2.
Hadits Al Kisa’
Diriwayatkan
dari Muslim dalam shahihnya, dari Aisyah –radhiallahu ‘anha- ia berkata:
خَرَجَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ
الْحَسَنُ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَ حُسَيْنٌ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَتْ
فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ جَاءَ عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قَالَ "إنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمَ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا"
"Pada
suatu pagi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari rumahnya dengan
membawa kain bulu hitam yang berhias. Tak lama datanglah Hasan bin Ali, lalu
beliau menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian datanglah Husain dan beliau pun
masuk bersamanya ke dalam. Setelah itu datanglah Fatimah dan beliau pun
menyuruhnya masuk ke dalam. Terakhir datanglah Ali dan beliau pun menyuruhnya
masuk ke dalam. Kemudian beliau membaca ayat: "Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu hai ahlul bait dan membersihkanmu
sebersih-bersihnya."[1] (Al Ah zaab: 33).
Dalam
riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam isterinya Ummu Salamah
bersama mereka, bahkan beliau bersabda kepadanya; “Kamu termasuk Ahlulbaitku,
kamu berada diatas kebaikan.”
Akan
tetapi Rasulullah mengatakan: kamu bagian dari Ahlu Baitku dan kamu terus
berada dalam kebaikan.
Apa
Kaitannya?
Kita
tidak tahu apa kaitannya hadits ini dengan mengeluarkan ummahatul mukminin dari
ketentuan hadits diatas?
Tujuan
hadits ini adalah memasukkan kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
tidak tinggal bersama beliau dalam ketentuan ayat diatas, dan bukanlah tujuan
hadits ini membatasi hanya untuk mereka atau mengeluarkan selain dari mereka.
Jadi bukan berarti dengan masuknya mereka. mengeluarkan yang lain. Rahmat Allah
sangat luas bagi siapa saja, tidak sempit untuk seseorang dikarenakan orang
lain.
Seperti
orang yang menunjuk empat temannya; “Mereka adalah teman-temanku” bukan berarti
sebatas mereka saja yang menjadi temannya. Sekiranya seseorang memiliki sepuluh
saudara, kemudian ia menunjuk tiga orang yang sedang bersamanya; “Mereka
bertiga adalah saudaraku.” Tidak disebutkan saudaranya yang lain bukan berarti
menunjukkan ia tidak memiliki saudara yang lain, kecuali kalau memang dia
benar-benar tidak memiliki saudara selain mereka. Qarinah (hubungan) yang
membatasi makna lafazh secara luas maupun sempit merupakan hakekat suatu
perkara, adapun lafazh secara bahasa tidak dapat menafikan atau menetapkan sesuatu,
sementara Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hakekatnya adalah banyak,
lalu atas dasar apa dengan lafazh tersebut kita membatasi sebagian tanpa
sebagian yang lain?
Masalah ini banyak berulang
dalam Al Qur’an, diantaranya;
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus…”[2] artinya (ketetapan) agama yang lurus bukan
sebatas bilangan bulan yang diantaranya empat bulan yang haram saja.
Begitu
halnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Mereka adalah Ahlulbaitku”
maksudnya dari keluagaku.
Jika
lafadz ini mencegah seseorang menjadi Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersama dengan keempat orang tadi, bagaimana mungkin mereka (Syiah)
memasukkan sembilan orang lainnya[3] bersama mereka, sementara kesembilan orang
tersebut sama sekali belum ada ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda dan berdoa dengan do’a tersebut.
Jika mereka
(Syiah) menjawab; Karena adanya dalil mengenai hal itu. Kami katakan: “Semua
dalil diatas menunjukkan bahwa semua isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah Ahlulbait beliau, sementara dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh Syiah
untuk memasukkan kesembilan (imam), tidak ada dalil satu pun dari ayat Al
Qur’an, dan itu tidak lain hanya riwayat-riwayat yang mereka palsukan.
Justru hujjah itu untuk kami
bukan membantah kami
Saya
menambahkan: jika kita perhatikan sedikit saja, niscaya kita akan menemukan
bahwa hadits tersebut merupakan hujjah bagi kita bukan untuk membantah kita,
sebab terdapat qarinah (hubungan) yang sangat jelas, bahwa yang dimaksud dalam
ayat diatas adalah para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sekiranya
ayat diatas turun khusus untuk Ashabulkisa’, maka do’a Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk mereka tidak ada artinya. Apa faidahnya seseorang berdoa untuk
sesuatu yang sudah (ma’shum) sejak awal? Karena itulah, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berdo’a, memohon kepada Allah agar dengan kemurahannya
memasukkan orang-orang yang dido’akan (Ashabulkisa’), sebagai wujud kasihsayang
beliau, supaya mereka juga masuk dalam kategori Ahlulbait, karena memang ayat
diatas sejak awal berbicara tentang isteri-isteri Nabi. Sekiranya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah memastikan bahwa Ashabulkisa’ masuk dalam maksud ayat,
atau beliau sudah nyaman dengan hal itu, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak perlu berdoa untuk mereka.
Lafadz Dengan Bentuk
Umum, Namun Maksudnya Khusus:
Adanya
lafadz dengan bentuk umum, namun makna yang dimaksud adalah khusus cukup
dikenal dalam tatanan bahasa Arab. Jika terdapat qarinah (hubungan) dalam satu
kalimat, maka harus mengembalikan kepada makna yang dimaksud, baik qarinah
(hubungan) tersebut bersifat haliyah maupun lafzhiyah, adapaun yang bersifat
haliyah seperti firman Allah;
“Sesungguhnya
Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya
berpecah belah…”[4]
Lafazh
“Ardhu” dan “Ahluha” sifatnya masih umum, sedangkan maksudnya adalah Mesir dan
penduduknya, ini adalah makna khusus. Qarinah (hubungan ayat) tidak menetapkan
dalam sejarah, bahwa Fir’aun sama sekali tidak pernah menjadi penguasa di
seluruh dunia.
Allah
berfirman sehubungan dengan angin yang dikirim kepada kaum Add;
“Yang
menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya…”[5]
Lafazh
“Kulla syai’in” (segala sesuatu) adalah umum, akan tetapi qarinah lafzhiyah
yang terletak setelahnya menyebutkan;
“Maka
jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat
tinggal mereka.”[6] Maka maknanya menjadi khusus, tidak tempat tinggal secara
umum.
Begitu
halnya dengan lafadz “Ahlubait” dalam ayat diatas, meskipun bentuknya umum,
akan tetapi karena adanya qarinah (hubungan), maka maksud sebenarnya “Ahlubait”
adalah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berdasarkan bentuk dan sebab
turunnya ayat diatas. Saya pastikan kepada para pembaca, bahwa ayat tersebut
khusus kepada isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama sekali qarinah
diatas tidak menyebutkan bahwa beliau menetapkan maksud ayat diatas secara
umum, karena itulah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdo’a kepada para
ashhabul kisa’. Demikian do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut
merupakan penjelasan bagi kita dengan dua perkara:
Pertama,
para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang pertama di
maksud dalam ayat tersebut.
Kedua,
cakupan lafadznya untuk Ahlulbait beliau yang lain, sekiranya bukan karena do’a
Nabi sh’allallahu ‘alaihi wasallam, maka kita tidak akan menentukan perkara
yang kedua, karena itu perhatikanlah.
Adapun membatasi makna ayat
hanya untuk Ahlikisa’ tanpa menyertakan isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah batil, karena beberapa hal;
1.
Secara bahasa, Ahlulbait seorang laki-laki adalah isterinya dan yang tinggal
serumah dengannya, ketika ayat diatas turun, tidak ada yang berada di rumah
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam selain isteri-isteri beliau
2.
Makna yang benar untuk kata “Al Ahlu” adalah isteri, adapun penyandaran kepada
kerabat itu hanya sebagai gaya bahasa saja. Sebelumnya sudah dijelaskan
berkenaan dengan perkataan Al Ashfahani; “Pada dasarnya “Ahlur Rajuli”
(keluarga seseorang) berarti orang yang berkumpul bersama dalam satu tempat
tinggal, dikatakan; Ahlulbait seseorang adalah yang berkumpul bersamanya dari
garis keturunan.” Membawa lafazh kepada makna majazi (kiasan) tanpa makna
hakiki (sebenarnya) tidak dapat diterima kecuali terkumpul dua hal, yaitu:
1)
Adanya Maani’ (penghalang)
2)
Adanya Qarinah (kata yang menyertainya)
“Maani’”
(penghalang) dapat mencegah lafazh dimaknai dengan makna sebenarnya, sedangkan
Qarinah dapat menyebabkan lafazh dimaknai dengan makna majaz (kiasan), namun
(pada ayat diatas) tidak ada halangan memaknai ayat tersebut dengan makna
sebenarnya yaitu “Zaujah” (isteri), bahkan tidak ada qarinah pada saat turunnya
ayat, yang menjadikan maknanya cenderung dimaknai dengan makna umum,
lebih-lebih membatasinya dengan dalih majaz (kiasan).
3.
Sebab turunnya ayat
Bahwa
isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi sebab turunnya ayat ini,
dan menjadi sebab utama masuknya mereka ke dalam ketentuan ayat diatas, yaitu
ketika Ummu Salamah –sebagaimana dinyatakan di sebagian riwayat- hendak masuk
bersama dengan Ahlikisa’, dia berkata; “Bukankah aku termasuk dari keluargamu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjawab: “Engkau termasuk
Ahlulbaitku.” Dan sabda beliau: “Engkau berada diatas kebaikan.” Artinya bahwa
engkau telah diliputi kebaikan, maka engkau tidak perlu masuk bersama mereka,
karena engkau menjadi sebab turunnya ayat, ini seperti makna dalam riwayat yang
lain; “Engkau berada diatas kebaikan, karena engkau termasuk dari isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ini berarti, sekiranya Ashabulkisa’ telah
tercakup dalam ketentuan ayat diatas, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak akan mendo’akan mereka.
4.
Siyaqul Ayat (konteks ayat),
Dari
siyaqul ayat (konteks ayat) menolak untuk memasukkan kata-kata asing diantara
dua perkataan untuk satu tujuan berdasarkan perkataan orang-orang bijak, jika
tidak maka maknanya akan sangat rendah dan hina yang hal itu harus dijauhkan
dari kalamullah. Lantas, apa kaitannya antara ishmahnya beberapa orang tertentu
berdasarkan suatu perkataan untuk memasukkan yang lainnya ke dalam bagiannya?
5.
Rumah Nabi adalah yang dimaksud dalam ayat tersebut, bukan rumah orang lain.
Sebab
yang menempati Rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat turunnya ayat
adalah isteri-isteri beliau, disamping itu terdapat rumah Ali radhiallahu ‘anhu
yang berdiri sendiri. Sangat tidak mungkin terpikir dibenak Nabi atau yang
lainnya bahwa yang dimaksud “Ahlulbait” dalam ayat diatas adalah rumah Ali
radhiallahu ‘anhu, namun yang benar adalah rumah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Barangsiapa mengatakan bahwa makna “Ahlulbait” khusus untuk
Ashabulkisa’, maka yang demikian mengharuskan ayat diatas turun khusus untuk
Ahlulbait Ali, bukan Ahlulbait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seolah-olah
dalam ayat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ali tanpa ada
perbedaan, sekiranya kita mengangkat Nabi dan meletakkan pada posisi Ali,
maknanya pun tidak berubah, begitu juga sekiranya kita mempersepsikan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki rumah pribadi, mungkinkah ada
tempat untuk turunnya rahmat dan keberkahan? Ini tidak mungkin dikatakan oleh
seorang muslim dan orang yang memiliki akal.
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan diatas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kurang
tenang karena ayat tersebut maknanya umum, yang mencakup semuanya, sehingga
beliau berdo’a dengan do’a yang cukup dikenal untuk Ashahbulkisa’, karena itu
kita menetapkan makna umum bagi ayat diatas, sebab kalau bukan adanya hadits
kisa’, kita tidak dapat menetapkan hal itu.
Kesimpulan:
Demikianlah, sanad lughawi yang digunakan untuk menafsirkan ayat diatas dengan
“ishmah” menjadi gugur, lebih-lebih kema’shuman orang-orang yang mereka
tentukan, jadi hujjah mereka dengan ayat diatas untuk hal itu telah gugur.
(Team Syiahindonesia.com)
[1] QS Al
Ahzab; 33
[2] QS At
Taubah; 36
[3]
Maksudnya Sembilan imam Syiah selain Ali, Hasan dan Husain -penj
[4] QS Al
Qashash; 4
[5] QS Al
Ahqaf; 25
[6] QS Al
Ahqaf; 25
Sumber:
Ayatu at-tathir wa ‘alaqotuha bi ‘ishmatil aimmah karya Dr. ‘Abdul Hadi
al-Husaini