Buku “Akhirnya Kutemukan Kebenaran” yang dalam versi bahasa arabnya berjudul “Tsumma Ihtadaitu” karangan Dr. Muhammad At-Tujani As-Samawi merupakan salah satu buku di antara deretan buku-buku penebar fitnah, kedustaan dan kesesatan yang banyak menipu umat Islam. Mereka tertipu dari tutur bahasanya yang mengalir dan indah, sehingga dengan kebodohan mereka, mereka terlena dan terjatuh dalam perangkapnya.
Buku tersebut merupakan buku memoar kisah perjalanannya dalam mencari “kebenaran” dari berbagai negeri yang ia kunjungi. Sehingga alur cerita yang demikian menggugah banyak orang yang tidak menyadari pesan busuk yang terkandung di dalamnya.
Menurut sepengetahuan kami, belum ada buku berbahasa Indonesia yang membantah buku tersebut, padahal buku versi bahasa indonesianya sudah terbit sejak lama, sekitar tahun 1993 M. karenanya banyak orang yang tidak mempunyai refrensi memadai untuk menimbang isi buku itu. Kalau buku bantahan berbahasa arab itu sudah banyak, di antara yang kami punya adalah buku “Kasyf al Jani li Muhammad At-Tijani” karangan Syekh Utsman bin Muhammad Al-Khamis -hafizahullah-, kemudian buku “Al-Intishar li Ash-Shahbi wa Al-Aal Min Iftira’ati As-Samawi Adh-Dhaal” karangan Syekh Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili -hafizahullah- dan terkahir buku “Bal Dhalalta, Kasyfu Abathil At-Tijani Fi Kitabihi Tsumma Ihtadaitu”.
Maka lewat media ini kami berusaha menerjemahkan isi dari buku-buku di atas, terutama buku pertama dan kedua secara berseri, dan jika nanti sudah selesai kami berniat untuk menerbitkannya dalam bentuk buku terjemahan, insya Allah.
Untuk memulainya kami nukilkan pengantar dari Syekh Utsman bin Muhammad Al-Khamis -hafizahullah- dalam buku beliau, “Kasyf al Jani li Muhammad At-Tijani”, yang berbicara tentang Profil At-Tijani.
Syekh Utsman Al Khamis berkata,
Tijani mengaku bahwa ia merupakan alumni dari Universitas Az-Zaitunah di Tunisia, ia dulu merupakan seorang Shufi menisbahkan diri ke dalam firqah At-Tijaniyah, kemudian ia pindah ke Kerajaan Saudi Arabia, di sana ia berubah menjadi seorang Wahabi dan ketika kembali ke Tunisia, ia menyebarkan faham Wahabi dan mengingkari faham Sufi dan selainnya. Kemudian setelah itu ia pergi ke Beirut dan bertemu di Bakhirah dengan seorang yang bernama Mun’im, ia terpengaruh dengannya. Kemudian ia pergi ke Irak, di sana ia berubah menjadi seorang Syiah Itsna Asyari, ia mengaku bahwa ia tidak menjadi seorang Syiah kecuali setelah melakukan pencarian yang sungguh-sungguh akan kebenaran yang pada akhirnya ia sampai padanya.
Semoga saja ia seorang yang jujur dalam pengakuan-pengakuannya, jika demikian kami akan menaruh tangan kami pada tangannya. Akan tetapi dengan kesedihan yang mendalam, ternyata kitab-kitabnya penuh dengan kebohongan, penipuan, pemutar-balikan, hal gila dan fitnah. Ini semua akan anda lihat dalam lembaran-lembaran buku ini.
Ia menitik beratkan satu pembahasan dalam keempat bukunya yang telah disebutkan (Tsumma Ihtadaitu, Fas’aluu Ahla Adz-Dzikri, La’akunu Ma’a Ash-Shadiqin dan Asy-Syi’ah Hum Ahlus Sunnah), yaitu mencela sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal sebenarnya Syiah tidak memiliki sedikitpun selain ini ketika mereka berdialog dengan Ahlus Sunnah.
Mereka tidak punya argumen dalam hal ini, karena Ahlus Sunnah tidak mengatakan bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam orang-orang yang maksum seperti pribadi-pribadi, bahkan mereka (Ahlus Sunnah) membolehkan di antara mereka terjatuh dalam kesalahan, akan tetapi mereka dengan kesalahan ini memuliakan mereka dan melihat kesalahan-kesalahan ini dengan pandangan orang yang adil, membandingakan antara kesalahannya yang sedikit dan kebenarannya yang banyak.
Di antara hal yang dengannya Syiah mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu terbagi menjadi empat bagian:
1. Kebohongan-kebohongan yang didustakan kepada mereka yang sebenarnya tidak pernah terjadi
2. Masalah-masalah yang merupakan ruang ijtihad
3. Kesalahan-kesalahan kecil yang dibesar-besarkan kemudian ditambah dengan kebohongan-kebohongan.
4. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada mereka yang tenggelam dalam lautan kebaikan mereka.
Seandainya saja Tijani jujur dalam pengakuan-pengakuannya, padahal ia sebenarnya pencari kebenaran, kenapa ia berbohong. Pembawa kebenaran itu tidak berbohong dan pembawa kebatilan-lah yang akan berbohong, wallahul Musta’an.
Akan kemukakan bantahan secara umum kepada At-Tijani dan Metodenya dalam menyusun buku-bukunya…
Oleh. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili
Sebelum membantah secara rinci
masalah-masalah yang disebutkan oleh penulis (Dr. Muhammad At-Tijani, dan
setiap disebutkan “penulis” maka yang dimaksud adalah Dr. Tijani) dalam bukunya
yang pertama “Tsumma Ihtadaitu” (Akhirnya Kutemukan Kebenaran) saya harus
menjelaskan terlebih dahulu cara dan metode yang ia gunakan dalam penyusunan
bukunya, bagaimana tingkat kejujurannya, amanahnya, dan bagaimana kedalaman
ilmunya, agar pembaca mengetahui itu semua sebelum masuk pada tahap bantahan.
Itu dengan cara menjelaskan tingkat
kebodohan penulis (Dr. Muhammad At-Tijani), tipu dayanya, kedustaannya,tadlis (pemutarbalikan
fakta) nya dan kontradiksi ucapan-ucapannya. Dan juga penjelasan bagaimana ia
mengikuti prasangka semata dalam berbagai pernyatannya, tidak becusnya dalam
menukil, melencengnya dari prinsip-prinsip dasar penyusunan sebuah karya
ilmiah pada buku-bukunya, penyimpangannya terhadap metode yang ia
terapkan sendiri, bahkan penyimpangannya terhadap akidah Rafidhah yang sudah
dikenal di kalangan mereka.
semua ini akan dipaparkan dengan cara
menelaah perkataan-perkataannya, membandingkannya, kemudian mendialogkan
masalah-masalah yang ia tulis pada keempat bukunya yang telah disebutkan.
Berikut perinciannya:
Pertama: Kebodohannya
Yang menunjukkan kebodohannya adalah apa
yang ia tulis tentang dirinya, bahwasanya dia tidak memiliki perpustakaan
khusus kecuali setelah seorang Rafidhah di Irak menghadiahkan kepadanya
sekumpulan kitab, ia berkata, “Ketika saya masuk ke rumah saya, saya
dikagetkan dengan banyaknya buku yang tiba sebelum saya dan saya tahu dari mana
datangnya…..saya sangat senang, kemudian saya susun buku-buku itu dalam satu
rumah khusus yang saya beri nama perpustakaan”(lihat “Tsumma
Ihtadaitu, hal 86-87”)
Kemudian setelah itu dia berkata, “Saya
pergi ke ibu kota, saya beli shahih Bukhari, Muwaththa’ Malik, dan selainnya
dari kitab-kitab yang terkenal, saya tidak menunggu pulang ke rumah, di
sepanjang jalan antara Tunisia dan Qafshah dalam angkutan umum yang saya naiki,
saya buka-buka Shahih Bukhari, saya cari kisah Tragedi hari kamis dengan
berharap agar tidak mendapatkannya, namun sayangnya saya mendapatkannya…..” (Tsumma
Ihtadaitu, hal 88)
Silakan pembaca perhatikan ucapannya, “Kemudian
saya susun buku-buku itu dalam satu rumah khusus yang saya beri nama perpustakaan”, seakan-akan
dialah orang yang pertama kali membuat perpustakaan di rumah kemudian
memberinya dengan nama ini (perpustakaan) yang dia kira belum ada orang yang
mendahuluinya (dalam memberikan nama dengan nama “perpustakaan”), kemudian dia
beli dua kitab shahih dan kitab-kitab yang terkenal dalam bidang hadis setelah
sebelumnya dia tidak mempunyainya dan tidak mengetahuinya.
Dalam waktu yang sama, hampir-hampir semua
kitab ini dimiliki oleh penuntut ilmu yang pemula, bagaimana lagi jika orang
yang mengklaim dirinya ulama, kemudian memberanikan diri melakukan penelitian
dan penyusunan dalam masalah yang paling kompleks dan paling rumit, yaitu
masalah akidah.
Inilah dia. Penulis juga telah
memperkenalkan dirinya bahwa dia tidak mempunyai ilmu-ilmu syari’i, dimana ia
mengklaim –karena kebodohannya- bahwa dia tidak butuh pengetahuan perihal para
sahabat dalam penelitiannya.
Ia berkata dalam nukilan perdebatannya dengan
seorang alim sunni, “Ia berkata: ‘Anda tidak mungkin melakukan ijtihad
sebelum anda mengetahui tujuh belas ilmu, di antaranya ilmu tafsir, bahasa,
nahwu, sharf, balaghah, hadis, tarikh, dan lain sebagainya.’ Kemudian saya
potong dan saya katakan, ‘Saya tidak berijtihad untuk menjelaskan kepada
manusia hukum-hukum yang ada dalam Al Quran dan Sunnah atau ingin menjadi
pemilik mazhab dalam Islam, tidak, akan tetapi agar saya mengetahui siapa yang
berada di atas kebenaran dan siapa yang berada di atas kebatilan, untuk
mengetahui jikalau Imam Ali berada di atas kebenaran atau Muawiyah misalnya,
dan ini semua tidak harus menguasai tujuh belas ilmu tadi, cukuplah saya
mempelajari peri kehidupan keduanya dan apa saja yang mereka perbuat sampai
saya menjelaskan hakikatnya’.” (Tsumma Ihtadaitu, hal 150)
Saya katakan, dengan cara inilah penulis
jatuh dalam banyak kesalahan dan kepandiran yang penuntut ilmu pemula saja
tahu.
Seperti ungkapan dalam bukunya, Fas’aluu
Ahla Adz-Dzikri, “Jika anda bertanya pada mereka –Ahlus Sunnah-
tentang orang-orang munafik yang pada mereka turun lebih dari 150 ayat dalam
dua surat, At-Taubah dan Al-Munafiqun, mereka akan menjawab, ‘Dia itu Abdullah
bin Ubay dan Abdullah bin Abi Salul’, setelah dua nama ini mereka tidak akan
mendapatkan nama lain” (Fas’aluu Ahla Adz-Dzikri, hal 119)
Dia juga katakan, “Bagaimana
mungkin orang-orang munafik hanya dibatasi pada Ibnu Ubay dan Ibnu Abi Salul
yang sudah diketahui oleh seluruh kaum Muslimin” (Fas’aluu Ahla Adz-Dzikri,
hal 119)
Dia telah terjatuh dalam beberapa
kesalahan yang sangat ceroboh:
Pertama: Perkataannya, “Yang pada mereka turun lebih
dari 150 ayat dalam dua surat, At-Taubah dan Al-Munafiqun”, jumlah ayat
dari dua surat, At-Taubah dan Al-Munafiqun tidak sampai 150 ayat, At-Taubah
berjumlah 129 ayat dan Al-Munafiqun berjumlah 11 ayat, dengan catatan bahwa
tidak semua ayat itu berbicara tentang perihal orang-orang Munafik, 3 ayat
akhir dari dari surat Al-Munafiqun tidak berbicara tentang orang-orang munafik,
begitu juga pada surat At-Taubah banyak ayat-ayatnya yang tidak berbicara
tentang perihal orang-orang munafik.
Dan yang dipahami dari perkataannya bahwa
ayat-ayat yang turun berkenaan dengan orang-orang munafik terbatas pada dua
surat, ini merupakan kesalahan yang lain, padahal banyak ayat yang turun
berkenaan dengan orang-orang munafik tidak hanya pada dua surat tadi, seperti
yang terdapat dalam surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah dan lain
sebagainya. (sebagai contoh, dalam surat Al Baqarah: 8-20, 204-206, dalam surat
Ali Imran: 120 dan 154, dalam surat An-Nisa’: 60-66, 72-73, 138-146, dan dalam
surat Al-Maidah: 41, 52 dan 53)
Kedua: Sangkaannya bahwa Ibnu Ubay bukanlah Ibnu Salul dan
bahwa mereka itu dua laki-laki yang berbeda, padahal sebenarnya mereka itu satu
orang, dia itu Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong munafikin dan pemimpin
mereka di Madinah.
Ketiga: Perkataannya, “Setelah dua nama ini mereka
tidak akan mendapatkan nama lain”, ini di antara kebodohannya yang
murokkab (sangat bodoh), dia sangat lancang berbicara tanpa ilmu, tidak juga
dengan kroscek terlebih dahulu. Jikalau perkataan-perkataan serampangan ini
dirujuk kembali (dicek) kepada kitab yang paling masyhur tentang Sirah, yaituSirah
Ibnu Hisyam, dia akan mendapatkan bahwa penyusun buku tersebut memaparkan
dalam juz dua nama-nama kelompok besar orang-orang munafik lebih dari 10
halaman, beliau menyebutkan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka,
beliau juga menjelaskan sebagian ayat Al-Quran yang turun kepada mereka orang
perorang. (lihat Sirah Ibnu Hisyam: 2/548-557)
Nama-nama ini selain dari pada nama-nama
yang disebutkan oleh ahli tarikh dan ahli tafsir yang lain dalam kitab-kitab
tafsir.
Juga di antara kebodohan penulis yang
sangat fatal adalah perkataannya, “Para sahabat yang murtad seperti Mu’awiyah,
Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, Abu Hurairah, Ikrimah dan Ka’ab Al-Ahbar dan
selian mereka diganti dengan sahabat yang pandai bersyukur…..” (Tsummah
Ihtadaitu, hal 158). Perkataan ini dan apa yang dikandungnya berupa
penyimpangan dan kesesatan yang sangat jauh, untuk bantahannya silakan merujuk
pada tempat pembahasan dalam buku ini (Al-Intihsar, Dr. Ibrahim bin Amir
Al-Ruhaili), maka sesungguhnya ia mengandung kesalahan yang buruk dimana dia
memasukkan Ka’ab Al-Ahbar sebagai sahabat padahal dia termasuk generasi
Tabi’in, beliau masuk Islam setelah wafatnya Nabi Shallallahu alaihi wasallam,
kemudian ia mendatangi kota Madinah di masa Umar radhiyallahu ‘anhu, ini sudah
masyhur di kalangan ahlul ilmi, akan tetapi penulis dengan kebodohannya telah jatuh
pada kesalahan berat dan gamblang seperti ini.
Secara umum, kesalahan-kesalahan penulis
menunjukkan kebodohannya, perbekalan ilmunya yang sedikit. Yang saya kemukakan
ini hanya sebagai contoh yang menunjukkan kebodohannya, sebelum masuk ke dalam
perincian bantahan kepadanya, di tengah bantahan akan ada tambahan dari apa
yang telah disebutkan di atas, Insya Allahu Ta’ala.
Kedua: Kekagumannya Terhadap Dirinya
Sendiri
Keperibadian penulis dihiasi dengan
berbangga atas dirinya sendiri, itu nampak di sela-sela pengabarannya tentang
dirinya, dan mentazkiyah dirinya sendiri dalam banyak tempat di dalam
buku-bukunya, di antara contohnya:
Perkataannya tentang perjalanan hajinya, “Karena
itu saya mengira bahwa Allah-lah yang memanggilku, membimbingku, dan membawa
saya kepada tempat itu di mana jiwa akan mati tanpa harus sampai kepadanya
dengan berlelah-lelah dan mengharap” (Tsummah Ihtadaitu, hal 14)
Dia juga berkata, “Sebagai bimbingan
rabbani yang lain, dijadikan untukku bagi setiap orang yang melihatku dari para
delegasi akan mencintaiku dan meminta alamatku untuk bisa berkirim surat” (Tsumma
Ihtadaitu, hal 14)
Dia berkata, “Mereka juga
memberikan berita gembira kepada saya bahwa Shahib Az-Zaman, yakni Syekh
Ismail, telah memilihku untuk menjadi Khashshatul-Khashshah, yakni orang yang
paling dekat dengannya. Mendengar ini hatiku terasa gembira sekali. Saya
menangis lantaran sangat terharunya pada karunia Allah yang terus mengangkatku
dari makam yang tinggi, dari kedudukan yang baik kepada yang lebih baik lagi….”(Tsummah
Ihtadaitu, hal 16)
Inilah dia sebagian perkataan penulis
dalam menggambarkan dirinya sendiri, dan mentazkiah dirinya. Cukuplah itu
sebuah keburukan bagi seseorang, kekurangan pada agama, ilmu dan akalnya, Allah
swt berfirman,
“Maka Janganlah kamu mentazkiah
(mensucikan) dirimu sendiri, Dialah yang mengetahui siapa yang bertakwa”(Terjemahan QS. An-Najm: 32),
Ia juga berfirman, “Apakah kamu
tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Perhatikanlah, bagaimana mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah
perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka)” (Terjemahan QS.
An-Nisa’: 49-50)
Bersama dengan jatuhnya orang hina ini ke
dalam bahaya yang besar, ternyata terkumpul juga padanya dosa yang lain, yaitu
bangganya dia terhadap maksiat-maksiat seperti musik, banyaknya melakukan
perjalanan ke negeri-negeri kafir, pengetahuannya tentang negeri-negeri itu, di
mana dia katakan ketika ia berbicara tentang kunjungannya ke Mesir,
“….Tampaknya mereka kagum terhadap
semangat, ketegasan serta keluasan wawasan yang kumiliki. Jika mereka bicara
tentang seni, saya bernyanyi. Apabila mereka berbicara tentang zuhud dan
kehidupan sufistik, kuceritakan bahwa saya dari tarekat Tijaniyah dan juga
Madaniyah. Jika mereka bicara tentang dunia barat, kuceritakan kepada mereka
tentang Perancis, London, Belgia, Belanda, Italia dan Spanyol yang sempat
kukunjungi di masa-masa liburan musim panas. Bila mereka berbicara tentang haji
maka kuceritakan bahwa saya juga telah menunaikan haji dan umrah. Kuceritakan
kepada mereka tempat-tempat yang tidak mereka ketahui, sekalipun oleh mereka
yang pernah pergi haji sebanyak tujuh kali, seperti Gua Hira, Gua Tsur, dan
tempat dimana Nabi Ismail disembelih. Bila mereka bicara tentang sains dan
penemuan-penemuan, kuceritakan juga tentang sains secara detail dan rinci. Bila
mereka berdiskusi tentang politik, saja juga kemukakan pandangan-pandangan
saya” (Tsumma Ihtadaitu,
hal 23-24)
Sampai dia berkata, “Dan yang
penting dari semua kisah yang telah saya ceritakan dalam penggalan ini adalah
mulai membumbungnya perasaanku dan sikap mengagumi diri yang mulai timbul. Saya
berpikir bahwa saya telah menjadi seorang alim yang berpengetahuan tinggi.
Betapa tidak, ulama-ulama al-Azhar sendiri yang telah mengakui hal tersebut.
Ada di antara mereka yang berkata: ‘Tempatmu sudah selayaknya di al-Azhar ini’.
Dan yang lebih membanggakan lagi adalah bahwasanya Rasulullah saw memberikan
izin kepadaku untuk melihat peninggalan-peninggalannya, seperti yang dikatakan
oleh pegawai yang mengurus masjid Sayyidina Husain di Kairo…” (Tsummah
Ihatadaitu, hal 24)
Maka selamat untuk penulis dengan
kemuliaan ini. kemuliaan-kemuliaan inilah yang telah membuatnya
bersungguh-sungguh untuk menetapi akidah Rafidhah, dan masuk dalam gerombolan
Ibnu Saba’, Ibnu Al-Alqami, Nashir (Asy-Syirk) Ath-Thusi, Ibnu Muthahhir,
Khumaini dan selain mereka.
Kita memohon kepada Allah dengan
Kemuliaan-Nya dan Kemurahan-Nya keselamatan, ampunan dan akhir yang baik. Dan
menjauhkan kita dan juga kaum Muslimin dari jalan kesesatan. (dialihbahasakan
olehlppimakassar.com)
Sumber: Al-Intishar, Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili, hal
154-162