Ayatullah yang agung yang
menjadi rujukan kaum Syi’ah, Muhammad Al-Husaini Asy-Syairazi dalam kitabnya
Fiqih Al-Aqa’id, hal. 370, Tauzi Maktabah Al-Ghadir-Kuwait, ditanya,
“Katanya,
sesungguhnya tanah Karbala itu lebih utama daripada tanah Makkah Al-Mukarramah,
dan sujud di atas tanah Husainiyah itu lebih utama daripada sujud di atas tanah
haram. Apakah ini benar?” Ia menjawab, “Benar.”
Seorang
ulama Syi’ah terkemuka, Ayatullah Sayid Al-Husaini Al-Kasyiani dalam kitabnya
Mashabih Al-Jinan, hal. 360, cet. No. 59, Daar Al-Fiqhu-Iran, menulis judul
“Keutamaan Karbala atas Tempat-Tempat Lainnya.” Ia mengatakan,
“Tentang
keutamaan Karbala atas tempat-tempat yang lain termasuk Ka’bah, hal itu sudah
jelas. Tidak boleh diragukan lagi bahwasanya tanah Karbala adalah tempat yang
paling suci dalam Islam. Kai telah mengemukakan banyak nash yang menerangkan
tentang kemuliaan dan keistimewaan tanah tersebut, dibanding dengan tempat mana
pun. Karbala adalah tanah Allah yang suci dan diberkahi, tanah Allah yang
santun, tanah Allah yang tanahnya mengandung obat. Keistimewaan-keistimewaan
yang ada pada Karbala tersebut tidak ditemukan pada tempat mana pun di muka
bumi, termasuk Ka’Bah.”
Catatan: Kitab ini dan
penulisnya mendapat pujian dari Ayatullah yang agung, Muhammad Al-Hadi
Al-Mailani, dan seorang ulama terkemuka Syi’ah yang sekaligus mujtahid besar,
Muhammad Al-Mahdi Al-Khunasari.
Saudara
kami sesama Muslim, itulah contoh tentang sikap berlebihan orang-orang Syi’ah
terhadap para imam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa para ulama, para pemikir,
dan para penyeru Syi’ah yang selalu mempropagandakan mazhabnya dan yang telah
sanggup membeli hati nurani orang-orang yang menulis untuk kepentingan mereka,
enggan mengungkapkan kepercayaan-kepercayaannya tersebut secara terang-terangan
di depan publik. Sebaliknya kita justru melihat mereka cenderung
mengingkarinya, bahkan mengaku tidak mempercayai semua yang terdapat dalam
buku-buku mereka. Tetapi kecurangan dan kebohongan tersebut terlihat jelas
berdasarkan fakta-fakta seabgai berikut:
Pertama,
sesungguhnya mereka tidak menyangkal khurafat-khurafat yang menjurus pada
kekafiran seperti itu. Bahkan seperti yang kita lihat, di sana justru ada yang
mengemukakan kitab-kitab seperti itu dan memujinya.
Kedua,
ketika menyampaikan biografi penulis kitab-kitab seperti itu, mereka mendiamkan
saja sikapnya yang menerima kebathilan-kebathilan tersebut. Bahkan sebaliknya
mereka malah mendoakan, memuji, menyanjung, dan menganggap tulisan-tulisan
tersebut sebagai bukti yang menguatkan keutamaannya. Hal itu untuk memberikan
kesan jelas kepada Anda, bahwa sikap mereka terhadap orang-orang Ahli Sunnah
tersebut adalah demi mengamalkan taqiyah yang merupakan sembilan puluh persen
dari ajarah Syi’ah.
Sesungguhnya
kebiasaan orang-orang Syi’ah ialah mengingkari, menyanggah, mengancam, dan
menolak jika mereka didiskreditkan dalam sebuah tulisan atau pidato, kendatipun
hanya sekilas saja. Tetapi kenapa mereka diam saja sambil menahan nafas tanpa
mau memprotes perlakuan seperti itu?
Kenapa
mereka cukup menolak di hadapan kaum Ahli Sunnah, tanpa mau mengungkapkan
penolakannya secara riil?
Kenapa
mereka tidak mau menyangkal secara umum hal-hal yang dikaitkan kepada mereka?
Dan
kenapa mereka tidak mau mengamati sanad-sanad riwayat ini, lalu menjelaskan
mana yang lemah, dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah?