Said Aqil: Imam Masjid, Khatib, KUA Harus
dari NU, Selain NU Salah Semua
(Lihat Comments)
Ungkapan-Ungkapan Primitif (Radikal), Bukan
Bagian Dari Islam : Berkata Kasar Kepada Kelompok Lain, Narasi Radikal Vs Moderat,
Perang Ideologi, Ashobiyah Atau Fanatic
Golongan (Ormas), Memecah Belah Umat, Mengendoser Narasi-Narasi Perang Saudara,
Chauvinisme Ormas, Mengekploitasi Kehebatan Ormasnya (Paling Ditakuti),
Provokasi Merebut Masjid-Masjid, Tidak Berani Mengungkap Yang Haq Atas
Manhajnya (Ittiba) Dan Lain-Lain.
Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang Yang
Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah.
Hadist: Jika Engkau Tak Malu, Perbuatlah
Sesukamu
Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk
Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai Dan
Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan.
Ketika Ilmu Diangkat Dan Kebodohan Merajalela
Pimpinan Ormas Islam Terbesar Sejagat Menghina
Sunnah Nabi. Kalian Akan Dipimpin Oleh Orang Yang Seperti Kalian.
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
Sikap Imam As-Syafi’i Menghadapi Orang Bodoh
Inilah Kang Said Yang Dulu (Masih Lurus):
Sekilas Tentang KH Prof DR Said Aqiel Siroj MA
Wajahnya Lebih
Bercahaya
Said Aqil: Imam Masjid, Khatib, KUA Harus
dari NU,
Selain NU Salah Semua
Selain NU Salah Semua
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) Said Aqil Siradj meminta Muslimat NU mengambil peran lebih besar di
tengah masyarakat. Dia berharap Muslimat NU berperan besar di Pilpres 2019.
Pernyataan tersebut disampaikan Said Aqil dalam sambutannya di Harlah ke-73
Muslimat NU di GBK, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Said Aqil mendorong umat NU
untuk lebih berperan di segala sektor, dari mulai peran agama, peran akhlak,
peran sosial, peran kesejahteraan hingga peran politik.
"Agar berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran apa? Peran syuhudan
diniyan, peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA,
Pak Menteri Agama, harus dari NU, kalau dipegang selain NU salah semua,"
ujar Said Aqil disambut tepuk tangan muslimat NU yang hadir.
"Nanti banyak bid'ah nanti kalau
selain NU. Ini bid'ah ini. Tari-tari sufi bid'ah nanti," sambung Said Aqil
sambil menunjuk ke depan mengarah ke lokasi digelarnya tarian sufi.
Said mengatakan selama ini kader NU
memang telah berperan banyak di tengah masyarakat. Namun ada satu peran yang
belum dilakukan, yakni syuhudan syiayah atau peran politik.
"Peran ekonomi, peran kesejahteraan, peran kesehatan, peran sosial, peran
masyarakatan. Muslimat sudah berperan. Koperasi-koperasi, bisnis perdagangan,
yang belum satu, syuhudan syiayah, peran politik. Maka tahun 2019 harus menang.
Supaya NU berperan syuhudan syiayah," tuturnya.
Seperti diketahui, cawapres Ma'ruf Amin
merupakan ulama NU dan mantan Rais Aam. Ma'ruf mundur usai didaulat untuk
mendampingi Jokowi di Pilpres 2019 dan digantikan oleh KH Miftahul Akhyar.
Said Aqil sebelumnya pernah mengatakan, meski bukan parpol, warga NU terpanggil
untuk memenangkan tokohnya di Pilpres 2019. Dukungan itu akan terjadi tanpa ada
arahan dari NU.
Harlah ke-73 Muslimat NU ini dihadiri Presiden Jokowi dan isterinya, Iriana.
Selain itu, sejumlah pejabat, seperti Ketua PP Muslimat NU sekaligus Gubernur
Jatim terpilih Khofifah Indar Parawansa, Menko Polhukam Wiranto, Menko
Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi,
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi,
serta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga turut hadir.
https://news.detik.com/berita/4402308/said-aqil-imam-masjid-khatib-kua-harus-dari-nu-selain-nu-salah-semua
https://news.detik.com/berita/4402308/said-aqil-imam-masjid-khatib-kua-harus-dari-nu-selain-nu-salah-semua
Said Aqil Tolak Minta Maaf soal Seruan
Kader NU Kuasai Masjid: Saya Tak Takut Siapa Pun
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) Said Aqil Siradj menuai kritik karena menyerukan kader NU untuk
menguasai masjid-masjid dan lembaga pemerintahan seperti KUA. Said menganggap
orang di luar NU tidak benar mengurus masjid atau KUA.
Sekjen MUI Anwar Abbas lalu mendesak Said
Aqil meminta maaf dan mencabut ucapan itu. Namun, Said Aqil menolak karena
merasa tidak ada yang salah dari pernyataannya tersebut. Selain itu, menurut
Said, NU adalah organisasi Islam yang independen.
“Sekjen majelis ulama meminta saya
mencabut ungkapan saya kemarin, saya atau NU bukan bawahan ulama, tidak ada hak
mereka perintah-perintah saya,” kata Said lantang saat membuka acara Rakornas
Lembaga Dakwah Nahdahtul Ulama (LDNU) se-Indonesia di Auditorium Binakarna,
Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (28/1).
Said Aqil menyebut MUI hanyalah forum
silaturahmi ulama lintas organisasi Islam, bukan induk NU. Lebih jauh, dia
justru membusungkan badan bahwa sebagai pimpinan PBNU tidak takut pada siapa
pun.
“Begini, Ketua PBNU harus nekat, tidak
boleh takut kepada siapa pun, kecuali sama istri saya, itu pun kadang-kadang,”
ujarnya disusul tawa para hadirin.
Sebelumnya, ucapan Said Aqil itu
disampaikan saat peringatan Harlah ke-73 Muslimat NU di Stadion Utama Gelora
Bung Karno (SUGBK), Minggu (27/1). Said menyerukan kader-kader NU berperan
secara lebih luas, dan harus menguasai lembaga-lembaga keagamaan.
"Supaya berperan di tengah tengah
masyarakat, peran apa syuhudan diniyan, peran agama harus kita pegang. Di
masjid, KUA harus dipegang dari NU. Kalau enggak dari NU, salah semua,"
kata Said Aqil di hadapan kurang lebih 100 ribu peserta.
Ucapan itu dikritik Sekretaris Jenderal
MUI Anwar Abbas menilai ucapan itu mengancam persatuan. Pasalnya, pengelolaan
masjid, KUA, termasuk Kementerian Agama tidak bisa didominasi oleh satu
golongan NU.
"Saya meminta Said Aqil Siradj untuk
menarik ucapannya agar negeri ini tidak rusuh, karena ucapannya tersebut
jelas-jelas sangat mengancam persatuan dan kesatuan umat," ujar Abbas saat
dihubungi kumparan, Senin (28/1). [kum]
Ucapan 'Selain NU Salah Semua' Dikritik,
Said Aqil:
Pada Marah? Biarin
Pada Marah? Biarin
Ucapan Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj Minggu kemarin, yang menilai jika
peranan agama dipegang selain NU salah semua, tengah menuai perhatian luas.
Said kembali menyinggung soal itu dalam acara Lembaga Dakwah NU atau LDNU.
"Lah khatib (Jumat) sekarang baca
Qurannya prentang-prentong. Masya Allah. Makanya kemarin saya katakan khatib
kalau bukan dari NU itu salah semua. Pada marah? Biarin," kata Said di Hotel
Bidakara Jakarta, Senin 28 Januari 2019.
Said juga tidak ambil pusing dengan
pernyataan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas di media
massa yang memintanya mencabut ucapan itu. Said menegaskan bahawa Ia dan NU
tidak di bawah MUI. "Saya atau NU bukan bawahan majelis ulama. Enggak ada
hak perintah-perintah saya," ujar Said.
Dia juga menyatakan MUI bukanlah induk
organisasi dari NU. Dia menyebut dirinya sebagai Ketua PBNU memang harus nekad
dan tidak boleh takut dengan siapapun.
"Majelis Ulama hanya forum
silaturahim, bukan induknya NU. Bukan. Paham? Sekali-sekali kayak saya gitu,
nekad. Ketua PBNU harus nekad. Enggak boleh takut sama siapapun, kecuali sama
istri saya," kata Said sambil diselingi canda.
Sebelumnya, Said Aqil meminta muslimat NU
berperan di masyarakat. Selain peran agama, yang harus diambil oleh NU,
Muslimat NU pun disebut perlu mengambil peran ekonomi, peran kesejahteraan,
peran kesehatan, peran sosial, dan peran kemasyarakatan.
"Muslimat keren, tidak? Hebat,
tidak? Berperan? Supaya apa keren, wasaton, agar berperan di tengah-tengah
masyarakat. Peran apa? Peran agama, harus kita pegang, imam masjid,
khotib-khotib, KUA-KUA harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah
semua," kata Said kepada massa peserta acara Hari Lahir ke-73 Muslimat NU
di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu 27 Januari 2019. [viva]
Haedar Nasir Menilai Pernyataan Said Aqil
Menjurus Ke Arah Radikalisme
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir
menilai pernyataan Ketua Umum PBNU merupakan bentuk fanatisme dan menjurus ke
radikalisme. Sebagaimana diketahui, dalam acara Harlah 73 Muslimat NU di
GBK hari Ahad (27/1/2019) Said Aqil mengatakan, Imam, khatib jumat, menteri
agama, dan KUA harus dari kalangan NU, jika tidak dari NU salah semua.
“Hal itu merupakan bentuk dari fatanisme
dan menjurus ke radikalisme. Mau dikemanakan Pancasila dan Bhineka
Tunggal Ika?” kata Haedar dilansir laman resmi Muhammadiyah, Senin
(28/1/2019).
Ia menjelaskan, negara dan instansi
pemerintah harus milik bersama sebagaimana amanat konstitusi. Menurutnya,
pemerintah harus berasaskan meritokrasi dan jangan di atas kriteria
primordialisme atau sektarianisme.
“Jika Indonesia ingin menjadi negara
modern yang maju, maka bangun good governance dan profesionalisme, termasuk di
Kementerian Agama,” tegasnya.
Pernyataan Said Aqil juga, lanjut Haedar,
akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia, bahkan dapat memicu
konflik atau perebutan antargolongan.
Sumber: Muhammadiyah.or.id
Penyataan tersebut dinilai
Anwar membahayakan persatuan umat dan tidak mencerminkan akal sehat.
Tokoh Muhammadiyah;"Ucapan Said Aqil
Tak Cerminkan Akal Sehat.
(lihat 1,544 Comments)
"Saya sesalkan. Pernyataan ini jelas tidak mencerminkan akal sehat. Saya
yakin pernyataan ini adalah pernyataan dan sikap pribadi dari Said Aqil Siradj
dan bukanlah sikap dari NU,"
kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/1).
Menurutnya, jika pernyataan Said Aqil
tersebut menyatakan atas nama Nahdlatul Ulama, maka sikap itu dinilai
membahayakan karena mengancam persatuan dan kesatuan umat.
Karena itu Anwar meminta Said Aqil menarik ucapannya itu agar tidak memantik keriuhan di kalangan umat.
Karena itu Anwar meminta Said Aqil menarik ucapannya itu agar tidak memantik keriuhan di kalangan umat.
"Yang hendak dilakukan oleh Said
Aqil Siradj adalah untuk mengambil dan meraup semua jabatan dan posisi yang ada
di negeri ini untuk NU," katanya.
Anwar menyinggung saat ini di Kementerian Agama juga tidak ada satu pun orang Muhammadiyah di eselon satu dan dua. Semuanya, kata dia, nyaris dari NU. "Begitu juga rektor-rektor Universitas Islam (UIN) dan IAIN semuanya nyaris dari NU," kata dia.
Anwar menegaskan, skenario ini harus dihentikan jika anak-anak bangsa masih mau negeri ini aman damai dan tentram. Untuk itu, kata Anwar, dirinya meminta Said Aqil untuk meminta maaf kepada umat Islam. "Karena saya yakin dan percaya itu bukan sikap NU," kata dia.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190128073931-20-364300/tokoh-muhammadiyah-ucapan-said-aqil-tak-cerminkan-akal-sehatAnwar menyinggung saat ini di Kementerian Agama juga tidak ada satu pun orang Muhammadiyah di eselon satu dan dua. Semuanya, kata dia, nyaris dari NU. "Begitu juga rektor-rektor Universitas Islam (UIN) dan IAIN semuanya nyaris dari NU," kata dia.
Anwar menegaskan, skenario ini harus dihentikan jika anak-anak bangsa masih mau negeri ini aman damai dan tentram. Untuk itu, kata Anwar, dirinya meminta Said Aqil untuk meminta maaf kepada umat Islam. "Karena saya yakin dan percaya itu bukan sikap NU," kata dia.
Kementerian Agama Teratas Sebagai Kementerian
Rawan Korupsi, Ada Apa?
https://www.harjasaputra.com/riset/kementerian-agama-teratas-sebagai-kementerian-rawan-korupsi-ada-apa.html
Koruptor Berstatus PNS, Terbanyak di Kemenhub
dan Kemenag
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/11064011/koruptor-berstatus-pns-terbanyak-di-kemenhub-dan-kemenag
Sudah dua menteri agama di Indonesia terjerat kasus korupsi
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/11064011/koruptor-berstatus-pns-terbanyak-di-kemenhub-dan-kemenag
Sudah dua menteri agama di Indonesia terjerat kasus korupsi
Korupsi Alquran di Kementerian Agama
Kasus korupsi pengadaan Al-Quran Kementerian Agama
K.U.A sarang pungli, sarang korupsi. Gini nih
yang ngakunya ngurusin AGAMA ??????
Dana Haji, Pemicu Korupsi di Kementrian Agama
Kementerian dan Lembaga Mana yang Jadi Sarang
Para PNS Korupsi?
BKN mencatat 87 PNS yang terlibat tipikor dan
masih berstatus aktif tersebar di 17 kementerian. Jumlah terbanyak ada di di
Kementerian Perhubungan, yaitu sejumlah 16 PNS. Sementara, pada peringkat kedua
ada Kementerian Agama dengan total 14 PNS.
6 Cerita miris korupsi penyelenggaraan haji di
Kemenag
SUDAH BERMUNCULAN ULAMA Su’ SEPERTI INI
!!!-UST.ABDUL SHOMAD (lihat 1,926 Comments)
KPK Pantau Proyek Kartu Nikah di Kementerian
Agama
Sabtu 24 November 2018,
Pernyataan tersebut jelas tidak
mencerminkan akal sehat. Karena kalau ini juga menjadi sikap NU maka negeri ini
akan ada dalam bahaya. Untuk itu saya meminta Said Aqil Siroj untuk menarik
ucapannya agar negeri ini tidak rusuh karena ucapannya tersebut jelas-jelas
sangat mengancam persatuan dan kesatuan umat.
Oleh karena itu dalam melengkapi
pengurus-pengurus MUI terutama untuk komisi-komisi badan dan lembaga yang ada
di MUI, kata beliau, pengurus-pengurus tersebut kita lihat dari tiga sisi yaitu
kompetensi, integritas, dan representasi atau keterwakilan dari ormas-ormas
Islam yang ada dan elemen-elemen masyarakat.
Tetapi apa yang hendak dilakukan oleh
Said Aqil Siroj adalah untuk mengambil dan meraup semua jabatan dan posisi yang
ada di negeri ini untuk NU. Dan apa yang dia katakan itu tampaknya bukanlah
keseleo lidah tapi sudah beliau kerjakan dan itu terlihat dari komposisi
pejabat yang ada di Kementrian Agama.
Baikkah ini? Jawabnya adalah tidak. Dan
skenario ini harus dihentikan kalau anak-anak bangsa ini masih mau negeri ini
aman damai dan tentram.
Umat dan bangsa harus berhati-hati dengan
ide yang membahayakan ini. Sebagai pemimpin umat, Ketua Umum PBNU, organisasi
Islam besar di Indonesia, terasa aneh jika Said Aqil Siroj berpandangan begitu.
Sebab, negeri ini multietnik, multikultur, dan multiagama.
Semua orang, apapun agama, golongan, dan
etniknya berhak hidup dan memperoleh jabatan publik di negeri tercinta. Karena
itu, janganlah pemimpin ormas keagamaan berpandangan antikebhinnekaan dan
provokatif seperti itu. Pada tahun-tahun politik, para pemimpin informal justru
harus menghadirkan pernyataan yang menyejukkan dan mengayomi umat. [swa]
Haedar: Indonesia Milik Semua, Kedepankan
Meritrokrasi
Haedar menuturkan bahwa Muhammadiyah
tentu sangat berharap dan berpandangan tegas bahwa negara dan instansi
pemerintahan Indonesia harus menjadi milik bersama sebagaimana amanat
konstitusi, jangan menjadi milik golongan.
"Pemerintahan harus berasaskan
meritokrasi atau dasar kepantasan dan karir, jangan di atas kriteria
primordialisme atau sektarianisme. Jika Indonesia ingin menjadi negara modern
yang maju, maka bangun good governance dan profesionalisme, termasuk di
Kementerian Agama," tegas Haedar.
Jangan berdasarkan kriteria golongan, apalagi
dijadikan milik golongan tertentu. Jika primordialisme dibiarkan masuk dan
dominan dalam institusi pemerintahan maka akan menghilangkan objektivisme dan
prinsip negara milik semua.
"Bahayanya jika hal itu dibiarkan akan
menjadi preseden buruk bagi demokrasi, bahkan dapat memicu konflik atau
perebutan antargolongan di Indonesia," imbuh Haedar.
Haedar menegaskan, Indonesia jangan didominasi
oleh satu golongan apalagi bermazhab golongan tertentu. Apalagi jika pandangan
golongan itu menegasikan komponen bangsa lainnya, dengan menganggap diri paling
benar, hal itu merupakan bentuk dari fatanisme dan menjurus ke radikalisme.
Mau dikemanakan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika?
Selain itu, Haedar juga mengimbau,
hendaknya semua tokoh umat dan bangsa penting mengedepankan ukhuwah secara
autentik untuk merajut kebersamaan nan tulus dan tidak mengedepankan egoisme
golongan.
Mitos Kerukunan Antara Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah
Banyak orang menganggap bahwa jamaah
Nahdlatul Ulama dan pengikut Muhammadiyah itu selalu rukun dan kompak dalam
menjaga keislaman yang moderat, merawat ke-Bhineka Tunggal Ika-an. Ikuti opini
Sumanto al Qurtuby. Selain faktor kultural-ritual-keagamaan seperti sudah
dijelaskan pada tulisan terdahulu, yang membuat pengikut NU dan Muhammadiyah
sulit bersatu adalah masalah sosial-kepolitikan. Simak lanjutan opini Sumanto
al Qurtuby.
Banyak orang (baik Muslim maupun bukan,
baik elit maupun awam, baik masyarakat Indonesia maupun pengamat asing)
menganggap bahwa jamaah Nahdlatul Ulama (NU) yang sering disebut
"Nahdliyyin” dan pengikut Muhammadiyah itu selalu rukun, harmonis alias
kompak dalam menjaga keislaman
yang moderat, merawat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, menjaga konstitusi
dan ideologi negara, serta mempertahankan keutuhan bangsa dan negara dari
serbuan ideologi Islamisme (baik lokal maupun transnasional) yang mencoba
mengubah dan mentransformasi Indonesia menjadi "negara Islam”, Khilafah,
dan sejenisnya.
Bagi saya anggapan, asumsi dan penilaian
itu hanya "separuh benar”. Realitasnya, wong NU dan Muhammadiyah itu sulit
akur. Susah buat mereka untuk hidup rukun dan harmoni. Berat buat jamaah kedua
ormas ini untuk bersatu padu dan membaur dalam kebersamaan dan pertemanan
sejati.
Dalam sejarahnya, NU (berdiri tahun 1926)
dan Muhammadiyah (berdiri 1912) ini memang lebih banyak berantem daripada
berteman sehingga sulit buat pengikut kedua ormas ini untuk rekonsiliasi dan
membangun persahabatan yang tulus dan permanen. Luka-luka sejarah masa silam
yang begitu menganga rasanya sulit untuk dipulihkan.
Bahwa ada sejumlah kelompok elit dari
kedua ormas ini yang sangat rukun memang benar. Bahwa ada sejumlah akademisi
dari kedua ormas ini yang menjalin pertemanan genuine memang betul.
Bahwa ada sejumlah aktivis dari kedua ormas ini yang bahu-membahu bekerja sama
untuk pemberdayaan masyarakat memang tidak bisa dipungkiri. Saya sendiri,
sebagai wong NU, mempunyai banyak teman dari kalangan Muhammadiyah.
Tetapi sekali lagi, mayoritas pengikut
kedua ormas ini (apalagi di tingkat akar-rumput) susah sekali bersatu menjalin
persahabatan sejati apalagi permanen guna membangun peradaban Islam dan bangsa
yang gemilang. Hal itu karena sejatinya pengikut kedua ormas ini lebih mirip
Tom dan Jerry atau air dan minyak yang hampir-hampir sulit untuk disatukan.
Bagi para fanatikus NU dan Muhammadiyah, mereka bahkan tidak mau kawin-mawin
karena dianggap "pamali” selain gengsi.
Meskipun para pendiri kedua ormas ini
seperti KH Hasyim Asyari (NU) dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) konon pernah
berguru pada ulama yang sama (misalnya Kiai Sholeh Darat Semarang yang dianggap
sebagai guru para kiai dan ulama di "Hindia Belanda”) dan sejumlah
"ulama Nusantara” di Mekkah di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20,
tetapi itu tidak menjadikan pengikut kedua ormas Islam ini secara otomatis akur
dan bersatu.
Dendam-kesumat NU-Muhammadiyah?
Ada sejumlah ungkapan yang sudah beredar
luas di kalangan NU sehingga menjadi "rahasia umum” yang menunjukkan
konflik, perseteruan, dan dendam-kesumat NU-Muhammadiyah. Meskipun dikemas
dengan bahasa guyonan khas NU tetapi isinya melambangkan ketidakharmonisan dan
perseteruan kedua ormas ini.
Misalnya, ungkapan "Lebih baik
berteman dengan Kristen ketimbang Muhammadiyah”. Kenapa begitu? Karena berteman
dengan Kristen jauh lebih aman daripada berteman dengan Muhammadiyah. Kalau
berteman dengan Muhammadiyah, bukan hanya sandal dan speaker masjid saja yang
hilang tetapi masjidnya juga ikut hilang. Maksudnya, Muhammadiyah dipandang
sebagai "ormas rakus dan maling” yang suka mengakui, mengklaim, mengubah
atau mengalihnamakan properti milik NU, khususnya mushalla dan masjid-masjid,
menjadi miliknya.
Ada lagi ungkapan: "Alhamdulilah di
daerah kami semua atau mayoritas penduduk memeluk agama Islam, hanya sedikit
saja yang Muhammadiyah”. Ini adalah jawaban wong NU ketika ditanya kiai
tentang perkembangan agama Islam di wilayahnya. Oleh para fanatikus NU,
Muhammadiyah dipandang sebagai "setengah Islam”.
Kenapa NU-Muhammadiyah sulit akur ?
Begini penjelasannya. Ada sejumlah faktor
sosial-kultural-keagamaan dan kepolitikan dalam sejarah relasi NU-Muhammadiyah
yang sangat akut sehingga menyulitkan kedua belah pihak untuk pulih dan
damai.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah (selain
Persis) adalah ormas Islam yang paling gencar menyerang tradisi, budaya,
amalan, dan praktik-praktik ritual-keagamaan lokal yang dilakukan warga NU.
Muhammadiyah memerangi semua itu karena dianggap bisa "menyekutukan Allah”
alias menggelincirkan umat Islam ke praktik syirik, selain diyakini bisa
menodai kemurnian Islam dan keaslian akidah Islam.
Dulu (dan sayup-sayup masih terdengar
hingga kini), sangat populer istilah TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat), yaitu
tiga jenis "penyakit” umat Islam yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh
Muhammadiyah dan dipandang bisa menodai kemurnian ajaran dan doktrin keislaman.
Karena dipandang sebagai bagian dari
"penyakit TBC” itulah, Muhammadiyah selama berpuluh-puluh tahun dengan
derasnya mengkritik dan menyerang berbagai praktik ritual-keagamaan yang dipraktikkan
dan dilestarikan warga NU
seperti tahlilan, sedekahan, kenduren, berjanjen (barzanji),
dzibaan, dalailan, manaqiban, shalawatan, muludan, ziarah kubur, syuronan,
qunut, sufisme, sebutan "sayyid” untuk Nabi Muhammad, dan masih banyak
lagi. Belakangan saja, ada sejumlah warga Muhammadiyah yang bersedia tahlilan,
shalawatan, atau ziarah kubur.
Muhammadiyah memang ormas puritan. Karena
itu bagi warga NU, Muhammadiyah adalah 11-12 dengan kaum "sawah” (Salafi
Wahabi) yang dinilai telah merusak tatanan, tradisi dan budaya masyarakat Islam
lokal di Indonesia.
Meskipun sebetulnya yang mereka
perdebatkan dan sengketakan itu adalah "persoalan remeh-temeh” (istilahnya
"furu'iyyah”) tetapi oleh keduanya dianggap sangat mendasar, fundamental,
dan prinsipil, karena itulah konflik dan ketegangan antar-keduanya tidak bisa
dielakkan.
Pendirian NU sendiri sebetulnya karena
dilatari oleh kemauan kuat para kiai dan ulama pesantren untuk menjaga dan
melestarikan aneka tradisi dan kebudayaan Islam serta tradisi bermazhab yang
selama ini dipraktikkan oleh komunitas santri dan masyarakat Muslim pendesaan
yang menjadi basis jamaah NU.
Sementara pendirian Muhammadiyah, antara
lain, juga dilatari untuk melakukan reformasi dan modernisasi umat Islam dengan
jalan puritanisasi pemikiran dan praktik keislaman. Karena dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran modernis-reformis para ulama di Mesir seperti Jamaludin
Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida, Muhammadiyah gencar
mengkampanyekan pentingnya atau wajibnya bagi umat Islam untuk berpegang teguh
hanya pada Al-Quran dan Hadis saja.
Lagi-lagi, pernyataan ini secara
terang-benderang menyerang NU yang jelas-jelas mengikuti tradisi bermazhab.
Kampanye Muhammadiyah tentang "kembali pada Al-Qur'an dan Hadis”
jelas-jelas berlawanan dengan pemahaman keislaman dan praktik keagamaan warga
NU yang bukan hanya menjadikan Al-Qur'an dan Hadis (dan Sunah Nabi) sebagai
sumber hukum dan rujukan amalan keislaman tetapi juga sumber-sumber lain
seperti ‘urf atau adat, qiyas (analogi), istihsan serta
berbagai aqwal (perkataan) para ulama dan fuqaha (ahli hukum Islam),
khususnya para pendiri mazhab hukum Islam dalam lingkup Sunni (seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal), yang tersimpan
dalam ribuan kitab kuning yang sayangnya tidak diapresiasi oleh Muhammadiyah,
yang oleh Nahdliyyin dipandang sebagai ormas "anti kitab kuning”.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga menyerang
dengan sengit praktik-praktik sufisme (tasawuf) atau mistisisme dan dunia
tarekat yang dianggap sebagai "amalan klenik” yang tidak rasional.
Padahal, sufisme, tarekat dan NU hampir-hampir atau nyaris tak terpisahkan
karena para kiai dan warga Nahdliyyin hampir-hampir bisa dipastikan adalah para
pengikut tasawuf dan organisasi tarekat tertentu. Karena dunia tasawuf dan
tarekat sudah menjadi bagian integral NU, maka "ormas tradisional” inipun
memiliki lembaga khusus yang mewadahi berbagai aliran tarekat bernama Jam'iyah
Ahlil Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyyah (JATMAN) yang konon sejauh ini ada
45 aliran tarekat yang diakui eksistensi dan keabsahannya oleh NU.
Sejumlah perbedaan tafsir, pandangan,
pemahaman, dan tindakan yang menyangkut masalah-masalah sosial-kultural-ritual-keagamaan
inilah, antara lain, yang telah membuat NU dan Muhammadiyah itu sulit berdamai.
Muhammadiyah menyebut NU sebagai ormas "tradisional, kolot, udik,
kampungan, ndeso, dan sarungan” yang tidak melek pendidikan,
anti-modernisasi, miskin wawasan, kontra ijtihad, hobi taklid, dan anti
perubahan sosial.
Sementara NU
menilaiMuhammadiyah sebagai ormas sok modern, keminter, kemajon, sok berpendidikan, sok intelek, sok ngota,
meskipun sejatinya pengikut Muhammadiyah adalah kumpulan orang-orang ‘bodoh'
karena tidak bisa membaca "Arab gundul” dan kitab kuning.
Sentimen dan persepsi negatif warga NU
terhadap Muhammadiyah dan juga sebaliknya tidak banyak berubah hingga kini.
Meskipun sebagian dari mereka bisa saja duduk bersama dan bercanda ria tetapi
dalam hati dan batin mereka sangat merana. Ini baru faktor
sosial-kultural-keagamaan, belum lagi faktor kepolitikan yang membuat jarak
keduanya semakin menganga sehingga sulit disatukan dan dirukunkan.
Jamak diketahui bahwa NU dan Muhammadiyah
selalu berseteru dalam meraih akses politik-pemerintahan sejak republik ini
berdiri. Dulu, di zaman Orde Lama ketika negara ini dipimpin oleh Presiden
Sukarno (Bung Karno), NU banyak mendapatkan "jatah kekuasaan”
di kabinet dan pos-pos pemerintahan lain karena hubungan dekat antara NU dan
Sang Proklamator.
Bahkan dalam struktur kabinet, NU bukan
hanya mendapat jatah sebagai Menteri Agama saja tetapi juga menteri-menteri
lain seperti Menteri Dalam Negeri (misalnya Mr. Soenarjo), Menteri Ekonomi
(misalnya Rahmat Mulyoamiseno) dan sebagainya. Di zaman Orde
Lama, posisi Menteri Agama banyak dipegang oleh para tokoh dan kiai
NU. Tercatat sejumlah nama pentolan NU yang menduduki jabatan Menteri Agama
adalah: KH Abdul Wahid Hasyim (ayah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), KH
Fathurrahman Kafrawi, KH Muhammad Ilyas, KH Masjkur, KH Wahib Wahab, dan Prof.
KH Syaifuddin Zuhri (ayah Menteri Agama sekarang Lukman Hakim Saifuddin).
Sejumlah tokoh Muhammadiyah di zaman Bung
Karno dulu memang ada yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama seperti H.
Rasjidi (di era Kabinet Sjahrir I), Achmad Asj'ari (Kabinet Amir Sjarifuddin
I), atau Fakih Usman (Kabinet Wilopo). Tetapi peran mereka sangat marjinal,
tidak dominan, dan hanya berumur beberapa bulan saja.
Perubahan drastis struktur kabinet,
dimana NU tidak lagi menjabat sebagai Menteri Agama terjadi di zaman Orde Baru
(Orba), khususnya sejak 1970an. Di awal pemerintahan Orba, Menteri Agama masih
dipegang oleh NU, yaitu KH Muhammad Dahlan (1968–1971). Tahun 1971, Pak Harto
(Presiden Suharto) menunjuk Prof. Dr. Abdul Mukti Ali sebagai Menteri Agama. Meskipun
masa kecil dan remajanya dididik di pondok
pesantren NU, Mukti Ali lebih dikenal sebagai sosok reformis atau
pembaharu sejati.
Sejak era Mukti Ali, kemudian Menteri
Alamsyah Ratu Prawiranegara dan puncaknya kelak di zaman Tarmizi Taher dan A.
Malik Fadjar, pelan tapi pasti, peran NU
mulai tergeser, lemah dan akhirnya lenyap dari Departmen
(Kementerian) Agama.
Siapa penikmat kue kekuasaan?
Di zaman Orba, karena Pak Harto terlibat
sejumlah friksi dan konflik dengan NU, Muhammadiyah-lah yang banyak menikmati
"kue kekuasaan”. Ini sesungguhnya sebuah ironi karena di awal-awal
kekuasaan Orba, NU dan Gerakan Pemuda Ansor ikut terlibat kampanye
"pengganyangan” PKI yang disponsori oleh Pak Harto. Tapi belakangan NU
malah dicampakkan begitu saja. Habis manis sepah dibuang.
Yang membuat NU "sakit hati” hingga
sekarang yang hampir-hampir susah untuk disembuhkan adalah kader-kader NU
"dibersihkan” dari Departemen (Kementerian) Agama dari pusat (Jakarta)
hingga daerah-daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) seantero Indonesia
diganti dengan kader-kader Muhammadiyah.
Jamak diketahui bahwa, bukan hanya
posisi-posisi penting di Departemen Agama (Depag) pusat saja yang dipegang dan
dikendalikan oleh Muhammadiyah, para kepala dan staf Depag di provinsi dan
kabupaten, dan bahkan sampai kecamatan (KUA: Kantor Urusan Agama) juga dipegang
oleh Muhammadiyah. Bahkan para penyuluh agama yang bertugas di kampung-kampung
juga dipilih dari Muhammadiyah atau "setengah Muhammadiyah”. Yang penting
bukan NU.
Dari fenomena ini kemudian muncul kelakar
di lingkungan NU kalau warga NU lebih suka menjalin pertemanan dengan umat
Kristen ketimbang dengan Muhammadiyah karena kalau berteman dengan Kristen,
properti NU akan aman tetapi kalau berteman dengan Muhammadiyah, properti NU
akan lenyap.
Menjaga jarak dengan kekuasaan
Karena Pak Harto tidak memperhatikan atau
mengabaikan kepentingan Nahdliyyin, maka NU mengubah "model perjuangan”
dan pendekatan dengan menjaga jarak terhadap kekuasaan dan bahkan menggalang
gerakan oposisi terhadap pemerintah Orba. Para kiai NU dulu, baik yang aktif di
partai politik terutama PPP (Partai Persatuan Pembangunan) maupun kiai
non-partai terlibat aktif dalam gerakan dan aksi perlawanan, baik perlawanan
politik maupun budaya, terhadap rezim pemerintah.
Pada waktu itu, terutama sejak awal
1980an, jika ada kiai, tokoh, dan kader NU yang menjadi birokrat atau aktif di
ormas dan parpol pemerintah (Golkar) atau bahkan sekedar menunjukkan simpati
terhadap pemerintah, langsung mendapat stigma buruk dan negatif sebagai
"kiai kacung” dan antek Orba. Mereka dianggap sebagai "NU abal-abal”
yang "menggadaikan NU” dan tidak konsisten dalam menjalankan prinsip dan
amanat ke-NU-an.
Aksi dan gerakan perlawanan NU terhadap
kekuasaan Orba dulu dikenal dengan sebutan "strategi kultural” yang kontra
kekuasaan (dan Pak Harto) dengan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
sebagai ikon perlawanan. Sementara Muhammadiyah, karena diuntungkan oleh
pemerintah Orba, menggunakan "pendekatan struktural” yang pro-kekuasaan
(dan Pak Harto). Amin Rais dulu yang menjadi ikon "strategi struktural”
ini.
Perang opini antara para pendukung
strategi kultural (NU) dan cheerleader strategi struktural
(Muhammadiyah) pun membahana di mana-mana, di berbagai forum dan media.
Masing-masing mengklaim strategi merekalah yang paling ampuh dan jitu sebagai
"alat perjuangan” menghadapi aneka problem sosial-politik-budaya di
Indonesia.
Jadi selama bertahun-tahun, NU terlibat
perseteruan bukan hanya dengan rezim Orba saja tetapi juga dengan Muhammadiyah
yang dianggap sebagai "anak emas” Pak Harto. Setiap kebijakan politik dan
gerak-gerik elit Muhammadiyah di pemerintahan selalu dicurigai dan dipandang
sebagai upaya untuk membonsai dan menghancurkan aset-aset kultural dan
non-kultural NU.
Misalnya, dulu, waktu Menag Malik Fadjar
memelopori pendirian STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) untuk
kampus-kampus di daerah-daerah yang selama ini menjadi cabang IAIN (Institut
Agama Islam Negeri), ia dianggap atau dituduh sedang memperluas ekspansi
Muhammadiyah di satu sisi dan melakukan gerakan pengebirian NU di IAIN.
Kecurigaan itu masih berlanjut hingga
kini. Belum lama ini sempat "geger” di lingkungan NU ketika Mendikbud
Muhadjir Effendy yang Muhammadiyah merencanakan kebijakan "Full Day
School”. Oleh NU, kebijakan ini dipandang sebagai upaya dan "siasat licik”
Muhammadiyah untuk menggembosi dan melenyapkan peran NU di masyarakat serta
mematikan institusi pendidikan madrasah diniyah dan pondok pesantren yang
dikelola NU.
Ketegangan NU-Muhammadiyah pun kembali
mencuat. Nada-nada miring dan suara-suara sumbang saling mengejek antar
fanatikus kedua ormas ini pun tak terhindarkan. Untung Presiden Joko Widodo
menyikapi rancangan kebijakan dan fenomena ini dengan cukup arif dan bijak
sehingga tidak menimbulkan gejolak yang berarti dan berlebihan.
Sebetulnya "era bulan madu” antara
NU dan Muhammadiyah
sempat terjadi, yakni ketika Amin Rais dulu, tahun 1999, mendukung
dan memelopori pencalonan Gus Dur sebagai Presiden RI menggantikan B.J.
Habibie. Warga NU dulu senang sekali begitu melihat Amin Rais sowan ke
kiai-kiai sepuh NU seperti KH Abdullah Faqih di Tuban atau KH Abdullah Abbas di
Cirebon untuk "meminta restu” dan dukungan mereka atas pencalonan Gus Dur
sebagai Presiden RI. Di hadapan para kiai sepuh NU, Amin Rais juga berjanji
untuk menjaga dan mengawal pemerintahan Gus Dur.
Tetapi era bulan madu itu ternyata
berlangsung sangat singkat karena Amin Rais kemudian menelikung dan
menyeponsori gerakan politik pendongkelan Gus Dur hingga ia turun dari kursi
kepresidenan tahun 2002. Dendam kesumat NU terhadap Muhammadiyah pun kembali
kambuh dan membuncah.
Mitos belaka?
Jadi, sekali lagi, kerukunan NU dan
Muhammadiyah itu hanya mitos belaka. Atau, kalau pun ada, kerukunan itu hanya terjadi
di level elit tertentu saja (misalnya "komunitas akademik” atau sejumput
"petinggi ormas”) yang sangat terbatas. Masyarakat NU dan Muhammadiyah
secara umum tetap sulit untuk rukun dan bersahabat laksana Upin-Ipin. Mereka
lebih tepat diibaratkan seperti Tom dan Jerry yang saling memanfaatkan peluang,
mengintai kelengahan, dan saling menjegal saat sang lawan sedang lalai atau
sedang dalam posisi lemah dan tak berdaya.
Sejumlah faktor perbedaan persepsi atas
praktik-praktik kultural-ritual-keagamaan yang begitu fundamental serta sejarah
sosial-kepolitikan yang begitu memilukan antara NU dan Muhammadiyah tampaknya
membuat keduanya sulit untuk bersatu-padu dan guyup-rukun membangun bangsa dan
negara.
Meskipun relasi NU-Muhamamdiyah tampak
suram, bukan berarti tidak ada secercah harapan bagi kedua ormas Islam utama di
Tanah Air ini untuk membangun "rumah Indonesia” yang lebih baik, hebat,
bermartabat dan "berkemajuan” di kemudian hari dengan tetap memperhatikan
khazanah, nilai-nilai tradisi dan kebudayaan lokal warisan leluhur bangsa.
Kalau ada komitmen dan upaya serius dari kedua ormas ini untuk membangun
Indonesia sebagai "rumah bersama” bagi semua kelompok etnis dan agama,
maka seperti slogan Adidas, "Impossible is Nothing”. Semoga
bermanfaat.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur
Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and
Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore.
Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting
fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto
University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara
lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York:
Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam
#DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Terbukti!!!! Kesesatan SAID AQIL SIRADJ Tidak
mengakui adanya ALLAH (orang NU ngga perlu takut dengan malaikat munkar dan
nankir)
Siapakah Ulama As-Su’ Di Indonesia, Yang Gemar
Memfitnah Dan Mencela Umat Islam Diluar Golongannya, Sering Bikin Resah Umat
Islam, Berasyik Masyuk Dengan Non Muslim Dan Merasa Super Mayoritas ? Seperti
Ini Moderat ?
Said Aqil Siradj : Budaya Kita Lebih Terhormat
Dari Bangsa Arab Dan Membolehkan Hormati Dewi Sri. Di Arab Saudi, Ulamanya
Sibuk Mengamalkan Sunnah Nabi, Menulis Kitab, Benci Kemusyrikan, Tidak Gemar
Bicara Kotor Dan Menghujat, Al-Wala' Wal Bara'nya Jelas.
K.H Said Aqil Siradj : Rajin Shalat Jamaah
Dimasjid, Tahajjud, Dluha, Puasa Senin Kamis Dan Semisalnya, Menghormati Orang
Tua, Menghormati Tamu/ Tetangga, Berprasangka baik, Menolong Orang, Dermawan
Menginfaqkan Harta Sebesar 100 Juta, Belum Tentu Dirinya Seorang Sufi (Bukan
Itu Ukuran Tasawuf). Jadi Tasawwuf Itu Apa ? Secara Etimologi, Dicari Akar
Katanya Sangat Sulit. Menghujat, Fitnah Orang (Kelompok), Menghalalkan Segala
Cara ?
Untuk Said Aqil Siraj (Pemurka Wahabi), Apa Yang
Harus Dilakukan : Kristenisasi Terpesat Di Dunia Ada Di Indonesia. 2 Juta
Muslim Murtad Setiap Tahun.
Wahabi Dan Deradikalisasi. Siapa Yang Gemar
Meneror Dengan Kata-Kata “Banjir Darah, Bakar, Bubarkan, Turunkan, Tutup” Dan
Bahasa Anarkis Lain, Seakan RI Miliknya. Tiru Saudi Arabia, Tidak Ada
Organisasi Masa Jenis Apapun (Berbau Preman), Rakyatnya Aman Dan Damai.
Prof.Dr.Kh Said Agil Siraj : Islam Saja Belum
Tentu Bisa Menyatukan Umat, Di Timur Tengah Tidak Ada Ulama Yang Nasionalis
(Tapi Al-’Ulama Waratsatil Anbiya) ! Ulama Di Indonesia Top Markotop !
Membongkar Megaproyek Tsunami Kristenisasi Di
Indonesia. Kenapa Tidak Terjadi Di Negara Arab Dan Pakistan ? Musibah Dasyat Di
Tahun 2035 ! (Bagian I)
Membongkar Megaproyek Tsunami Kristenisasi Di
Indonesia. Kenapa Tidak Terjadi Di Negara Arab Dan Pakistan ? Musibah Dasyat Di
Tahun 2035 ! (Bagian 2)
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan Islam?”
Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An Dan
Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
Kenapa Di Indonesia Marak Aliran Sesat Dan
Ormas-Ormas Islam Yang
Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
Menakutkan, Di Negeri “Wahhabi” Saudi Tidak Ada
?
Mengapa Aliran Sesat Selalu Mendapat Pengikut
Di Indonesia? MUI: Ada 300 Lebih Aliran Sesat Di Indonesia !!
Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
Prof.Dr.Kh Said Agil Siraj : Islam Saja Belum
Tentu Bisa Menyatukan Umat, Di Timur Tengah Tidak Ada Ulama Yang Nasionalis
(Tapi Al-’Ulama Waratsatil Anbiya) ! Ulama Di Indonesia Top Markotop !
Nasehat DR Said Aqiel Siradj, MA untuk Ketua
PBNU Kiyai Haji Said Aqiel Siradj
Prof (Tasawufer).DR.KH. Said Aqil Siradj MA,
Bisa Tau Orang Ma’shum Selain Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Kerap
Melecehkan Dan Mengguyonkan Allah Dan Malaikat) : Orang NU Tak Usah Takut
(Malaikat) Munkar-Nakir, Kalau Ditanya Man Robbuka Jawab "Pengikut KH
Hasyim Asyari". Kesesatan Kelompok Shûfiyah Dan Rafidhah. Di Saudi Arabia
Penghinaan (Pelecehan) Agama Dihukum Mati.
Said Aqil Siradj Anggap Warga NU yang Tak
Hidupkan Syiar Sesat Syiah, Goblok!
Seruuu..Raja Syirik Dibela Raja Liberal. Daftar
Kesesatan Said Aqil Siradj
Tragedi Banyolan Pak Kiyai
Tanggapan Untuk Para Pembela Said Agil Yang
Suul Adab Terhadap Hadits Nabi (Bantahan Dari Jamaah Nahdliyin)
Tong Sampah