Keluarga Nabi dan Rumahtangga
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Allah
berfirman;
“Dan
(ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan
menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang…”[1] Siapakah yang
dimaksud dengan “Ahli” yang dari (rumah) mereka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berangkat berperang pada pagi hari? Bukankah mereka adalah orang-orang
yang tinggal bersama beliau dalam satu rumah? Tidak lain mereka adalah para
istri beliau yang merupakan Ahlulbaitnya, sebagaimana difirmankan Allah;
“Sebagaimana
Rabbmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya
sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.”[2]
Rumah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada sendiri, disitu tempat beliau
bernaung, tidur begitu juga makan dan minum serta beraktifitas seperti seorang
laki-laki beraktifitas di dalam rumahnya. Dalam rumah tersebut terdapat para
istri beliau, dan tidak lain mereka merupakan Ahlubaitnya, anak laki-laki
beliau semuanya telah meninggal, sedangkan anak-anak perempuan beliau sebagian
meninggal dan sebagian lainnya menikah kemudian keluar dari rumah beliau.
Rumah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak jumlah istri beliau, setiap
istri memilki satu rumah, sebagaiana dinyatakan Allah dengan bentuk jamak
(Buyuut jamak Bait). Kata buyut (rumah) yang berjumlah sebanyak jumlah istri
beliau, terkadang disandarkan kepada beliau dan terkadang disandarkan kepada
istri-istri beliau yang maknanya sama. Bagaimana mungkin seseorang memiliki
rumah, tetapi disisi lain ia tidak termasuk Ahlulbait (keluarga) dari rumah
tersebut? Rumah-rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam penghuninya
adalah istri-istri beliau, secara otomatis mereka adalah keluarga beliau,
sehingga jelas bahwa mereka adalah Ahlulbait beliau, sebagaimana firman Allah;
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu
diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)…”[3]
Kemudian
Allah menyebutkan dalam ayat yang sama, adab yang wajib atas orang-orang mukmin
ketika bermuamalah dengan Ahlulbait (para istri beliau);
“Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka
mintalah dari belakang tabir…”[4]
Allah
juga berfirman yang khithabnya ditujukan kepada para isteri beliau menggunakan
kata buyut yang disandarkan kepada mereka;
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.
Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah
nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.”[5]
Perhatikanlah,
bagaimana Allah menyebutkan; (Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu), kemudian
mengatakan; “Ahlulbait” setelah itu mengatakan; “Dan ingatlah apa yang
dibacakan di rumahmu”, ini menunjukkan bahwa “Ahlulbait” yang disebutkan dalam
ayat diatas, khithabnya sama dengan yang setelahnya di ayat yang sama, bahwa
rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rumah isterinya juga, karena
jumlah rumahnya tidak hanya satu, maka penyebutannya disandarkan kepada beliau
dengan bentuk jamak, sehingga dikatakan; “buyuutun nabi (rumah-rumah nabi)”
sama halnya dengan rumah isterinya, tanpa ada perbedaan.
Ahlulbait
disini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para isteri beliau, maka
dengan alasan apakah kita mengeluarkan para isteri beliau yang suci, sebagai
ummahatul mukminin dari Ahlulbait (keluarga) beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam?...
Syubhat-syubhat Sehubungan
Dengan Ayat Tathir
1.
Khithabnya menggunakan dhamir mudzakar[6]
Mereka
(Syiah) mengatakan: Sekiranya yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah para
isteri beliau, niscaya Allah akan mengatakan “ankunna” dan “wayuthahhirukunna”
dengan bentuk mu’annats[7] bukan dengan kata “ankum” dengan bentuk mudzakkar.
Saya
jawab: Subhanallah! Orang awam saja tahu dengan fitrah mereka, bahwa khithab
dalam bahasa mereka jika disebutkan dengan bentuk mudzakar, maka mencakup
laki-laki dan perempuan, namun jika khitabnya dengan bentuk mu’anats maka yang
dimaksud adalah untuk perempuan saja. Karena itu, seseorang akan mengatakan
kepada anak-akanya: “kuluu (makanlah kalian) atau iqra’uu (bacalah oleh
kalian)” jika mereka laki-laki dan perempuan, tidak mengatakan; “Iqra’na
(bacalah oleh kalian)” kecuali jika mereka semua perempuan. Bahkan terkadang
disebutkan dengan bentuk mudzakar meskipun khithabnya untuk perempuan semua,
tanpa ada seorang laki-laki pun, misalnya; “Iqra’uu (bacalah oleh kalian),
quumuu (berdirilah kalian) dan ukhrujuu (keluarlah kalian).”
Dengan
dasar inilah Al Qur’an diturunkan, seperti firman Allah;
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya…”[8] khithabnya ditujukan untuk semua orang mukmin, baik laki-laki
maupun perempuan. Ini sebagaimana firman Allah;
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh…”[9]
Berdasarkan
ini pula, Allah berfirman;
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah…”[10]
Penyebutan
khithab dengan mudzakar ini berlanjut hingga firmanNya;
“Maka
Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu…”[11]
Khithab dalam ayat ini selalu disebutkan dengan bentuk mudzakar, kemudian Allah
menjelaskan maksudnya setelah kata minkum (diantara kalian);
“Baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain…”[12] jadi, maksudnya adalah laki-laki dan perempuan, kemudian
khithabnya kembali disebutkan dengan bentuk mudzakar;
“Maka
orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti
pada jalan-Ku…”[13]
Dan
selagi rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat beliau dan
isteri-isteri beliau, maka lafazhnya menggunakan bentuk mudzakar untuk menyebut
semuanya, tidak mungkin menggunakan bentuk mu’annats, sebab jika menggunakan
bentuk muannats, maka akan mengeluarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari
ketentuan ayat diatas.
Yang
lebih mengherankan, mereka (Syiah) mengeluarkan para isteri Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dari ketentuan ayat diatas, dengan dalih karena status mereka
perempuan, diwaktu yang bersamaan mereka memasukkan Fathimah –radhiallahu
‘anha- dalam ketentuan ayat diatas meskipun ia seorang perempuan.
[1] QS
Ali Imran; 121
[2] QS Al
Anfal; 5
[3] QS Al
Ahzab; 53
[4] QS Al
Ahzab; 53
[5] QS Al
Ahzab; 33-34
[6] Yaitu
dhamir (kata ganti) yang diperuntukkan untuk laki-laki –penj.
[7]
Dhamir (kata ganti) yang diperuntukkan untuk perempuan
[8] QS
Ali Imran; 102
[9] QS Al
Baqarah; 277
[10] QS
Ali Imran; 190-191
[11] QS
Ali Imran; 195
[12] QS
Ali Imran; 195
[13] QS
Ali Imran; 195
Sumber:
Ayatu at-tathir wa ‘alaqotuha bi ‘ishmatil aimmah karya Dr. ‘Abdul Hadi
al-Husaini