Rusia Di Suriah Akan Bernasib Sama (Mujahidin
Keturunan Para Sahabat Nabi Dan Keimanannya Dipuji Nabi, Gurunya Mujahidin
Thaliban). Tanpa Pasukan Khusus, Mujahidin Thaliban Kalahkan Pasukan Khusus
AS,CIA Disalahkan.
Akankah Suriah Akan Menjadi Afghanistan Kedua
Bagi Rusia/Putin?
Uni Eropa : Rusia Akan Kalah Dan Terusir Dari
Suriah Seperti Di Afghanistan.
Perang Soviet–Afganistan
Taliban (Muridnya Ulama Syam) : Sekuat Apapun,
Musuh Akan Pulang Dengan Tangan Kosong. Juga Di Syam (Suriah), Gerombolan
Komunis Dan Syi’ah Akan Kalah (In Sha Allah).
Hadits Shahih Tentang Peperangan Besar Di
Negeri Syaam Dan Keutamaannya, Terutama Damaskus Dan Ghuuthah. Nabi Nabi ﷺ : ‘Benteng Kaum
Muslimin Pada Hari-Hari Peperangan Dahsyat/Besar Adalah Damaskus”
Rakyat Suriah Tetap Melawan Sampai 3 Negara
Penjajah Terusir!!!
17 Tahun Perang Gak Kelar-Kelar, As Akan
Negosiasi Langsung Dengan Taliban (Perang Vietnam 18 Tahun). Uni Soviet Dengan
Personal Dan Peralatan Militer Sangat Besar, Frustrasi Dan Terhina Dari
Afghanistan (10 Tahun Invasi). Di Suriah, Rusia Akan Lebih “Terjerembab” Dan
Bangkrut (3 Tahun Invasi Langsung)
Kondisi Suriah Saat Ini, Hampir Sama Dengan
Yang Dialami Syaikhul Islam Di Zamannya, Musuh Kembali Bersekutu, Sejak Dari
Bangsa Mongol (Tar Tar), Berbagai Suku Turki, Persia, Orang-Orang Sejenis
Dengan Mereka Yang Murtad, Dari Kalangan Kristen Armenia Dan Lain-Lain.
Rusia Dan Amerika Bisa Gigit Jari
(Dan Terhina) Di Suriah
(In Sya Allah)
Oleh Agus Abdullah
Krisis Suriah kembali menggugah lamunan
dunia, Jumat, 7 September 2018, ketika masyarakat Idlib turun ke jalan, menolak
serangan dari rezim Suriah dan sekutu Rusianya. Rakyat Suriah mengangkat slogan
” المقاومة خيارنا (Perlawanan adalah
pilihan kami)”, yang menggambarkan sikap mereka. (enabbaladi,7/9/2018)
Aksi yang mengundang perhatian dunia
Islam itu merupakan respon atas ancaman Assad serta mitranya Rusia dan Iran
yang hendak memulai operasi militer dalam beberapa hari mendatang ke Idlib.
Sejak intervensi Rusia ke Suriah 15
Desember 2015, Assad memang mendapatkan kemajuan secara bertahap. Mulai dari
Aleppo, pinggiran Damaskus, dan beberapa kota strategis lainnya. Kemajuan ini
memaksa kelompok-kelompok oposisi mundur ke Idlib, yang kini menjadi basis
terakhir mereka.
Melihat kemajuan di kota-kota tersebut,
Assad mungkin percaya akan merebut Idlib dari tangan oposisi. Namun apakah
perang akan benar-benar berakhir dengan kemenangan Assad dan Rusia secepatnya?
Pemeriksaan terhadap pengalaman Uni Soviet dalam Perang Afghanistan, Rusia bisa
jadi akan gigit jari, mengulang kegagalan Soviet.
Hari ini, Assad benar-benar bergantung
pada kekuatan asing, terutama Iran dan Rusia.
Rusia telah memusatkan upaya militernya di utara dan barat Suriah untuk memastikan
kelangsungan hidup rezim Nushairiyah itu.
Sebelum intervensi Rusia, militer Assad telah kocar-kacir menghadapi kekuatan oposisi. Kondisi ini mirip dengan ketidakberdayaan militer rezim komunis Afghanistan Nur Muhammad Taraki sebelum Uni Soviet masuk dalam Perang Afghanistan (1979-1989).
Sebelum intervensi Rusia, militer Assad telah kocar-kacir menghadapi kekuatan oposisi. Kondisi ini mirip dengan ketidakberdayaan militer rezim komunis Afghanistan Nur Muhammad Taraki sebelum Uni Soviet masuk dalam Perang Afghanistan (1979-1989).
Taraki adalah pemimpin Partai Demokrasi
Rakyat Afganistan (PDRA). April 1978, ia merebut kekuasaan melalui kudeta dan
membentuk pemerintahan baru Republik Demokratik Afghanistan (RDA).
Taraki mengusung reformasi ala komunis,
yang dianggap bertentangan dengan kultur Islam lokal. Pertentangan ini berujung
pada pemberontakan rakyat yang tak mampu dibendung oleh militer Afghanistan.
Selain itu, Taraki harus menghadapi
perpecahan di internal PDRA, antara faksi Khalq yang dipimpin olehnya dan Wakil
Perdana Menteri Hafizullah Amin melawan faksi Parcham yang dipimpin oleh Babrak
Karmal dan Muhammad Najibullah.
Ketika Taraki tidak sanggup menghadapi
pemberontakan rakyat, ia meminta Uni Soviet untuk mengirimkan militer. Pada
awalnya, pemimpin Soviet Aleksey Kosygin, menolak permintaan Taraki.
Dengan nalarnya, Kosygin menjelaskan
bahwa “jika pasukan kami masuk, situasi di negara Anda tidak hanya tidak akan
membaik tetapi memburuk”, dan bahwa pasukan Soviet akan terlibat dalam konflik
sipil yang sengit. (Hughes:2008)
Namun itu kemudian menjadi invasi setelah
harapan Soviet di Afghan gagal. Soviet berharap Taraki yang pro-Soviet
mengendalikan kekuasaan. Mereka tidak suka terhadap Wakil Perdana Menteri
Hafizullah Amin yang dicurigai main mata dengan Amerika. Namun, Taraki justru
dibunuh oleh Amin.
Menghadapi kenyataan pahit itu, akhirnya
pada 12 Desember 1979, Kremlin menandatangani memorandum yang mengesahkan
invasi ke Afghanistan.
Amin yang tidak dikehendaki, dibunuh oleh
pasukan Soviet. Pemimpin baru pun disiapkan. Pemimpin Parcham, Babrak Karmal,
diterbangkan dari Moskow dan dipaksakan sebagai presiden baru (Hughes:2008).
Harapannya, Afghanistan tidak lama lagi akan menjadi milik Soviet.
Dengan intervensi Soviet ini, rezim
Afghanistan mendapatkan kemajuan pesat. Dalam waktu singkat, militer Soviet
mampu menguasai banyak kota dan wilayah yang dikontrol oleh mujahidin.
Respon Internasional
Invasi Soviet mengusik perhatian dunia
internasional, terutama Amerika Serikat. Presiden Carter menyatakan bahwa
intervensi Soviet di Afghanistan mewakili ‘ancaman serius bagi perdamaian
dunia’.
Penasihat Keamanan Nasional Carter, Zbigniew Brzezinski, menganggap langkah Uni Soviet sebagai tindakan agresif secara inheren, dan menyimpulkan bahwa tujuan Moskow adalah hegemoni regional (Hughes:2008). Maka Amerika pun akhirnya ikut masuk ke Afghanistan.
Penasihat Keamanan Nasional Carter, Zbigniew Brzezinski, menganggap langkah Uni Soviet sebagai tindakan agresif secara inheren, dan menyimpulkan bahwa tujuan Moskow adalah hegemoni regional (Hughes:2008). Maka Amerika pun akhirnya ikut masuk ke Afghanistan.
Masuknya AS dan didukung oleh
negara-negara Arab, terutama Pakistan, membuat Uni Soviet akhirnya menyadari
bahwa negaranya harus menarik diri setelah banyak mengalami kerugian
berdarah-darah.
Soviet mulai menarik pasukannya dari
Afghan 15 Mei 1988 dan terakhir adalah Jenderal Boris Gromov pada 15 Februari
1989, yang menandai kekalahan Uni Soviet dalam perang dingin dengan Amerika
Serikat.
Invasi Soviet berdampak besar pada
keruntuhan Uni Soviet 1991. Amerika pada akhirnya juga mengalami nasib sama dan
gigit jari di Afghanistan. Seorang profesor Urusan Keamanan Nasional AS Dr. M.
Chris Mason, PhD menyebut, “Afghanistan is today’s Vietnam. No question
mark needed”(foreignpolicy:2009). Mengacu pada kekalahan AS dalam Perang
Vietnam.
Di Suriah hari ini, Rusia diuntungkan
oleh keragu-raguan AS. AS tidak yakin membantu oposisi Suriah dengan senjata
berat, seperti peluncur rudal Stinger yang popular di Afghanistan. Pentagon
khawatir senjata mereka jatuh ke kelompok-kelompok Islamis.
Seorang pejuang Mujahidin membidik rudal
FIM-92 Stinger di pesawat yang melintas, Afghanistan, 1988 (foto:
rarehistoricalphotos.com)
Di poin itulah, Amerika dan Rusia akur
dalam kewaspadaan terhadap Islam, meskipun berseteru dalam harta karun tanah
Arab.
AS telah lama mencoba menghambat laju
Rusia di Suriah. Sejak pemerintahan Obama sampai Trump, Pentagon telah beberapa
kali mengingatkan Rusia dari pembunuhan massal terhadap warga sipil dan
penggunaan senjata kimia.
Yang terbaru adalah peluncuran ratusan
misil ke Suriah oleh Donald Trump April 2018 lalu. Namun, serangan itu tampak
sebatas pamer gigi saja.
Lemahnya respon internasional atas
intervensi Rusia mungkin akan memperpanjang umur rezim Basyar Assad. Dua faktor
ini kemungkinan juga bisa membuat Rusia lebih lama di Suriah. Pertama, kelompok
anti-Assad tidak memiliki dukungan internasional yang terpadu. Kedua, Rusia
memiliki sekutu yang dapat memainkan bantuan peran.( Sullivan:2018)
Bila faktor-faktor tersebut bekerja, ini
tentu menguji endurance gerakan revolusi rakyat Suriah. Maka beberapa faktor
berikut dapat membuat mereka bertahan lebih lama.
Pertama adalah Turki, bila bersedia
memainkan peran seperti Pakistan pada perang Afghanistan.
Posisi kedua negara itu memiliki
kemiripan. Pakistan menampung ribuan pengungsi Afghanistan dan menjadi pusat
politik anti-Komunis. Mereka dilatih untuk menjadi mujahidin yang disiapkan
untuk kembali ke Afghan.
Soviet ketika itu tidak memperluas
gempuran terhadap mujahidin di Pakistan, sebagaimana hari ini Rusia tidak
menggempur oposisi Suriah sampai di Turki. Maka Pakistan jelas hendak mengambil
keuntungan. Dengan membantu perlawanan anti-komunis, Presiden Ziaul Hag
berharap bisa membentuk rezim pro-Pakistan di Kabul.
Kedua adalah kekuatan moral. Hingga 7
tahun ini, oposisi memperlihatkan tekad yang bulat untuk mengganti rezim, yang
dibuktikan gagalnya setiap upaya damai, baik oleh PBB, Rusia, dan Turki. Slogan
“Perlawanan adalah Pilihan kami” yang mereka serukan Jumat kemarin menguatkan
tekad itu.
Dengan semangat tersebut, Rusia mungkin
akan terjerat dalam perang asimetris yang panjang. Dan dalam perang seperti
ini, aktor lemah bisa mengalahkan aktor kuat.
Ivan Arreguín-Toft, postdoctoral
fellow dalam Program Keamanan Internasional di Universitas Harvard, telah
meneliti 197 konflik selama 4 x 50 tahun sejak 1800-1998. Hasilnya, tren kemenangan
aktor lemah atas aktor kuat terus meningkat.
Pada 50 tahun pertama (1800-50) hanya
11.8% konflik dimenangkan oleh kelompok lemah. Tren itu naik ke angka 20.5% dan
34.9% pada 50 tahun kedua dan ketiga. Perubahan yang mengejutkan terjadi pada
rentang 1950-1998, di mana 55% konflik dimenangkan oleh aktor
lemah(Arreguin-Toft:2001).
Pemenang
konflik berdasarkan tipe aktor dalam 4 x 50 tahun ((Arreguin-Toft:2001)
Strategi aktor lemah untuk menang,
menurutnya, hanya dua: perang gerilya (guerrilla warfare) dan
pertahanan langsung (direct defense). Pertahanan langsung mengacu
pada penggunaan kekuatan bersenjata untuk menggagalkan upaya musuh untuk
merebut atau menghancurkan nilai-nilai seperti wilayah, populasi, dan sumber
daya strategis(Arreguin-Toft:2001).
Adapun perang gerilya, medan Suriah Utara
yang didominasi oleh pegunungan, efektif untuk perang gerilya. Afghanistan
maupun Suriah memiliki kemiripan geografis fisik dan kultur sosial yang
menyulitkan para penyerbu asing dalam upaya memaksakan otoritas mereka. Salah
satu kesulitan yang dihadapi Soviet, mereka melawan musuh yang tidak memiliki
struktur dan hirarki tentara konvensional.
Satu lagi, amunisi terpenting yang
menguatkan moral adalah cara berpikir transendental kaum muslim. Orang beriman
memiliki banyak hiburan (syifa’an)dalam Kitab Suci mereka. Hari ini bisa
jadi, Tuhan belum memberikan fathan mubina dalam perjuangan mereka.
Tetapi garis sejarah kemenangan (nasr) bangsa Muslim itu tampak
terang.
Referensi:
1.Sullivan, Charles J. “SIDESTEPPING A
QUAGMIRE: RUSSIA, SYRIA, AND THE LESSONS OF THE SOVIET-AFGHAN WAR.” Asian
Affairs 49.1 (2018): 48-55.
2.House, Jonathan M. “The Soviet-Afghan
War: How a Superpower Fought and Lost: The Russian General Staff Eds. Trans.
Lester W. Grau Michael A. Gress: Lawrence: University Press of Kansas, 364 Pp.,
Publication Date: February 2002.” History: Reviews of New Books, vol.
30, no. 2, 2002, pp. 75-75.
3.Arreguin-Toft, Ivan. “How the weak win
wars: A theory of asymmetric conflict.” International security
26.1 (2001): 93-128.
4.Hughes, Geraint. “The Soviet–Afghan
War, 1978–1989: An Overview.” Defence Studies 8.3 (2008): 326-350.
5.Johnson, Thomas H., and M. Chris Mason.
“Saigon 2009.” Foreign Policy, 20 Aug. 2009,
foreignpolicy.com/2009/08/20/saigon-2009/.
6. عنب
بلدي . “‘المقاومة خيارنا’.. مظاهرات حاشدة في الشمال السوري.” عنب بلدي, 7 Sept. 2018, www.enabbaladi.net/archives/250605.
Konferensi Sochi, Manifestasi Kesepakatan Busuk
Erdogan (Turki),
Putin (Komunis Rusia), Hasan Rouhani (Syi’ah
Iran) Untuk Menjajah Syam (Suriah). Mereka Mengeliminir Kekuatan Oposisi Paling
Dominan (Mujahidin Ahlus Sunnah Syam). Hanya Antek-Antek Erdogan (FSA Sekuler)
Yang Bisa Dipaksa Hadir Sebagai Barter Serangan Ke Afrin.
Mumtaz ! Sebut Rusia Sebagai Musuh, Oposisi
Suriah Tolak Hadir Di KTT Sochi (Rusia). Si Endorgan Menggunting Dalam Lipatan,
Bersama Komunis Rusia Dan Majusi Iran Ikut Membantai Mujahidin Ahlus Sunnah
Syam !
Turki Yang Sekuler Tulen Akan Hancur (Bersama
Sekutunya Komunis Rusia Dan Rafidhah Iran) Karena Adzab, Terlibat Konspirasi
Pembantaian Keturunan Sahabat Nabi Di Suriah (85 % Ahlus Sunnah, Keimanannya
Dipuji Nabi, Negeri Para Ulama Salaf).
Subhanallah Walhamdulillah, Mujahidin Ahlus
Sunnah (Non-Sekuler) Syam Bisa Bertahan Tujuh Tahun Menghadapi Ekpansi Bangsa
Asing Adi Kuasa Komunis Rusia- Kufar Barat- Majusyi’ah Iran- Tentara Rezim
Bengis Syiah Nushairiyah Bashar Al-Assad- Turki.
Turki (Sekuler)-Iran (Syi’ah Rafidhah) – Rusia
(Komunis) Vs KSA (100 % Syariat Islam, Al Haramain) – USA. Lebih Dari 500.000
Ahlus Sunnah Syam Dibantai, Sebagian Dari Ratusan Rudal Houthi Mengarah Ke
Makah. Terkait Akhirat, Dimana Posisi Anda ?
Kebohongan Erdogan Soal Jerusalem (Al Quds).
Bersama Komunis Rusia Dan Majusi Syiah Iran Mengkavling Syam, Mengisolir
Mujahidin Ahlus Sunnah Dan Mengamankan Jagal Terkeji Bashar Asaad. Bisa
Dipercaya ?
Kenapa Erdogan Lembek (Tak Berdaya) Di Ghouta ?
Karena Zona 'De-Eskalasi ' Jahat (Licence To Kill) Dan Barter Afrin Dengan Dua
Penjahat Perang, Putin (Komunis Rusia) Dan Hassan Rouhani (Majusyi’ah Iran).
Mereka Ekspansionis Non Arab Di Bumi Syam Seperti Bangsa Tartar.
Jangan Terpedaya "Gema Islam"
Erdogan. Fakta, Dia (Bangsa Turki) Bersama Bangsa Majusi Iran (Syi’ah) Dan
Bangsa Rusia (Komunis, Ortodoks) Berkonspirasi Membunuhi Ahlus Sunnah Syams
(Arab). Apa Haknya Mereka (Bertiga) Mendefinisikan “Para Mujahidin Ahlus Sunnah
Bangsa Arab Syam” Yang Harus Dibinasakan (License To Kill) ? Silahkan Bantah
Fakta-Fakta Dibawah.
Erdogan Bersahabat dengan Israel dan Syiah
Kejahatan Rezim Rafidhah Bashar Assadis, Ingin
Merubah Demografis Suriah, Merampas Lahan Warga ! Melebihi Kejahatan Zionis
Israel Terhadap Warga Asli Palestina