Oleh: Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili
Ketiga: Kedustaan dan Penipuannya
Ada banyak contoh yang membuktikan
kedustaan penulis, penipuan dan kebohongannya pada buku-bukunya, di antaranya
adalah sebagai berikut:
Dalam kitabnya “Asy-Syi’ah Hum Ahlus
Sunnah”,
“Sesuai dengan yang telah kita sebutkan
bahwa kelompok yang menamakan diri dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka
itulah yang menganggap sahnya Khulafa’ Rasyidun yang empat, Abu bakar, Umar,
Utsman dan Ali, inilah yang diketahui manusia pada hari ini. Akan tetapi
hakekat sebenarnya yang menyakitkan adalah bahwa Ali bin Abi Thalib sebenarnya
tidak dianggap Khulafa Rasyidun oleh Ahlus Sunnah, mereka tidak mengakuinya
bahkan kekhalifahannya secara syar’i. Ali bin Abi Thalib dimasukkan dalam
kelompok al-Khulafa ar-Rasyidun pada waktu yang belakangan sekali, itu pada
tahun 230 H, zamannya Ahmad bin Hambal. Adapun sahabat yang bukan Syiah, juga
para khalifah, raja dan para amir yang memerintah kaum Muslimin dari zamannya
Abu Bakar sampai zamannya Khalifah Abbasiyah, Muhammad bin Rasyid Al-Mu’atshim,
tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Bahkan ada di antara
mereka yang melaknatnya dan tidak menganggapnya termasuk bagian kaum Muslimin.
Jika tidak, maka bagaimana boleh bagi mereka mencelanya dan melaknatnya di atas
mimbar-mimbar” (Asy-Syiah
Hum Ahlus Sunnah, hal 45)
Dia juga berkata, “Setiap itu kami
katakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak menerima kekhalifahan Ali kecuali
setelah zamannya Ahmad bin hambal, benar, bahwa Ahmad bin Hambal yang
mengatakan itu, akan tetapi Ahli Hadis tidak puas, sebagaimana yang telah kami
sebutkan, karena mereka berqudwah dengan Abdullah bin Umar” (Asy-Syiah
Hum Ahlus Sunnah, hal 49-49)
Klaimnya bahwa Ahlus Sunnah tidak mengakui
kekhalifahan Ali dan tidak menganggapnya sesuai syar’i kecuali setelah zamannya
Ahmad bin Hambal, dan bahwa sahabat juga seperti itu bahkan ada di antara
mereka yang mengkafirkan Ali adalah kebohongan yang besar dan kedustaan atas
nama Ahlus Sunnah wal Jamaah, dimana kecintaan kepada Ali ra. dan berloyalitas
padanya, meyakini absahnya kekhalifahannya setelah tiga khalifah rasyidah,
dimana dia yang keempat, merupakan suatu hal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah
di sepanjang masa dan di setiap tempat, dari masa sahabat sampai hari ini.
Kemasyhuran masalah ini telah sampai pada tahap mutawatir antara yang khusus
dan umum di sisi Ahlus Sunnah. Juga menjadi hal yang penting dan diterima
di sisi mereka. Tidak mungkin ada yang berani mendebat penetapan ini kecuali
orang yang sangat bodoh atau yang tenggelam dalam kebohongan dan dusta.
Oleh karenanya, klaim sang rafidhy (selanjutnya
yang dimaksud rafidhy adalah Dr. Muhammad Tijani) dalam
masalah ini merupakan dalil yang paling terang dan bukti yang paling kuat atas
kebohongannya yang sangat parah dan kedustaannya yang besar.
Di antara contoh kedustaan dan penipuannya
yang lain adalah perkataannya dalam kitabnya “Tsummah Ihtadaitu” (Akhirnya
Kutemukan Kebenaran), “Di antara hadis-hadis yang saya ambil dan
membuat saya berqudwah (menjadikan teladan) kepada Imam Ali adalah hadis-hadis
yang ada dalam kitab-kitab shahih Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan saya sudah cek
keshahihannya, dan Syiah di sisi mereka paling dha’ifnya, akan tetapi
–sebagaimana biasanya- saya tidak akan berdalil dan tidak akan bersandar
kecuali pada hadis-hadis yang disepakati oleh kedua pihak”(Tsummah
Ihtadaitu, hal 172)
Kemudian dia menyebut hadis-hadisnya:
- Hadis:
“Saya kota ilmu dan Ali pintunya”
- Hadis:
“Sesungguhnya ini adalah saudaraku, pemilik wasiatku, khalifah setelahku, maka
dengarlah dan taatilah dia”
- Hadis:
“Siapa yang ingin hidup seperti peri kehidupanku, meninggal sebagaimana aku
meninggal dan menempati surga ‘aden yang dibuat oleh Tuhanku maka hendaklah ia
berwalikan kepada Ali setelahku dan berwali kepada walinya…” (Tsummah
Ihtadaitu, hal 172, 176 dan 191)
(lihat: Al-Maudhu’at karya
Ibnul Jauzi: 1/357, At-Tadzkirah fil Ahadits Al Musytahirah karya
Az-Zarkasyi: 163, Al Maqashid Al Hasanah karya As-Sakhawi:
169,Kasyf Al Khafa’ karya Al-‘Ajluni: 1/203, Majmu Al
Fatawakarya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 4/410, Minhaj As Sunnah karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 7/299-354, Talkhis karya
Adz-Dzahabi, dan Mustadrak karya Al Hakim: 3/139)
Ini merupakan kedustaan dan tipuan.
Hadis-hadis yang disebutkan tidak ada dalam kitab-kitab shahih Ahlus Sunnah
yang menjadi pegangan, mereka pun tidak menghukuminya sebagai hadis shahih,
bahkan mereka menghukuminya sebagai hadis batil dan maudhu’, pada pembahasan
mendatang kami tengahkan bantahannya terhadap penulis tentang hal itu, saya
kemukakan ini hanyalah untuk menunjukkan kedustaannya yang dia klaim (shahih).
Di antara gambaran kedustaannya yang lain
adalah apa yang dia klaim tentang polisi-polisi di Madinah Munawwaroh
yang memusuhi orang-orang yang berhaji dengan cara memukul mereka. Ia berkata,
“Suatu hari saya mengunjungi pekuburan
Baqi’. Saya berdiri di sana sambil memberikan bentuk kasih sayang saya terhadap
arwah Ahlul bait. Di dekat saya ada seorang tua yang menangis. Dari tangisannya
saya tahu bahwa dia adalah orang Syiah. Kemudian dia menghadap kiblat dan shalat.
Tiba-tiba secepat kilat seorang polisi datang menghampirinya. Polisi ini
memperhatikan gerak-gerik orang tua ini dari tadi. Ketika orang tua ini sujud,
dia ditendang dengan keras sekali hingga jatuh tersungkur. Dia pingsan tak
sadarkan diri beberapa saat. Kemudian si polisi ini memukulnya lagi dan
mencaci-makinya dengan kata-kata yang keji. Hatiku terharu melihat nasib orang
tua ini, saya kira dia sudah mati. Saya mendekat dan ingin membelanya,
kukatakan pada polisi ini, haram bagimu memperlakukan dia seperti ini, kenapa
kamu menendangnya padahal dia sedang shalat? Dia menghentakku sambil berkata,
‘Diam kamu, jangan ikut campur, biar tidak kuperlakukan seperti dia’…..”(Tsummah Ihtadaitu, hal 82-83)
Perkataannya ini tidak lepas dari
kedustaan dan kebohongan yang diketahui oleh setiap orang Islam yang pernah
mengunjungi negeri ini, baik dia haji, umrah, atau selainnya dari para pekerja
dan yang memiliki kebutuhan, mereka banyak sekali. Ada jutaan orang yang
mengunjunginya dalam setahun. Mereka semua menyaksikan dan merasakan keamanan
dan ketentraman yang dirasakan oleh para hujjaj dan pengunjung, juga ketenangan
jiwa, dengan cara yang disediakan oleh Daulah Saudiyah Sunniyah Salafiyah
berupa fasilitas umum dan bangunan-bangunan, serta sarana-sarana modern dalam
berbagai aspek untuk melayani para hujjaj dan pengunjung. Kemudian juga usaha
pemerintah dalam mengerahkan polisi untuk berjaga-jaga dalam rangka memberikan
kemudahan kepada mereka dengan muamalah yang baik dan lembut. Sampai perjalanan
haji dan umrah itu menjadi terasa seperti tamasya yang indah, dimana para hujjajdan
orang yang umrah mendapatkan ketenangan dan ketentraman, semua ini tentu dengan
karunia Allah kemudian pelayanan Daulah Saudiyah.
Adapun orang Rafidhah (Syiah), semua orang
tahu bahwa mereka itu suka menimbulkan masalah dan kekacauan, terlebih lagi di
musim haji. walaupun begitu, Daulah (Arab Saudi) diberi taufik oleh Allah untuk
melawan kejahatan mereka dengan cara yang paling mudah, menghadapi keburukan
dengan kebaikan. Dengan menjaga keamanan negeri ini yang Allah wajibkan
kepadanya kemudian kepada kaum Muslimin.
Ini merupakan perkara yang tidak
tersembunyi -dengan segala pujian untuk Allah- atas orang yang memperhatikan
perkembangan terbaru, lebih khusus lagi bagi jutaan orang yang berhaji dan
umrah pada setiap tahun. Maka siapakah yang diperangkap oleh pendusta lagi
pendosa ini, dari cerita buatan Rafidhah dan tipu muslihat mereka terhadap kaum
Muslimin?!! (Dialihbahasakan oleh lppimakassar.com)
Oleh:
Dr. Ibrahim Bin Amir Ar-Ruhaili
Keempat:Kontradiksi
Perkataan Tijani
Perkataan-perkataan
penulis saling bertentangan satu dengan yang lainnya, begitu juga dengan
pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan. Hampir tidak ada masalah yang ia
sebutkan kecuali terdapat kontradiksinya di tempat lain. Hingga hal ini menjadi
ciri tersendiri kitab ini. Dan ini tidak mengherankan karena yang demikian
adalah ciri khas para pengikut hawa nafsu dan pelaku bid’ah, karena sebenarnya
perkataan dan pernyataan mereka dibangun atas pikiran-pikiran manusia semata
dan hawa nafsu mereka, Allah I berfirman :
Seandainya
Al Qur’an itu berasal dari selain Allah maka mereka akan mendapatkan di
dalamnya pertentangan yang banyak. (Terjemahan QS. An-Nisa’: 82)
Berikut
ini beberapa kontradiksi dalam kitab tersebut:
1.Dalam buku Asy-Syiah Hum Ahlu Sunnah ia
mengatakan, “Satu dalil saja sudah cukup membuktikan kepada kita,
sebagaimana yang telah kami sebutkan, bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah tidaklah
dikenal kecuali pada abad kedua hijriah dengan menolak Syiah yang telah
mengakui dan menjadikan Ahlul bait sebagai pedoman. Kami tidak mendapati sedikitpun
dalam fiqh dan ibadah mereka yang bersumber dari Sunnah Nabawiyah yang
diriwayatkan dari Ahlul Bait” (Asy-Syiah Hum Ahlu Sunnah, hal 300)
Perkataannya ini bertentangan dengan
pernyataannya yang lain pada kitab yang sama, “Jika kita ingin
memperluas pembahasan kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Ahlus Sunnah wal
Jamaah-lah yang memerangi Ahlul Bait Nabi yang dipelopori oleh para pemimpin
Bani Umayyah dan Abbasiyah. Oleh karena itu kalau Anda lihat aqidah dan
kitab-kitab hadis mereka Anda tidak akan mendapatkan sedikitpun fiqh ahlul bait
yang disebut-sebut. Bahkan, Anda akan temukan semua fiqh dan hadis mereka
bersumber dari musuh-musuh ahlul bait” (Asy-Syiah Hum Ahlu Sunnah, hal
295)
Pada teks yang pertama ia mengklaim bahwa
semua aqidah dan fiqh ahlu sunnah merujuk kepada Ahlul Bait, sedangkan pada
teks yang kedua kebalikannya 180 %. Ia mengklaim bahwa ahlu sunnah mengambil
semua aqidah dan fiqh mereka dari musuh-musuh Ahlul Bait dan juga fiqh Ahlul
Bait tidak disebutkan sama sekali.
2.Perkataannya, “Isyarat
menunjukkan bahwa syiah mengambil hukum berlandaskan al Qur’an dan Sunnah dan
tidak menambahkannnya sedikit pun, itu karena adanya teks-teks yang ada pada
para Imam mereka di setiap masalah yang dibutuhkan oleh manusia” (Asy-Syiah
Hum Ahlu Sunnah, hal 138)
Bertentangan dengan perkataannya, “Rangkaian
ahli fiqhi mujtahid dimulai sejak zaman itu hingga hari ini saling bersambung
tanpa ada yang terputus. Di setiap masa ada satu rujukan (marja’) utama atau
beberapa rujukan milik syiah, mereka bertaklid kepada amalan para ulama yang
dijadikan marja’ itu, sesuai dengan risalah-risalah ilmiah yang digali hukumnya
oleh setiap ulama dari al qur’an dan sunnah, dan mereka tidak berijtihad
kecuali dalam urusan kontemporer yang ada pada zaman itu disebabkan
perkembangan ilmu dan teknologi” (Asy-Syiah Hum Ahlu Sunnah, hal 144)
Pada teks yang pertama ditegaskan bahwa
syiah berpatokan pada teks alqur’an dan Sunnah, dan tidak menambahkannya
sedikit pun, karena telah ada nash yang cukup bagi mereka pada setiap
permasalahan.
Namun pada teks yang kedua ia katakan
bahwa rangkaian para fuqaha’ mujtahidin syiah senantiasa bersambung dari masa
ke masa, mereka menggali hukum dari teks-teks (Al Quran dan hadis) yang mereka
butuhkan berupa permasalahan-permasalahan kontemporer.
3. Perkataannya, “Adapun para Shahabat
yang bukan golongan syiah, para khalifah, raja dan umara yang memerintah kaum
muslimin sejak era Abu Bakar hingga masa khalifaan Abbasiah Muhammad bin
Ar-Rasyid al Mu’tashim tidak mengakui kekhalifaan Ali bin Abu Thalib t bahkan
ada diantara mereka yang melaknatnya, dan tidak mengannggapnya sebagai muslim” (Asy-Syiah
Hum Ahlu Sunnah hal 45)
Juga
perkataannya, ”Dan setiap itu kami katakan bahwa Ahlu Sunnah wal
Jama’ah tidak mengakui kekhalifaan Ali bin Abu Thalib kecuali jauh setelah masa
Imam Ahmad bin Hambal (Asy Syiah hum Ahlu Sunnah hal 38)
Teks-teks
lain yang menunjukkan hal yang sama sangat banyak. (lihat: Asy Syiah hum Ahlu
Sunnah hal 24-49-152-229-230)
Semua
ini bertolak belakang dengan perkataannya,“Adapun Ali bin Abu Thalib dibaiat
oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshar tanpa ada rasa paksaan dan itu secara
menyeluruh kecuali Muawiyah dari syam” (Asy Syiah hum Ahlu Sunnah hal
232)
Juga
perkataannya, “Dan adakah penanya yang bertanya kepada Ibnu Umar dan
yang berkata dengan ucapannya dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah, kapankah terjadi
Ijma’ pada seorang khalifah dalam sejarah seperti yang terjadi pada Amirul
Mukminin, khalifah Ali bin Abu Thalib?” (Asy Syiah hum Ahlu Sunnah
hal 231)
Begitu
juga perkataannya tentang Ibnu Umar Radiallahu ‘anhuma,”Kami menganggap ia
tidak mau membaiat Ali bin Abu Thalib yang kaum muslimin bersepakat (untuk
membaiatnya)” (Asy Syiah hum Ahlu Sunnah hal 232)
Kita
tidak tahu, mana perkataannya yang kita bisa pegangi, apakah klaimnya bahwa
Ahlu Sunnah tidak mengakui kekhalifahan Ali hingga zamannya Imam Ahmad bin
hambal? atau ungkapannya bahwa para sahabat sepakat atas kekhalifaan Ali bin
Abu Thalib sejak awal tanpa ada paksaan?
4. Perkataannya, “Pada bagian ini
sejarah telah menuliskan kepada kita bahwa Imam Ali adalah orang yang paling
alim diantara para sahabat, dan para sahabat menjadikannya sebagai tempat untuk
bertanya atas masalah-masalah penting. Dan kami tidak dapatkan bahwa Imam Ali
pernah merujuk kepada salah satu dari mereka. Abu Bakar mengatakan, “Allah
tidak menyisakan bagiku satu masalah rumit kecuali Abul Hasan (Ali)
mengetahuinya” dan Umar bin Khattab berkata, “Seandainya bukan Ali, binasalah
Umar”.(Tsumma Ihtadaitu hal. 173)
Pernyataan
ini sangat bertentangan dengan perkataannya, “Mereka menjauhi Ali bin
Abu Thalib, mereka menyelisihinya dan meninggalkannya serta tidak mengunjungi
rumahnya. Tidak menyertainya dalam urusan apapun selama seperempat abad, supaya
menjadi hina dan dijauhi oleh manusia …dan memang betul Ali salamullahi ‘Alaihi
berada pada keadaan seperti itu selama masa khalifah Abu Bakar, Umar, dan
Ustman bin Affan, semuanya menghinakannya, meredupkan cahayanya serta
menyembunyikan keutamaan dan kemuliannya”(Fas’alu ahla adz dzikr hal 252).
5. Perkataannya, “Dan hal ini tidak
menjadikan kaum Quraisy takjub. Olehnya Kaum Quraisy kembali emosi setelah
wafatnya Rasulullah r. mereka berusaha menghabisi semua keturunannya,
mereka kelilingi rumah Fatimah dengan kayu bakar, seandainya bukan Ali yang
menyerahkan diri dan mengorbankan haknya atas kekhalifahan, maka ia akan
memberi putusan buruk kepada mereka, dan Islam akan berakhir sejak hari itu” (Asy
syiah hum ahlu Sunnah hal. 110-111)
Pernyataan
ini ia tentang dan tolak sendiri ketika menjawab seorang penanya yang diakui
bersumber darinya yaitu: Apakah Imam Ali rela terhadap apa yang terjadi dan
membaiat al jama’ah?, ia menjawab,”Tidak, Imam Ali tidak ridha terhadap apa
yang terjadi dan ia tidak diam. Bahkan ia berhujjah terhadap segala sesuatu, ia
tidak mau membaiat mereka karena takut ancaman....Ali tidak diam. Sepanjang
hidupnya, setiap mendapatkan kesempatan ia akan membalas orang yang
mendzoliminya dan merampas haknya. Cukuplah apa yang ia katakan dalam khutbahnya
yang terkenal di Asy-Syaqsyaqiyah sebagai satu dalil.(Fas’alu Ahla
Adz-Dzikri hal 250-251).
6. Perkataannya, “Kaum muslimin –tanpa
ada perbedaan- telah sepakat untuk mencintai Ahlu bait. Dan untuk selainnya
mereka berselisih faham” (fas’alu ahla adz dzikr hal. 164)
Ini
bertentangan dengan perkataannya yang termuat dalam paparannya tentang Ahlu
Bait, “Olehnya itu anda melihat mereka tidak memiliki wujud di sisi
Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan tidak pula terdapat dalam rentetan para Imam dan
Khalifah yang mereka jadikan teladan, padahal salah satu dari mereka merupakan
Imam Ahlu bait Alaihimussalam” (Asy-Syiah Hum Ahlu Sunnah hal. 238)
7. Perkataannya, “Saya tambahkan bahwa
Imam Ali ketika menjadi Khalifah, beliau segera mengembalikan kaum muslimin
kepada sunnah nabawiyah. Dan hal pertama yang ia lakukan adalah membagikan
harta baitul mal…” (Asy-Syiah hum Ahlu Sunnah hal 189)
Dan
perkataannya, “Cukuplah Ali bin Abu Thalib mengembalikan manusia kepada
Sunnah, hingga lebih dari pada para sahabat, mereka dikagetkan dengan hal
bid’ah yang dilakukan oleh Umar” (Asy Syiah hum Ahlu Sunnah hal 190)
Dan
juga perkataannya, “Sesungguhnya amirul mukminin, Ali, tidak memaksa
kaum muslimin untuk membaiatnya dengan memakai kekuatan, sebagaimana yang
dilakukan khalifah-khalifah sebelumnya, namun beliau Salamullahi ‘Alaihi dalam
menetapkan hukum selalu berpatokan kepada alqur’an dan Assunnah, tidak
merubah dan menggantinya” (Asy Syiah hum Ahlu Sunnah hal 198)
Ini
semua sangat bertentangan dengan perkataannya yang lain, “Jika saja Ali
bin Abi Thalib alaihi salam -satu-satunya menentang- ia kerahkan kemampuannya
untuk mengembalikan manusia kepada sunnah nabawiyah melalui perkataan,
perbuatan dan hukum yang ia terapkan semasa khilafahnya. Akan tetapi itu tidak
ada gunanya karena mereka sibuk dengan peperangan” (Asy Syiah hum Ahlu
Sunnah hal. 260)
Begitu
juga dengan perkataannya, “Ini dia kitab-kitab shahih mereka menjadi
bukti benarnya apa yang kami katakan, bahwa beliau Salamullhu alaihi telah
berusaha semaksimal mungkin menghidupkan sunnah nabawiyah dan mengembalikannya
kepada asalnya. Akan tetapi tidak dapat diterima pendapat orang yang
tidak ditaati. Sebagaimana ketika ia mengatakannya sendiri” (Asy Syiah
hum Ahlu Sunnah hal. 182)
Dan
begitu juga dengan perkataannya, “Beliau menghabiskan masa
kekhalifaannya dengan perang berdarah, sehingga ia mewajibkan suatu kewajiban
terhadap orang-orang yang berpaling, orang-orang yang menyimpang dan orang yang
murtad. Tidak ada yang keluar dari itu kecuali dengan Syahid (meninggalnya)
beliau Salamullahi alaihi dan ia bersedih atas umat Muhammad” (La
akuuna ma’a ash shodiqin hal 81).
Ini
semua adalah beberapa contoh yang bersumber dari kitab-kitabnya berupa
kesimpangsiuran dan kontradiksi. Seandainya saya ingin menyebutkan
tentang ini saja -kekeliruan penulis dari kontradiksinya-, maka saya akan
menyebutkan lebih banyak lagi, dimana kitab-kitabnya penuh dengan hal-hal
seperti itu, cukuplah dengan contoh-contoh yang telah saya sebutkan, agar tidak
terlalu panjang dan tetap tercapai tujuan yang ingin disampaikan yang dari itu
semua jelaslah kontradiksi dan kegoncagan penulis, serta kebimbangannya yang
dengannya kita ragu terhadap riwayat-riwayat yang ia nukil dan dalam mengambil
pendapat-pendapatnya.
(Sebelum
lanjut ke silsilah berikutnya kami ingatkan bahwa beberapa seri ini merupakan
bantahan secara umum terhadap empat buku Dr. Muhammad Tijani, setelah bantahan
umum ini selesai, kita akan masuk ke dalam bantahan secara khusus terhadap
bukunya "Akhirnya Kutemukan Kebenaran", Insya Allah, Mudah-mudahan
antum bisa bersabar menunggu)
(Dialihbahasakan oleh lppimakassar.com)