Mengapa Negara-Negara Islam Berhenti
Bela
Muslim Uighur
Turki dituduh mendeportasi
warga Uighur kembali ke Cina melalui negara ketigaTurki Mulai Pakai Duit China,
Kok Gak Ada yang Teriak Erdogan Antek Aseng?Terkuak Laporan China
Hancurkan Ribuan Masjid di Xinjiang
Aktivis Uighur Kecam Pertemuan Presiden Erdogan dengan Presiden Xi
Jinping
Dolkun Isa, Pemimpin World Uighur
Congress (Kongres Uighur se-Dunia) mengecam pertemuan Presiden Turki Recep
Tayyip Erdogan dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing, Selasa, (4/7/2019).
“WUC dan diaspora Uighur sangat sedih dan
kecewa dengan tindakan Erdogan karena dia selalu mengaku sebagai pemimpin dunia
Muslim, yang membela populasi Muslim di seluruh dunia, tetapi dia tidak bisa
berbicara untuk Muslim Uighur di Xinjiang,” kata Dolkun Isa, seperti dilansir
dari Middle East Eye, Kamis, (4/7/2019).
“Orang-orang Uighur dan Turki memiliki
budaya, sejarah, dan bahasa yang sama; karenanya dibandingkan dengan
negara-negara lain, Turki seharusnya menjadi yang pertama untuk menyampaikan
keprihatinan atas perlakuan China terhadap Uighur. Tapi Erdogan hanya diam,”
tambah Dolkun Isa.
Menurut laporan Amnesty International dan
Human Rights Watch, sekitar satu juta orang sebagian besar warga Muslim Uighur
ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp di Xinjiang. Sementara
itu, China menggambarkan kamp-kamp itu sebagai “sekolah kejuruan” dan
mengatakan kamp itu dimaksudkan untuk mengatasi terorisme dan ekstremisme.
Sementara itu dikutip dari situs
Kepresidenan Turki, Presiden Erdogan dalam sambutannya memuji hubungan baik
antara Turki dan China dan sepakat untuk memperkuat hubungan antara Turki dan
China di semua bidang.
“Saya percaya ada potensi besar untuk
memperkuat kerja sama antara Turki dan Cina, yang dibangun di atas peradaban
kuno yang dihubungkan oleh Jalur Sutra dan memiliki hubungan sejak ribuan tahun
yang lalu. Kebijakan ‘One China’ sangat penting secara strategis bagi Turki,”
kata Presiden Erdogan. (DH/MTD)
Sumber : tccb.gov.tr, Middle East Eye | Redaktur : Hermanto Deli
Presiden Erdogan Hanya Diam tentang Uighur Selama Pertemuannya
dengan Presiden Xi Jinping
Aktivis Uighur mengkritik Presiden Turki
Recep Tayyip Erdogan karena tidak berbicara tentang penindasan Muslim Uighur
selama pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing, Selasa,
(4/7/2019).
Sebaliknya dalam pertemuan tersebut,
Presiden Erdogan memuji hubungan baik antara Turki dan China. Presiden Erdogan
menekankan bahwa mereka sepakat untuk memperkuat hubungan antara Turki dan Cina
di semua bidang dengan perspektif strategis dan jangka panjang.
“Saya percaya ada potensi besar untuk
memperkuat kerja sama antara Turki dan Cina, yang dibangun di atas peradaban
kuno yang dihubungkan oleh Jalur Sutra dan memiliki hubungan sejak ribuan tahun
yang lalu. Kebijakan ‘One China’ sangat penting secara strategis bagi Turki,”
kata Presiden Erdogan, seperti dilansir dari situs Kepresidenan Turki.
“Memperkuat hubungan Turki-Cina akan
sangat berkontribusi pada stabilitas regional dan global,” tambah Erdogan.
Sementara itu, Dolkun Isa,
Pemimpin World Uighur Congress (Kongres Uighur se-Dunia), sebuah
organisasi advokasi yang berbasis di Jerman mengatakan bahwa Erdogan telah
melewatkan “peluang sempurna” untuk meningkatkan kesadaran tentang kebijakan
represif China terhadap kaum Uighur disamping berbicara tentang kerjasama
ekonomi di antara kedua negara.
“WUC dan diaspora Uighur sangat sedih dan
kecewa dengan tindakan Erdogan karena dia selalu mengaku sebagai pemimpin dunia
Muslim, yang membela populasi Muslim di seluruh dunia, tetapi dia tidak bisa
berbicara untuk Muslim Uighur di Xinjiang,” kata Dolkun Isa, seperti dilansir
dari Middle East Eye, Kamis, (4/7/2019).
“Orang-orang Uighur dan Turki memiliki
budaya, sejarah, dan bahasa yang sama; karenanya dibandingkan dengan
negara-negara lain, Turki seharusnya menjadi yang pertama untuk menyampaikan
keprihatinan atas perlakuan China terhadap Uighur. Tapi Erdogan hanya diam,”
tambah Dolkun Isa.
Menurut laporan Amnesty International dan
Human Rights Watch, sekitar satu juta orang sebagian besar warga Muslim Uighur
ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp di Xinjiang. Sementara
itu, China menggambarkan kamp-kamp itu sebagai “sekolah kejuruan” dan
mengatakan kamp itu dimaksudkan untuk mengatasi “terorisme dan ekstremisme
agama”. (DH/MTD)
Sumber : tccb.gov.tr, Middle East Eye | Redaktur : Hermanto Deli
Tindakan Penyimpangan Turki
Turki merupakan negara Islam terbesar
yang berbicara membela Uighur dan jelas telah memicu amarah China. Tahun 2009,
Recep Tayyip Erdogan—yang saat itu masih menjabat sebagai perdana
menteri—menggambarkan kekerasan etnis di Xinjiang sebagai “sejenis genosida.”
Tahun 2015, setelah Erdogan menjadi presiden, pemerintahnya menawarkan
perlindungan bagi para pengungsi Uighur. China merespons dengan berulang kali
mengancam akan memperburuk hubungan ekonomi kedua negara.
Turki kemudian memecah keheningan selama
empat tahun pada Februari 2019, dengan menyebut penindasan Xinjiang sebagai
“penghinaan besar bagi kemanusiaan”—menandakan perubahan signifikan dalam
keheningan menyesakkan dari negara-negara Islam lainnya atas masalah ini. Irwin
mengatakan bahwa Kongres Uighur Dunia (WUC) telah “digerakkan” oleh
komentar-komentar itu.
Turki telah berusaha untuk berintegrasi
ke dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Mimpi itu kini tampaknya terancam
hancur.
Tak lama setelah komentar Kementerian
Luar Negeri Turki, China menutup sementara konsulatnya di Izmir, Turki, yang
menunjukkan hubungan yang tegang antara kedua negara. Duta Besar China untuk
Turki Deng Li, mengatakan kepada Reuters bahwa “mengkritik teman Anda di depan
umum akan tercermin dalam hubungan perdagangan dan ekonomi.”
Beberapa warga negara Turki juga telah
secara misterius ditahan di China, menurut Nikkei Asian Review. Setidaknya enam
warga Turki di Uighur telah hilang di Xinjiang sejak tahun 2017, menurut
laporan BuzzFeed News.
Business Insider telah menghubungi
Kementerian Luar Negeri Turki di Ankara dan Kedutaan Besar Turki di London
untuk mengomentari pernyataan OKI dan menghilangnya warga negara Turki di
Uighur.
Gambar atas
Orang-orang dari komunitas Uighur yang
tinggal di Turki, membawa bendera Uighur dan meneriakkan slogan-slogan selama
protes di Istanbul, pada 6 November 2018. (Foto: AP Photo/Lefteris Pitarakis)
Erdogan Adalah Yahudi Muslim (Munafiq)
Erdogan (Ataturkish) Dan Penjualan Yerusalem
Palestina, Bertemu Dengan Tokoh Zionis Pembantai Sabra Dan Shatilla Di
Jesrusalem
Kenapa Hanya Rakyat Amerika Yang Berani Melawan
Kekejaman China Terhadap Muslim ? Para Pemimpin Negara Islam Membisu.Tak Tahan
Disiksa Pemerintah China, Wanita Muslim Uighur Minta Dibunuh.
Turki Yang Sekuler Tulen Akan Hancur (Bersama
Sekutunya Komunis Rusia Dan Rafidhah Iran) Karena Adzab, Terlibat Konspirasi
Pembantaian Keturunan Sahabat Nabi Di Suriah (85 % Ahlus Sunnah, Keimanannya
Dipuji Nabi, Negeri Para Ulama Salaf).
Jangan Terpedaya "Gema Islam"
Erdogan. Fakta, Dia (Bangsa Turki) Bersama Bangsa Majusi Iran (Syi’ah) Dan
Bangsa Rusia (Komunis, Ortodoks) Berkonspirasi Membunuhi Ahlus Sunnah Syams
(Arab). Apa Haknya Mereka (Bertiga) Mendefinisikan “Para Mujahidin Ahlus Sunnah
Bangsa Arab Syam” Yang Harus Dibinasakan (License To Kill) ? Silahkan Bantah
Fakta-Fakta Dibawah.
Erdogan Bersahabat dengan Israel dan Syiah
Mustahil Ahlus Sunnah Bisa Menguasai Al Quds
(Al Aqsha) Sebelum Mengusir Syi’ah Dari Syam (Suriah Dan Sekitarnya), Seperti
Yang Dilakukan Salahuddin Al Ayyubi. Syiah Mengingkari Al-Quds (Kamuflase) Dan
Dendamnya Karena Penaklukan Oleh Umar RA. Dalam Perang Arab-Israel, Syiah
Menggunting Dalam Lipatan. Penguasaan Israel Karena Peran Syiah.
22 Negara Bersatu di PBB untuk Kecam China atas
Penindasan Muslim Uighur
Penindasan Muslim Uighur
Gabungan 22 negara menulis surat kepada
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, terkait
penindasan pemerintah China terhadap etnis Muslim Uighur di provinsi Xinjiang. Surat bersama
itu, sebaliknya, tidak memiliki koordinator atau sponsor yang jelas,
menyulitkan China untuk memilih penandatangan tertentu untuk pembalasan. Para
diplomat mengatakan surat itu memberikan cara yang kurang berisiko namun tetap
efektif bagi negara-negara untuk menyatakan kemarahan atas tindakan China di
Xinjiang.
Oleh: Nick Cumming-Bruce (The New York
Times)
Sekelompok 22 negara telah mengeluarkan
pernyataan yang mendesak China untuk menghentikan penahanan massal Muslim Uighur di wilayah Xinjiang baratnya. Ini menjadi
penentangan internasional terpadu pertama terhadap kebijakan yang telah
dipertahankan China di PBB.
Dalam sebuah surat kepada Komisaris
Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, negara-negara tersebut
mengatakan kepada China untuk menjunjung tinggi hukumnya sendiri dan kewajiban
internasional, dan menghentikan penahanan sewenang-wenang terhadap warga
komunitas Muslim Uighur dan minoritas lainnya, dan mengizinkan kebebasan
beragama. Surat itu disampaikan Senin (8/7) dan dirilis ke publik pada hari
Rabu (10/7).
Inggris, Prancis, dan Jerman termasuk di
antara 18 negara Eropa―bersama Jepang, Australia, Kanada, dan Selandia
Baru―yang menarik perhatian pada laporan penahanan sewenang-wenang berskala
besar itu, dan meminta Bachelet agar Dewan Hak Asasi Manusia PBB terus
memperbarui perkembangan mengenai laporan ini secara teratur.
Para pakar China memperkirakan bahwa
China telah menahan satu juta orang atau lebih di pusat-pusat pendidikan ulang
dan telah menerapkan pengawasan ketat kepada mereka.
China membantah telah melakukan tindakan
seperti itu ketika komite HAM PBB mempertanyakan kebijakan itu tahun lalu,
tetapi kemudian mengatakan bahwa pihaknya memberikan pelatihan kejuruan untuk
mengisolasi penduduk Xinjiang dari apa yang disebutnya sebagai momok
ekstremisme global.
Untuk menghadapi kritik internasional,
bulan lalu China membawa wakil gubernur Xinjiang, yang merupakan etnis Uighur,
ke dewan PBB, tempat ia menegaskan bahwa pelatihan semacam itu mengangkat rakyat
Xinjiang dari kemiskinan. Wakil gubernur, Aierken Tuniyazi, juga membantah
tuduhan bahwa peserta pelatihan berada di kamp tahanan.
“Martabat dan kebebasan peserta pelatihan
sepenuhnya dilindungi,” katanya, menceritakan siswa yang tinggal di asrama
ber-AC dan membagi waktu mereka antara belajar keterampilan dan berpartisipasi
dalam tarian etnis, bernyanyi, atau olahraga.
China telah menggunakan kekuatan ekonomi
dan kekuatan diplomatiknya untuk mendukung narasi ini. Negara-negara Muslim
tetap diam dan bahkan memuji perlakuan China terhadap Muslimnya. Kamerun,
penerima manfaat infrastruktur China, mencurahkan pernyataan di dewan pekan
lalu untuk memuji “pencapaian besar” China di Xinjiang.
Dan bulan lalu Vladimir Voronkov,
diplomat Rusia yang mengepalai Kantor Anti-Terorisme PBB, mengunjungi Xinjiang,
dan pada akhir pernyataan misinya tidak merujuk pada masalah hak asasi manusia
di sana, suatu kelalaian yang dianggap kelompok-kelompok hak asasi manusia
sebagai hadiah propaganda kepada pemerintah China.
Amerika Serikat sebelumnya telah memimpin
kritik terhadap perlakuan China terhadap Uighur dan memimpin pernyataan bersama
yang mengecam perlakuan China terhadap pengacara dan aktivis hak asasi manusia
di Dewan Hak Asasi Manusia pada tahun 2016. Namun Amerika Serikat menarik diri
dari dewan itu setahun lalu dan tidak menandatangani surat bersama tersebut.
Para diplomat mengatakan hanya ada
sedikit prospek di mana negara yang lainnya akan memimpin resolusi di dewan dan
merisikokan negara mereka pada ancaman pembalasan politik dan ekonomi yang
sering China layangkan terhadap negara-negara yang mengkritiknya, terutama di
forum-forum terkemuka.
Surat bersama itu, sebaliknya, tidak
memiliki koordinator atau sponsor yang jelas, menyulitkan China untuk memilih
penandatangan tertentu untuk pembalasan. Para diplomat mengatakan surat itu
memberikan cara yang kurang berisiko namun tetap efektif bagi negara-negara
untuk menyatakan kemarahan atas tindakan China di Xinjiang.
Tidak ada komentar langsung dari China
tentang surat itu, tetapi para diplomat mengatakan utusan China di Jenewa
sedang mempersiapkan surat balasan. Aktivis HAM menyambutnya.
“Pernyataan bersama itu menunjukkan bahwa
pemerintah China salah jika berpikir bahwa mereka dapat lolos dari pengawasan
internasional atas pelanggarannya di Xinjiang, dan tekanan hanya akan meningkat
sampai pelanggaran yang mengerikan ini berakhir,” kata John Fisher, direktur
kantor Geneva di Human Rights Watch, dalam sebuah pernyataan.
“Pemerintah semakin menyadari penderitaan
jutaan orang di Xinjiang, dengan keluarga-keluarga tercabik-cabik dan hidup
dalam ketakutan, dan sebuah negara China yang percaya dapat melakukan
pelanggaran massal tanpa perlawanan,” katanya.
Surat itu juga meminta China untuk
mengizinkan “akses yang berarti” ke Xinjiang untuk Bachelet dan pengamat
internasional independen lainnya. Para diplomat China di Jenewa telah
menyatakan keinginannya agar komisioner tinggi mengunjungi Xinjiang, tetapi
dalam diskusi mereka dengan kantor Bachelet belum mencapai kesepakatan.
Keterangan foto utama: Gerbang dari apa
yang secara resmi disebut dengan pusat pendidikan keterampilan kejuruan di
Xinjiang, di China barat. (Foto: Reuters/Thomas Peter)
22 Negara Satu Suara Desak China Stop
Penahan Massal Di Xinjiang
Penahan Massal Di Xinjiang
Lebih dari 20 negara telah meminta China
untuk menghentikan penahanan massal etnis minoritas Uighur di wilayah Xinjiang.
Langkah bersama tersebut merupakan yang pertama dilajukan oleh puluhan negara.
Hal itu dikabarkan Reuters setelah
melihat surat bersama yang diajukan 22 negara dalam Dewan Hak Asasi Manusia PBB
pekan ini.
Surat tertanggal 8 Juli itu
ditandatangani oleh duta besar dari 22 negara. Termasuk di antaranya adalah
Australia, Kanada, dan Jepang, serta sejumlah negara-negara Eropa, termasuk
Inggris, Perancis, Jerman dan Swiss. Namun Amerika Serikat tidak ikut
menandatanganinya.
"Ini adalah tanggapan kolektif
pertama terhadap Xinjiang," kata seorang diplomat Barat kepada Reuters
(10/7).
Surat itu menyuarakan keprihatinan atas
laporan penahanan yang melanggar hukum di tempat penahanan berskala besar serta
pengawasan dan pembatasan yang meluas, khususnya yang menargetkan warga Uighur
dan minoritas lainnya di Xinjiang.
Surat itu juga dengan tajam mengutip
kewajiban China sebagai anggota dari forum negara yang beranggotakan 47 negara
untuk mempertahankan standar tertinggi.
"Kami menyerukan China untuk
menegakkan hukum nasional dan kewajiban internasionalnya dan untuk menghormati
hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, termasuk kebebasan beragama atau
berkeyakinan di Xinjiang dan di seluruh China," kata surat itu.
"Kami juga menyerukan China untuk
menahan diri dari penahanan sewenang-wenang dan pembatasan kebebasan bergerak
warga Uighur, dan komunitas Muslim dan minoritas lainnya di Xinjiang,"
sambung isi surat yang sama.
Bukan hanya itu, surat tersebut juga
mendesak China untuk mengizinkan para pakar independen internasional, termasuk
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet, akses ke
Xinjiang. [rmol]
Genosida Budaya: China Pisahkan Anak Muslim
Uighur untuk ‘Edukasi Pikiran’
Uighur untuk ‘Edukasi Pikiran’
Pemerintah China telah memisahkan
anak-anak dari etnis Muslim Uighur dari orang tua mereka, dalam apa yang
disebut sebagai genosida budaya. Pemerintah negara bagian Xinjiang akan
mengeluarkan perintah yang menyuruh sekolah-sekolah untuk berkonsentrasi pada
“edukasi pikiran” murid-murid Uighur—dengan bahasa yang senada dengan apa yang
digunakan negara untuk membenarkan kamp penahan orang-orang dewasa. Laporan itu
menyimpulkan bahwa “meningkatnya pemisahan antar generasi kemungkinan adalah
strategi yang direncanakan dan merupakan elemen penting dalam kampanye
sistematis genosida budaya dan pengaturan ulang sosial oleh negara di
Xinjiang.”
Oleh: Adam Withnall (Independent)
Baca Juga: Indonesia Ragukan Laporan
Barat tentang Penindasan Muslim Uighur oleh China
Ribuan anak-anak Muslim Uighur di wilayah
Xinjiang dipisahkan dari orang tua mereka. Tindakan ini, menurut studi terbaru
disebut sebagai “kampanye sistematis genosida budaya dan pengaturan sosial
ulang”.
Riset ini membuka tabir tentang apa yang
terjadi terhadap anak-anak yang kedua orangtuanya ditahan—ketika baik ayah
maupun ibu mereka telah diculik oleh negara dalam apa yang disebut laporan itu
sebagai fasilitas “pendidikan ulang” yang diwajibkan.
PBB mengatakan China telah menahan lebih
dari 1 juta minoritas Muslim, kebanyakan berasal dari etnis Muslim Uighur. Hal
ini terjadi semenjak eskalasi drastis dari kebijakan itu pada musim semi
2017. Akses media internasional ke pusat
penahanan itu telah dibatasi, dan hanya diperbolehkan lewat tur resmi yang
sudah sangat diarahkan.
Menulis untuk Journal of Political Risk,
peneliti Jerman Dr. Adrian Zenz menunjukkan bukti yang menunjukkan bahwa, sejak
awal mula kampanye “pendidikan ulang”
Uighur, China telah membuat rencana untuk secara efektif mendaftarkan
anak-anak yang dibuat yatim piatu oleh negara ke sekolah asmara dengan
pengamanan ketat.
Dokumen resmi yang tersedia untuk publik
memiliki informasi yang tidak jelas, dan menunjukkan bahwa pihak berwenang di
Xinjiang telah berusaha memangkas risiko anak-anak yang orang tuanya ditahan
akan melawan pemerintah.
Pemerintah negara bagian Xinjiang akan
mengeluarkan perintah yang menyuruh sekolah-sekolah untuk berkonsentrasi pada
“edukasi pikiran” murid-murid Uighur—dengan bahasa yang senada dengan apa yang
digunakan negara untuk membenarkan kamp penahan orang-orang dewasa.
Sekolah diperintahkan untuk membuat
“rencana respons darurat” yang melibatkan bagaimana cara menghadapi anak-anak
yang dibuat yatim piatu oleh negara, termasuk pengamatan rutin terhadap kondisi
pikiran mereka dan “konseling psikologis” secara pribadi.
Data yang diungkapkan oleh Dr Zenz
menunjukkan pendaftaran di PAUD, untuk anak-anak yang masih belum mencapai usia
sekolah, telah melonjak dari jauh berada di bawah rata-rata nasional menjadi
jumlah tertinggi di negara itu—sejak awal 2017. Sekitar 90 persen murid baru
berasal dari kelompok-kelompok minoritas Muslim.
Dan tampilan-tampilan satelit menunjukkan
bahwa, sekitar waktu yang sama China mulai memperluas fasilitas yang kini kita
ketahui digunakan sebagai kamp penahanan Uighur, sekolah-sekolah asrama juga
mulai menerima peningkatan fasilitas asrama yang meningkat drastis.
Di dalam sekolah-sekolah, menurut dokumen
publik, penggunaan bahasa tradisional Uighur dilarang. Laporan resmi sesumbar
bahwa anak-anak itu menerima “pelatihan bahasa China yang lebih baik” dan juga
perilaku yang lebih baik secara keseluruhan dan kebersihan pribadi yang
meningkat—yang menegaskan stereotipe negatif tentang kelompok-kelompok etnis
Muslim di masyarakat mayoritas Han.
Dr. Zenz berargumen bahwa China telah
menerapkan “penggunaan edukasi dan sistem pemeliharaan sosial sebagai senjata”
sebagai cara untuk mencabut anak-anak minoritas dari akar mereka.
“Sekolah-sekolah berasrama memberikan konteks ideal untuk pengaturan ulang
budaya masyarakat minoritas,” ujarnya.
Laporan itu menyimpulkan bahwa “meningkatnya
pemisahan antar generasi kemungkinan adalah strategi yang direncanakan dan
merupakan elemen penting dalam kampanye sistematis genosida budaya dan
pengaturan ulang sosial oleh negara di Xinjiang.”
Alat-alat propaganda yang diterbitkan
untuk konsumsi internal membualkan manfaat dari pemisahan ini, mengklaim bahwa
anak-anak “yang ditinggalkan” oleh orang tua yang keduanya “perlu belajar
dengan senang tumbuh di bawah pemeliharaan negara dan Partai yang penuh kasih.”
Namun, walaupun setelah semua laporan ini
dan bukti-bukti yang diberikan oleh Dr. Zenz, China telah menyangkal keberadaan
anak-anak yang dibuat yatim piatu oleh negara tersebut.
Xu Guinxian, pejabat senior dari
Departemen Propaganda Xinjiang, mengatakan kepada BBC bahwa sama sekali tidak
benar bahwa negara memiliki sejumlah besar anak yang harus ditinggalkan oleh
orang tua mereka sebagai akibat dari kebijakan negara di provinsi tersebut.
“Jika seluruh anggota keluarga dikirim
dikirim untuk pelatihan kejuruan, maka keluarga itu pasti memiliki masalah
serius,” ujarnya. “Saya tidak pernah melihat kasus seperti itu.”
Satu tajuk rencana yang dirilis oleh
Global Times, surat kabar berbahasa Inggris yang dijalankan oleh Partai
Komunis, menyangkal bahwa ada upaya yang dilakukan untuk menghapus budaya
Uighur, atau bahwa ada sejuta minoritas Muslim yang ditahan, mengatakan
pusat-pusat penahanan di Xinjiang hanya ada “untuk memangkas aktivitas teroris
dari pucuknya”.
“Walapun China telah berupaya untuk
menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi di Xinjiang, beberapa media Barat dan
poltisi bersikukuh untuk membuat dan menyebarkan berita palsu,” tulisnya.
Melakukan wawancara terbuka dengan
anak-anak atau orang tua yang terlibat di China bisa dikatakan mustahil. Satu
tim wartawan dari The Associated Press yang memotret sebuah “Taman Kanak-kanan
Kebaikan” di Hotan City segera dikerubungi polisi bersenjata dan diperintahkan
untuk menghapus bukti visual mereka.
Namun beberapa orangtua menawarkan
testimoni mereka dalam sebuah acara bagi para minoritas Uighur di pengasingan
di Istanbul, Turki, tempat di mana kelompok minoritas itu memiliki ikatan
bersejarah yang sangat dekat. Para ibu dan ayah di sana mengatakan mereka tahu
anak-anak mereka di China “dibawa ke panti asuhan” atau “kamp pendidikan anak”.
Berbicara dengan BBC, seorang ibu yang
memegang foto tiga putri kecilnya mengatakan: “Saya tidak tahu siapa yang
merawat mereka. Sama sekali tidak ada kontak.”
Keterangan foto utama: Seorang bocah
lelaki etnis Uighur yang tinggal di Turki ikut serta dalam protes terhadap
China (Foto: Reuters/Murad Sezer)
Tindas Muslim Uighur di Xinjiang, Beijing Tak Akan Lolos Begitu
Saja (Ben Westcott dan Jo Shelley (CNN))
22 negara mendesak China untuk mengakhiri
“penahanan sewenang-wenang massal dan pelanggaran terkait” dan meminta Beijing
untuk mengizinkan kelompok staf ahli PBB mengakses wilayah tersebut. Etnis
Uighur di Xinjiang disebut sebagai korban penindasan yang dilakukan pemerintah
China, yang dituduh melakukan penyiksaan atau indoktrinasi politik terhadap
warga minoritas Muslimnya.
Oleh: Ben Westcott dan Jo Shelley (CNN)
Lebih dari 20 negara, termasuk Jepang dan
Inggris, telah mengeluarkan pernyataan bersama yang mengutuk penahanan massal
China atas Uyghur dan minoritas lainnya di wilayah Xinjiang.
Dalam sebuah surat kepada Komisaris
Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, kelompok 22 negara
mendesak China untuk mengakhiri “penahanan sewenang-wenang massal dan
pelanggaran terkait” dan meminta Beijing untuk mengizinkan para pakar PBB
mengakses wilayah tersebut.
Surat itu menandai kecaman internasional
kolektif skala besar pertama terhadap kebijakan Tiongkok yang sedang
berlangsung di wilayah perbatasan paling barat, di mana para ahli memperkirakan
hingga dua juta orang telah ditahan di kamp-kamp gaya pendidikan ulang yang
luas.
Tuduhan penyiksaan di dalam kamp
merajalela, termasuk dalam laporan yang diberikan kepada CNN oleh mantan
tahanan yang menggambarkan pendidikan paksa di bawah ancaman kekerasan.
Beijing membantah tuduhan penyiksaan atau
indoktrinasi politik, dan mengatakan kamp adalah “pusat pelatihan kejuruan”
yang dirancang untuk memerangi terorisme dan memerangi ekstremisme Islam.
Inggris, Prancis, dan Jerman termasuk di
antara 18 negara Eropa yang ikut menandatangani surat yang menyatakan
keprihatinan tentang “laporan kredibel tentang penahanan sewenang-wenang… serta
pengawasan yang luas dan pembatasan, khususnya yang menargetkan warga Uighur
dan minoritas lainnya di Xinjiang.”
Negara penandatangan lain termasuk
Australia, Kanada, Jepang dan Selandia Baru.
“Pernyataan bersama itu penting tidak
hanya bagi penduduk Xinjiang, tetapi bagi orang-orang di seluruh dunia yang
bergantung pada badan hak asasi utama PBB untuk meminta pertanggungjawaban
negara-negara yang paling kuat sekalipun,” kata John Fisher, direktur Human
Rights Watch di Jenewa.
“Pemerintah semakin menyadari penderitaan
jutaan orang di Xinjiang, dengan keluarga-keluarga tercabik-cabik dan hidup
dalam ketakutan, dan sebuah negara Tiongkok yang percaya dapat melakukan
pelanggaran massal tanpa perlawanan,” kata Fisher.
“Pernyataan bersama menunjukkan bahwa
Beijing salah berpikir bahwa ia dapat lolos dari pengawasan internasional atas
pelanggarannya di Xinjiang, dan tekanan hanya akan meningkat sampai pelanggaran
yang mengerikan ini berakhir.”
Meskipun sebelumnya mengkritik kamp-kamp
itu, Turki tidak ada di antara para penandatangan. Pada awal Juli, setelah
kunjungan ke Beijing, Presiden Turki Recep Erdogan mengatakan bahwa masalah
kamp Xinjiang tidak boleh dieksploitasi. Tidak ada negara mayoritas Muslim yang
termasuk dalam pernyataan bersama tersebut.
Pemerintah China telah membatasi akses ke
Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir, di tengah meningkatnya pengawasan dan
kehadiran polisi yang menonjol.
Para pejabat tinggi PBB termasuk Michelle
Bachelet telah menyerukan agar badan global diberi akses ke kamp-kamp itu untuk
menyelidiki tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat (AS), hingga dua juta warga Uyghur, Kazakh, Kirgistan dan minoritas
etnis Muslim lainnya ditahan atas kemauan mereka di kamp.
Beijing telah membatasi akses bagi
wartawan dan diplomat asing dalam tur yang dipandu dengan ketat di fasilitas
ini.
Keterangan foto utama: Orang-orang dari
komunitas Uighur yang tinggal di Turki, membawa bendera yang oleh etnis Uighur
sebut “Turkestan Timur,” meneriakkan slogan-slogan selama protes di Istanbul,
pada 6 November 2018. (Foto: AP Photo/Lefteris Pitarakis)
KETAHUI LEBIH JAUH TENTANG REPRESI
MINORITAS MUSLIM DI CHINA
Mereka ditahan dan diindoktrinasi.
Satu-satunya masalah yang diperselisihkan adalah, berapa banyak dari sekitar 10
juta orang Kaum Uighur di Xinjiang, yang secara paksa “dibantu” dengan cara
ini.
Aliansi ekonomi dan infrastruktur
China-Iran memberi potensi menggiurkan berupa dominasi atas Eurasia. Namun
untuk mewujudkannya, populasi Uighur harus tunduk patuh pada pemerintah China,
karena semua jalur perdagangan antara China pesisir dan Timur Tengah harus
melewati Xinjiang.
Urumqi adalah laboratorium polisi
raksasa, di mana minoritas Muslim diperlakukan sebagai subjek uji coba dalam
eksperimen anti-agama. Tembok, pintu gerbang, dan penempatan polisi, adalah
bagian dari upaya untuk menghilangkan bentuk-bentuk praktik Islam yang tidak
diinginkan.
Tidak ada orang Uighur yang tinggal di
Xinjiang yang dapat lolos dari bayang-bayang partai, begitu juga anggota etnis
minoritas lainnya, terutama Kazakh.
Nama-nama Islam, jenggot, cadar, dan rok
panjang dilaporkan dilarang digunakan. Kegiatan apa pun mulai dari membaca
situs web asing hingga berbicara kepada sanak keluarga di luar negeri dapat
membuat penduduk Xinjiang ditahan.
Mereka mengatakan bahwa pihak berwenang
China “memberikan pelatihan kejuruan gratis dengan ijazah setelah ujian” kepada
mereka yang telah “dipaksa atau dipikat” oleh kelompok-kelompok ekstremis.
Beijing mengklaim bahwa terorisme
menyebar dari Afghanistan ke Xinjiang. Namun dalam kenyataannya, penindasan dan
konflik etnis China di Xinjiang membantu untuk semakin mengacaukan Afghanistan.
Sebuah komite hak asasi manusia PBB telah
mendengar laporan bahwa China telah mengurung satu juta kaum Uighur di “pusat
anti-ekstremisme”. Amnesty Internasional melaporkan, kaum yang ditahan di
kamp-kamp politik itu dipaksa bersumpah setia pada Presiden China Xi Jinping.
Para ahli mengatakan bahwa sistem ini
kemungkinan mengisyaratkan bahwa pemerintah ingin memperluas pengawasan
terhadap warganya—khususnya warga minoritas Muslim.
Hanya ada sedikit negara di dunia yang
bersedia menyuarakan protes mengenai kondisi minoritas China Muslim Uighur. Hal
ini tampaknya disebabkan oleh ketergantungan besar negara-negara dunia kepada
China secara ekonomi.
Partai Komunis China: “(Muslim)
terinfeksi oleh ekstremisme agama dan ideologi teroris yang kejam dan tidak
mencari pengobatan, sama seperti terinfeksi oleh penyakit yang tidak diobati
pada waktunya, atau seperti mengonsumsi obat-obatan beracun.”
Pemerintah China mulai menekan pemeluk
Kristen dan Katolik. Mereka menutup gereja, menghancurkan tanda salib, membakar
injil, serta memaksa pemeluk Kristen menyangkal keimanan mereka dengan menandatangani
suatu formulir.
Tak lama setelah rencana Google untuk
beroperasi di China terkuak, 14 organisasi HAM menulis surat terbuka kepada CEO
Google yang mengatakan: “Google berisiko terlibat dalam penindasan pemerintah
China terhadap kebebasan berbicara dan hak asasi manusia lainnya di China.”
Selama berbulan-bulan, Beijing membantah
keberadaan pusat-pusat penahanan itu, yang menurut para pengamat mulai
diberlakukan pada April 2017.
Kecaman global dan tekanan politik
terkesang ompong dan tak berdaya untuk membendung kecepatan dan keganasan
perang China melawan warga Muslimnya dalam membersihkan negara tersebut dari
populasi yang dianggap bertentangan dengan identitas nasionalnya.
Mulai dari bintang film hingga mahasiswa,
tidak ada yang kebal dari ‘penghilangan orang’ oleh pemerintah China. Jumlah
yang terus bertambah dan ruang lingkup yang meluas menunjukkan sejauh mana
pemerintahan Xi bersedia mempertahankan kontrol dan otoritasnya.
China baru saja mensahkan undang-undang
baru yang berusaha untuk “Men-china-kan” Islam dalam lima tahun ke depan. Hal
itu adalah langkah terbaru dari Beijing untuk mengatur ulang bagaimana agama
tersebut dipraktikkan.
Dengan kamp pendidikan ulang untuk sejuta
Muslim Uighur di provinsi Xinjiang, ancaman pembongkaran masjid Muslim Hui di
Ningxia, dan penutupan “gereja rumah” Protestan di Beijing, Chengdu, dan
Guangzhou, PKC membatasi kebebasan beragama di seluruh negeri.
Mempraktikkan agama secara terbuka atau
berafiliasi kepada agama Islam—termasuk menumbuhkan janggut, mengenakan jilbab
atau penutup kepala, salat, puasa, atau menghindari minum alkohol—dikategorikan
sebagai “tanda-tanda ekstremisme” di China.
China mengajukan sejumlah besar klaim
bohong. Mereka berbohong tentang kegagalannya meratifikasi inti dari perjanjian
hak asasi manusia dan banyak pelanggaran dihukum dengan hukuman mati,
penangkapan pembela hak asasi, dan catatan panjangnya menghalau badan-badan hak
asasi internasional.
Penyelidikan yang dilakukan oleh media
Inggris The Guardian dan Bellingcat menemukan upaya penghancuran masjid di China,
tepatnya di provinsi Xinjiang yang mayoritas Muslim. Tak hanya masjid,
pemerintah komunis China juga menghancurkan situs-situs suci Muslim Uighur.
Pihak berwenang di Xinjiang memaksa
restoran untuk tetap buka dan membatasi akses ke masjid selama Ramadan untuk
mencegah ritual tradisional bulan Ramadan, dan dalam beberapa tahun terakhir
telah mencoba untuk melarang Muslim Uighur berpuasa.
China
Secara Paksa Panen Organ Tubuh Para Tahanan Muslim Uighur
Mengapa Negara-Negara Islam Berhenti Bela Muslim Uighur
Negara-negara Islam sebelumnya
menyuarakan dukungan mereka untuk Muslim Uighur dan mengecam China, namun
kemudian mereka berhenti melakukannya. Ini diduga karena ancaman China terhadap
negara-negara Islam jika mereka menyuarakan pertentangan terhadap China.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang sebelumnya mengecam China pun berbalik
memujinya atas perlindungan China terhadap Uighur. Ini mengingat banyak anggota
OKI yang terlibat dalam proyek infrastruktur Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI)
China.
Oleh: Alexandra Ma (Business Insider)
China telah memata-matai dan menahan
setidaknya satu juta etnis minoritas Muslim Uighur. China juga telah berupaya
mencegah negara-negara Muslim dalam membela Uighur, dan strateginya sejauh ini
berhasil. Selama beberapa bulan terakhir, banyak negara di dunia Islam telah
mengkritik China, lalu tiba-tiba menarik komentar mereka. Para pakar mengatakan
bahwa ini merupakan dampak ancaman China terhadap negara-negara tersebut jika
mereka angkat bicara.
China sedang melakukan kampanye global
melawan Uighur—etnis Muslim minoritas yang terkonsentrasi di perbatasan barat
Xinjiang. Dalam dua tahun terakhir, China telah memerintahkan perusahaan
teknologi untuk memata-matai ponsel Uighur, melarang praktik ibadah Muslim
seperti memanjangkan jenggot atau menunaikan salat, dan menahan setidaknya satu
juta Muslim Uighur di pusat-pusat penahanan yang menyerupai penjara.
Para aktivis dan politisi di Amerika
Serikat (AS) dan PBB secara teratur mengecam China atas tindakan keras
tersebut. China terus-menerus mengabaikan para kritikus di Barat, dan mencegah
dukungan dari negara-negara Muslim yang berupaya membela Uighur.
Strategi China tampaknya berhasil.
Beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim tampaknya semakin membisu mengenai
kebijakan China di Xinjiang akibat kekhawatiran akan memicu amarah China.
Warga Uighur di Kashgar, Xinjiang,
membawa bendera Partai Komunis China dan berjalan melewati papan iklan yang
bergambar wajah Presiden China Xi Jinping, bulan Juni 2017. (Foto: Kevin
Frayer/Getty Images)
ANGKAT BICARA MENDUKUNG UIGHUR LALU
MENARIK KEMBALI KECAMAN TERHADAP CHINA
Pada Desember 2018, Organisasi Kerjasama
Islam (OKI)—konsorsium 57 negara yang menyebut diri mereka sebagai “suara
kolektif dunia Muslim”—mengakui adanya berbagai “laporan yang mengganggu”
tentang tindakan keras pemerintah China terhadap Muslim Uighur dalam
serangkaian tweet.
Meskipun frase tersebut diciptakan oleh
komisi hak asasi manusia independen OKI—bukan OKI sendiri—namun para aktivis
menyambut deklarasi tersebut sebagai suara Muslim yang dapat berperan penting
dalam menentang kebijakan China di Xinjiang.
Banyak negara berpenduduk mayoritas
Muslim yang menjadi anggota OKI terlibat dalam proyek infrastruktur Inisiatif
Sabuk dan Jalan (BRI) China—proyek perdagangan besar-besaran yang bertujuan
untuk menghubungkan China dengan puluhan negara di dunia.
Fakta bahwa OKI mengakui penderitaan
orang-orang Uighur “tentu saja menunjukkan tingkat kepedulian bersama,” tutur
Sophie Richardson, Direktur Human Rights Watch China, dilansir dari Business
Insider, pada Senin (8/4).
Semua dukungan itu tampaknya berubah pada
Maret 2019, ketika OKI mengeluarkan laporan yang mengatakan bahwa mereka
“memuji upaya Republik Rakyat China dalam memberikan pelayanan kepada warga
Muslimnya, dan berharap untuk kerja sama lebih lanjut antara OKI dan Republik
Rakyat China.”
Pihak-pihak yang awalnya merayakan
komentar komisi independen OKI tentang Xinjiang terkejut dengan pernyataan baru
itu. Mereka mempertanyakan apakah OKI memberikan kesetiannya pada Muslim di
seluruh dunia atau pada pemerintah China.
“Ini adalah pengkhianatan mengejutkan
dari nilai-nilai yang diklaim dijunjung tinggi oleh OKI,” ujar Richardson.
Mengingat bahwa OKI secara teratur
mengecam Myanmar karena persekusi terhadap etnis minoritas Rohingya, Richardson
menambahkan, “Fakta bahwa OKI tampaknya bukan hanya tidak peduli, tetapi juga
antusias tentang penahanan sewenang-wenang terhadap jutaan Muslim Uighur oleh
rezim China yang sangat kejam, benar-benar memicu pertanyaan tentang standar
mereka.”
Pakistan adalah contoh lain dari sekutu
China yang menarik kembali kritiknya terhadap kebijakan pemerintah China di
Xinjiang. Setelah Menteri Urusan Agama Pakistan mengecam China atas apa yang
disebut China sebagai tindakan kontra-ekstremisme terhadap Uighur pada September
2018, Menteri Luar Negeri Pakistan membantah komentar itu dengan menuduh media
telah “berusaha menimbulkan sensasi” atas masalah Xinjiang.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan
bahkan mengaku tidak tahu apa pun tentang Muslim China dalam setidaknya dua
wawancara.
Adrian Zenz, peneliti kebijakan etnis di
China, mengatakan kepada Business Insider, “Sangat mungkin bahwa OKI dan
Pakistan berada di bawah tekanan yang signifikan dari China. Tidak mungkin
mereka berubah pikiran atas situasi yang memburuk dan di mana semakin banyak
informasi telah tersedia.”
“Kami tidak yakin apa yang dijanjikan
maupun dijadikan ancaman oleh China, tetapi tampaknya itu cukup signifikan
untuk membuat OKI mengeluarkan pernyataan yang menguntungkan bagi perspektif
China,” katanya. “Fakta bahwa mereka bahkan memberi selamat kepada China karena
telah memelihara warga Muslimnya, menunjukkan bahwa mereka telah berusaha keras
untuk memuji China, terlepas dari situasi di Xinjiang, yang benar-benar
tindakan luar biasa.”
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan,
tengah, diapit oleh Raja Yordania Abdullah II, kiri dan Presiden Palestina
Mahmoud Abbas
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
(tengah) diapit oleh Raja Yordania Abdullah II (kiri), dan Presiden Palestina
Mahmoud Abbas (kanan), memberi isyarat saat berfoto sebelum sesi pembukaan
pertemuan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Luar Biasa. (Foto: AP Photo/Lefteris
Pitarakis)
UPAYA CHINA MENANAMKAN KETAKUTAN DAN
MENDAPAT DUKUNGAN DARI ARAB SAUDI
Para ahli percaya bahwa perubahan arah OKI
dan Pakistan yang tiba-tiba adalah akibat dari tekanan keuangan dan diplomatik
China. Banyak negara anggota OKI memiliki hubungan dagang yang kuat dengan
China, yang tampaknya tidak keberatan menunda investasi karena
komentar-komentar buruk mereka.
Para pakar sebelumnya menyatakan bahwa
China telah membungkam Pakistan—salah satu penerima terbesar pinjaman dan
proyek infrastruktur China. Ketika Khan menolak mengakui penderitaan umat Islam
di China bulan Januari 2019, dia berkata: “China telah menyuntikkan perubahan
baru bagi kami.”
Peter Irwin, manajer program di Kongres
Uighur Dunia (WUC), mengatakan kepada Business Insider, “Sangat mungkin bahwa
China mengetahui beberapa pernyataan kecaman yang keluar dari pertemuan badan
hak asasi manusia OKI bulan Desember 2018, dan memahami bahwa mereka harus
mencoba menghentikan diskusi ini sebelum menarik terlalu banyak perhatian.”
“China tidak hanya membuat sejumlah
anggota utama OKI tutup mulut, namun beberapa anggotanya sekarang bahkan secara
aktif memuji perlakuan China terhadap Muslim, yang merupakan langkah tidak
bertanggung jawab menuju arah yang salah,” tambahnya.
Richardson juga mengatakan bahwa
persetujuan tersirat dari OKI atas kamp-kamp penahanan di Xinjiang, “telah
menunjukkan berapa banyak energi dan sumber daya yang bersedia diberikan oleh
China untuk meminimalisasi kritik dan memobilisasi dukungan.”
Baca juga: Jelang Pilpres 2019, Dilema
Jokowi atas Penindasan Muslim Uighur China
Berbagai laporan di mana China menekan
para diplomat untuk tidak berbicara tentang Xinjiang, bukanlah hal baru. Dalam
sepucuk surat yang dikirim awal bulan Maret 2019 dan diterbitkan oleh Human
Rights Watch pada Senin (1/4), para pejabat China memperingatkan beberapa
delegasi PBB agar “tidak turut mensponsori, ikut serta, atau menghadiri”
pertemuan sampingan mengenai krisis Uighur di Jenewa, dengan mengutip ancaman
terhadap “hubungan bilateral dan keberlanjutan kerja sama multilateral kita.”
Seorang diplomat yang mengidentifikasi
dirinya sebagai orang China di pertemuan itu, juga menyebut kesaksian Omer
Bekali—mantan tahanan di kamp China—di panel tersebut sebagai “sepenuhnya
bohong,” menurut laporan The New York Times.
Alasan lain bagi sikap menyerah dunia
Muslim mungkin adalah dukungan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman
terhadap persekusi Muslim Uighur oleh pemerintah China di Xinjiang, selama
perjalanan perdagangan bulan Februari 2019.
“Kami menghormati dan mendukung hak-hak
China untuk mengambil tindakan kontra-terorisme dan de-ekstremisme untuk
menjaga keamanan nasional,” tutur Mohammed bin Salman, tanpa menyebutkan
Xinjiang atau Uighur, menurut media pemerintah China.
Dukungan Mohammed bin Salman sangatlah
penting, mengingat peran keluarga kerajaan Arab Saudi di dunia Islam sebagai
Penjaga Dua Masjid Suci—gelar terhormat yang digunakan untuk mengakui tanggung
jawab Saudi atas dua kota suci bagi agama Islam, Mekkah dan Madinah.
Irwin mengatakan bahwa, “Ini seakan
memberi lampu hijau bagi seluruh anggota OKI untuk tidak memperhatikan masalah
ini dan meningkatkan dukungan mereka kepada China.”
Penindasan Uighur
Putra mahkota Arab Saudi Mohammed bin
Salmandan Presiden China Xi Jinping dalam pertemuan di Aula Besar Rakyat,
China, 22 Februari 2019. (Foto: AP/How Hwee Young).
TINDAKAN PENYIMPANGAN TURKI
Turki merupakan negara Islam terbesar
yang berbicara membela Uighur dan jelas telah memicu amarah China. Tahun 2009,
Recep Tayyip Erdogan—yang saat itu masih menjabat sebagai perdana
menteri—menggambarkan kekerasan etnis di Xinjiang sebagai “sejenis genosida.” Tahun
2015, setelah Erdogan menjadi presiden, pemerintahnya menawarkan perlindungan
bagi para pengungsi Uighur. China merespons dengan berulang kali mengancam akan
memperburuk hubungan ekonomi kedua negara.
Turki kemudian memecah keheningan selama
empat tahun pada Februari 2019, dengan menyebut penindasan Xinjiang sebagai
“penghinaan besar bagi kemanusiaan”—menandakan perubahan signifikan dalam
keheningan menyesakkan dari negara-negara Islam lainnya atas masalah ini. Irwin
mengatakan bahwa Kongres Uighur Dunia (WUC) telah “digerakkan” oleh
komentar-komentar itu.
Turki telah berusaha untuk berintegrasi
ke dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Mimpi itu kini tampaknya terancam
hancur.
Tak lama setelah komentar Kementerian
Luar Negeri Turki, China menutup sementara konsulatnya di Izmir, Turki, yang
menunjukkan hubungan yang tegang antara kedua negara. Duta Besar China untuk
Turki Deng Li, mengatakan kepada Reuters bahwa “mengkritik teman Anda di depan
umum akan tercermin dalam hubungan perdagangan dan ekonomi.”
Beberapa warga negara Turki juga telah
secara misterius ditahan di China, menurut Nikkei Asian Review. Setidaknya enam
warga Turki di Uighur telah hilang di Xinjiang sejak tahun 2017, menurut
laporan BuzzFeed News.
Business Insider telah menghubungi Kementerian
Luar Negeri Turki di Ankara dan Kedutaan Besar Turki di London untuk
mengomentari pernyataan OKI dan menghilangnya warga negara Turki di Uighur.
Uighur
Orang-orang dari komunitas Uighur yang
tinggal di Turki, membawa bendera Uighur dan meneriakkan slogan-slogan selama
protes di Istanbul, pada 6 November 2018. (Foto: AP Photo/Lefteris Pitarakis)
PERANG NARASI MASIH TERUS BERLANJUT
Persetujuan tersirat OKI terhadap
kamp-kamp penahanan Muslim Uighur di Xinjiang bukan berarti bahwa dunia Muslim
telah sepenuhnya menyerah pada China, kata Richardson. Tidak semua negara
anggota OKI menyetujui atau mengetahui persetujuan implisit OKI terhadap
kamp-kamp di Xinjiang.
Richardson menambahkan bahwa, “Kita tentu
memiliki informasi untuk menunjukkan bahwa setidaknya dua anggota OKI sedikit
terkejut dengan istilah dalam dokumen OKI.” Dia menolak menyebutkan kedua nama
negara tersebut.
Ketika ditanya apakah pernyataan itu
dapat dianggap sebagai kemenangan bagi narasi China tentang Uighur, dia
mengatakan: “Dalam waktu dekat, ya. Tetapi jika pernyataan kontroversial OKI
memiliki efek yang benar-benar mengejutkan bagi beberapa negara anggota OKI
yang benar-benar prihatin tentang masalah di Xinjiang, itu hanyalah kemenangan
yang menuntut banyak korban,” tambahnya. “Kita hanya bisa menunggu bagaimana
pemerintah-pemerintah tersebut akan merespons.”
Keterangan foto utama: Seorang bocah
laki-laki mengenakan topeng yang menggambarkan bendera Turkistan Timur—nama
lain Xinjiang—dengan motif bendera China menutupi mulutnya, dalam aksi di
Istanbul, Turki, pada November 2018. (Foto: Reuters/Murad Sezer)
Standar Ganda Negara-Negara Islam terhadap
Rohingya dan Uighur