Ada kitab penting syiah
yang hilang. Mengapa bisa hilang ? Kitab apa yang hilang? Bagaimana bisa
hilang? Apa yang terjadi di balik semua ini ? Mengapa sebuah mazhab bisa
kehilangan kitab referensi utama? Kajian menarik bagi yang ingin mengetahui
hakekat mazhab syiah.
Saya
yakin tidak ada syiah di Indonesia yang mengetahui hal ini, meskipun dia ustadz
lulusan Qum, meski dia adalah Jalaludin Rahmat.
Yang kita tahu saat ini, dan selalu dinyatakan oleh syiah, ada 4 kitab utama
literatur hadits syiah. Yaitu Al Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tahdzibul
Ahkam, dan Al Istibshar. Empat kitab ini yang dianggap sebagai literatur
utama mazhab syiah. Tetapi ternyata tidak hanya empat, ada lagi satu kitab
yaitu kitab madinatul ilmi, disusun oleh Ibnu Babawaih Al Qummi, yang juga
dijuluki As Shaduq. Kitab ini terdiri dari 10 jilid, jauh lebih besar daripada
kitab man la yahdhuruhul faqih.
Seperti biasanya, kawan-kawan syiah akan menuduh bahwa informasi ini adalah
kebohongan bani umayah. Sudah sering saya dituduh sebagai antek Bani Umayah.
Saya bukan Bani Umayah, saya adalah keturunan Adam, jadi saya termasuk Bani Adam,
bukan Bani Umayah. Sumber artikel saya selalu dari kitab syiah sendiri, bukan
dari kitab yang ditulis oleh Bani Umayah.
Ayah dari Syaikh Al Baha’I Al Amili, -wafat tahun 984 H=991 M -, menganggap
kitab Madinatul Ilmi sebagai sumber utama kedua, setelah Al Kafi tentunya.
Dalam kitab wushulul akhyar ila ushulil akhbar hal 85, walid mengatakan:
Dan lima kitab ushul (mazhab) kami, yaitu Al Kafi, Madinatul Ilmi, Man La
yahdhuruul faqih, At Tahdzib dan Al Istibshar, telah memuat kebanyakan hadits
yang diriwayatkan dari Nabi dan para Imam maksum, semua itu ada pada kami….
Begitu juga Agha Barzak Tahrani, dia mengatakan Dalam kitab Ad Dzari’ah jilid
20 hal 251-253:
2830 : Kitab Madinatul Ilmi, karya syaikh As Shaduq, Abu Ja’far Muhammad bin
Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Al Qummi, wafat tahun 381 H, merupakan
kitab kelima dari empat kitab yang menjadi kitab utama syiah imamiyah 12 imam.
Syaikh Husein bin Abdus Shamad Al Haritsi mengatakan dalam kitab Dirayah :
kitab utama kita ada lima, yaitu Al Kafi, Madinatul Ilmi, Man La Yahdhuruhul
Faqih, Tahdzib dan Istibshar. Bahkan kitab itu [madinatul ilmi] lebih besar
daripada Man La Yahdhuruhul Faqih, seperti dinyatakan oleh Syaikh At Thaifah
dalam Al Fahrasat, begitu juga oleh Syaikh Muntajabuddin dalam Fahrasnya. Ibnu
Syahr Asyub mengatakan dalam Ma’alimul Ulama, bahwa kitab Madinatul Ilmi
terdiri dari 10 jilid, sedangkan Man La Yahdhuruhul Faqih hanya 4 jilid.
Sungguh sayang, nikmat yang besar ini hilang dari peredaran sejak jaman Al
Baha’I, yang nampak jelas dalam ucapannya menyatakan bahwa buku itu ada
padanya, atau ada pada jamannya, dan kitab itu hilang sampai hari ini. Bahkan
Allamah Al Majlisi rela mengeluarkan banyak uang untuk mencarinya, tetapi tidak
berhasil mendapatkannya, begitu juga dari generasi sesudahnya, seorang ulama
yang namanya sama dengan Al Majlisi, yaitu Hujjatul Islam As Syafati, Sayyid
Muhammad Baqir Al Jilani Al Ashfahani, mengeluarkan banyak uang tetapi tetap
tidak menemukannya.
Hilangnya referensi penting ini juga ditegaskan oleh Penulis kitab Ar Rasa’il
Ar Rijaliyah, Abul Ma’ali Muhammad bin Muhammad Ibrahim Al Kalbasi. Pada jilid
2 hal 487, Abul Ma’ali menyatakan:
Kami memiliki kitab Madinatul Ilmi, yang lebih besar daripada kitab Man La
Yahdhuruhul Faqih, Seperti disebutkan oleh Al Baha’I, dan ayahnya menyebutkan
dalam Ad Dirayah bahwa referensi utama kami ada lima, yaitu kitab empat, dan
kitab Madinatul Ilmi, tapi kami tidak pernah melihatnya, mungkin mereka
memiliki kitab itu, tapi kitab itu hilang bersama banyak kitab mereka yang
lain. Ayahnya sering menyebutkan bahwa dia memiliki seribu judul kitab, setelah
wafatnya, yang ditemukan hanya 700 judul.
Ibnu Thawus, wafat tahun 664 H, Allamah Al Hilli, wafat tahun 726 H dan Syahid
Al Awwal, yang wafat tahun 786, semuanya pernah menukil dari kitab penting ini,
yaitu kitab Madinatul Ilmi.
Madinatul Ilmi artinya kota ilmu, yang dimaksud di sini adalah Nabi SAWW.
Artinya kitab ini memuat banyak hadits-hadits Nabi. Hingga tidak heran kitab
ini dianggap penting oleh para ulama syiah, dan disejajarkan dengan empat kitab
utama syiah. Sebenarnya kitab utama syiah adalah lima, ditambah kitab Madinatul
Ilmi, tetapi kitab madinatul Ilmi hilang tiba-tiba tanpa bekas, dan orang
terakhir yang menyebutnya adalah ayah dari Syaikh Al Baha’I Al Amili, yang
wafat tahun 984 H.
Mengapa kitab penting ini bisa hilang?
Al Khu’I, ulama syiah yang tidak diragukan lagi kompetensinya, memberitahu kita
tentang ihwal kitab Madinatul Ilmi, dalam kitab Thaharah jilid 7 hal 452:
Yang meriwayatkan dari As Shaduq adalah As Syahid, dalam mengingatkan apa yang
ada di Al Wasa’il, dan As Syahid adalah seorang tsiqah, riwayat itu terdapat
juga dalam kitab Madinatul Ilmi, meskipun kitab ini tidak lagi bisa kita
temukan di jaman kita, karena telah dicuri, tetapi As Syahid, seperti nampak
dalam riwayatnya, menukil dari kitab itu, dan jalan periwayatannya dari ktiab
itu adalah bisa diterima, seperti nampak ketika kita melihat kembali jalur
periwayatannya, dengan ini maka riwayat ini bersambung, tidak bisa dibilang
putus. Sampai di sini dari Al Khu’i.
Bagaimana sebuah kitab yang tersebar selama ratusan tahun, yaitu sejak sebelum
tahun 380 H, sampai pada tahun 984 H, bisa hilang dicuri orang. Mestinya kitab
penting seperti Madinatul Ilmi, sebagaimana kitab-kitab penting lainnya,
tersebar luas ke seluruh negeri-negeri syiah, dimiliki oleh ulama-ulama syiah
yang jumlahnya banyak. Artinya tidak hanya ada 5 atau 10 copy saja, tapi ada
ratusan copy. Lagipula, jangka waktu antara wafatnya penulis, dan orang
terakhir yang melaporkan memiliki kitab itu sangatlah panjang, yaitu lebih dari
500 tahun. Artinya kitab ini tersebar ke penjuru dunia syiah, dijadikan rujukan
oleh banyak ulama syiah, bahkan menjadi rujukan utama, sama seperti kitab empat
yang tersisa sampai hari ini.
Yang membuat heran, bagaimana seseorang, atau sekelompok orang, bisa mencuri
kitab inti sebuah mazhab. Bagaimana sebuah mazhab bisa dikatakan otentik ketika
kitab penting ada yang hilang. Ditambah lagi, yang hilang adalah 10 jilid
kitab, yang berisi banyak sekali hadits-hadits Nabi dan ahlulbait.
Sementara menurut Abbas Al Qummi, kitab Madinatul Ilmi telah hilang. Ini
dinyatakannya dalam kitab Manazilul Akhirah, jilid 1 hal 190 :
Dan doa dalam (kitab) Falah As Sa’il, yang ditulis oleh Ibnu Thawus, hal 85,
dari kitab Madinatul Ilmi, yang ditulis oleh Syaikh As Shaduq, salah satu kitab
penting, setara dengan kitab Tahdzib dan Man La Yahdhuruhul Faqih, kitab itu
telah hilang.
Al Khu’I mengatakan kitab itu dicuri, sementara menurut Abbas Al Qummi, kitab
itu hilang. Ada perbedaan antara dicuri dan hilang. Dicuri, berarti ada
sekelompok orang yang sengaja mencuri kitab itu. Sementara hilang, adalah
ketika kitab itu tidak ditemukan dalam tempat yang semestinya ada, tanpa
sepengetahuan pemiliknya. Bisa jadi hilang di pasar, terjatuh dari onta, atau
bisa juga hilang karena dicuri. Jadi antara Al Khu’I dan Abbas Al Qummi tidak
ada perbedaan penting, Al Khu’I berani berterus terang tentang adanya peristiwa
pencurian, sementara Al Qummi hanya mengatakan kitab itu hilang, tanpa
menjelaskan sebabnya lebih detil.
Jika kitab itu dicuri, bagaimana bisa mencuri kitab yang sudah tersebar selama
500 tahun lebih, dan tersebar di penjuru dunia syiah, sudah disalin ratusan
copy, bahkan bisa jadi ribuan copy, apakah mungkin semuanya dicuri? Lalu siapa
yang mencuri? Siapa pun pencurinya, yang jelas dia adalah orang hebat, dan
tidak mungkin bekerja sendirian, bagaimana bisa dia mencuri seluruh copy kitab
yang ada di muka bumi, hingga akhirnya kitab itu hilang.
Jika kitab itu dibilang hilang, kita bertanya, di mana hilangnya? Kapan
hilangnya? Kapan kitab itu dicuri? Kitab itu hilang –atau menurut Al Khui,
dicuri- pada abad 10 Hijriyah, jauh setelah dinasti Bani Umayah runtuh, jadi
tidak ada alasan lagi untuk mencurigai Bani Umayah dalam peristiwa ini.
Ada kemungkinan lain lagi, yaitu kitab yang ada pada ayah Al Baha’I adalah
satu-satunya kitab yang ada, artinya kitab syiah tidak tersebar secara
mutawatir, maksudnya tidak tersebar meluas, hanya khusus dipegang beberapa
orang saja. Ini menandakan bahwa kitab-kitab syiah tidak tersebar, artinya bisa
saja orang mengedit isi kitab, dan mengatakan kitab ini adalah asli. Ketika
sebuah kitab tidak tersebar luas, orang tidak bisa membandingkan copy kitab
dengan copy lain dari kitab yang sama, sehingga sangat mudah untuk memalsu
kitab syiah. Juga sama mudahnya untuk menghilangkan sebuah kitab, karena orang
lain tidak tahu keberadaan kitab itu. Bisa jadi orang menulis sendiri sebuah
kitab, lalu mengatakan bahwa kitab ini adalah karya Imam Ali Zainal Abidin,
atau karya siapa pun.
Kemungkinan berikutnya, yaitu ada kekuatan besar, yang tidak menginginkan kitab
itu beredar luas. Dalam hal ini jika kita membaca kabar terakhir kitab itu
ditemukan, yaitu sekitar tahun 980 H, ternyata masa itu adalah masa kekuatan
dinasti shafavid di iran, di mana saat itu mazhab syiah imamiyah berkembang
pesat, hingga merubah Iran yang dulunya mayoritas sunni, menjadi negara syiah
seperti kita saksikan bersama. Pekerjaan melenyapkan sebuah kitab yang berumur
500 tahun lebih, bukanlah pekerjaan mudah.
Perlu diketahui, dinasti shafavid berkuasa di Iran antara tahun 1501 M = 906 H,
sampai sekitar tahun 1736 M= 1148 H.
Jangan-jangan masih banyak lagi kitab yang dilenyapkan, tanpa ketahuan oleh
ulama syiah lainnya. Jangan-jangan kitab syiah saat itu tidak pernah tersebar
luas di kalangan ulama, jadi bebas diedit oleh siapa pun, tanpa takut ketahuan
orang banyak. Orang bebas menulis kitab lalu mengatakan kitab ini adalah
karangan Kulaini, Al Qummi atau siapa pun juga.
Orang
sesat dapat dengan mudah menulis buku, lalu mencatut nama ulama terkenal yang
sudah wafat ratusan tahun yang lalu. Akhirnya masyarakat mengira bahwa kitab
itu adalah karya si ulama terkenal, padahal isinya adalah ajaran sesat, yang
mencatut ulama terkenal.
Akhirnya,
hari ini kita tidak tahu mana ajaran syiah yang asli, mana ajaran syiah hasil
editan, atau hasil karangan orang yang tidak jelas.