Mengaku bertemu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan sadar bukan merupakan kemusyrikan. Tetapi itu merupakan keyakinan yang tidak benar, dan bisa menyebabkan kesesatan dan kemusyrikan. Yaitu jika seseorang mengaku bertemu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian, dia mendapatkan amalan-amalan ibadah yang tidak ada tuntunannya di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, lalu dia meyakini kebenarannya dan mengamalkannya, maka itu merupakan kesesatan.
Tahayul Dan Kurafat, Kedustaan Atas Nama Syariat. Kejahilan Yang Tidak Dilakukan Oleh Tiga Generasi Terbaik Setelah Nabi.
1.Bertemu
Rasulullah dalam keadaan sadar setelah beliau wafat (Ustadz
Muslim Al-Atsari) 2.Bertemu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Kondisi Sadar? (Fatawa Lajnah Daimah)3.Pengakuan
Bertemu Nabi Dalam Keadaan Terjaga (Ustadz DR Ali
Musri Semjan Putra)4.Ustadz Dr. Firanda Andirja
Abidin, Lc.5.Bertemu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Kondisi Sadar? (Ustadz Ammi Nur Baits)
1.Bertemu
Rasulullah dalam keadaan sadar setelah beliau wafat Di
dalam masalah ini terjadi perselisihan di antara Ulama. Sebagian
mengatakan hal itu mungkin terjadi dan
telah terjadi. Sebagian Ulama yang lain berpendapat hal itu tidak mungkin terjadi.Oleh
karena telah terjadi perselisihan, maka orang-orang yang beriman yang ingin
mengetahui kebenaran harus mengembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
sebagaimana perintah Allah. Allah Ta’ala berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً “Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Alloh dan ta’atilah Rosul (Nya), dan ulil
amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’/4: 59) Demikian
juga berusaha mengikuti jalan dan pemahaman para sahabat Nabi yang dipimpin
oleh Khulafaur Rosyidin. Sebagaimana wasiat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika terjadi perselisihan umat: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “Aku
wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada
penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya
barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka
wajib kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan
petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua
perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah
bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.”(HR.
Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari
Al-‘Irbadh bin Sariyah. Dishohihkan Syaikh Al-Albani) Pemahaman
sahabat lebih benar daripada pemahaman generasi sesudahnya, karena generasi
sahabat adalah generasi manusia terbaik. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ “Sebaik-baik
manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya
(yaitu generasi tabi’ut tabi’in).”(Hadits
Mutawatir, riwayat Bukhari, no. 2652; Muslim, no. 2533; dll) Dalil Pendapat “Tidak Mungkin Bertemu Nabi Setelah Wafat dalam
Keadaan Sadar” Ada
beberapa alasan yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa
tidak mungkin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah wafatnya,
sehingga hal itu tidak terjadi. Di antara dalil mereka adalah: 1.Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam telah wafat, tidak kembali ke dunia. Seluruh
umat Islam sepakat bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat
dan telah dikuburkan. Pada hari beliau wafat dan sebagian sahabat tidak
percaya, Abu Bakar ash-Shiddîq radhiyallahu ‘anhu berkhutbah: أَلا
مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ
مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لاَ
يَمُوتُ، وَقَالَ: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ}، وَقَالَ: {وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ
أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى
عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ “Ketahuilah,
barangsiapa menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya
Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah
Maha Hidup, tidak akan mati. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya kamu akan
mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS. Az-Zumar/39: 30)Allah
Ta’ala juga berfirman: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan
Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS.
Ali Imron/3: 144) (HR Bukhâri, no. 3667, 3668) Baca: Sengaja Menyimpan Emas Untuk Di Jual di
Tahun-Tahun SelanjutnyaDan
orang yang telah meninggal dunia tidak akan kembali ke dunia. Ini merupakan
ketetapan Alloh Ta’ala. Jabir bin Abdulloh bercerita: لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي: “يَا جَابِرُ مَا لِي أَرَاكَ مُنْكَسِرًا”؟
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتُشْهِدَ أَبِي، وَتَرَكَ عِيَالًا وَدَيْنًا،
قَالَ: “أَفَلَا أُبَشِّرُكَ بِمَا لَقِيَ اللَّهُ بِهِ أَبَاكَ”؟ قَالَ: بَلَى
يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: ” مَا كَلَّمَ اللَّهُ أَحَدًا قَطُّ إِلَّا مِنْ
وَرَاءِ حِجَابٍ، وَأَحْيَا أَبَاكَ فَكَلَّمَهُ كِفَاحًا. فَقَالَ: يَا عَبْدِي
تَمَنَّ عَلَيَّ أُعْطِكَ. قَالَ: يَا رَبِّ تُحْيِينِي فَأُقْتَلَ فِيكَ
ثَانِيَةً. قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّهُ قَدْ سَبَقَ مِنِّي أَنَّهُمْ
إِلَيْهَا لَا يُرْجَعُونَ “ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui aku lalu bersabda kepadaku, “Wahai Jabir,
kenapa aku melihatmu bersedih?”Aku
menjawab, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ayahku mati syahid,
sedangkan beliau meninggalkan anak-anak dan hutang”.Beliau
bersabda, “Tidakkah kuberikan kabar gembira kepadamu tentang Alloh yang menemui
ayahmu?”Jabir
menjawab, “Ya, wahai Rasulullah”.Beliau
bersabda, “Allah tidak berbicara kepada seorangpun kecuali dari balik tirai.
Namun Alloh menghidupkan ayahmu (di alam barzakh), lalu berbicara kepadanya
berhadap-hadapan. Alloh berkata, “Wahai hambaKu, berangan-anganlah kepadaKu
niscaya Aku akan memberimu”.Ayahmu
berkata, “Wahai Rabbku, Engkau hidupkan aku (di dunia), lalu aku terbunuh lagi
kedua kali karenaMu!”.Ar-Rabb
‘Azza wa Jalla berkata, “Sesungguhnya telah berlalu dariKu, bahwa mereka
(orang-orang yang telah mati) tidak akan dikembalikan ke dunia”.(HR.
Tirmidzi, no. 3010. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani) Maka
anggapan bisa bertemu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di dunia sesudah
wafatnya dalam keadaan sadar, bertentangan dengan ketetapan Alloh bahwa orang
yang sudah mati tidak akan dikembalikan ke dunia. Sehingga orang yang sudah
mati tidak akan dapat dilihat di dunia ini dalam keadaan terjaga. 2-
Setelah wafat, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam hidup di alam barzakh,
sampai dibangkitkan dari kuburnya pada Hari Kiamat. Terdapat
sebuah hadits : عن أبي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ، وَأَوَّلُ شَافِعٍ
وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:“Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam telah bersabda: “Saya adalah penghulu anak Adam
pada hari kiamat, orang yang pertama bangkit dari kubur, orang yang pertama
memohon syafaat, dan orang yang pertama diterima syafaatnya.”(HR.
Muslim, no. 2278; Abu Dawud, no. 4673; Ahmad, no. 10972) Maka
anggapan bisa bertemu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di dunia sesudah
wafatnya dalam keadaan sadar, bertentangan dengan berita Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam, bahwa beliau adalah orang yang pertama bangkit dari kubur
pada Hari Kiamat. Sehingga sebelum terjadi Hari Kiamat, jasad beliau tetap berada di dalam kuburnya. 3- Tidak ada riwayat shohih dan shorih (benar dan jelas) tentang
keluarga Nabi atau sahabatnya yang bertemu beliau setelah wafatnya. Seandainya bertemu Nabi di dalam keadaan sadar itu mungkin
terjadi, maka tentu ada riwayat shohih (benar) dan (shorih) tentang keluarga
beliau atau sahabat beliau yang pernah bertemu. Karena mereka adalah
orang-orang yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dan
mereka telah mengalamai kejadian-kejadinaan besar yang membutuhkan solusi. Fatimah rodhiyallohu ‘anha telah berselisih masalah warisan
dengan Abu Bakar Ash-Shidiq rodhiyallohu ‘anhu. Kenapa Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam tidak menemuinya? Telah terjadi perselisihan dan peperangan antar sahabat di dalam
perang jamal dan Shiffin. Kenapa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak
menemui mereka? 4-
Banyak orang mengaku bertemu beliau setelah wafatnya. Banyak
orang mengaku bertemu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah wafatnya dalam
keadaan sadar, di tempat yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin satu orang bisa
dilihat dibanyak tempat dan itu adalah hakekat kebenaran?Sebagian
mereka menyamakan dengan matahari yang bisa dilihat di banyak tempat oleh
banyak orang di dalam waktu bersamaan. Bagaimana bisa diterima, manusia yang
sangat kecil bentuknya disamakan dengan matahari yang sangat besar bentuknya? Sebagian
mereka mengatakan Alloh Maha Kuasa melakukannya sebagai bentuk karomah. Benar,
Alloh Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tetapi aqidah membutuhkan dalil dari
Al-Qur’an atau hadits yang shohih atau ijma’ ulama. Dan semua ini tidak ada. 5- Konsekwensi anggapan bertemu beliau setelah wafatnya. Anggapan
bertemu Nabi setelah wafatnya akan membawa konsekwensi tetap adanya para
sahabat Nabi sampai Hari Kiamat, dan ini tidak benar. Demikian pula
berkonsekwensi adanya tambahan, pengurangan, atau perubahan, di dalam agama
Islam, dan ini tidak benar. Wallohu a’lam. Dalil Pendapat “Bertemu Nabi Setelah Wafat, Dalam Keadaan Sadar” Ada
beberapa alasan yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa
bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang tidak
bertentangan dengan akal, dan hal itu telah terjadi. Di antara dalil mereka
adalah: 1.Hadits Abu Hurairah عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : «مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ
فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ، وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي» قَالَ أَبُو
عَبْدِ اللَّهِ: قَالَ ابْنُ سِيرِينَ: «إِذَا رَآهُ فِي صُورَتِهِ» Dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku telah mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang melihatku dalam
mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga (sadar). Dan syaithan tidak
mampu menyerupai aku”.Imam
Bukhâri setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Ibnu Sîrîn berkata: “Apabila
dia melihat beliau dalam bentuk beliau (yang sebenarnya)”.(HR Bukhâri, no. 6993) Kalimat
“maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga (sadar)” menunjukkan kemungkinan
melihat Nabi di dalam kehidupan orang yang bermimpi. Komentar: Hadits
tentang kemungkinan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam mimpi
merupakan hadits mutawatir, dan tidak ada perbedaan pendapat sebagaimana telah
kami sebutkan. Namun kalimat “maka ia akan
melihatku dalam keadaan terjaga (sadar)” diragukan keshohihannya oleh sebagian
ulama, walaupun diriwayatkan oleh Imam Bukhori. Karena kalimat tersebut
diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda: (1) Hadits Abu Qotadah dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فَقَدْ رَأَى الحَقَّ» “Barangsiapa
melihatku (dalam mimpi), maka dia telah kebenaran”(HR. Bukhori, no. 6996; Muslim, no. 2267-11; Ahmad,
no. 22606) (2)
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فَقَدْ رَأَى الحَقَّ» “Barangsiapa
melihatku (dalam mimpi), maka dia telah kebenaran”(HR. Bukhori, no. 6997; Ahmad, no. 11522) (3)
Hadits Anas dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي المَنَامِ فَقَدْ رَآنِي » “Barangsiapa
melihatku (dalam mimpi), maka dia telah melihatku”(HR. Bukhori, no. 6994; Ahmad, no. 13849) (4)
Hadits Abdulloh bin Mas’ud dengan empat lafazh: «
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي » “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku”(HR.
Ahmad, no. 3559; Tirmidzi, no. 2276) «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku dalam keadaan terjaga (sadar).
” (HR. Ahmad, no. 3799; Ibnu Majah, no. 3900) «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَأَنَا الَّذِي رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka aku, dia telah melihatku”(HR.
Ahmad, no. 4304) «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku”(HR.
Ibnu Majah, no. 3903) (5)
Hadits Jabir dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي النَّوْمِ فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku”(HR.
Muslim, no. 2268; Ibnu Majah, no. 3902; Ahmad, no. 14779) (6)
Hadits Ibnu Abbas dengan dua lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku”(HR.
Ibnu Majah, no. 3905; Ahmad, no. 3410) «
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَإِيَّايَ رَأَى » “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia benar-benar telah melihatku” (HR. Ahmad, no. 2525) (7)
Hadits Abu Malik Al-Asyja’iy dari ayahnya dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku”(HR.
Ahmad, no. 15880; 27208; Ath-Thobroni di dalam Al-Kabir, no. 8180) (8)
Hadits Abu Juhaifah dengan lafazh: «
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَكَأَنَّمَا رَآنِي
فِي الْيَقَظَةِ » “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka seolah-olah dia telah melihatku dalam keadaan
terjaga (sadar).” (HR.
Ibnu Majah, no. 3904; Ibnu Hibban, 6053) (9)
Hadits Abdullah bin ‘Amr dengan lafazh: «
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَكَأَنَّمَا رَآنِي
فِي الْيَقَظَةِ » “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka seolah-olah dia telah melihatku dalam keadaan
terjaga (sadar).” (HR. Thobroniy dlm
Ash-Shoghir, no. 608) (10) Hadits Abu Huroiroh. Ada empat muridnya yang
meriwayatkannya: 1.
Muhammad bin Sirin dengan dua lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku.”(HR.
Muslim, no. 2266; Ahmad, no. 9324, 10109; Thobroniy dlm Al-Ausath, no. 954,
8005) «مَنْ
رَآنِي فَإِنِّي أَنَا هُوَ» “Barangsiapa
melihatku (dalam mimpi), maka sesungguhnya (yang dia lihat) adalah aku.” (HR. Tirmidzi, no. 2280) 2.
Abdurrohman bin Ya’qub Al-Huroqiy dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku.”(HR.
Ibnu Majah, 3901) 3.
Abu Sholih dengan dua lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku.”(HR. Bukhori, no.110, 6197; Ahmad, no. 9966, 10055) «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku.”(HR.
Ahmad, no. 3798) 4.
Kulaib dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku.”(HR.
Ahmad, no. 7168, 8508) 5.
Abu Salamah. Ada dua jalur: 1)
Muhammad bin ‘Amr dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ» “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka dia
telah melihat kebenaran.”(HR.
Ahmad, no. 7553, 9488 dan Ibnu Hibban, no. 6052) 2)
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri. Ada dua jalur: 1-
Keponakan Az-Zuhri dengan lafazh: «مِنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ، أَوْ فَكَأَنَّمَا رَآنِي
فِي الْيَقَظَةِ» “Barangsiapa
yang melihatku dalam mimpi, maka dia akan melihatku dalam keadaan terjaga
(sadar) atau seolah-olah dia telah melihatku dalam keadaan terjaga (sadar)” (HR. Ahmad, no. 22606) 2-
Yunus bin Yazid. Ada dua jalur darinya: 1)
Abdullah bin Wahb. Ada empat jalur darinya: 1.
Abdan dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي المَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia akan melihatku dalam keadaan terjaga (sadar)”. (HR.
Bukhori, no. 6993) 2.
Abu Thohir dan Harmalah dengan lafazh: «مِنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ، أَوْ فَكَأَنَّمَا رَآنِي
فِي الْيَقَظَةِ» “Barangsiapa
yang melihatku dalam mimpi, maka dia akan melihatku dalam keadaan terjaga
(sadar) atau seolah-olah dia telah melihatku dalam keadaan terjaga (sadar)” (HR. Muslim, no. 2266) 3.
Ahmad bin Sholih dengan lafazh: «مِنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ، أَوْ فَكَأَنَّمَا رَآنِي
فِي الْيَقَظَةِ» “Barangsiapa
yang melihatku dalam mimpi, maka dia akan melihatku dalam keadaan terjaga
(sadar) atau seolah-olah dia telah melihatku dalam keadaan terjaga
(sadar)” (HR. Abu Dawud, no. 5023) 2)
Anas bin Iyadh dari Yunus bin Yazid, dengan lafazh: «مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ، فَقَدْ رَآنِي» “Barangsiapa
melihatku dalam mimpi, maka dia telah melihatku.”(HR.
Ibnu Hibban, 6052) Dari keterangan riwayat-rawayat di atas, maka sesungguhnya semua
riwayat itu tidak ada perbedaan makna. Kecuali satu kalimat “maka dia akan
melihatku dalam keadaan terjaga (sadar)”. Kalimat ini menyelisihi mayoritas
riwayat yang ada. Karena itu Syaikh Al-Albani menyatakan keraguan terhadap
kalimat tersebut. Seandainya kalimat itu shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tetapi maknanya tidak tegas menunjukkan bahwa orang yang bermimpi
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melihat beliau di dalam keadaan
sadar. Syaikh Al-Albani rohimahulloh
berkata: فقد ذكر العيني في ” شرح البخاري ” (24 / 140) أن
المراد أهل عصره صلى الله عليه وسلم، أي من رآه في المنام وفقه الله للهجرة إليه
والتشرف بلقائه صلى الله عليه وسلم.. “. ولكنني في شك من ثبوت قوله: ” فسيراني في
اليقظةوذلك أن الرواة اختلفوا في ضبط هذه الجملة: ”
فسيراني في اليقظة Imam
Al-‘Ainiy telah menyebutkan di dalam Syarah Al-Bukhoriy, 24/140, bahwa yang
dimaksudkan adalah orang-orang di zaman beliau shallallahu’alaihi wa sallam.
Yaitu barangsiapa melihat beliau di dalam mimpi, Alloh akan memberikan
kemudahan untuk hijrah kepada beliau dan mendapatkan kemuliaan dengan bertemu
beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Tetapi sesungguhnya aku meragukan
keshohihan (riwayat) sabda beliau “maka dia akan melihatku dalam keadaan
terjaga (sadar)”.(Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shohihah, 6/519, keterangan hadits no. 2729) Setelah
kita mengetahui hal ini, maka dalil tersebut tidak dapat menjadi dalil keyakinan
kemungkinan melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan sadar.Wallohu
a’lam. 2- Alasan kedua, ada berita orang-orang sholih bertemu Nabi
dalam keadaan sadar. Dan itu merupakan karomah wali. Komentar: Berita
tersebut belum tentu benar, sebab: 1)
Harus diketahui tentang kejujuran orang-orang yang memberitakan dan kejujuran
sumber beritanya. 2)
Benarkah bentuk orang yang dia lihat di dalam mimpinya adalah benar-benar
bentuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. 3)
Benarkah bentuk orang yang dia lihat di saat sadar adalah benar-benar bentuk
Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. 4)
Ada kemungkinan syaithan mendatanginya dan mengaku sebagai Nabi Muhammad
shallallahu’alaihi wa sallam. 5)
Tidak semua perkara luar biasa yang terjadi pada seseorang merupakan karomah
wali. Bisa jadi merupakan perkara-perkara yang terjadi dari perbuatan syaithan
untuk menyesatkan manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (wafat tahun 728 H)
berkata: فَرُؤْيَتُهُ فِي الْمَنَامِ حَقٌّ، وَأَمَّا فِي
الْيَقَظَةِ فَلَا يُرَى بِالْعَيْنِ هُوَ، وَلَا أَحَدٌ مِنَ الْمَوْتَى، مَعَ
أَنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ قَدْ يَرَى فِي الْيَقَظَةِ مَنْ يَظُنُّهُ نَبِيًّا
مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، إِمَّا عِنْدَ قَبْرِهِ وَإِمَّا عِنْدَ غَيْرِ قَبْرِهِ “Melihat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar adanya. Tetapi melihatnya dalam
keadaan terjaga, maka beliau tidak mungkin bisa dilihat dengan mata, demikian
juga orang-orang lain yang sudah mati. Walapun banyak orang kadangkala melihat
seseorang yang menurut prasangkanya adalah Nabi di antara para nabi. Kadangkala
di dekat kuburannya atau dijauh dari kuburannya”. (Al-Jawâbus Shahîh 3/348). Beliau
juga berkata: فَرُؤْيَا الْأَنْبِيَاءِ فِي الْمَنَامِ حَقٌّ
وَأَمَّا رُؤْيَةُ الْمَيِّتِ فِي الْيَقَظَةِ فَهَذَا جِنِّيٌّ تَمَثَّلَ فِي
صُورَتِهِ “Melihat
para Nabi di dalam mimpi adalah haq (benar). Adapun melihat orang yang sudah
mati dalam keadaan terjaga, maka ini adalah jin yang menjelma dalam bentuknya.” (Al-Jawâbus Shahîh 2/326). Beliau
juga berkata: ثُمَّ الرُّؤْيَا قَدْ تَكُونُ مِنَ اللَّهِ،
فَتَكُونُ حَقًّا، وَقَدْ تَكُونُ مِنَ الشَّيْطَانِ، كَمَا ثَبَتَ تَقْسِيمُهَا
إِلَى هَذَيْنِ فِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ، وَالشَّيْطَانُ كَمَا قَدْ
يَتَمَثَّلُ فِي الْمَنَامِ بِصُورَةِ شَخْصٍ فَقَدْ يَتَمَثَّلُ أَيْضًا فِي
الْيَقَظَةِ بِصُورَةِ شَخْصٍ يَرَاهُ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، يُضِلُّ بِذَلِكَ
مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْإِيمَانِ، كَمَا يَجْرِي لِكَثِيرٍ
مِنْ مُشْرِكِي الْهِنْدِ وَغَيْرِهِمْ إِذَا مَاتَ مَيِّتُهُمْ يَرَوْنَهُ قَدْ
جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ وَقَضَى دُيُونًا، وَرَدَّ وَدَائِعَ وَأَخْبَرَهُمْ
بِأُمُورٍ عَنْ مَوْتَاهُم، وَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ تَصَوَّرَ فِي صُورَتِهِ،
وَقَدْ يَأْتِيهِمْ فِي صُورَةِ مَنْ يُعَظِّمُونَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ،
وَيَقُولُ: أَنَا فُلَانٌ، وَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ “Kemudian
mimpi itu kadangkala benar datang dari Alloh, sehingga merupakan mimpi yang
benar. Namun kadangkala datang dari syaithan. Sebagaimana pembagian dua ini
telah disebutkan di dalam hadits-hadits yang shohih. Dan syaithan kadangkala
menjelma dalam mimpi dalam bentuk seseorang. Bahkan, kadangkala menjelma dalam
keadaan terjaga dengan bentuk seseorang yang dapat dilihat orang banyak. Dengan
itu dia menyesatkan orang yang tidak mempunyai ilmu dan iman.Seperti
terjadi di kalangan kaum musyrik India dan lainnya. Apabila ada seseorang
meninggal, maka setelah itu mereka melihatnya datang membayar hutang,
mengembalikan barang titipan dan menceritakan tentang orang-orang mati di
antara mereka. Sesungguhnya itu adalah syaithan yang menjelma dalam bentuknya.
Kadangkala syaithan datang dalam bentuk orang shaleh yang mereka agungkan. Dan
dia berkata: “Saya adalah si Fulan”, padahal sebenarnya dia adalah syaithan.”(Al-Jawâbus
Shahîh 3/347). Kesimpulan : Pendapat yang Kuat Dari
penjelasan di atas maka pendapat yang kuat, bahwa orang yang sudah mati,
termasuk Nabi, tidak bisa dilihat di dunia dalam keadaan terjaga atau sadar
apalagi bertemu dengannya. Apakah Hal Ini Adalah Kemusyrikan? Kemudian
terakhir, bahwa mengaku bertemu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan
sadar bukan merupakan kemusyrikan. Tetapi itu merupakan keyakinan yang tidak
benar, dan bisa menyebabkan kesesatan dan kemusyrikan. Yaitu jika
seseorang mengaku bertemu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian, dia
mendapatkan amalan-amalan ibadah yang tidak ada tuntunannya di dalam Al-Kitab
dan As-Sunnah, lalu dia meyakini kebenarannya dan mengamalkannya, maka itu
merupakan kesesatan. Dan jika dia
kemudian berdoa kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, meminta kepada
beliau, mengharapkan sesuatu kepada beliau, maka ini merupakan kemusyrikan,
yaitu syirik doa, yang merupakan syirik akbar yang bisa menjadikan orang murtad
dari islam. Semoga Alloh selalu menjaga kita di dalam
kebenaran dan menjauhkan dari kesesatan. Hanya Alloh Pemberi petunjuk di dalam
kebaikan.Disusun oleh:Ustadz
Muslim Al-Atsari حفظه
اللهJum’at,
20 Syawawal 1441 H/ 12 Juni 2020 MBeliau adalah Pengajar di Pondok
Pesantren Ibnu Abbas As Salafi, Sragen 2.Bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam Kondisi Sadar? Adapun
kemampuan manusia melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam
keadaan sadar merupakan pendapat Shufiyah, tidak ada dasarnya dalam syari’at,
dan tidak ada realitanya. Telah terjadi beberapa kejadian besar setelah
wafatnya beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang sangat membutuhkan
keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka, kenapa beliau tidak menampakkan
diri ?, dan mereka juga tidak melihat beliau, padahal beliau adalah seorang
yang paling mereka cintai, dan mereka adalah yang paling dicintai oleh beliau ? Adapun sebagian mereka berdalil dengan sebuah
hadits dalam shahihain dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: (
من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ) “Barang
siapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar”. Adanya
kemungkinan melihat beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam keadaan sadar.
Hal ini tidak berarti menguatkan pendapat mereka. Tapi merupakan bentuk kabar
gembira bagi seseorang yang melihat beliau dalam mimpi, maka ia akan melihatnya
di surga, bukan berarti dia akan melihat beliau dalam keadaan sadar di dunia. Al
Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sebagian orang-orang shaleh,
melakukan kesalahan dengan menganggap bahwa melihat Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dengan mata kepala
itu pernah terjadi”. (Fathul Baari: 12/384) Imam
Nawawi –rahimahullah- berkata terkait dengan makna hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- : “….Maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar”, ada bebarapa
pendapat: 1.Yang
dimaksud adalah generasi pada zaman beliau, artinya; bahwa barang siapa yang
melihat beliau dalam mimpi dan belum berhijrah, maka Allah akan memberi taufiq
kepadanya untuk bisa berhijrah dan melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dengan sadar dan dengan mata kepala. 2.Pembuktian
melihat beliau dalam keadaan sadar adalah di akherat; karena semua umatnya akan
melihat beliau di akherat. 3.yang
dimaksud adalah nanti di akherat dengan penglihatan secara khusus karena dekat
dengan beliau dan mendapatkan syafa’at beliau. (Syarh
Muslim: 15/26) Apa
yang disebutkan Imam Nawawi pada pendapat pertama tidak bertentangan dengan
pendapat oleh Ibnu Hajar; karena Imam Nawawi menyebutkan bahwa yang dimaksud
adalah mereka yang berada pada masa hidup beliau –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, dan pendapat al Hafidz Ibnu Hajar adalah mereka yang mengklaim melihat
Rasul dengan sadar setelah beliau meninggal dunia. Abul
Abbas al Qurthubi berkata sebagai bentuk penolakan beliau bagi siapa saja yang
mengaku melihat/bermimpi beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan sadar: “Ini
sungguh sangat sulit bisa diterima oleh akal sehat. Kalaupun itu terjadi, maka
seharusnya yang mereka lihat adalah kondisinya sama dengan Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika meninggal dunia. Atau juga tidak mungkin
ada dua orang yang melihat/bermimpi pada waktu yang bersamaan, atau ada orang
yang menganggap bahwa beliau sekarang masih hidup, bisa keluar dari kubur,
berjalan di pasar menyapa manusia dan mereka bisa menyapa beliau. Jika hal itu
terjadi berarti kuburan beliau kosong tidak ada jasad beliau, maka para
peziarah yang memberi salam di hadapan kuburan beliau yang tidak ada isinya !?;
karena bisa saja seseorang melihatnya pada malam hari atau siang hari yang
waktu tersebut pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain”. (Dinukil oleh al
Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Baari’: 12/384) Kalau
saja semua itu benar, maka seseorang yang bermimpi melihat beliau dengan sadar
(jasad dan ruhnya) berarti ia termasuk golongan para sahabat Rasul, dan gelar
sahabat juga akan berlanjut sampai hari kiamat !? Al
Hafidz Ibnu Hajar al ‘Asqalani menyebutkan bahwa Ibnu Abi Jamrah menukil dari
kalangan Shufi: “Bahwa mereka bermimpi bertemu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- , kemudian mereka melihat beliau setelah bangun tidur dan dalam
keadaan sadar, dan mereka bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya mereka
merasa takut karena masalahnya belum jelas, maka beliau memberi petunjuk dan
jalan keluar dari setiap masalah tersebut”. Lalu al Hafidz berkata: “Kalau
ini terjadi, maka permasalahannya menjadi sangat rumit, kalau dibawa ke makna
dzahir, berarti mereka adalah sahabat beliau; gelar sahabat Rasul akan
berlanjut sampai hari kiamat !?, ini juga sulit diterima, ketika banyak orang
yang melihat beliau dalam mimpinya, lalu salah seorang dari mereka mengaku
tidak melihat beliau dalam keadaan sadar. Berita seseorang yang jujur tidak
boleh diabaikan. (Fathul Baari: 12/385) Ulama Lajnah Daimah ketika membantah aqidah tijaniyah berkata: “Tidak
ada satupun dari kalangan Khulafa’ Rasyidin dan semua para sahabat
–radhiyallahu ‘anhum- yang mengaku bahwa mereka melihat Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dengan sadar, padahal mereka adalah sebaik-baik makhluk
setelah para Nabi. Juga sudah diketahui bersama bahwa agama Islam ini sudah
sempurna semasa hidupnya beliau. Dan Allah telah menyempurnakan agama umat ini,
dan telah Allah cukupkan kepada mereka nikmat-Nya sebelum Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia. Sebagaimana firman Allah
–Ta’ala-: (
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً (
المائدة/3 “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS al Maidah: 3) Tidak diragukan lagi apa yang diklaim oleh Ahmad at Tijani bahwa
dirinya telah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam keadaan
sadar dan berkomunikasi dengan beliau. Dan bahwa beliau mengkhususkan dzikir
dan wirid tertentu untuk mengingat Allah dan bershalawat kepada Rasul-Nya. Ini
jelas sebuah kedustaan dan kesesatan yang nyata”. (Fatawa Lajnah Daimah:
2/325-326) Mereka
juga berkata: “Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggal dunia setelah menyampaikan amanah
Allah, dan telah Allah sempurnakan agama-Nya, dan tidak ada alasan bagi semua
untuk tidak beriman. Para sahabat beliau –radhiyallahu ‘anhum- menshalatkan
jenazah beliau dan menguburkannya di kamar ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-. Lalu
pada masa Khulafa’ Rasyidin telah terjadi banyak kejadian besar yang menimpa
mereka, dan mereka pun menyelesaikannya dengan ijtihad mereka, dan tidak
mengembalikan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Barang siapa
setelah itu ada orang yang mengaku melihat Rasul dalam keadaan sadar, dan
mengklaim beliau masih hidup, berbicara, atau mendengarkan sabdanya sebelum
hari kebangkitan, maka semua itu adalah bathil; karena bertentangan dalil-dalil
syar’i, realita dan sunnatullah pada makhluk-Nya. Hadits di atas bukan berarti
yang bermimpi melihat Rasulullah akan melihat sosok Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dengan sadar di dunia. Karena ada kemungkinan bahwa
maksudnya adalah akan melihat beliau pada hari kiamat, juga ada kemungkinan
akan melihat beliau dengan takwil; hal ini disebabkan mimpi melihat beliau itu
benar berdasarkan dalil-dalil yang lain, di antaranya sabda Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam-: "
فقد رآني " الحديث “….Maka
ia akan melihatku”. (al Hadits) Bisa
jadi seseorang bermimpi melihat beliau, dan mimpinya itu adalah benar, jika
sesuai dengan sifat-sifat beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- semasa
hidupnya di dunia. (Fatawa Lajnah Daimah: 1/486-487) Kesimpulan: Tidak
boleh bagi seseorang setelah wafatnya para Nabi –alaihimus salam- mengaku
pernah melihat malaikat; karena dari sisi penciptaan mereka adalah makhluk dari
cahaya, oleh karenanya Allah menjadikan manusia tidak mampu melihatnya, kecuali
setelah mereka berubah wujud. Tidak
boleh bagi seseorang mengaku dirinya pernah melihat Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam- dalam keadaan sadar. Khayalan ini berasal dari mereka yang
tidak memiliki ilmu syar’i dan tidak memiliki akal fikiran yang matang sehingga
menghayal dan menggambarkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada.Wallahu
a’lam.
Arab Saudi Melarang Sufi
(Tasawuf) : Tarekat Tijaniah, Qadiriyah Dan Naqsyabandiyah, Makanya Tidak
Ada Aliran Sesat. Indonesia Perlu Lembaga Semacam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil
Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta.
http://lamurkha.blogspot.com/2019/04/arab-saudi-melarang-sufi-tasawuf.html?m=0
3 (Tiga) Golongan (Orang)
Yang Tidak Dapat Dipercaya Sama Sekali Dalam Masalah Agama : 1. Orang Sufi, 2.
Tukang Kisah (Qashash) 3. Seorang Ahli Bid’ah Membantah Ahli Bid’ah.
http://lamurkha.blogspot.com/2019/04/3-tiga-golongan-orang-yang-tidak-dapat.html?m=0
Arab Saudi Melarang Sufi
(Tasawuf) : Tarekat Tijaniah, Qadiriyah Dan Naqsyabandiyah, Makanya Tidak
Ada Aliran Sesat. Indonesia Perlu Lembaga Semacam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil
Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta.
http://lamurkha.blogspot.com/2019/04/arab-saudi-melarang-sufi-tasawuf.html?m=0
3 (Tiga) Golongan (Orang)
Yang Tidak Dapat Dipercaya Sama Sekali Dalam Masalah Agama : 1. Orang Sufi, 2.
Tukang Kisah (Qashash) 3. Seorang Ahli Bid’ah Membantah Ahli Bid’ah.
http://lamurkha.blogspot.com/2019/04/3-tiga-golongan-orang-yang-tidak-dapat.html?m=0
3.Pengakuan Bertemu Nabi Dalam Keadaan
Terjaga (Bangun). Ustadz DR Ali Musri Semjan PutraSebagian
dari orang-orang sufi menganggap bahwa mereka bisa melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar (terjaga). Dan ikut menghadiri perayaan
maulid bersama mereka. Keyakinan ini adalah keyakinan yang batil lagi sesat,
sangat bertolak belakang dengan al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ’alaihi wa sallam serta ijmâ’ para Ulama. Mereka menyandarkan
pandangan mereka pada hadits berikut: عَنْ هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ
فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي قَالَ أَبُو
عَبْد اللَّهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ إِذَا رَآهُ فِي صُورَتِهِ Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda: “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku
dalam keadaan terjaga. Dan setan tidak mampu menyerupaiku”. Imam
Bukhâri setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Ibnu Sîrîn berkata: “Apabila
ia melihatnya dalam bentuk rupa yang sebenarnya””. Dalam
hadits kedua ini terdapat tambahan penjelasan dari hadits yang pertama, yaitu
kalimat: فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ)) :
“Maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga”.Para
Ulama menerangkan maksud dari hadits tersebut dengan beberapa penjelasan: Pertama:
Yang dimaksud adalah orang yang hidup di masa beliau tetapi belum pernah
berjumpa dengan beliau. Jika ia bermimpi bertemu Nabi,maka
mimpi tersebut akan menjadi kenyataan. Kedua:
Yang dimaksud, ia akan berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan pertemuan yang khusus di akhirat kelak. atau ia adalah di antara orang
yang akan memperoleh syafa`at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat
kelak. Ketiga:
Yang dimkasud, mimpi orang tersebut akan terbukti di akhirat kelak, sesuai
dengan apa yang dilihatnya dalam mimpi tersebut. Berkata
Ibnul-Jauzi rahimahullah : “Ini adalah bagaikan kabar gembira bagi orang yang
melihatnya, bahwa dia akan berjumpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallampada hari
kiamat.” [8]. Imam
Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam menjelaskan maksud hadits tersebut ada
beberapa pendapat: Pertama:
Yang dimaksud adalah orang yang hidup pada masanya. Artinya, barangsiapa yang
melihatnya dalam mimpi sedangkan ia belum berhijrah; maka Allah memberi taufik
kepadanya untuk berhijrah dan bertemu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan nyata dalam keadaan terjaga. Kedua:
Dia akan melihat kenyataan mimpinya tersebut dalam keadaan terjaga pada hari
kiamat, karena semua umatnya akan melihatnya pada hari kiamat.Ketiga:
Dia akan melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallampada hari akhirat secara
khusus dalam keadaan dekat dan mendapat syafa`atnya atau yang semisalnya”.[9] Al-Qisthallâny
mengatakan : “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku
dalam keadaan terjaga”, artinya pada hari secara khusus dalam keadaan dekat
dengannya. Atau orang yang melihatku dalam mimpi dan ia belum berhijrah, Allah
memberi taufik kepadanya untuk berhijrah kepadaku dan mendapat kemulian
menjumpaiku. Allah Azza wa Jalla menjadikan mimpinya sebagai pertanda akan
melihatku dalam keadaan terjaga. Menurut pendapat yang pertama, di dalamnya
terdapat kabar gembira bagi orang yang bermimpi bahwa ia akan mati dalam
keadaan Muslim”.[10] Adapun
pendapat yang mengatakan bahwa ia benar-benar akan berjumpa dalam keadaan
terjaga waktu di dunia ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamwafat
adalah pendapat yang sangat batil lagi sesat. Pendapat ini ditolak dan dibantah
dengan tegas oleh para Ulama Ahlussunnah. Imam
al-Qurthûbi rahimahullah berkata: “Dalam makna hadits ini terdapat perbedaan;
sebagian berpendapat sebagaimana lahirnya, yaitu barangsiapa yang melihat dalam
mimpi, maka ia telah melihat secara hakiki sama seperti orang melihatnya di
waktu terjaga. Pendapat ini dapat diketahui kekeliruannya dengan dalil akal
yang mengharuskan: 1.
Bahwa, tidak seorang pun yang melihatnya melainkan dalam bentuk saat beliau
meninggal. 2.
Tidak mungkin ada dua orang yang mimpi melihatnya dalam waktu yang sama dalam
dua tempat. 3.
Bahwa ia hidup keluar dari kuburnya dan berjalan di pasar serta berbicara
dengan manusia. 4.
Bahwa kuburnya kosong dari jasadnya, sehingga tidak tertinggal sesuatu
dalamnya, maka yang diziarahi hanya kubur semata (tanpa jasad) dan memberi
salam kepada sesuatu tidak ada. Karena
ia bisa dilihat di sepanjang waktu; pagi dan sore secara hakiki di luar
kuburnya. Pendapat ini adalah kebodohan, tidak akan berpegang dengannya siapa
saja yang memiliki sedikit akal sehat”.[11] Abu
Bakar Ibnu al-Arabi rahimahullah berkata: “Sebagian orang shaleh berpendapat
asing (ganjil), ia mengira bahwa bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallambisa terjadi dengan melihat dengan kedua mata kepala secara nyata”.[12] Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata: “Melihat para Nabi dalam mimpi adalah haq
(benar). Adapun melihat orang yang sudah mati dalam keadaan terjaga, maka ini
adalah jin yang menjelma dalam bentuknya. Sebagaimana setan kadangkala menjelma
dalam mimpi dalam bentuk seseorang. Bahkan, kadangkala dalam keadaan terjaga
yang dapat dilihat orang banyak; sehingga menyesatkan bagi sebagian orang yang
tidak mempunyai ilmu dan iman. Seperti terjadi di kalangan kaum musyrik India
dan lainnya. Apabila ada seseorang meninggal, maka setelah itu mereka
melihatnya membayar hutang, mengembalikan titipan dan menceritakan tentang
orang-orang mati di antara mereka. Sesungguhnya itu adalah setan yang menjelma
dalam bentuknya. Kadangkala ia datang dalam bentuk orang shaleh yang mereka
kagumi. Dan ia berkata: ”Saya adalah si Fulan.”; padahal sebenarnya ia adalah
setan. Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa yang melihatku
dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihat dengan benar. Sesungguhnya setan
tidak bisa menyerupaiku”. Maka
melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar adanya, adapun
melihatnya dalam keadaan terjaga, maka ia tidak mungkin bisa dilihat dengan
mata. Sama adanya, baik itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri maupun
orang-orang lain yang sudah mati. Sekalipun kebanyakan dari manusia kadangkala
melihat sesorang yang menurut prasangkanya adalah Nabi di antara para nabi.
Kadangkala dekat kuburannya atau dijauh dari kuburannya”.[13] Syaikh
Abdul Muhsin al-‘Abâd berkata: “Hal ini mengandung dua kemungkinan, pertama:
seseorang yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia
belum pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bermimpi
melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla akan memudahkan baginya untuk bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan berhijrah kepadanya. Kemudian akan melihat apa dengan nyata apa yang
dilihatnya dalam mimpinya tersebut…”[14]. Dari
penjelasan para Ulama di atas dapat kita pahami bahwa pendapat yang mengatakan
seseorang yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambenar-benar
akan berjumpa dalam keadaan terjaga waktu di dunia ini setelah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat adalah pendapat yang sangat batil lagi sesat. Pendapat
tersebut bertolak belakang dengan firman Allah Azza wa Jalla : إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ Sesungguhnya
engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).[ az-Zumar/39:30] Dan
firman Allah: وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ
قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ
أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ
شَيْئًا Tiadalah
Muhammad itu melainkan seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang
(murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun”.[ali Imran/3:144] Dua
ayat di atas dengan tegas menerangkan tentang kematian Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam. Seluruh umat Islam sepakat bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat. Ia tidak akan bangkit dari kuburnya
kecuali setelah hari kiamat. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam kembali ke dunia sebelum hari kiamat dan bertemu
dengan orang-orang tertentu, ini adalah keyakinan yang sesat sekali. Bahkan sama
dengan akidah reinkarnasi yang diyakini orang-orang Hindu. Tatkala
membacakan salah satu dari ayat di atas Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu
berkata: فَمَنْ كَان َمِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا
فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَيٌّ
لاَ يَمُوْتُ Barangsiapa
yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barangsiapa
yang menyembah Allah sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak akan mati. [HR
Bukhâri] Pendapat
tersebut juga bertentangan dengan hadits Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – « أَنَا سَيِّدُ
وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ
وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ » Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam telah bersabda : “Saya adalah penghulu anak Adam pada hari kiamat, orang
yang pertama dibangkit dari kuburnya dan orang yang pertama memberi syafaat.”
[HR Muslim] Hadits
ini dengan jelas menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam tidak
akan keluar dari kuburnya kecuali setelah terjadinya hari kiamat dan seluruh
manusia dibangkitkan dari kuburnya. Pendapat
yang mengatakan bahwa ia berjumpa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam
keadaan terjaga, mengharuskan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
hidup dan keluar dari kuburnya, bahkan secara berkali-kali; kesesatan dan
kebatilan pendapat tersebut amat nyata bagi orang yang punya ilmu dan iman. Sebagian
orang berdalil dengan hadits: اْلأَنْبِياَءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ
يُصَلُّوْنَ Para
nabi itu hidup dalam kuburan mereka, mereka shalat.[HR Abu Ya`la dan al-Bazzâr
dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Ash-Shahîhah] Jawabannya
adalah:Pertama:
Bahwa kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan alam Barzakh yang
hakikat dan bentuknya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Azza wa Jalla.
Mengatakan bahwa mereka hidup seperti di dunia adalah suatu hal yang batil,
sebab alam Barzakh tidak sama dengan alam dunia dalam segala segi. Kedua:
Dalam hadits tersebut secara jelas dan tegas menyebutkan mereka hidup dalam
kubur, bukan hidup dan keluar ke dunia. Jika dipahami mereka hidup dan keluar
ke dunia, maka ini suatu penyimpangan terhadap lafazh makna hadits tersebut. Ketiga:
Tidak pernah dinukilkan atau diriwayatkan dari seorang pun dari Sahabat maupun
para Ulama terkemuka umat ini bahwa mereka berjumpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan terjaga setelah beliau wafat. Bahkan di antara mereka ada
yang bermimpi dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi tidak pernah
mereka mengaku bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam keadaan bangun
(terjaga). Sedangkan para Sahabat adalah orang yang paling dicintai Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi yang paling cinta kepada Nabi
Shallallahu ’alaihi wa sallam. Ibnu
Hajar rahimahullah berkata: ”Jika seandainya ada orang yang melihatnya di waktu
terjaga, tentu ia termasuk Sahabat. Berarti penilaian sebagai Sahabat tetap
berlangsung sampai hari kiamat. Hal ini menjadi terbukti keliru sekali, ketika
banyak yang mimpi bertemu tetapi tidak seorang pun mengaku berjumpa dalam
keadaan sadar (bangun)”.[15] Apakah
Ada Kiat-Kiat Tertentu Agar Bermimpi Bertemu Nabi Muhammad? Di
antara sebagian orang ada yang melakukan dzikir-dzikir tertentu agar bisa
bermimpi dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal tuntunan tersebut
tidak ada diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perbuatan tersebut
adalah termasuk membuat perkara yang baru dalam agama. Para Ulama salaf yang
pernah mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak pernah melakukan
dzikir ataupun ibadah-ibadah tertentu. Apakah
Mimpi Bertemu Nabi Muhammad Pertanda Orang Tersebut Shalih? Bentuk
lain dari kesalah-pahaman dalam masalah mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah menganggap setiap orang yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah memiliki keistimewaan yang luar biasa. Bahkan kadangkala
meyakini orang tersebut sebagai wali, yang bisa mengobati dan memberi berkah.
Namun, bila melihat penjelasan Ulama sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilki dua bentuk yaitu
adakala sebagai bisyârah (harapan baik); dan adakalanya sebagai peringatan
(indzâr), sehingga tidak mutlak senantiasa sebagai bisyârah. Al-Mu’allimi
berkata: “Sesungguhnya para Ulama bersepakat bahwa sesungguhnya mimpi tidak
bisa dijadikan hujjah. Tetapi ia hanya sebatas sebagai harapan baik (bisyârah),
dan peringatan (tanbîh). Dan juga bisa sebagai dalil pendukung jika bersesuaian
dengan hujjah syar’iyah (agama)”[16]. Demikian,
pembahasan sekilas tentang mimpi bertemu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan beberapa hal yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat. [Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]_______Footnote[8].
Lihat Kasyful al-Musykil 1/912.[9].
Lihat Syarah Imam Nawawi:15/26.[10].
Di nukil dalam kitab `Aunul Ma’bûd:13/249.[11].
Disebutkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri:12/384.[12].
Disebutkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri:12/384.[13].
Lihat Al-Jawâbus Shahîh 4/15.[14].
Lihat Syarah Sunah Abu Dâwud 28/426.[15].
Lihat Fathul Bâri:12/285.[16].
Lihat At-Tankîl:2/243.
4.Dr. Firanda Andirja
Abidin, Lc.
Bermimpi
ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wasallam merupakan perkara yang mungkin terjadi
berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Akan tetapi para ulama telah sepakat jika
seseorang bermimpi bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun, lalu
Nabi menyampaikan sesuatu dalam mimpi tersebut maka mimpi tersebut tidak bisa
dijadikan dalil dalam penentuan hukum yang baru, apalagi sampai merubah atau
memansukhkan suatu hukum. Demikian juga halnya jika Nabi mengabarkan hal yang
ghoib tentang masa depan. Paling banter
hanya sebagai ‘isti’naas (penguat) saja dan bukan penentu atau kepastian. Berikut
ini perkataan ulama madzhab Syafi’iyyah tentang hal ini. Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata : أَنَّهُ مَنْ رَآهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآهُ حَقًّا. وَأَنَّ الشَّيْطَانَ لَا
يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِهِ، وَلَكِنْ لَا يُعْمَلُ بِمَا يَسْمَعُهُ الرَّائِي
مِنْهُ فِي الْمَنَامِ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالْأَحْكَامِ، لِعَدَمِ ضَبْطِ
الرَّائِي، لَا لِلشَّكِّ فِي الرُّؤْيَةِ، فَإِنَّ الْخَبَرَ لَا يُقْبَلُ إِلَّا
مِنْ ضَابِطٍ مُكَلَّفٍ، وَالنَّائِمُ بِخِلَافِهِ “Sesungguhnya
barang siapa yang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi maka
ia telah melihatnya sesungguhnya. Dan sesungguhnya syaitan tidak bisa
menyerupai bentuk Nabi. Akan tetapi tidak diamalkan apa yang didengar oleh
seorang yang mimpi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, tentang
apa yang berkaitan dengan hukum. Karena orang yang mimpi tidak dhobith (tidak
memiliki kemampuan menangkap dan menghafalkan berita atau riwayat yang
didengarnya-pen) bukan dari sisi ragu akan mimpinya melihat Nabi akan tetapi
suatu khobar/berita tidaklah diterima kecuali dari seseorang yang dhobith
mukallaf. Adapun seorang yang sedang tidur tidaklah demikian” (Roudhotut Thoolibin 7/16) Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah juga berkata : لَوْ كَانَتْ لَيْلَةُ الثَّلَاثِينَ مِنْ
شَعْبَانَ وَلَمْ يَرَ النَّاسُ الْهِلَالَ فَرَأَى إنْسَانٌ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ فَقَالَ لَهُ اللَّيْلَةُ أَوَّلُ
رَمَضَانَ لَمْ يَصِحَّ الصَّوْمُ بِهَذَا الْمَنَامِ لَا لِصَاحِبِ الْمَنَامِ
وَلَا لغيره ذكره القاضي حسين فِي الْفَتَاوَى وَآخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا
وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ الْإِجْمَاعَ عَلَيْهِ “Kalau
seandainya pada malam hari ke 30 bulan Sya’ban, dan orang-orang tidak ada yang
melihat hilal, lalu ada seseorang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam mimpinya, lalu Nabi berkata kepadanya, “Malam ini adalah malam pertama
bulan Ramadhan” maka berpuasa dengan berdalil pada mimpi tersebut tidaklah sah,
tidak sah bagi orang yang bermimpi demikian juga tidak sah bagi selainnya. Hal
ini telah disebutkan oleh Al-Qoodhi Husain dalam fatwa-fatwanya, demikian juga
para ulama Syafi’iyah yang lainnya. Dan Al-Qoodhi ‘Iyaadh menukilkan ijmak akan
hal ini” Al-Imam
An-Nawawi melanjutkan : وَقَدْ قَرَّرْتُهُ بِدَلَائِلِهِ فِي أَوَّلِ
شَرْحِ صَحِيحِ مُسْلِمٍ وَمُخْتَصَرُهُ أَنَّ شَرْطَ الرَّاوِي وَالْمُخْبِرَ
وَالشَّاهِدَ أَنْ يَكُونَ مُتَيَقِّظًا حَالِ التَّحَمُّلِ وَهَذَا مُجْمَعٌ
عَلَيْهِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ النَّوْمَ لَا تَيَقُّظَ فِيهِ وَلَا ضَبْطَ فَتُرِكَ
الْعَمَلُ بِهَذَا الْمَنَامِ لِاخْتِلَالِ ضَبْطِ الرَّاوِي لَا لِلشَّكِّ فِي
الرُّؤْيَةِ Aku
telah menjelaskan dengan disertai dalil-dalil di awal dari (kitab) Syarh Shahih
Muslim…, bahwasanya syarat seorang perawi dan pembawa kabar berita, serta
syarat seorang saksi, adalah harus dalam keadaan sadar/terjaga tatkala menerima
berita. Dan ini merupakan perkara yang disepakati (ijmak) para ulama. Dan
tentunya pada tidur tidak ada sikap terjaga dan juga tidak ada sifat ad-dobth,
maka ditinggalkan mengamalkan mimpi ini, dikarenakan ketidakberesan dhobth sang
perawi, bukan karena ragu tentang mimpinya”
(Al-Majmuu’ 6/281-282)) Al-Imam
An-Nawawi juga berkata : فنقلوا الاتفاق على أنه لا يغير بسبب ما يراه
النائم ما تقرر فى الشرع وليس هذا الذى ذكرناه مخالفا لقوله صلى الله عليه وسلم من
رآنى فى المنام فقد رآنى فان معنى الحديث أن رؤيته صحيحة وليست من أضغاث الاحلام
وتلبيس الشيطان ولكن لا يجوز اثبات حكم شرعى به لأن حالة النوم ليست حالة ضبط
وتحقيق لما يسمعه الرائى وقد اتفقوا على أن من شرط من تقبل روايته وشهادته أن يكون
متيقظا لا مغفلا ولا سىء الحفظ ولا كثير الخطأ ولا مختل الضبط والنائم ليس بهذه
الصفة فلم تقبل روايته لاختلال ضبطه … أما اذا رأى النبى صلى الله عليه و سلم يأمره
بفعل ما هو مندوب إليه أو ينهاه عن منهى عنه أو يرشده إلى فعل مصلحة فلا خلاف فى
استحباب العمل على وفقه لأن ذلك ليس حكما بمجرد المنام بل تقرر من أصل ذلك الشيء
والله أعلم “Mereka
(para ulama syafi’iyyah) telah menukilkan kesepakatan bahwasanya apa yang dilihat
oleh orang yang mimpi tidaklah merubah hukum yang telah berlaku dalam syari’at.
Dan apa yang kami sebutkan ini tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam مَنْ رآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي “Barang
siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihatku” Karena
makna hadits ini adalah bahwasanya mimpi melihat Nabi adalah benar dan bukan
dari jenis mimpi-mimpi kosong dan tipuan syaitan, akan tetapi tidak boleh
menetapkan hukum syari’at dengan mimpi tersebut. Karena kondisi tidur bukanlah
kondisi dhobth dan tahqiq terhadap apa yang didengar oleh orang yang mimpi
tersebut. Mereka telah bersepakat bahwasanya diantara syarat seseorang diterima
riwayatnya dan persaksiannya adalah ia harus dalam keadaan terjaga, bukan dalam
keadaan lalai, buruk hafalan, banyak salahnya, dan tidak beres dhobithnya. Dan
orang yang sedang tidur tidak memiliki sifat-sifat ini maka tidaklah diterima
riwayatnya karena ketidakberesan dhobithnya… Adapun
jika ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi)
memerintahkannya untuk melakukan perkara yang dianjurkan atau melarangnya dari
perkara yang dilarang atau mengarahkannya untuk melakukan suatu kemaslahatan
maka tidak ada khilaf tentang disukainya mengerjakan mimpi tersebut, karena hal
ini bukanlah penetapan suatu hukum karena hanya sekedar mimpi, akan tetapi
memang sudah ditetapkan oleh hukum asalnya sesuatu tersebut” (Al-Minhaaj Syarh
Shahih Muslim 1/115) Syaikhul
Islaam Zakariya Al-Anshoori berkata : وَرُؤْيَتُهُ في النَّوْمِ حَقٌّ فإن
الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِهِ كما ثَبَتَ ذلك في الصَّحِيحَيْنِ وَلَا
يُعْمَلُ بها فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْأَحْكَامِ لِعَدَمِ ضَبْطِ النَّائِمِ لَا
لِلشَّكِّ في رُؤْيَتِهِ “Dan
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi adalah kebenaran, karena
Syaithan tidak bisa meniru Nabi sebagaimana telah valid dalam shahih Al-Bukhari
dan shahih Muslim, dan tidaklah diamalkan mimpi tersebut tentang apa-apa yang
berkaitan dengan hukum-hukum dikarenakan tidak adanya dhobth dari orang yang
mimpi, bukan karena keraguan akan benarnya ia mimpi” (Asna Al-Mathoolib 3/106) Syaitan Tidak Bisa Meniru Rupa dan Sifat Nabi Tapi Bisa Mengaku
Sebagai Nabi Diantara
cara syaitan menyesatkan sebagian orang adalah dengan datang melalui mimpi
mereka dengan mengaku sebagai Rasulullah lalu mengajarkan kepada mereka hal-hal
yang bertentangan dengan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Memang benar bahwasanya Syaitan tidak bisa meniru rupa dan bentuk Nabi meskipun
dalam mimpi, akan tetapi syaitan bisa mengaku sebagai Nabi dengan rupa selain
rupa Nabi. Dari
Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي حقاً،
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي “Barang
siapa yang melihatku di mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena syaitan
tidak bisa meniruku” (HR Al-Bukhari no 110 dan Muslim no 2266) Dari
Abu Qotaadah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : وَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَرَاءَى بِي “Dan
sesungguhnya syaitan tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku” (HR
Al-Bukhari no 6995) Dalam
hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dengan lafal فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَخَيَّلُ بِي “Karena
syaitan tidak bisa menkhayalkan menjadi diriku” (HR Al-Bukhari no 6994) Karenanya
barang siapa yang melihat Nabi dalam mimpinya sebagaimana sifat-sifat fisik
Nabi yang ma’ruuf (sebagaimana sifat-sifatnya telah tersebutkan dalam
hadits-hadits dan juga kitab syama’il) maka sungguh ia telah benar melihat
Nabi, karena syaitan tidak bisa meniru Nabi dan tidak bisa menampakkan dirinya
dengan rupa Nabi. Adapun
jika seseorang melihat dalam mimpinya ada yang mengaku sebagai Nabi akan tetapi
ternyata sifat-sifatnya menyelisihi dengan sifat-sifat Nabi yang ma’ruuf maka
bukan Nabilah yang telah ia lihat, akan tetapi syaitan yang mengaku sebagai
Nabi. Inilah pendapat yang benar yang sesuai dengan dzohir hadits-hadits
tentang melihat Nabi dalam mimpi, dan juga sesuai dengan praktek para sahabat
dan tabi’in. Jika ada orang yang mengaku melihat Nabi dalam mimpinya dan
ternyata tidak sesuai dengan sifat-sifat Nabi maka di sisi mereka dia tidaklah
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Hakim
meriwayatkan : عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي
أَبِي، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ
فَقَدْ رَآنِي إِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي» قَالَ أَبِي: فَحَدَّثْتُ
بِهِ ابْنَ عَبَّاسٍ، وَقُلْتُ: قَدْ رَأَيْتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَذَكَرْتُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ فَشَبَّهْتُهُ بِهِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:
«إِنَّهُ كَانَ يُشْبِهُهُ» Dari
‘Ashim bin Kulaib ia berkata, “Ayahku (Kulaib) menyampaikan kepadaku bahwa ia
mendengar Abu Huroiroh berkata : Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda, “Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah
melihatku, karena syaitan tidak bisa meniruku”. Akupun menyampaikan hadits ini
kepada Ibnu Abbas, dan aku berkata kepadanya, “Aku telah melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi). Lalu akupun menyebutkan Al-Hasan
bin Ali, dan aku menyamakan Nabi dengan Al-Hasan. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata,
“Nabi mirip dengan Al-Hasan” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari
12/384 berkata, “Sanadnya jayyid/baik”) Al-Imam
Al-Bukhari dalam Shahihnya berkata : قَالَ ابْنُ سِيْرِيْن : إِذَا رَآهُ فِي
صُوْرَتِهِ “Ibnu
Sirin berkata : (Yaitu) jika ia melihat Nabi dengan rupa Nabi” (Atsar mu’allaq
ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya setelah hadits no 6993) Riwayat
ini juga telah diriwayatkan dengan sanad bersambung oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar : كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ سِيْرِيْن إِذَا قَصَّ
عَلَيْهِ رَجُلٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : صِفْ لِي
الَّذِي رَأَيْتَهُ، فَإِنْ وَصَفَ لَهُ صِفَةً لاَ يَعْرِفُهَا قَالَ : لَمْ
تَرَهُ Adalah
Muhammad bin Sirin jika ada seseorang menceritakan bahwa ia melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi), maka Ibnu Sirin berkata,
“Sebutkanlah ciri-ciri orang yang kau lihat dalam mimpimu”. Jika ternyata ia
menyebutkan sifat-sifat (ciri-ciri) yang tidak diketahui oleh Ibnu Sirin maka
Ibnu Sirin berkata, “Engkau tidak melihat Nabi” (Fathul Baari 12/384, dan Ibnu
Hajar berkata, “Sanadnya shahih”) Asy-Syaathibi
rahimahullah berkata (menukil perkataan Ibnu Rusyd) : ثُمَّ قَالَ: وَلَيْسَ مَعْنَى قَوْلِهِ: «مَنْ
رَآنِي فَقَدْ رَآنِي حَقًّا»، أَنَّ كُلَّ مَنْ رَأَى فِي مَنَامِهِ أَنَّهُ
رَآهُ فَقَدْ رَآهُ حَقِيقَةً، بِدَلِيلٍ أَنَّ الرَّائِيَ قَدْ يَرَاهُ مَرَّاتٍ
عَلَى صُوَرٍ مُخْتَلِفَةٍ، وَيَرَاهُ الرَّائِي عَلَى صِفَةٍ، وَغَيْرِهِ عَلَى
صِفَةٍ أُخْرَى. وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَخْتَلِفَ صُوَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا صِفَاتُهُ، وَإِنَّمَا مَعْنَى الْحَدِيثِ: مَنْ رَآنِي
عَلَى صُورَتَيِ الَّتِي خُلِقْتُ عَلَيْهَا. فَقَدْ رَآنِي، إِذْ لَا يَتَمَثَّلُ
الشَّيْطَانُ بِي، إِذْ لَمْ يَقُلْ: مَنْ رَأَى أَنَّهُ رَآنِي فَقَدْ رَآنِي؛
وَإِنَّمَا قَالَ: «مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآنِي»، …فَهَذَا مَا نُقِلَ عَنِ ابْنِ
رُشْدٍ، وَحَاصِلُهُ يَرْجِعُ إِلَى أَنَّ الْمَرْئِيَّ قَدْ يَكُونُ غَيْرَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنِ اعْتَقَدَ الرَّائِي
أَنَّهُ هُوَ. “Kemudian
Ibnu Rusyd berkata : Dan bukanlah makna sabda Nabi ((Barang siapa yang
melihatku maka telah melihat aku sesungguhnya)) bahwasanya seluruh orang yang
melihatnya dalam mimpi berarti telah melihatnya secara sesungguhnya. Buktinya
bahwasanya orang yang mimpi terkadang melihat Nabi dalam rupa yang bervariasi.
Seseorang yang mimpi melihat Nabi dengan sifat tertentu, dan orang lain mimpi
dengan sifat yang lain. Dan tidak boleh rupa-rupa Nabi berbeda-beda demikian
juga sifat-sifatnya. Akan tetapi makna hadits adalah “Barang siapa yang
melihatku dalam rupaku yang aku diciptakan di atas rupa tersebut, maka ia
sungguh telah melihatku, karena syaitan tidak bisa menyerupaiku”. Karena Nabi
tidaklah berkata, “Barang siapa yang melihat bahwasanya ia telah melihatku maka
ia sungguh telah melihatku”. Akan tetapi Nabi hanyalah berkata, “Barang siapa
yang melihatku maka sungguh ia telah melihatku”… Inilah
yang dinukil dari Ibnu Rusyd, yang kesimpulannya adalah kembali kepada
bahwasanya yang dilihat dalam mimpi bisa jadi bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, meskipun dalam keyakinan orang yang bermimpi apa yang dilihatnya adalah
Nabi” (Al-I’tishoom 1/335) Adapun
pendapat sebagian ulama bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mungkin
untuk dilihat dalam mimpi dengan selain rupa beliau maka merupakan pendapat
yang kurang kuat. Tidak ada hadits yang mendukung pendapat ini kecuali hadits
yang lemah sebagaimana telah dijelaskan kelemahannya oleh Ibnu Hajar. Setelah
menyebut atsar Ibnu Abbas dan Muhammad bin Sirin yang menyatakan bahwa melihat
Nabi harus dengan rupa Nabi, Ibnu Hajar berkata : ويعارضه ما أخرجه بن أبي عاصم من وجه آخر عن أبي
هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من رآني في المنام فقد رآني فَإِنِّي
أُرَى فِي كُلِّ صُوْرَةٍ وفي سنده صالح مولى التوأمة وهو ضعيف لاختلاطه وهو من
رواية من سمع منه بعد الاختلاط “Dan
atsar-atsar (Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin-pen) bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dari sisi lain dari Abu Huroiroh, ia berkata
: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang
melihatku dalam mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena sesungguhnya aku
dilihat dalam seluruh bentuk”. Pada sanadnya seorang rawi yang bernama Sholeh
Maula At-Tauamah karena ikhtilaath, dan ini adalah riwayat dari orang yang
mendengar darinya setelah ikhtilath” (Fathul Baari 12/384) Para
ulama yang berpendapat mungkinnya Nabi dilihat dalam mimpi dalam rupa selain
beliau, mereka mengatakan : Jika Nabi dilihat dalam rupa selain rupa beliau
maka mimpi tersebut butuh takwil. Akan
tetapi –wallahu A’lam- pendapat yang benar bahwa disyaratkan untuk melihat Nabi
dalam mimpi adalah dalam rupa Nabi yang sesungguhnya, jika tidak maka apa
faedah dari sabda Nabi “Karena sesungguhnya syaitan tidak bisa meniru rupaku”
(dalam riwayat lain: “Tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku”, dalam
riwayat lain : Tidak bisa mengkhayalkan dengan rupaku”)?? Karenanya
jika ada seseorang yang melihat Nabi dalam bentuk seorang yang sudah tua yang
rambut dan janggutnya semuanya sudah putih maka dia tidak melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena disebutkan dalam hadits-hadits bahwasanya
jumlah rambut uban Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kurang dari 20 helai. Khurofat
Seputar Mimpi Bertemu Nabi Banyak
khurofat yang timbul akibat pengakuan sebagian orang bahwa mereka telah
bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Bertemu
dengan Nabi dalam mimpi tidak menjadi permasalahan, kebenarannya kita serahkan
kepada orang yang mimpi, dan kita berhusnudzon bahwa mungkin saja mereka yang
mengaku-ngaku itu benar. Akan tetapi menjadi permasalahan adalah tatkala mimpi
tersebut dijadikan dalil untuk suatu hukum, mengajarkan perkara-perkara yang
baru dalam agama, apalagi sampai mengajarkan perkara-perkara yang bertentangan
dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara
khurofat-khurofat tersebut adalah : Pertama
: Kisah surat wasiat dari penjaga kuburan Nabi yang bernama Syaikh Ahmad yang
sempat heboh beberapa waktu yang lalu, yang ternyata hanyalah kedustaan. Isi
surat tersebut adalah : “Ini
adalah wasiat dari Madinah Munawwarah dari Ahmad Khodim Al Haram An Nabawi ” Dalam
wasiat ini dikatakan: pada suatu malam Jum’at aku pernah tidak tidur, membaca
Al Qur’an, dan setelah membaca Asma’ul Husna aku bersiap siap untuk tidur, tiba
tiba aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang telah membawa
ayat-ayat Al Qur’an dan hukum-hukum yang mulia, kemudian beliau berkata: wahai
Syaikh Akhmad, aku menjawab: ya, ya Rasulullah, wahai orang yang termulia
diantara makhluk Allah, beliau berkata kepadaku: aku sangat malu atas perbuatan
buruk manusia itu, sehingga aku tak bisa menghadap Tuhanku dan para malaikat,
karena dari hari Jum’at ke Jum’at telah meninggal dunia sekitar seratus enam
puluh ribu jiwa (160 000) dengan tidak memeluk agama Islam. Kemudian
beliau menyebut contoh contoh dari perbuatan maksiat itu, dan berkata: “maka
wasiat ini sebagai rahmat bagi mereka dari Allah Yang Maha Perkasa”,
selanjutnya beliau menyebutkan sebagian tanda tanda hari kiamat dan berkata:
“wahai Syaikh Ahmad, sebarkanlah wasiat ini kepada mereka, sebab wasiat ini
dinukil dari Lauhul Mahfudz, barang siapa yang menulisnya dan mengirimnya dari
suatu negara ke negara lain, dari suatu tempat ke tempat yang lain, baginya
disediakan istana dalam surga, dan barang siapa yang tidak menulis dan tidak
mengirimnya, maka haramlah baginya syafaatku di hari kiamat nanti, barang siapa
yang menulisnya sedangkan ia fakir maka Allah akan membuat dia kaya, atau ia
berhutang maka Allah akan melunasinya, atau ia berdosa maka Allah pasti
mengampuninya, dia dan kedua orang tuanya, berkat wasiat ini, sedangkan barang
siapa yang tidak menulisnya maka hitamlah mukanya di dunia dan ahirat.” Kemudian
beliau melanjutkan: “Demi Allah 3x wasiat ini adalah benar, jika aku berbohong,
aku keluar dari dunia ini dengan tidak memeluk agama Islam, barang siapa yang
percaya kepada wasiat ini, ia akan selamat dari siksaan neraka, dan jika tidak
percaya maka kafirlah ia.” (silahkan lihat bantahan Syaikh Bin Baaz terhadap
surat ini di http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/02/09/wasiat-bohong-dari-syaikh-ahmad-penjaga-kubur-rasulullah/) Kedua
: Khurofat Ibnu ‘Arobi (tokoh pujaan kaum sufi, wafat 638 H) dalam kitabnya
“Fushus Al-Hikam”. Ia berkata di pembukaan kitabnya : “Amma ba’du, sesungguhnya aku telah melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu mimpi kabar gembira yang
aku melihatnya pada sepuluh terakhir di bulan Muharoom tahun 627 Hijriyah di
Damaskus. Dan ditangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam ada sebuah buku. Maka
Nabi berkata kepadaku, “Ini adalah kitab Fushus Al-Hikam, ambilah kitab ini dan
keluarkan untuk manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”. Maka aku
berkata, “Mendengar dan Ta’at kepada Allah, RasulNya, dan para Ulil Amri
diantara kami”. Maka akupun mewujudkan angan-angan, lalu aku mengikhlaskan
niat, serta aku fokuskan dan konsentrasikan tujuan dan semangat untuk
memunculkan kitab ini kepada manusia sebagaimana yang ditentukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada sedikitpun tambahan dan pengurangan”
(Fushus Al-Hikam, Ibnu ‘Arobi, tahqiq : Abul ‘Alaa ‘Afifi, Daar Al-Kitaab
‘Arobi) Lihatlah
khurofat kelas kakap yang dipropagandakan oleh Ibnu ‘Arobi. Buku yang katanya
langsung pemberian Rasulullah ini (tanpa ada tambahan dan pengurangan
sedikitpun) ternyata isinya adalah kekufuran yaitu aqidah wihdatul wujud. Dan
buku ini isinya cukup panjang dan tebal sekitar 200 halaman, yang ini
menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arobi mimpinya sangat lama, karena dia harus menghafal
isi kitab tersebut yang diajarkan oleh Nabi, karena ia mengaku tidak menambah
satu huruf pun. Jangan-jangan mimpinya selama seminggu ??!! Diantara
kekufuran Ibnu ‘Arobi, ia menyatakan Fir’aun meninggal dalam keadaan beriman.
Ibnu ‘Arobi berkata : “Musa adalah penyejuk mata bagi Fir’aun dengan
keimanan yang Allah berikan kepada Fir’aun tatkala tenggelam. Maka Allahpun
mencabut nyawanya dalam keadaan suci dan tersucikan, tidak ada sedikit dosapun,
karena Allah mencabut nyawanya tatkala ia beriman sebelum ia melakukan dosa
apapun. Dan Islam menghapuskan dosa-dosa sebelumnya. Dan Allah menjadikan
Fir’aun sebagai tanda atas perhatianNya kepada siapa yang Ia kehendaki, agar
tidak seorangpun putus asa dari rahmat Allah” (Fushush Al-hikam hal 201) Bahkan
Ibnu ‘Arobi –penjual faham wihdatul wujud- menyatakan bahwa
peraktaan Fir’aun “Aku adalah Tuhan kalian Yang Tertinggi” adalah perkataan
yang benar, karena Fir’aun dzatnya adalah Allah itu sendiri, meskipun rupanya
adalah rupa Fir’aun. (Fushush Al-Hikam hal 211) Ketiga : Mengetahui shahih atau lemahnya suatu hadits dengan
menunggu hukum dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui mimpi?? Jika
perkaranya demikian maka percuma mempelajari ilmu hadits dan juga ilmu al-Jarh
wa At-Ta’diil…!!!. Sungguh letih dan percuma keletihan mereka para ahlul hadits
yang telah meletakan kerangka ilmu mushtolah Al-Hadits, dan juga ilmu Al-Jarh
wa At-Ta’diil??? Kalau
setiap permasalahan agama langsung ditanyakan kepada Nabi, maka buat apa
susah-susah para ulama berselisih pendapat dengan mengemukakan dalil-dalil
mereka. Kan perkaranya tinggal mudah, tinggal ditanyakan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam !!. Anehnya saya tidak pernah mendapatkan seorang ahli
haditspun dalam buku-buku mereka yang menshahihkan dan melemahkan hadits dengan
dalih bertanya kepada Nabi melalui mimpi…!!!. Demikian juga saya tidak pernah
menemukan dalam kitab fikih madzhab manapun ada seorang ulama yang kemudian
merojihkan suatu pendapat dan melemahkan pendapat yang lain dengan dalih bahwa
ia sudah menanyakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
mimpi…!!! Bahkan
kenapa para sahabat mesti khilaf dalam banyak hal…bahkan hingga terjadi
pertumpahan darah jika ternyata bisa dengan mudah mendiskusikan permasalahan
kepada Nabi lewat mimpi??!! Kesimpulan
dalam masalah mimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai
berikut : – Jika ada seseorang yang mengaku bermimpi
ketemu Nabi, maka tidak perlu kita dustakan, apalagi jika seseorang tidak
dikenal pendusta. Berbeda jika halnya yang mengaku tersebut adalah seseorang
yang terkenal suka berdusta – Jika yang dilihatnya dalam mimpi
memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
dalam hadits-hadits yang shahih maka kita benarkan mimpinya tersebut – Jika ternyata dalam mimpi tersebut
Nabi memerintahkan dia untuk melakukan hal-hal kebaikan dan menjauhi
larangan-larangan maka itu merupakan tanda baik, dan mimpi tersebut sebagai
penyemangat untuk bertakwa dan beramal sholeh – Jika ternyata dalam mimpi tersebut
Nabi mengajarkan hukum-hukum baru dalam Islam berupa amalan-amalan ibadah baru,
maka tentu tidak bisa dijadikan pegangan, dan kemungkinan yang dilihatnya
bukanlah Nabi, akan tetapi syaitan yang mengaku sebagai Nabi. Karena tatkala
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia agama ini telah sempurna
sebagaimana Allah berfirman ((الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ)) “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama
kalian”. Jika ternyata masih ada syari’at-syari’at yang akan menyusul melalui
mimpi maka terbatalkanlah ayat tersebut. – Jika ternyata dalam mimpi tersebut
Nabi juga menyuruh untuk mengkhususkan suatu hukum syari’at yang umum, atau
memansukhkan suatu hukum syari’at maka ini juga menunjukkan apa yang dilihatnya
bukanlah Nabi, karena melazimkan belumlah sempurnanya syari’at Allah tatkala
meninggalnya Nabi. – Jika ternyata Nabi shallallahu ‘alahi
wasallam mengabarkan tentang kenyataan yang ada atau tentang masa depan, maka
tidak bisa otomatis kita benarkan. Karena sebagaimana penjelasan Ulama
bahwasanya mimpi Nabi hanya sebatas isti’nas (penguat) dan bukan suatu
kepastian. Apalagi jika Nabi menyampaikan tentang masa depan??
5.Bertemu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam Kondisi Sadar? ini
sudah diingkari oleh beberapa ulama, diantaranya al-Hafidz Ibnu Hajar dan
as-Sakhawi. Al-Hafidz
menyebutkan dalam Fathul Bari, أن ابن أبى جمرة نقل عن جماعة من المتصوفة أنهم
رأوا النبي في المنام ثم رأوه بعد ذلك في اليقظة Bahwa
Ibnu Abi Hamzah pernah menyebutkan dari beberapa orang sufi bahwa mereka
melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, kemudian setelah itu
mereka melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi sadar (di luar
mimpi). Kemudian
dikomentari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, وهذا مشكل جدًا ولو حُمِل على ظاهره لكان هؤلاء
صحابة ولأمكن بقاء الصحبة إلى يوم القيامة ويعكر عليه أن جمعًا جمًا رأوه في
المنام ، ثم لم يذكر واحد منهم أنه رآه في اليقظة Ini
pemahaman sangat bermasalah, jika hadis itu dipahami sebagaimana dzahirnya
(bahwa orang bisa bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar mimpi)
tentu mereka semua menjadi sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga
mungkin saja masa sahabat itu terus berlangsung sampai hari kiamat. Dan ini
terbantahkan dengan adanya banyak orang yang bermimpi ketemu beliau, namun
tidak ada satupun diantara mereka bahwa dirinya melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam di alam sadar. (Fathul Bari, 12/385). Subhanallah…
seperti itulah komentar orang yang berilmu.. sederhana, namun mengena… andai
klaim Yusuf Mansur ini benar, bahwa dia bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebelum tidur atau ketika di mobil, berarti Yusuf Mansur adalah sahabat.
Karena definisi sahabat adalah orang yang bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam kondisi beriman kepada beliau dan mati sebagai muslim. Selanjutnya
kita akan melihat keterangan as-Sakhawi. Dinukil
oleh al-Qasthalani pernyataan as-Sakhawi dalam buku beliau terkait perkara
laduni, لم يصل إلينا ذلك ـ أي ادعاء وقوعها ـ عن أحد من
الصحابة ولا عمن بعدهم وقد اشتد حزن فاطمة عليه صلى الله عليه وسلم حتى ماتت
كمدًا بعده بستة أشهر على الصحيح وبيتُها مجاور لضريحه الشريف ولم تنقل عنها رؤيته
في المدة التي تأخرتها عنه Belum
pernah sampai kepada kami pengakuan seperti itu dari para sahabat atau para
ulama generasi setelahnya. Fatimah mengalami kesedihan luar biasa dengan
wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai Fatimah meninggal
disebabkan kamdan (menahan kesedihan) setelah berlalu waktu 6 bulan
pasca-wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal rumah beliau
bertetangga dengan makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dan
tidak dinukil dari Fatimah bahwa beliau melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di masa hidup beliau setelah wafatnya ayahnya. (al-Mawahib al-Laduniyah,
2/371) Demikian,
Allahu a’lam.Ustadz
Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com) وَعَنْ أَبِي الأَسْقَعِ وَاثِلةَ بْنِ
الأَسْقَعِ رضي الله عنه قال: قال رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “إنَّ
مِنْ أعظَم الفَرى أنْ يَدَّعِي الرَّجُلُ إِلَى غَيْرِ أبِيه، أوْ يُري عَيْنهُ
مَالم تَرَ، أوْ يقولَ عَلَى رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم مَا لَمْ
يَقُلْ” رواه البخاري. Dari Abu Al-Asqa Watsiah bin Al-Asqa’ radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya di
antara kebohongan terbesar adalah seseorang mengaku-ngaku nasab kepada selain
ayahnya, atau orang mengatakan ia memimpikan sesuatu padahal ia tidak
memimpikannya, atau orang yang berkata atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam padahal beliau tidak mengatakannya.’” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no.
3509] Faedah
Hadits Mengaku-ngaku
nasab kepada selain ayahnya termasuk sejelek-jeleknya dusta.Berdusta
dalam mimpi termasuk berdusta atas nama Allah karena mimpi itu dari Allah.Berdusta
atas nama Allah tidak sama dengan berdusta dengan nama makhluk.Hadits
ini memperingatkan tentang bahayanya berdusta atas nama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena ini akan kembali pada dusta atas nama Allah. Karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berkata kecuali dengan wahyu.Kita
diajarkan untuk jujur dan tidak berdusta. Referensi:Bahjah
An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh
Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.