Monday, January 28, 2019

Perilaku Said Aqil Siradj, Manifestasi Penyimpangan Aqidah Dan Fantasi Rendah Diri, Sumber Pemicu Konflik Di DKM Masjid. Tidak Mungkin Lahir Ulama (Hasil Karya) Mu’tabar Dari Kelompok Seperti Ini.

Said Aqil: Imam Masjid, Khatib, KUA Harus dari NU, Selain NU Salah Semua
(Lihat Comments)   


Ungkapan-Ungkapan Primitif (Radikal), Bukan Bagian Dari Islam : Berkata Kasar Kepada Kelompok Lain, Narasi Radikal Vs Moderat, Perang Ideologi,  Ashobiyah Atau Fanatic Golongan (Ormas), Memecah Belah Umat, Mengendoser Narasi-Narasi Perang Saudara, Chauvinisme Ormas, Mengekploitasi Kehebatan Ormasnya (Paling Ditakuti), Provokasi Merebut Masjid-Masjid, Tidak Berani Mengungkap Yang Haq Atas Manhajnya (Ittiba) Dan Lain-Lain.

Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah.
Hadist: Jika Engkau Tak Malu, Perbuatlah Sesukamu
Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai Dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan.
Ketika Ilmu Diangkat Dan Kebodohan Merajalela
Pimpinan Ormas Islam Terbesar Sejagat Menghina Sunnah Nabi. Kalian Akan Dipimpin Oleh Orang Yang Seperti Kalian.
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
Sikap Imam As-Syafi’i Menghadapi Orang Bodoh
Inilah Kang Said Yang Dulu (Masih Lurus): Sekilas Tentang KH Prof DR Said Aqiel Siroj MA

said-aqil-sirodj-imageby-nugarisluruscom.jpg
Wajahnya Lebih Bercahaya

Said Aqil: Imam Masjid, Khatib, KUA Harus dari NU, 
Selain NU Salah Semua

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj meminta Muslimat NU mengambil peran lebih besar di tengah masyarakat. Dia berharap Muslimat NU berperan besar di Pilpres 2019.

Pernyataan tersebut disampaikan Said Aqil dalam sambutannya di Harlah ke-73 Muslimat NU di GBK, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Said Aqil mendorong umat NU untuk lebih berperan di segala sektor, dari mulai peran agama, peran akhlak, peran sosial, peran kesejahteraan hingga peran politik. 

"Agar berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran apa? Peran syuhudan diniyan, peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, Pak Menteri Agama, harus dari NU, kalau dipegang selain NU salah semua," ujar Said Aqil disambut tepuk tangan muslimat NU yang hadir.

"Nanti banyak bid'ah nanti kalau selain NU. Ini bid'ah ini. Tari-tari sufi bid'ah nanti," sambung Said Aqil sambil menunjuk ke depan mengarah ke lokasi digelarnya tarian sufi.
Said mengatakan selama ini kader NU memang telah berperan banyak di tengah masyarakat. Namun ada satu peran yang belum dilakukan, yakni syuhudan syiayah atau peran politik. 

"Peran ekonomi, peran kesejahteraan, peran kesehatan, peran sosial, peran masyarakatan. Muslimat sudah berperan. Koperasi-koperasi, bisnis perdagangan, yang belum satu, syuhudan syiayah, peran politik. Maka tahun 2019 harus menang. Supaya NU berperan syuhudan syiayah," tuturnya.

Seperti diketahui, cawapres Ma'ruf Amin merupakan ulama NU dan mantan Rais Aam. Ma'ruf mundur usai didaulat untuk mendampingi Jokowi di Pilpres 2019 dan digantikan oleh KH Miftahul Akhyar.

Said Aqil sebelumnya pernah mengatakan, meski bukan parpol, warga NU terpanggil untuk memenangkan tokohnya di Pilpres 2019. Dukungan itu akan terjadi tanpa ada arahan dari NU. 

Harlah ke-73 Muslimat NU ini dihadiri Presiden Jokowi dan isterinya, Iriana. Selain itu, sejumlah pejabat, seperti Ketua PP Muslimat NU sekaligus Gubernur Jatim terpilih Khofifah Indar Parawansa, Menko Polhukam Wiranto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, serta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga turut hadir.
https://news.detik.com/berita/4402308/said-aqil-imam-masjid-khatib-kua-harus-dari-nu-selain-nu-salah-semua

Said Aqil Tolak Minta Maaf soal Seruan Kader NU Kuasai Masjid: Saya Tak Takut Siapa Pun

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menuai kritik karena menyerukan kader NU untuk menguasai masjid-masjid dan lembaga pemerintahan seperti KUA. Said menganggap orang di luar NU tidak benar mengurus masjid atau KUA.

Sekjen MUI Anwar Abbas lalu mendesak Said Aqil meminta maaf dan mencabut ucapan itu. Namun, Said Aqil menolak karena merasa tidak ada yang salah dari pernyataannya tersebut. Selain itu, menurut Said, NU adalah organisasi Islam yang independen.
“Sekjen majelis ulama meminta saya mencabut ungkapan saya kemarin, saya atau NU bukan bawahan ulama, tidak ada hak mereka perintah-perintah saya,” kata Said lantang saat membuka acara Rakornas Lembaga Dakwah Nahdahtul Ulama (LDNU) se-Indonesia di Auditorium Binakarna, Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (28/1).

Said Aqil menyebut MUI hanyalah forum silaturahmi ulama lintas organisasi Islam, bukan induk NU. Lebih jauh, dia justru membusungkan badan bahwa sebagai pimpinan PBNU tidak takut pada siapa pun.

“Begini, Ketua PBNU harus nekat, tidak boleh takut kepada siapa pun, kecuali sama istri saya, itu pun kadang-kadang,” ujarnya disusul tawa para hadirin.
Sebelumnya, ucapan Said Aqil itu disampaikan saat peringatan Harlah ke-73 Muslimat NU di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Minggu (27/1). Said menyerukan kader-kader NU berperan secara lebih luas, dan harus menguasai lembaga-lembaga keagamaan.

"Supaya berperan di tengah tengah masyarakat, peran apa syuhudan diniyan, peran agama harus kita pegang. Di masjid, KUA harus dipegang dari NU. Kalau enggak dari NU, salah semua," kata Said Aqil di hadapan kurang lebih 100 ribu peserta.

Ucapan itu dikritik Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas menilai ucapan itu mengancam persatuan. Pasalnya, pengelolaan masjid, KUA, termasuk Kementerian Agama tidak bisa didominasi oleh satu golongan NU.
"Saya meminta Said Aqil Siradj untuk menarik ucapannya agar negeri ini tidak rusuh, karena ucapannya tersebut jelas-jelas sangat mengancam persatuan dan kesatuan umat," ujar Abbas saat dihubungi kumparan, Senin (28/1). [kum]

Ucapan 'Selain NU Salah Semua' Dikritik, Said Aqil: 
Pada Marah? Biarin

Ucapan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj Minggu kemarin, yang menilai jika peranan agama dipegang selain NU salah semua, tengah menuai perhatian luas. Said kembali menyinggung soal itu dalam acara Lembaga Dakwah NU atau LDNU.

"Lah khatib (Jumat) sekarang baca Qurannya prentang-prentong. Masya Allah. Makanya kemarin saya katakan khatib kalau bukan dari NU itu salah semua. Pada marah? Biarin," kata Said di Hotel Bidakara Jakarta, Senin 28 Januari 2019.
Said juga tidak ambil pusing dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas di media massa yang memintanya mencabut ucapan itu. Said menegaskan bahawa Ia dan NU tidak di bawah MUI. "Saya atau NU bukan bawahan majelis ulama. Enggak ada hak perintah-perintah saya," ujar Said.

Dia juga menyatakan MUI bukanlah induk organisasi dari NU. Dia menyebut dirinya sebagai Ketua PBNU memang harus nekad dan tidak boleh takut dengan siapapun.

"Majelis Ulama hanya forum silaturahim, bukan induknya NU. Bukan. Paham? Sekali-sekali kayak saya gitu, nekad. Ketua PBNU harus nekad. Enggak boleh takut sama siapapun, kecuali sama istri saya," kata Said sambil diselingi canda.
Sebelumnya, Said Aqil meminta muslimat NU berperan di masyarakat. Selain peran agama, yang harus diambil oleh NU, Muslimat NU pun disebut perlu mengambil peran ekonomi, peran kesejahteraan, peran kesehatan, peran sosial, dan peran kemasyarakatan.

"Muslimat keren, tidak? Hebat, tidak? Berperan? Supaya apa keren, wasaton, agar berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran apa? Peran agama, harus kita pegang, imam masjid, khotib-khotib, KUA-KUA harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua," kata Said kepada massa peserta acara Hari Lahir ke-73 Muslimat NU di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu 27 Januari 2019. [viva]

Haedar Nasir Menilai Pernyataan Said Aqil Menjurus Ke Arah Radikalisme

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menilai pernyataan Ketua Umum PBNU merupakan bentuk fanatisme dan menjurus ke radikalisme. Sebagaimana diketahui, dalam acara Harlah 73 Muslimat NU di GBK hari Ahad (27/1/2019) Said Aqil mengatakan, Imam, khatib jumat, menteri agama, dan KUA harus dari kalangan NU, jika tidak dari NU salah semua.
“Hal itu merupakan bentuk dari fatanisme dan menjurus ke radikalisme.  Mau dikemanakan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika?” kata Haedar dilansir laman resmi Muhammadiyah, Senin (28/1/2019). 
Ia menjelaskan, negara dan instansi pemerintah harus milik bersama sebagaimana amanat konstitusi. Menurutnya, pemerintah harus berasaskan meritokrasi dan jangan di atas kriteria primordialisme atau sektarianisme.
“Jika Indonesia ingin menjadi negara modern yang maju, maka bangun good governance dan profesionalisme, termasuk di Kementerian Agama,” tegasnya.
Pernyataan Said Aqil juga, lanjut Haedar, akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia, bahkan dapat memicu konflik atau perebutan antargolongan.
Sumber: Muhammadiyah.or.id

Penyataan tersebut dinilai Anwar membahayakan persatuan umat dan tidak mencerminkan akal sehat.

Tokoh Muhammadiyah;"Ucapan Said Aqil Tak Cerminkan Akal Sehat.
(lihat 1,544 Comments)
"Saya sesalkan. Pernyataan ini jelas tidak mencerminkan akal sehat. Saya yakin pernyataan ini adalah pernyataan dan sikap pribadi dari Said Aqil Siradj dan bukanlah sikap dari NU," kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/1).
Menurutnya, jika pernyataan Said Aqil tersebut menyatakan atas nama Nahdlatul Ulama, maka sikap itu dinilai membahayakan karena mengancam persatuan dan kesatuan umat.

Karena itu Anwar meminta Said Aqil menarik ucapannya itu agar tidak memantik keriuhan di kalangan umat.
"Yang hendak dilakukan oleh Said Aqil Siradj adalah untuk mengambil dan meraup semua jabatan dan posisi yang ada di negeri ini untuk NU," katanya.

Anwar menyinggung saat ini di Kementerian Agama juga tidak ada satu pun orang Muhammadiyah di eselon satu dan dua. Semuanya, kata dia, nyaris dari NU.  "Begitu juga rektor-rektor Universitas Islam (UIN) dan IAIN semuanya nyaris dari NU," kata dia.

Anwar menegaskan, skenario ini harus dihentikan jika anak-anak bangsa masih mau negeri ini aman damai dan tentram. Untuk itu, kata Anwar, dirinya meminta Said Aqil untuk meminta maaf kepada umat Islam. "Karena saya yakin dan percaya itu bukan sikap NU," kata dia.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190128073931-20-364300/tokoh-muhammadiyah-ucapan-said-aqil-tak-cerminkan-akal-sehat

Kementerian Agama Teratas Sebagai Kementerian Rawan Korupsi, Ada Apa?
Korupsi Alquran di Kementerian Agama
Kasus korupsi pengadaan Al-Quran Kementerian Agama 
K.U.A sarang pungli, sarang korupsi. Gini nih yang ngakunya ngurusin AGAMA ??????
Dana Haji, Pemicu Korupsi di Kementrian Agama
Kementerian dan Lembaga Mana yang Jadi Sarang Para PNS Korupsi?
BKN mencatat 87 PNS yang terlibat tipikor dan masih berstatus aktif tersebar di 17 kementerian. Jumlah terbanyak ada di di Kementerian Perhubungan, yaitu sejumlah 16 PNS. Sementara, pada peringkat kedua ada Kementerian Agama dengan total 14 PNS. 
6 Cerita miris korupsi penyelenggaraan haji di Kemenag
SUDAH BERMUNCULAN ULAMA Su’ SEPERTI INI !!!-UST.ABDUL SHOMAD (lihat 1,926 Comments)
KPK Pantau Proyek Kartu Nikah di Kementerian Agama
Sabtu 24 November 2018, 

Pernyataan tersebut jelas tidak mencerminkan akal sehat. Karena kalau ini juga menjadi sikap NU maka negeri ini akan ada dalam bahaya. Untuk itu saya meminta Said Aqil Siroj untuk menarik ucapannya agar negeri ini tidak rusuh karena ucapannya tersebut jelas-jelas sangat mengancam persatuan dan kesatuan umat.
Oleh karena itu dalam melengkapi pengurus-pengurus MUI terutama untuk komisi-komisi badan dan lembaga yang ada di MUI, kata beliau, pengurus-pengurus tersebut kita lihat dari tiga sisi yaitu kompetensi, integritas, dan representasi atau keterwakilan dari ormas-ormas Islam yang ada dan elemen-elemen masyarakat.

Tetapi apa yang hendak dilakukan oleh Said Aqil Siroj adalah untuk mengambil dan meraup semua jabatan dan posisi yang ada di negeri ini untuk NU. Dan apa yang dia katakan itu tampaknya bukanlah keseleo lidah tapi sudah beliau kerjakan dan itu terlihat dari komposisi pejabat yang ada di Kementrian Agama.

Baikkah ini? Jawabnya adalah tidak. Dan skenario ini harus dihentikan kalau anak-anak bangsa ini masih mau negeri ini aman damai dan tentram.
Umat dan bangsa harus berhati-hati dengan ide yang membahayakan ini. Sebagai pemimpin umat, Ketua Umum PBNU, organisasi Islam besar di Indonesia, terasa aneh jika Said Aqil Siroj berpandangan begitu. Sebab, negeri ini multietnik, multikultur, dan multiagama.
Semua orang, apapun agama, golongan, dan etniknya berhak hidup dan memperoleh jabatan publik di negeri tercinta. Karena itu, janganlah pemimpin ormas keagamaan berpandangan antikebhinnekaan dan provokatif seperti itu. Pada tahun-tahun politik, para pemimpin informal justru harus menghadirkan pernyataan yang menyejukkan dan mengayomi umat. [swa]

Haedar: Indonesia Milik Semua, Kedepankan Meritrokrasi

Haedar menuturkan bahwa Muhammadiyah tentu sangat berharap  dan berpandangan tegas bahwa negara dan instansi pemerintahan Indonesia harus menjadi milik bersama sebagaimana amanat konstitusi, jangan menjadi milik golongan.

"Pemerintahan harus  berasaskan meritokrasi atau dasar kepantasan dan karir, jangan di atas kriteria primordialisme atau sektarianisme. Jika Indonesia ingin menjadi negara modern yang maju, maka bangun good governance dan profesionalisme, termasuk di Kementerian Agama," tegas Haedar. 

Jangan berdasarkan kriteria golongan, apalagi dijadikan milik golongan tertentu. Jika primordialisme dibiarkan masuk dan dominan dalam institusi pemerintahan maka akan menghilangkan objektivisme dan prinsip negara milik semua. 
"Bahayanya jika hal itu dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi, bahkan dapat memicu konflik atau perebutan antargolongan di Indonesia," imbuh Haedar. 

Haedar menegaskan, Indonesia jangan didominasi oleh satu golongan apalagi bermazhab golongan tertentu. Apalagi jika pandangan golongan itu menegasikan komponen bangsa lainnya, dengan menganggap diri paling benar,  hal itu merupakan bentuk dari fatanisme dan menjurus ke radikalisme.  Mau dikemanakan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika?

Selain itu, Haedar juga mengimbau, hendaknya semua tokoh umat dan bangsa penting mengedepankan ukhuwah secara autentik untuk merajut kebersamaan nan tulus dan tidak mengedepankan egoisme golongan. 

Mitos Kerukunan Antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah

Banyak orang menganggap bahwa jamaah Nahdlatul Ulama dan pengikut Muhammadiyah itu selalu rukun dan kompak dalam menjaga keislaman yang moderat, merawat ke-Bhineka Tunggal Ika-an. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby. Selain faktor kultural-ritual-keagamaan seperti sudah dijelaskan pada tulisan terdahulu, yang membuat pengikut NU dan Muhammadiyah sulit bersatu adalah masalah sosial-kepolitikan. Simak lanjutan opini Sumanto al Qurtuby.
Banyak orang (baik Muslim maupun bukan, baik elit maupun awam, baik masyarakat Indonesia maupun pengamat asing) menganggap bahwa jamaah Nahdlatul Ulama (NU) yang sering disebut "Nahdliyyin” dan pengikut Muhammadiyah itu selalu rukun, harmonis alias kompak dalam menjaga keislaman yang moderat, merawat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, menjaga konstitusi dan ideologi negara, serta mempertahankan keutuhan bangsa dan negara dari serbuan ideologi Islamisme (baik lokal maupun transnasional) yang mencoba mengubah dan mentransformasi Indonesia menjadi "negara Islam”, Khilafah, dan sejenisnya.    
Bagi saya anggapan, asumsi dan penilaian itu hanya "separuh benar”. Realitasnya, wong NU dan Muhammadiyah itu sulit akur. Susah buat mereka untuk hidup rukun dan harmoni. Berat buat jamaah kedua ormas ini untuk bersatu padu dan membaur dalam kebersamaan dan pertemanan sejati.

Dalam sejarahnya, NU (berdiri tahun 1926) dan Muhammadiyah (berdiri 1912) ini memang lebih banyak berantem daripada berteman sehingga sulit buat pengikut kedua ormas ini untuk rekonsiliasi dan membangun persahabatan yang tulus dan permanen. Luka-luka sejarah masa silam yang begitu menganga rasanya sulit untuk dipulihkan.
Bahwa ada sejumlah kelompok elit dari kedua ormas ini yang sangat rukun memang benar. Bahwa ada sejumlah akademisi dari kedua ormas ini yang menjalin pertemanan genuine memang betul. Bahwa ada sejumlah aktivis dari kedua ormas ini yang bahu-membahu bekerja sama untuk pemberdayaan masyarakat memang tidak bisa dipungkiri. Saya sendiri, sebagai wong NU, mempunyai banyak teman dari kalangan Muhammadiyah.
Tetapi sekali lagi, mayoritas pengikut kedua ormas ini (apalagi di tingkat akar-rumput) susah sekali bersatu menjalin persahabatan sejati apalagi permanen guna membangun peradaban Islam dan bangsa yang gemilang. Hal itu karena sejatinya pengikut kedua ormas ini lebih mirip Tom dan Jerry atau air dan minyak yang hampir-hampir sulit untuk disatukan. Bagi para fanatikus NU dan Muhammadiyah, mereka bahkan tidak mau kawin-mawin karena dianggap "pamali” selain gengsi.
Meskipun para pendiri kedua ormas ini seperti KH Hasyim Asyari (NU) dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) konon pernah berguru pada ulama yang sama (misalnya Kiai Sholeh Darat Semarang yang dianggap sebagai guru para kiai dan ulama di "Hindia Belanda”) dan sejumlah "ulama Nusantara” di Mekkah di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi itu tidak menjadikan pengikut kedua ormas Islam ini secara otomatis akur dan bersatu.

Dendam-kesumat NU-Muhammadiyah?

Ada sejumlah ungkapan yang sudah beredar luas di kalangan NU sehingga menjadi "rahasia umum” yang menunjukkan konflik, perseteruan, dan dendam-kesumat NU-Muhammadiyah. Meskipun dikemas dengan bahasa guyonan khas NU tetapi isinya melambangkan ketidakharmonisan dan perseteruan kedua ormas ini.
Misalnya, ungkapan "Lebih baik berteman dengan Kristen ketimbang Muhammadiyah”. Kenapa begitu? Karena berteman dengan Kristen jauh lebih aman daripada berteman dengan Muhammadiyah. Kalau berteman dengan Muhammadiyah, bukan hanya sandal dan speaker masjid saja yang hilang tetapi masjidnya juga ikut hilang. Maksudnya, Muhammadiyah dipandang sebagai "ormas rakus dan maling” yang suka mengakui, mengklaim, mengubah atau mengalihnamakan properti milik NU, khususnya mushalla dan masjid-masjid, menjadi miliknya.
Ada lagi ungkapan: "Alhamdulilah di daerah kami semua atau mayoritas penduduk memeluk agama Islam, hanya sedikit saja yang Muhammadiyah”.  Ini adalah jawaban wong NU ketika ditanya kiai tentang perkembangan agama Islam di wilayahnya. Oleh para fanatikus NU, Muhammadiyah dipandang sebagai "setengah Islam”.

Kenapa NU-Muhammadiyah sulit akur ?

Begini penjelasannya. Ada sejumlah faktor sosial-kultural-keagamaan dan kepolitikan dalam sejarah relasi NU-Muhammadiyah yang sangat akut sehingga menyulitkan kedua belah pihak untuk pulih dan damai. 
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah (selain Persis) adalah ormas Islam yang paling gencar menyerang tradisi, budaya, amalan, dan praktik-praktik ritual-keagamaan lokal yang dilakukan warga NU. Muhammadiyah memerangi semua itu karena dianggap bisa "menyekutukan Allah” alias menggelincirkan umat Islam ke praktik syirik, selain diyakini bisa menodai kemurnian Islam dan keaslian akidah Islam.
Dulu (dan sayup-sayup masih terdengar hingga kini), sangat populer istilah TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat), yaitu tiga jenis "penyakit” umat Islam yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Muhammadiyah dan dipandang bisa menodai kemurnian ajaran dan doktrin keislaman.
Karena dipandang sebagai bagian dari "penyakit TBC” itulah, Muhammadiyah selama berpuluh-puluh tahun dengan derasnya mengkritik dan menyerang berbagai praktik ritual-keagamaan yang dipraktikkan dan dilestarikan warga NU seperti tahlilan, sedekahan, kenduren, berjanjen (barzanji), dzibaan, dalailan, manaqiban, shalawatan, muludan, ziarah kubur, syuronan, qunut, sufisme, sebutan "sayyid” untuk Nabi Muhammad, dan masih banyak lagi. Belakangan saja, ada sejumlah warga Muhammadiyah yang bersedia tahlilan, shalawatan, atau ziarah kubur.
Muhammadiyah memang ormas puritan. Karena itu bagi warga NU, Muhammadiyah adalah 11-12 dengan kaum "sawah” (Salafi Wahabi) yang dinilai telah merusak tatanan, tradisi dan budaya masyarakat Islam lokal di Indonesia.
Meskipun sebetulnya yang mereka perdebatkan dan sengketakan itu adalah "persoalan remeh-temeh” (istilahnya "furu'iyyah”) tetapi oleh keduanya dianggap sangat mendasar, fundamental, dan prinsipil, karena itulah konflik dan ketegangan antar-keduanya tidak bisa dielakkan.
Pendirian NU sendiri sebetulnya karena dilatari oleh kemauan kuat para kiai dan ulama pesantren untuk menjaga dan melestarikan aneka tradisi dan kebudayaan Islam serta tradisi bermazhab yang selama ini dipraktikkan oleh komunitas santri dan masyarakat Muslim pendesaan yang menjadi basis jamaah NU.

Sementara pendirian Muhammadiyah, antara lain, juga dilatari untuk melakukan reformasi dan modernisasi umat Islam dengan jalan puritanisasi pemikiran dan praktik keislaman. Karena dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran modernis-reformis para ulama di Mesir seperti Jamaludin Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida, Muhammadiyah gencar mengkampanyekan pentingnya atau wajibnya bagi umat Islam untuk berpegang teguh hanya pada Al-Quran dan Hadis saja.
Lagi-lagi, pernyataan ini secara terang-benderang menyerang NU yang jelas-jelas mengikuti tradisi bermazhab. Kampanye Muhammadiyah tentang "kembali pada Al-Qur'an dan Hadis” jelas-jelas berlawanan dengan pemahaman keislaman dan praktik keagamaan warga NU yang bukan hanya menjadikan Al-Qur'an dan Hadis (dan Sunah Nabi) sebagai sumber hukum dan rujukan amalan keislaman tetapi juga sumber-sumber lain seperti ‘urf atau adat, qiyas (analogi), istihsan serta berbagai aqwal (perkataan) para ulama dan fuqaha (ahli hukum Islam), khususnya para pendiri mazhab hukum Islam dalam lingkup Sunni (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal), yang tersimpan dalam ribuan kitab kuning yang sayangnya tidak diapresiasi oleh Muhammadiyah, yang oleh Nahdliyyin dipandang sebagai ormas "anti kitab kuning”.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga menyerang dengan sengit praktik-praktik sufisme (tasawuf) atau mistisisme dan dunia tarekat yang dianggap sebagai "amalan klenik” yang tidak rasional. Padahal, sufisme, tarekat dan NU hampir-hampir atau nyaris tak terpisahkan karena para kiai dan warga Nahdliyyin hampir-hampir bisa dipastikan adalah para pengikut tasawuf dan organisasi tarekat tertentu. Karena dunia tasawuf dan tarekat sudah menjadi bagian integral NU, maka "ormas tradisional” inipun memiliki lembaga khusus yang mewadahi berbagai aliran tarekat bernama Jam'iyah Ahlil Thariqah al-Mu'tabarah al-Nahdliyyah (JATMAN) yang konon sejauh ini ada 45 aliran tarekat yang diakui eksistensi dan keabsahannya oleh NU.  

Sejumlah perbedaan tafsir, pandangan, pemahaman, dan tindakan yang menyangkut masalah-masalah sosial-kultural-ritual-keagamaan inilah, antara lain, yang telah membuat NU dan Muhammadiyah itu sulit berdamai. Muhammadiyah menyebut NU sebagai ormas "tradisional, kolot, udik, kampungan, ndeso, dan sarungan” yang tidak melek pendidikan, anti-modernisasi, miskin wawasan, kontra ijtihad, hobi taklid, dan anti perubahan sosial.
Sementara NU menilaiMuhammadiyah sebagai ormas sok modern, keminter, kemajon, sok berpendidikan, sok intelek, sok ngota, meskipun sejatinya pengikut Muhammadiyah adalah kumpulan orang-orang ‘bodoh' karena tidak bisa membaca "Arab gundul” dan kitab kuning.
Sentimen dan persepsi negatif warga NU terhadap Muhammadiyah dan juga sebaliknya tidak banyak berubah hingga kini. Meskipun sebagian dari mereka bisa saja duduk bersama dan bercanda ria tetapi dalam hati dan batin mereka sangat merana. Ini baru faktor sosial-kultural-keagamaan, belum lagi faktor kepolitikan yang membuat jarak keduanya semakin menganga sehingga sulit disatukan dan dirukunkan.

Jamak diketahui bahwa NU dan Muhammadiyah selalu berseteru dalam meraih akses politik-pemerintahan sejak republik ini berdiri. Dulu, di zaman Orde Lama ketika negara ini dipimpin oleh Presiden Sukarno (Bung Karno), NU banyak mendapatkan "jatah kekuasaan” di kabinet dan pos-pos pemerintahan lain karena hubungan dekat antara NU dan Sang Proklamator.
Bahkan dalam struktur kabinet, NU bukan hanya mendapat jatah sebagai Menteri Agama saja tetapi juga menteri-menteri lain seperti Menteri Dalam Negeri (misalnya Mr. Soenarjo), Menteri Ekonomi (misalnya Rahmat Mulyoamiseno) dan sebagainya. Di zaman Orde Lama, posisi Menteri Agama banyak dipegang oleh para tokoh dan kiai NU. Tercatat sejumlah nama pentolan NU yang menduduki jabatan Menteri Agama adalah: KH Abdul Wahid Hasyim (ayah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), KH Fathurrahman Kafrawi, KH Muhammad Ilyas, KH Masjkur, KH Wahib Wahab, dan Prof. KH Syaifuddin Zuhri (ayah Menteri Agama sekarang Lukman Hakim Saifuddin).

Sejumlah tokoh Muhammadiyah di zaman Bung Karno dulu memang ada yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama seperti H. Rasjidi (di era Kabinet Sjahrir I), Achmad Asj'ari (Kabinet Amir Sjarifuddin I), atau Fakih Usman (Kabinet Wilopo). Tetapi peran mereka sangat marjinal, tidak dominan, dan hanya berumur beberapa bulan saja.

Perubahan drastis struktur kabinet, dimana NU tidak lagi menjabat sebagai Menteri Agama terjadi di zaman Orde Baru (Orba), khususnya sejak 1970an. Di awal pemerintahan Orba, Menteri Agama masih dipegang oleh NU, yaitu KH Muhammad Dahlan (1968–1971). Tahun 1971, Pak Harto (Presiden Suharto) menunjuk Prof. Dr. Abdul Mukti Ali sebagai Menteri Agama. Meskipun masa kecil dan remajanya dididik di pondok pesantren NU, Mukti Ali lebih dikenal sebagai sosok reformis atau pembaharu sejati.

Sejak era Mukti Ali, kemudian Menteri Alamsyah Ratu Prawiranegara dan puncaknya kelak di zaman Tarmizi Taher dan A. Malik Fadjar, pelan tapi pasti, peran NU mulai tergeser, lemah  dan akhirnya lenyap dari Departmen (Kementerian) Agama.

Siapa penikmat kue kekuasaan?

Di zaman Orba, karena Pak Harto terlibat sejumlah friksi dan konflik dengan NU, Muhammadiyah-lah yang banyak menikmati "kue kekuasaan”. Ini sesungguhnya sebuah ironi karena di awal-awal kekuasaan Orba, NU dan Gerakan Pemuda Ansor ikut terlibat kampanye "pengganyangan” PKI yang disponsori oleh Pak Harto. Tapi belakangan NU malah dicampakkan begitu saja. Habis manis sepah dibuang. 
Yang membuat NU "sakit hati” hingga sekarang yang hampir-hampir susah untuk disembuhkan adalah kader-kader NU "dibersihkan” dari Departemen (Kementerian) Agama dari pusat (Jakarta) hingga daerah-daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) seantero Indonesia diganti dengan kader-kader Muhammadiyah.
Jamak diketahui bahwa, bukan hanya posisi-posisi penting di Departemen Agama (Depag) pusat saja yang dipegang dan dikendalikan oleh Muhammadiyah, para kepala dan staf Depag di provinsi dan kabupaten, dan bahkan sampai kecamatan (KUA: Kantor Urusan Agama) juga dipegang oleh Muhammadiyah. Bahkan para penyuluh agama yang bertugas di kampung-kampung juga dipilih dari Muhammadiyah atau "setengah Muhammadiyah”. Yang penting bukan NU.
Dari fenomena ini kemudian muncul kelakar di lingkungan NU kalau warga NU lebih suka menjalin pertemanan dengan umat Kristen ketimbang dengan Muhammadiyah karena kalau berteman dengan Kristen, properti NU akan aman tetapi kalau berteman dengan Muhammadiyah, properti NU akan lenyap.

Menjaga jarak dengan kekuasaan

Karena Pak Harto tidak memperhatikan atau mengabaikan kepentingan Nahdliyyin, maka NU mengubah "model perjuangan” dan pendekatan dengan menjaga jarak terhadap kekuasaan dan bahkan menggalang gerakan oposisi terhadap pemerintah Orba. Para kiai NU dulu, baik yang aktif di partai politik terutama PPP (Partai Persatuan Pembangunan) maupun kiai non-partai terlibat aktif dalam gerakan dan aksi perlawanan, baik perlawanan politik maupun budaya, terhadap rezim pemerintah.
Pada waktu itu, terutama sejak awal 1980an, jika ada kiai, tokoh, dan kader NU yang menjadi birokrat atau aktif di ormas dan parpol pemerintah (Golkar) atau bahkan sekedar menunjukkan simpati terhadap pemerintah, langsung mendapat stigma buruk dan negatif sebagai "kiai kacung” dan antek Orba. Mereka dianggap sebagai "NU abal-abal” yang "menggadaikan NU” dan tidak konsisten dalam menjalankan prinsip dan amanat ke-NU-an.
Aksi dan gerakan perlawanan NU terhadap kekuasaan Orba dulu dikenal dengan sebutan "strategi kultural” yang kontra kekuasaan (dan Pak Harto) dengan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ikon perlawanan. Sementara Muhammadiyah, karena diuntungkan oleh pemerintah Orba, menggunakan "pendekatan struktural” yang pro-kekuasaan (dan Pak Harto). Amin Rais dulu yang menjadi ikon "strategi struktural” ini.
Perang opini antara para pendukung strategi kultural (NU) dan cheerleader strategi struktural (Muhammadiyah) pun membahana di mana-mana, di berbagai forum dan media. Masing-masing mengklaim strategi merekalah yang paling ampuh dan jitu sebagai "alat perjuangan” menghadapi aneka problem sosial-politik-budaya di Indonesia.

Jadi selama bertahun-tahun, NU terlibat perseteruan bukan hanya dengan rezim Orba saja tetapi juga dengan Muhammadiyah yang dianggap sebagai "anak emas” Pak Harto. Setiap kebijakan politik dan gerak-gerik elit Muhammadiyah di pemerintahan selalu dicurigai dan dipandang sebagai upaya untuk membonsai dan menghancurkan aset-aset kultural dan non-kultural NU.
Misalnya, dulu, waktu Menag Malik Fadjar memelopori pendirian STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) untuk kampus-kampus di daerah-daerah yang selama ini menjadi cabang IAIN (Institut Agama Islam Negeri), ia dianggap atau dituduh sedang memperluas ekspansi Muhammadiyah di satu sisi dan melakukan gerakan pengebirian NU di IAIN.
Kecurigaan itu masih berlanjut hingga kini. Belum lama ini sempat "geger” di lingkungan NU ketika Mendikbud Muhadjir Effendy yang Muhammadiyah merencanakan kebijakan "Full Day School”. Oleh NU, kebijakan ini dipandang sebagai upaya dan "siasat licik” Muhammadiyah untuk menggembosi dan melenyapkan peran NU di masyarakat serta mematikan institusi pendidikan madrasah diniyah dan pondok pesantren yang dikelola NU.
Ketegangan NU-Muhammadiyah pun kembali mencuat. Nada-nada miring dan suara-suara sumbang saling mengejek antar fanatikus kedua ormas ini pun tak terhindarkan. Untung Presiden Joko Widodo menyikapi rancangan kebijakan dan fenomena ini dengan cukup arif dan bijak sehingga tidak menimbulkan gejolak yang berarti dan berlebihan.
Sebetulnya "era bulan madu” antara NU dan Muhammadiyah sempat terjadi, yakni ketika Amin Rais dulu, tahun 1999, mendukung dan memelopori pencalonan Gus Dur sebagai Presiden RI menggantikan B.J. Habibie. Warga NU dulu senang sekali begitu melihat Amin Rais sowan ke kiai-kiai sepuh NU seperti KH Abdullah Faqih di Tuban atau KH Abdullah Abbas di Cirebon untuk "meminta restu” dan dukungan mereka atas pencalonan Gus Dur sebagai Presiden RI. Di hadapan para kiai sepuh NU, Amin Rais juga berjanji untuk menjaga dan mengawal pemerintahan Gus Dur. 
Tetapi era bulan madu itu ternyata berlangsung sangat singkat karena Amin Rais kemudian menelikung dan menyeponsori gerakan politik pendongkelan Gus Dur hingga ia turun dari kursi kepresidenan tahun 2002. Dendam kesumat NU terhadap Muhammadiyah pun kembali kambuh dan membuncah.

Mitos belaka?

Jadi, sekali lagi, kerukunan NU dan Muhammadiyah itu hanya mitos belaka. Atau, kalau pun ada, kerukunan itu hanya terjadi di level elit tertentu saja (misalnya "komunitas akademik” atau sejumput "petinggi ormas”) yang sangat terbatas. Masyarakat NU dan Muhammadiyah secara umum tetap sulit untuk rukun dan bersahabat laksana Upin-Ipin. Mereka lebih tepat diibaratkan seperti Tom dan Jerry yang saling memanfaatkan peluang, mengintai kelengahan, dan saling menjegal saat sang lawan sedang lalai atau sedang dalam posisi lemah dan tak berdaya.
Sejumlah faktor perbedaan persepsi atas praktik-praktik kultural-ritual-keagamaan yang begitu fundamental serta sejarah sosial-kepolitikan yang begitu memilukan antara NU dan Muhammadiyah tampaknya membuat keduanya sulit untuk bersatu-padu dan guyup-rukun membangun bangsa dan negara.
Meskipun relasi NU-Muhamamdiyah tampak suram, bukan berarti tidak ada secercah harapan bagi kedua ormas Islam utama di Tanah Air ini untuk membangun "rumah Indonesia” yang lebih baik, hebat, bermartabat dan "berkemajuan” di kemudian hari dengan tetap memperhatikan khazanah, nilai-nilai tradisi dan kebudayaan lokal warisan leluhur bangsa. Kalau ada komitmen dan upaya serius dari kedua ormas ini untuk membangun Indonesia sebagai "rumah bersama” bagi semua kelompok etnis dan agama, maka seperti slogan Adidas, "Impossible is Nothing”. Semoga bermanfaat. 

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.

Terbukti!!!! Kesesatan SAID AQIL SIRADJ Tidak mengakui adanya ALLAH (orang NU ngga perlu takut dengan malaikat munkar dan nankir)
Siapakah Ulama As-Su’ Di Indonesia, Yang Gemar Memfitnah Dan Mencela Umat Islam Diluar Golongannya, Sering Bikin Resah Umat Islam, Berasyik Masyuk Dengan Non Muslim Dan Merasa Super Mayoritas ? Seperti Ini Moderat ?
Said Aqil Siradj : Budaya Kita Lebih Terhormat Dari Bangsa Arab Dan Membolehkan Hormati Dewi Sri. Di Arab Saudi, Ulamanya Sibuk Mengamalkan Sunnah Nabi, Menulis Kitab, Benci Kemusyrikan, Tidak Gemar Bicara Kotor Dan Menghujat, Al-Wala' Wal Bara'nya Jelas.
K.H Said Aqil Siradj : Rajin Shalat Jamaah Dimasjid, Tahajjud, Dluha, Puasa Senin Kamis Dan Semisalnya, Menghormati Orang Tua, Menghormati Tamu/ Tetangga, Berprasangka baik, Menolong Orang, Dermawan Menginfaqkan Harta Sebesar 100 Juta, Belum Tentu Dirinya Seorang Sufi (Bukan Itu Ukuran Tasawuf). Jadi Tasawwuf Itu Apa ? Secara Etimologi, Dicari Akar Katanya Sangat Sulit. Menghujat, Fitnah Orang (Kelompok), Menghalalkan Segala Cara ?
Untuk Said Aqil Siraj (Pemurka Wahabi), Apa Yang Harus Dilakukan : Kristenisasi Terpesat Di Dunia Ada Di Indonesia. 2 Juta Muslim Murtad Setiap Tahun.
Wahabi Dan Deradikalisasi. Siapa Yang Gemar Meneror Dengan Kata-Kata “Banjir Darah, Bakar, Bubarkan, Turunkan, Tutup” Dan Bahasa Anarkis Lain, Seakan RI Miliknya. Tiru Saudi Arabia, Tidak Ada Organisasi Masa Jenis Apapun (Berbau Preman), Rakyatnya Aman Dan Damai.
Prof.Dr.Kh Said Agil Siraj : Islam Saja Belum Tentu Bisa Menyatukan Umat, Di Timur Tengah Tidak Ada Ulama Yang Nasionalis (Tapi Al-’Ulama Waratsatil Anbiya) ! Ulama Di Indonesia Top Markotop !
Membongkar Megaproyek Tsunami Kristenisasi Di Indonesia. Kenapa Tidak Terjadi Di Negara Arab Dan Pakistan ? Musibah Dasyat Di Tahun 2035 ! (Bagian I)
Membongkar Megaproyek Tsunami Kristenisasi Di Indonesia. Kenapa Tidak Terjadi Di Negara Arab Dan Pakistan ? Musibah Dasyat Di Tahun 2035 ! (Bagian 2)
Konferensi “Bagaimana Cara Mengalahkan Islam?” Rencana Mereka, Kyai-Kyai Kelompok Mayoritas Mengubah Tafsir Al-Qur`An Dan Hadits-Hadits, Dengan Target Menghentikan Otoritas Ulama.
Kenapa Di Indonesia Marak Aliran Sesat Dan Ormas-Ormas Islam Yang
Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
Menakutkan, Di Negeri “Wahhabi” Saudi Tidak Ada ?
Mengapa Aliran Sesat Selalu Mendapat Pengikut Di Indonesia? MUI: Ada 300 Lebih Aliran Sesat Di Indonesia !!
Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
Prof.Dr.Kh Said Agil Siraj : Islam Saja Belum Tentu Bisa Menyatukan Umat, Di Timur Tengah Tidak Ada Ulama Yang Nasionalis (Tapi Al-’Ulama Waratsatil Anbiya) ! Ulama Di Indonesia Top Markotop !
Nasehat DR Said Aqiel Siradj, MA untuk Ketua PBNU Kiyai Haji Said Aqiel Siradj
Prof (Tasawufer).DR.KH. Said Aqil Siradj MA, Bisa Tau Orang Ma’shum Selain Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam (Kerap Melecehkan Dan Mengguyonkan Allah Dan Malaikat) : Orang NU Tak Usah Takut (Malaikat) Munkar-Nakir, Kalau Ditanya Man Robbuka Jawab "Pengikut KH Hasyim Asyari". Kesesatan Kelompok Shûfiyah Dan Rafidhah. Di Saudi Arabia Penghinaan (Pelecehan) Agama Dihukum Mati.
Said Aqil Siradj Anggap Warga NU yang Tak Hidupkan Syiar Sesat Syiah, Goblok!
Seruuu..Raja Syirik Dibela Raja Liberal. Daftar Kesesatan Said Aqil Siradj
Tragedi Banyolan Pak Kiyai
Tanggapan Untuk Para Pembela Said Agil Yang Suul Adab Terhadap Hadits Nabi (Bantahan Dari Jamaah Nahdliyin)
Tong Sampah