعبد وهذه محبة امتحن الله بها اهل دعوى محبة الله فان هذا الباب تكثر فيه الدعاوى والاشتباه
“Dan termasuk hal yang harus dipahami bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala telah berfirman dalam Kitab-Nya : ‘Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu’ (QS. Aali ‘Imraan : 31), berkata sekelompok orang dari kalangan salaf : ‘Satu kaum di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengaku bahwasannya mereka mencintai Allah, maka turunlah ayat ini : ‘Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu’. Allah subhaanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa kecintaan kepada-Nya mengkonsekuensikan ittibaa’ kepada Rasul, dan ittibaa’ kepada Rasul sendiri mengkonsekuensikan kecintaan Allah kepada hamba. Dengan kecintaan ini, Allah akan menguji orang yang mengaku cinta kepada Allah, karena dalam bab inu terdapat banyak pengakuan dan kemiripan”.[11]
Ibnu Katsiir
هذه الآية الكريمة حاكمة على كل من ادعى محبة الله، وليس هو على الطريقة المحمدية فإنه كاذب في دعواه في نفس الأمر، حتى يتبع الشرع المحمدي والدين النبوي في جميع أقواله و أفعاله
“Ayat yang mulia ini adalah hakim bagi semua orang yang mengaku mencintai Allah sedangkan dia tidak berada di jalan yang dituntunkan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia dusta dalam pengakuannya itu – hingga ia mengikuti syari’at Muhammad dan ad-diinun-nabawiy dalam seluruh perkataan dan perbuatan”.[12]
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
(يُحْبِبْكُمُ اللهُ) إشارة على دليل المحبة وثمرتها وفائدتها؛ فدليلها وعلامتها اتبع الرسول، وفائدتها وثمرتها محبة المرسِل لكم، فما لم تحصل المتابعة فليست محبتكم له حاصلة، ومحبته لكم منتفية
“Firman Allah ‘niscaya Allah mencintaimu’ merupakan isyarat pada bukti kecintaan, buahnya, dan faedahnya. Dalil dan tanda-tandanya adalah ittibaa’ kepada Rasul, sedangkan faedah dan buahnya adalah kecintaan Allah terhadap kalian. Barangsiapa yang tidak melakukan ittibaa’, maka kecintaan kalian terhadap Rasul tercapai, sehingga kecintaan Allah kepada kalian pun tidak terwujud”.[13]
Beliau rahimahullah berkata lagi:
ثباتها - أي محبة الله - إنما يكون بمتابعة الرسول في أعماله وأقواله وأخلاقه، فبحسب هذا الاتباع يكون منشأ هذه المحبة وثباتها وقوتها، بحسب نقصها يكون نقصانها
“Tetapnya kecintaan Allah hanyalah terjadi dengan ittibaa’ kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatan, perkataan, dan akhlaq. Sesuai dengan kadar ittibaa’-nya akan menumbuhkan kecintaan (Allah), ketetapannya, dan kekuataannya, maka begitu juga sesuai kadar berkurannya ittibaa’ akan berkurang pula kecintaan (Allah kepadanya)”.[14]
5.     Ittibaa’ merupakan jalan untuk mencapai kecintaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang hakiki.
Allah ta’ala telah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mendahulukannya daripada kecintaan pada diri, harta, anak, kedua orang tua, dan seluruh manusia, sebagaimana yang terdapat dalam hadits:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak berimana salah seorang diantara kalian hingga aku lebih ia cintai daripada kedua orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia”.[15]
Dan juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu saat ia (‘Umar) berkata : ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ "، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْآنَ يَا عُمَرُ
“Tidak, demi jiwaku yang ada di tangan-Nya. Hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”. ‘Umar berkata kepada beliau : ‘Sesungguhnya sekarang – demi Allah – engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sekarang (baru benar) wahai ‘Umar”.[16]
Tidak ada jalan untuk mendapatkan kecintaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mewujudkannya kecuali dengan jalan ittibaa’ dan semangat untuk menyempurnakannya.
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata terkait makna hadits ini:
لَمْ يُرِدْ بِهِ حُبّ الطَّبْع ، بَلْ أَرَادَ بِهِ حُبّ الِاخْتِيَار ، لِأَنَّ حُبّ الْإِنْسَان نَفْسه طَبْعٌ وَلَا سَبِيل إِلَى قَلْبه . قَالَ : فَمَعْنَاهُ لَا تَصْدُق فِي حُبِّي حَتَّى تُفْنِي فِي طَاعَتِي نَفْسك ، وَتُؤْثِر رِضَايَ عَلَى هَوَاك ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ هَلَاكك .
“Tidaklah yang dimaksudkan adalah kecintaan alami. Akan tetapi yang dimaksudkan adalah kecintaan ikhtiyaar (berusaha), karena kecintaan manusia kepada dirinya merupakan tabi’at, bukan kecintaan yang sampai pada hatinya’. Ia (Al-Khatthaabiy) melanjutkan : ‘Maknanya, janganlah engkau mengaku mencintaiku hingga dirimu hilang dalam ketaatan kepadaku, dan engau mengutamakan keridlaanku di atas hawa nafsumu meskipun akan membinasakanmu”.[17]
6.     Ittibaa’ merupakan jalan pelaksanaan perintah dan menjauhi ancaman yang terkait dengannya dengan jalan taat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala telah memerintahkan untuk mentaati Nabi-Nya dalam banyak ayat, diantaranya adalah firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Allah telah menetapkan adanya ancaman keras terhadap orang yang menyelisihi-Nya, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir" [QS. Aali ‘Imraan : 32].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan” [QS. Al-Anfaal : 24].
Tidak ada jalan bagi seorang hamba untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan ketaatan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menyambut seruannya, dan menjauhi ancaman keras atas hal tersebut di dunia dan akhirat, kecuali dengan jalan ittibaa’ kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan meneladaninya.
7.     Ittibaa’ termasuk sifat orang-orang yang beriman dan kelazimannya.
Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan” [QS. An-Nuur : 51-52].
Allah ta’ala menafikkan keimanan orang yang menolak untuk mentaati Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ridla dengan hukumnya. Allah ta’ala berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
8.     Ittibaa’ termasuk tanda ketaqwaan.
Ittibaa’ kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan tanda dan bukti ketaqwaan hati dan kebenaran iman seseorang. Allah ta’ala berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” [QS. Al-Hajj : 32].
Syi’ar-syi’ar Allah adalah perintah-perintah-Nya dan panji-panji agama-Nya yang dhahir/nampak. Dan  yang paling menonjol dan tinggi adalah ketaatan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ittibaa’ kepada syari’at-syari’atnya[18].
[selesai – diterjemahkan Abul-Jauzaa’ dari bagian artikel Ittibaa’un-Nabiy fii Dlauil-Wahyain oleh Faishal bin ‘Aliy Al-Bu’daaniy yang terkumpul dalam buku Huquuqun-Nabiy bainal-Ijlaal wal-Ikhlaal, hal. 114-118; Cet. 1/1422 H – perumahan ciomas permai, 30102014 – 01.00].
[1]    Ittibaa’ secara istilah berarti meneladani dan meniru Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keyakinan, perkataan, perbuatan, dan meninggalkan sesuatu dengan jalan mengamalkan seperti yang beliau amalkan dalam konteks sebagaimana yang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lakukan baik dalam perkara wajib, sunnah, mubah, makruh, mubah, atau bahaya; dengan didasari niat dan tujuan karenanya.
[2]      Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718.
[3]      Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 1/57 no. 18.
[4]      Jaami’ul-Uluum wal-Hikam, 1/176.
[5]      Majmuu’ Al-Fataawaa, 1/333.
[6]      Madaarijus-Saalikiin, 1/104.
[7]      Syarh Ath-Thahaawiyyah, 1/228.
[8]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7280.
[9]      Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/71 no. 74.
[10]     Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/56 no. 15.
[11]     Majmuu’ Al-Fataawaa, 10/81.
[12]     Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 1/358.
[13]     Madaarijus-Saalikiin, 3/22.
[14]     Madaarijus-Saalikiin, 3/37.
[15]     Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 15.
[16]     Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6632.
[17]     Syarh An-Nawawiy li-Muslim, 2/15.
[18]     Lihat Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim 3/219 dan Tafsiir As-Si’diy 5/293.

Ittiba’ kepada Dalil Bukan Berarti Meninggalkan 
Perkataan Para ‘Ulama !!

Diposting oleh Abu Al-Jauzaa'
Sebagian penyeru taqlid beranggapan bahwa ajakan untuk berittiba’ kepada dalil (nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’) mengkonsekuensikan untuk meninggalkan dan tidak memperdulikan seluruh perkataan ulama madzhab secara mutlak. Anggapan ini keliru.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah telah membantahnya dengan jawaban yang sangat bagus sebagai berikut :
إن هذا الزعم أبعد ما يكون عن الصواب بل هو باطل ظاهر البطلان كما يبدو ذلك جليا من الكلمات السابقات فإنها كلها تدل على خلافه وأن كل الذي ندعو إليه إنما هو ترك اتخاذ المذاهب دينا ونصبها مكان الكتاب والسنة بحيث يكون الرجوع إليها عند التنازع أو عند إرادة استنباط أحكام لحوادث طارئة كما يفعل متفقهة هذا الزمان وعليه وضعوا الأحكام الجديدة للأحوال الشخصية والنكاح والطلاق وغيرها دون أن يرجعوا فيها إلى الكتاب والسنة ليعرفوا الصواب منها من الخطأ والحق من الباطل وإنما على طريقة ( اختلافهم رحمة ) وتتبع الرخص والتيسير أو المصلحة - زعموا - وما أحسن قول سليمان التيمي رحمه الله تعالى :
(إن أخذت برخصة كل عالم اجتمع فيك الشر كله)
رواه ابن عبد البر ( 2 / 91 - 92 ) وقال عقبة :
( هذا إجماع لا أعلم فيه خلافا )
فهذا الذي ننكره وهو وفق الإجماع كما ترى
وأما الرجوع إلى أقوالهم والاستفادة منها والاستعانة بها على تفهم وجه الحق فيما اختلفوا فيه مما ليس عليه نص في الكتاب والسنة أو ما كان منها بحاجة إلى توضيح فأمر لا ننكره بل نأمر به ونحض عليه لأن الفائدة منه مرجوة لمن سلك سبيل الاهتداء بالكتاب والسنة.
قال العلامة ابن عبد البر رحمه الله تعالى ( 2 / 172 ) :
( فعليك يا أخي بحفظ الأصول والعناية بها واعلم أن من عني بحفظ السنن والأحكام المنصوصة في القرآن ونظر في أقاويل الفقهاء - فجعله عونا له على اجتهاده ومفتاحا لطرائق النظر وتفسيرا لجمل السنن المحتملة للمعاني - ولم يقلد أحدا منهم تقليد السنن التي يجب الانقياد إليها على كل حال دون نظر ولم يرح نفسه مما أخذ العلماء به أنفسهم من حفظ السنن وتدبرها واقتدى بها في البحث والتفهم والنظر وشكر لهم سعيهم فيما أفادوه ونبهوا عليه وحمدهم على صوابهم الذي هو أكثر أقوالهم ولم يبرئهم من الزلل كما لم يبرؤوا أنفسهم منه فهذا هو الطالب المتمسك بما عليه السلف الصالح وهو المصيب لحظه والمعاين لرشده والمتبع لسنة نبيه صلى الله عليه وسلم وهدي صحابته رضي الله عنهم
ومن أعف نفسه من النظر وأضرب عما ذكرنا وعارض السنن برأيه ورام أن يردها إلى مبلغ نظره فهو ضال مضل ومن جهل ذلك كله أيضا وتقحم في الفتوى بلا علم فهو أشد عمى وأضل سبيلا ).
فهذا هو الحق ما به خفاء فدعني عن بنيات الطريق
“Anggapan ini jauh sekali dari kebenaran. Bahkan ia merupakan kebathilan yang sangat nyata, sebagaimana hal itu tampak jelas dari kalimat-kalimat yang telah lalu. Semuanya itu menunjukkan kebalikannya. Sesungguhnya semua yang kami serukan hanyalah ajakan meningalkan madzhab-madzhab untuk dijadikan sebuah dien yang menggantikan kedudukan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta menjadikannya tempat kembali ketika ada perselisihan atau tempat ber-istinbath (menyimpulkan hukum) terhadap berbagai peristiwa yang baru, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar fiqh (pemula) di jaman ini. Mereka bersandar kepada madzhab-madzhab tersebut dalam meletakkan berbagai hukum baru yang terkait dengan ahwaal syakhsiyyah (perkara perdata), nikah, thalaq, dan yang lainnya; tanpa mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengetahui yang benar dan yang salah, atau yang haq dan yang bathil. Mereka hanya mendasarkan perbuatan mereka dengan teori “ikhtilaaf itu adalah rahmat”. Lalu mereka mengikuti berbagai rukhshah (keringanan), taisir (kemudahan), atau mashlahat – yang mereka anggap. Oleh karena itu, sungguh tepat apa yang dikatakan Sulaiman At-Taimiy rahimahullahu ta’ala :
“Apabila engkau mengambil keringanan (rukhshah) dari setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu setiap keburukan”.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr (2/91-92). Kemudian ia berkomentar :
“Ini adalah satu ijma’ yang tidak aku ketahui adanya perselisihan di dalamnya”.
Inilah yang kami ingkari, dimana hal itu berkesesuaian dengan ijma’ sebagaimana yang engkau lihat.
Adapun ruju’ (kembali) kepada perkataan mereka (para ulama), mengambil faedah dalam memahami sisi kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan yang tidak ada nash-nya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dalam rangka memahami sesuatu yang membutuhkan penjelasan; maka hal itu sama sekali tidak kami ingkari. Bahkan kami turut memerintahkannya dan menganjurkannya, karena faedah yang ada padanya diharapkan oleh orang yang menempuh jalan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullahu ta’ala berkata (2/172) :
“Wajib bagimu - wahai saudaraku - untuk menjaga dan memperhatikan ushul (prinsip) ini. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang menjaga sunnah-sunnah dan hukum-hukum yang di-nash-kan dalam Al-Qur’an, dan melihat berbagai perkataan fuqahaa’ – yang kemudian ia jadikan sebagai penolong dalam ijtihadnya, pembuka jalan-jalan penelitiannya, dan penjelas sunnah-sunnah yang mempunyai berbagai kemungkinan makna – tanpa bersikap taqlid kepada seorang pun di antara mereka sebagaimana layaknya ia ‘bertaqlid’ kepada nash-nash As-Sunnah yang memang wajib diikuti dalam segala keadaan tanpa banyak pertimbangan/penelitian; tidak merasa puas dengan apa yang telah diambil, dihafal, dan diperhatikan para ulama; mengikuti mereka (para ulama) dalam pemahaman, pembahasan, dan penelitian; berterima kasih kepada mereka atas berbagai faedah yang diberikan dan berbagai peringatan mereka; serta memuji mereka atas kebenaran yang mendominasi perkataan mereka; serta tidak membebaskan mereka dari segala kesalahan/ketergelinciran sebagaimana mereka tidak membebaskan hal itu pada diri mereka sendiri; maka dia adalah penuntut ilmu yang berpegang teguh dengan apa yang as-salafush-shaalih berada di atasnya. Dia adalah orang yang benar dalam hal penjagaannya (terhadap agama), saksi atas petunjuk Allah bagi dirinya, dan muttabi’ (orang yang mengikuti) atas sunnah Nabinya shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum.
Barangsiapa memaafkan dirinya untuk melakukan penelitian, menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan, serta berpaling dari sunnah-sunnah kepada akalnya dan bermaksud mengembalikannya kepada kadar pandangannya; maka ia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui semua itu dan mencela fatwa tanpa ada pengetahuan, maka ia adalah orang yang lebih buta dan lebih sesat jalannya”.
Inilah kebenaran yang tidak ada kesamaran
Biarkan aku berada dalam jalan yang terang
[selesai – Lihat : Shifat Shalat Nabi minat-Takbiiri ilat-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, hal. 69-70; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 2/1996 M, Riyadl].
Semoga bermanfaat….
[Ditulis oleh Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy, 6 Rajab 1430 H, Perumahan Ciomas Permai, Bogor - Supported by : Ummu Humaid Al-Atsariyyah].