Sunday, September 9, 2018

Rusia Dan Amerika Bisa Gigit Jari (Dan Terhina) Di Suriah (In Sya Allah)

Gambar terkait

Rusia Di Suriah Akan Bernasib Sama (Mujahidin Keturunan Para Sahabat Nabi Dan Keimanannya Dipuji Nabi, Gurunya Mujahidin Thaliban). Tanpa Pasukan Khusus, Mujahidin Thaliban Kalahkan Pasukan Khusus AS,CIA Disalahkan.
Akankah Suriah Akan Menjadi Afghanistan Kedua Bagi Rusia/Putin?
Uni Eropa : Rusia Akan Kalah Dan Terusir Dari Suriah Seperti Di Afghanistan.
Perang Soviet–Afganistan
Taliban (Muridnya Ulama Syam) : Sekuat Apapun, Musuh Akan Pulang Dengan Tangan Kosong. Juga Di Syam (Suriah), Gerombolan Komunis Dan Syi’ah Akan Kalah (In Sha Allah).
Hadits Shahih Tentang Peperangan Besar Di Negeri Syaam Dan Keutamaannya, Terutama Damaskus Dan Ghuuthah. Nabi Nabi : ‘Benteng Kaum Muslimin Pada Hari-Hari Peperangan Dahsyat/Besar Adalah Damaskus”
Rakyat Suriah Tetap Melawan Sampai 3 Negara Penjajah Terusir!!!
17 Tahun Perang Gak Kelar-Kelar, As Akan Negosiasi Langsung Dengan Taliban (Perang Vietnam 18 Tahun). Uni Soviet Dengan Personal Dan Peralatan Militer Sangat Besar, Frustrasi Dan Terhina Dari Afghanistan (10 Tahun Invasi). Di Suriah, Rusia Akan Lebih “Terjerembab” Dan Bangkrut (3 Tahun Invasi Langsung)
Kondisi Suriah Saat Ini, Hampir Sama Dengan Yang Dialami Syaikhul Islam Di Zamannya, Musuh Kembali Bersekutu, Sejak Dari Bangsa Mongol (Tar Tar), Berbagai Suku Turki, Persia, Orang-Orang Sejenis Dengan Mereka Yang Murtad, Dari Kalangan Kristen Armenia Dan Lain-Lain.

 Rusia Dan Amerika Bisa Gigit Jari 
(Dan Terhina) Di Suriah 
(In Sya Allah)
Oleh Agus Abdullah
Krisis Suriah kembali menggugah lamunan dunia, Jumat, 7 September 2018, ketika masyarakat Idlib turun ke jalan, menolak serangan dari rezim Suriah dan sekutu Rusianya. Rakyat Suriah mengangkat slogan ” المقاومة خيارنا (Perlawanan adalah pilihan kami)”, yang menggambarkan sikap mereka. (enabbaladi,7/9/2018)
Aksi yang mengundang perhatian dunia Islam itu merupakan respon atas ancaman Assad serta mitranya Rusia dan Iran yang hendak memulai operasi militer dalam beberapa hari mendatang ke Idlib.
Sejak intervensi Rusia ke Suriah 15 Desember 2015, Assad memang mendapatkan kemajuan secara bertahap. Mulai dari Aleppo, pinggiran Damaskus, dan beberapa kota strategis lainnya. Kemajuan ini memaksa kelompok-kelompok oposisi mundur ke Idlib, yang kini menjadi basis terakhir mereka.
Melihat kemajuan di kota-kota tersebut, Assad mungkin percaya akan merebut Idlib dari tangan oposisi. Namun apakah perang akan benar-benar berakhir dengan kemenangan Assad dan Rusia secepatnya? Pemeriksaan terhadap pengalaman Uni Soviet dalam Perang Afghanistan, Rusia bisa jadi akan gigit jari, mengulang kegagalan Soviet.
Hari ini, Assad benar-benar bergantung pada kekuatan asing, terutama Iran dan Rusia.
Rusia telah memusatkan upaya militernya di utara dan barat Suriah untuk memastikan kelangsungan hidup rezim Nushairiyah itu.
Sebelum intervensi Rusia, militer Assad telah kocar-kacir menghadapi kekuatan oposisi. Kondisi ini mirip dengan ketidakberdayaan militer rezim komunis Afghanistan Nur Muhammad Taraki sebelum Uni Soviet masuk dalam Perang Afghanistan (1979-1989).
Taraki adalah pemimpin Partai Demokrasi Rakyat Afganistan (PDRA). April 1978, ia merebut kekuasaan melalui kudeta dan membentuk pemerintahan baru Republik Demokratik Afghanistan (RDA).
Taraki mengusung reformasi ala komunis, yang dianggap bertentangan dengan kultur Islam lokal. Pertentangan ini berujung pada pemberontakan rakyat yang tak mampu dibendung oleh militer Afghanistan.
Selain itu, Taraki harus menghadapi perpecahan di internal PDRA, antara faksi Khalq yang dipimpin olehnya dan Wakil Perdana Menteri Hafizullah Amin melawan faksi Parcham yang dipimpin oleh Babrak Karmal dan Muhammad Najibullah.
Ketika Taraki tidak sanggup menghadapi pemberontakan rakyat, ia meminta Uni Soviet untuk mengirimkan militer. Pada awalnya, pemimpin Soviet Aleksey Kosygin, menolak permintaan Taraki.
Dengan nalarnya, Kosygin menjelaskan bahwa “jika pasukan kami masuk, situasi di negara Anda tidak hanya tidak akan membaik tetapi memburuk”, dan bahwa pasukan Soviet akan terlibat dalam konflik sipil yang sengit. (Hughes:2008)
Namun itu kemudian menjadi invasi setelah harapan Soviet di Afghan gagal. Soviet berharap Taraki yang pro-Soviet mengendalikan kekuasaan. Mereka tidak suka terhadap Wakil Perdana Menteri Hafizullah Amin yang dicurigai main mata dengan Amerika. Namun, Taraki justru dibunuh oleh Amin.
Menghadapi kenyataan pahit itu, akhirnya pada 12 Desember 1979, Kremlin menandatangani memorandum yang mengesahkan invasi ke Afghanistan.
Amin yang tidak dikehendaki, dibunuh oleh pasukan Soviet. Pemimpin baru pun disiapkan. Pemimpin Parcham, Babrak Karmal, diterbangkan dari Moskow dan dipaksakan sebagai presiden baru (Hughes:2008). Harapannya, Afghanistan tidak lama lagi akan menjadi milik Soviet.
Dengan intervensi Soviet ini, rezim Afghanistan mendapatkan kemajuan pesat. Dalam waktu singkat, militer Soviet mampu menguasai banyak kota dan wilayah yang dikontrol oleh mujahidin.
Respon Internasional
Invasi Soviet mengusik perhatian dunia internasional, terutama Amerika Serikat. Presiden Carter menyatakan bahwa intervensi Soviet di Afghanistan mewakili ‘ancaman serius bagi perdamaian dunia’.
Penasihat Keamanan Nasional Carter, Zbigniew Brzezinski, menganggap langkah Uni Soviet sebagai tindakan agresif secara inheren, dan menyimpulkan bahwa tujuan Moskow adalah hegemoni regional (Hughes:2008). Maka Amerika pun akhirnya ikut masuk ke Afghanistan.
Masuknya AS dan didukung oleh negara-negara Arab, terutama Pakistan, membuat Uni Soviet akhirnya menyadari bahwa negaranya harus menarik diri setelah banyak mengalami kerugian berdarah-darah.
Soviet mulai menarik pasukannya dari Afghan 15 Mei 1988 dan terakhir adalah Jenderal Boris Gromov pada 15 Februari 1989, yang menandai kekalahan Uni Soviet dalam perang dingin dengan Amerika Serikat.
Invasi Soviet berdampak besar pada keruntuhan Uni Soviet 1991. Amerika pada akhirnya juga mengalami nasib sama dan gigit jari di Afghanistan. Seorang profesor Urusan Keamanan Nasional AS Dr. M. Chris Mason, PhD menyebut, “Afghanistan is today’s Vietnam. No question mark needed”(foreignpolicy:2009). Mengacu pada kekalahan AS dalam Perang Vietnam.
Di Suriah hari ini, Rusia diuntungkan oleh keragu-raguan AS. AS tidak yakin membantu oposisi Suriah dengan senjata berat, seperti peluncur rudal Stinger yang popular di Afghanistan. Pentagon khawatir senjata mereka jatuh ke kelompok-kelompok Islamis.

Seorang pejuang Mujahidin membidik rudal FIM-92 Stinger di pesawat yang melintas, Afghanistan, 1988 (foto: rarehistoricalphotos.com)

Di poin itulah, Amerika dan Rusia akur dalam kewaspadaan terhadap Islam, meskipun berseteru dalam harta karun tanah Arab.
AS telah lama mencoba menghambat laju Rusia di Suriah. Sejak pemerintahan Obama sampai Trump, Pentagon telah beberapa kali mengingatkan Rusia dari pembunuhan massal terhadap warga sipil dan penggunaan senjata kimia.
Yang terbaru adalah peluncuran ratusan misil ke Suriah oleh Donald Trump April 2018 lalu. Namun, serangan itu tampak sebatas pamer gigi saja.
Lemahnya respon internasional atas intervensi Rusia mungkin akan memperpanjang umur rezim Basyar Assad. Dua faktor ini kemungkinan juga bisa membuat Rusia lebih lama di Suriah. Pertama, kelompok anti-Assad tidak memiliki dukungan internasional yang terpadu. Kedua, Rusia memiliki sekutu yang dapat memainkan bantuan peran.( Sullivan:2018)
Bila faktor-faktor tersebut bekerja, ini tentu menguji endurance gerakan revolusi rakyat Suriah. Maka beberapa faktor berikut dapat membuat mereka bertahan lebih lama.
Pertama adalah Turki, bila bersedia memainkan peran seperti Pakistan pada perang Afghanistan.
Posisi kedua negara itu memiliki kemiripan. Pakistan menampung ribuan pengungsi Afghanistan dan menjadi pusat politik anti-Komunis. Mereka dilatih untuk menjadi mujahidin yang disiapkan untuk kembali ke Afghan.
Soviet ketika itu tidak memperluas gempuran terhadap mujahidin di Pakistan, sebagaimana hari ini Rusia tidak menggempur oposisi Suriah sampai di Turki. Maka Pakistan jelas hendak mengambil keuntungan. Dengan membantu perlawanan anti-komunis, Presiden Ziaul Hag berharap bisa membentuk rezim pro-Pakistan di Kabul.
Kedua adalah kekuatan moral. Hingga 7 tahun ini, oposisi memperlihatkan tekad yang bulat untuk mengganti rezim, yang dibuktikan gagalnya setiap upaya damai, baik oleh PBB, Rusia, dan Turki. Slogan “Perlawanan adalah Pilihan kami” yang mereka serukan Jumat kemarin menguatkan tekad itu.
Dengan semangat tersebut, Rusia mungkin akan terjerat dalam perang asimetris yang panjang. Dan dalam perang seperti ini, aktor lemah bisa mengalahkan aktor kuat.
Ivan Arreguín-Toft, postdoctoral fellow dalam Program Keamanan Internasional di Universitas Harvard, telah meneliti 197 konflik selama 4 x 50 tahun sejak 1800-1998. Hasilnya, tren kemenangan aktor lemah atas aktor kuat terus meningkat.
Pada 50 tahun pertama (1800-50) hanya 11.8% konflik dimenangkan oleh kelompok lemah. Tren itu naik ke angka 20.5% dan 34.9% pada 50 tahun kedua dan ketiga. Perubahan yang mengejutkan terjadi pada rentang 1950-1998, di mana 55% konflik dimenangkan oleh aktor lemah(Arreguin-Toft:2001).

Pemenang konflik berdasarkan tipe aktor dalam 4 x 50 tahun ((Arreguin-Toft:2001)

Strategi aktor lemah untuk menang, menurutnya, hanya dua: perang gerilya (guerrilla warfare) dan pertahanan langsung (direct defense). Pertahanan langsung mengacu pada penggunaan kekuatan bersenjata untuk menggagalkan upaya musuh untuk merebut atau menghancurkan nilai-nilai seperti wilayah, populasi, dan sumber daya strategis(Arreguin-Toft:2001).
Adapun perang gerilya, medan Suriah Utara yang didominasi oleh pegunungan, efektif untuk perang gerilya. Afghanistan maupun Suriah memiliki kemiripan geografis fisik dan kultur sosial yang menyulitkan para penyerbu asing dalam upaya memaksakan otoritas mereka. Salah satu kesulitan yang dihadapi Soviet, mereka melawan musuh yang tidak memiliki struktur dan hirarki tentara konvensional.
Satu lagi, amunisi terpenting yang menguatkan moral adalah cara berpikir transendental kaum muslim. Orang beriman memiliki banyak hiburan (syifa’an)dalam Kitab Suci mereka. Hari ini bisa jadi, Tuhan belum memberikan fathan mubina dalam perjuangan mereka. Tetapi garis sejarah kemenangan (nasr) bangsa Muslim itu tampak terang.
Referensi:
1.Sullivan, Charles J. “SIDESTEPPING A QUAGMIRE: RUSSIA, SYRIA, AND THE LESSONS OF THE SOVIET-AFGHAN WAR.” Asian Affairs 49.1 (2018): 48-55.
2.House, Jonathan M. “The Soviet-Afghan War: How a Superpower Fought and Lost: The Russian General Staff Eds. Trans. Lester W. Grau Michael A. Gress: Lawrence: University Press of Kansas, 364 Pp., Publication Date: February 2002.” History: Reviews of New Books, vol. 30, no. 2, 2002, pp. 75-75.
3.Arreguin-Toft, Ivan. “How the weak win wars: A theory of asymmetric conflict.” International security 26.1 (2001): 93-128.
4.Hughes, Geraint. “The Soviet–Afghan War, 1978–1989: An Overview.” Defence Studies 8.3 (2008): 326-350.
5.Johnson, Thomas H., and M. Chris Mason. “Saigon 2009.” Foreign Policy, 20 Aug. 2009, foreignpolicy.com/2009/08/20/saigon-2009/.
6. عنب بلدي . “‘المقاومة خيارنا’.. مظاهرات حاشدة في الشمال السوري.” عنب بلدي, 7 Sept. 2018, www.enabbaladi.net/archives/250605.

Konferensi Sochi, Manifestasi Kesepakatan Busuk Erdogan (Turki),
Putin (Komunis Rusia), Hasan Rouhani (Syi’ah Iran) Untuk Menjajah Syam (Suriah). Mereka Mengeliminir Kekuatan Oposisi Paling Dominan (Mujahidin Ahlus Sunnah Syam). Hanya Antek-Antek Erdogan (FSA Sekuler) Yang Bisa Dipaksa Hadir Sebagai Barter Serangan Ke Afrin.
Mumtaz ! Sebut Rusia Sebagai Musuh, Oposisi Suriah Tolak Hadir Di KTT Sochi (Rusia). Si Endorgan Menggunting Dalam Lipatan, Bersama Komunis Rusia Dan Majusi Iran Ikut Membantai Mujahidin Ahlus Sunnah Syam !
Turki Yang Sekuler Tulen Akan Hancur (Bersama Sekutunya Komunis Rusia Dan Rafidhah Iran) Karena Adzab, Terlibat Konspirasi Pembantaian Keturunan Sahabat Nabi Di Suriah (85 % Ahlus Sunnah, Keimanannya Dipuji Nabi, Negeri Para Ulama Salaf).
Subhanallah Walhamdulillah, Mujahidin Ahlus Sunnah (Non-Sekuler) Syam Bisa Bertahan Tujuh Tahun Menghadapi Ekpansi Bangsa Asing Adi Kuasa Komunis Rusia- Kufar Barat- Majusyi’ah Iran- Tentara Rezim Bengis Syiah Nushairiyah Bashar Al-Assad- Turki.
Turki (Sekuler)-Iran (Syi’ah Rafidhah) – Rusia (Komunis) Vs KSA (100 % Syariat Islam, Al Haramain) – USA. Lebih Dari 500.000 Ahlus Sunnah Syam Dibantai, Sebagian Dari Ratusan Rudal Houthi Mengarah Ke Makah. Terkait Akhirat, Dimana Posisi Anda ?
Kebohongan Erdogan Soal Jerusalem (Al Quds). Bersama Komunis Rusia Dan Majusi Syiah Iran Mengkavling Syam, Mengisolir Mujahidin Ahlus Sunnah Dan Mengamankan Jagal Terkeji Bashar Asaad. Bisa Dipercaya ?
Kenapa Erdogan Lembek (Tak Berdaya) Di Ghouta ? Karena Zona 'De-Eskalasi ' Jahat (Licence To Kill) Dan Barter Afrin Dengan Dua Penjahat Perang, Putin (Komunis Rusia) Dan Hassan Rouhani (Majusyi’ah Iran). Mereka Ekspansionis Non Arab Di Bumi Syam Seperti Bangsa Tartar.
Jangan Terpedaya "Gema Islam" Erdogan. Fakta, Dia (Bangsa Turki) Bersama Bangsa Majusi Iran (Syi’ah) Dan Bangsa Rusia (Komunis, Ortodoks) Berkonspirasi Membunuhi Ahlus Sunnah Syams (Arab). Apa Haknya Mereka (Bertiga) Mendefinisikan “Para Mujahidin Ahlus Sunnah Bangsa Arab Syam” Yang Harus Dibinasakan (License To Kill) ? Silahkan Bantah Fakta-Fakta Dibawah.
Erdogan Bersahabat dengan Israel dan Syiah
Kejahatan Rezim Rafidhah Bashar Assadis, Ingin Merubah Demografis Suriah, Merampas Lahan Warga ! Melebihi Kejahatan Zionis Israel Terhadap Warga Asli Palestina