Satu persatu negara Arab
Sunni di Timur Tengah jatuh dibawah payung dominasi negara Syiah terbesar di
dunia, Iran. Setelah Lebanon, Iraq, Suriah dan Yaman; kini menunggu giliran
Bahrain, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait dan akhirnya Arab Saudi.
Tidak hanya wilayah
Timur Tengah, pengaruh Iran semakin meluas ke Afrika Utara, Asia Tengah bahkan
Asia Tenggara. Posisi Iran yang sangat strategis di Teluk Persia dan pemilik
Selat Hormuz yang menjadi pintu keluar bagi 40 persen konsumsi minyak dunia,
menjadikan Iran selalu diperhitungkan di kancah politik internasional.
Posisi strategis Iran di
Timur Tengah sama persis dengan posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara
bahkan Asia. Sebagai negara yang mendominasi Selat Malaka dan pemilik
Selat Lombok yang menjadi jalur perdagangan internasional serta negara
tempat pertemuan dua samudera besar di dunia,
Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik, menjadikan Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 260 juta
orang dan mayoritas umat Islam itu selalu menjadi rebutan pengaruh diantara
negara-negara besar di dunia.
Kalau Barat dibawah
payung AS dan Timur dibawah dominasi Cina, mereka ingin menanamkan pengaruh
pada ekonomi dan politik serta merampok kekayaan alam Indonesia, sedangkan Iran
ingin mengkespor ideologi Syiahnya ke Indonesia, negara Sunni terbesar di
dunia.
Dengan demikian, Iran
ingin mengubah Indonesia dari negara Sunni menjadi negara Syiah atau minimal
bersimpati kepada ideologi Syiah, sebagaimana sekarang di Lebanon, Iraq, Suriah
dan Yaman.
Hubungan
Sejarah
Sebenarnya sejarah
hubungan antara Iran (Persia) dengan Nusantara (Indonesia) sudah lama, jauh
sebelum Indonesia dibawah kolonial Belanda yang dimulai pada awal abad ke 17 M
dengan berdirinya VOC (1602 M).
Meski kedua bangsa
berbeda mahzab, Syiah dan Sunni, namun sejarah keduanya saling berkaitan satu
sama lain. Bahkan Kerajaan Islam Pertama di Nusantara bahkan di Asia Tenggara,
Samudera Pasai di Aceh,
didirikan dengan dukungan para ulama dari Persia yang bermahzab Syiah pada abad
ke 13 M. Mereka antara lain Qadi Sharif Amir Sayyid dari Kota Shiraj dan
Taj Ad Din dari Kota Isfahan.
Bahkan jauh sebelumnya
pada abad ke 7 M sudah terjadi hubungan perdagangan antara Kerajaan Sriwijaya
(Budha) di Palembang dengan Kerajaan Persia (waktu itu masih Majusi). Sehingga
beberapa abad kemudian Kerajaan Sriwijaya berhasil di Islamkan oleh para ulama
dan pedagang dari Persia dan Gujarat (India).
Dengan menguasai Selat
Malaka, maka Kasultanan Samudera Pasai dapat mengontrol wilayah laut yang
sangat strategis. Para pedagang dari Persia dan Gujarat selain memanfaatkannya
untuk berbisnis juga berdakwah.
Maka tidaklah
mengherankan jika banyak terdapat artefak berupa gelas, vas, botol, dan
jambangan di Situs Barus, pantai barat Sumatera Utara, dan situs-situs Muara
Jambi, Muara Sabak, dan Lambur, pantai timur Jambi, selain bentuk batu nisan
khas Persia.
Kuatnya pengaruh Persia
yang bermazhab Syiah dapat dibuktikan hingga ke Jawa dan Sulawesi. Bahkan
sebagian anggota majelis Walisongo di Jawa juga diindikasikan bermazhah Syiah.
Pengaruh tersebut antara lain adanya peninggalan-peninggalan aliran Syiah
seperti perayaan Tabot di Aceh, Bengkulu, dan Pariaman untuk mengenang Imam
Hasan dan Husain.
Selain itu, perayaan
Asyura atau Suro untuk bulan Muharram saat wafat Imam Husain dalam tragedy di
Karbala. Di Jawa dikenal juga dengan perayaan Kasan dan Kusen, atau bulan Asan
Usen di Aceh.
Di Makassar, perayaan
Asyura ditandai dengan suka cita dan pembuatan bubur tujuh warna. Hari Arbain
di Jawa Barat pun masih dilakukan dan diikuti ratusan umat Syiah
Indonesia dan Internasional. Debus yang dipraktikkan di daerah Banten, Aceh,
Kedah, Perak, Cirebon, dan Maluku, merupakan pengaruh dari budaya Persia saat
itu.
Hubungan
Diplomatik
Setelah Republik
Indonesia merdeka dan lepas dari belenggu kolonialisme, maka dijalinkan
hubungan diplomatik antara Iran dan Indonesia. Memang diakui, Iran bukanlah
negara di wilayah Timur Tengah pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia
karena telah didahului Mesir (1945),
Namun dijalinnya
hubungan diplomatik Iran dengan Indonesia pada tahun 1950 pada tingkat Kedutaan
menunjukkan adanya reaksi pengakuan yang cepat dari bangsa Iran atas
kemerdekaan bangsa Indonesia. Pasalnya, Indonesia baru secara resmi mengakhiri
perang dengan Belanda pada akhir tahun 1949 melalui Perjanjian Perdamaian di
Den Haag.
Adapun Kepala Perwakilan
Indonesia pertama yang berkedudukan di Teheran adalah Mayjen TNI RH Abdul
Kadir yang bergelar Duta Besar dan Menteri Berkuasa Penuh Republik Indonesia.
Pada tahun 1960, Kedutaan Republik Indonesia di Teheran dinaikkan statusnya
menjadi Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Pemerintah Republik
Indonesia selanjutnya menunjuk M Bachmid sebagai Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh Republik Indonesia yang pertama di Iran. Sejak itu, kedua negara
menjalin berbagai kerja sama di berbagai bidang, antara lain, bidang politik,
ekonomi dan perdagangan, pariwisata, sosial budaya, serta pertahanan dan
keamanan, termasuk pertukaran atase pertahanan kedua negara.
Pasca dibukanya Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Teheran dan Kedutaan Besar Iran di Jakarta,
hubungan bilateral Indonesia dan Iran terutama dalam bidang politik berkembang
sangat cepat.
Peningkatan hubungan itu
diantaranya ditandai dengan adanya saling kunjungan antara Presiden kedua
negara, Ketua Parlemen dan para pejabat tinggi negara lainnya serta saling
memberikan dukungan dalam pencalonan pada jabatan atau keanggotaan pada
organisasi internasional.
Selanjutnya dalam bidang
politik, hubungan kedua negara berjalan dengan baik, seperti ditandai dengan
saling kunjung Presiden Iran dan Indonesia. Pada 1992, Presiden Iran Hujjatul
Islam Ali Akbar Hashemi Rafsanjani mengunjungi Jakarta dalam rangka KTT GNB.
Kemudian Presiden
Soeharto melakukan kunjungan balasan ke Teheran pada 1993 Sedangkan pada era reformasi,
Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang
Yudhoyono mengunjungi Teheran untuk melakukan pembicaraan bilateral dengan para
pemimpin Iran, termasuk pemimpin tertinggi Ayatullah Ali Khamenei.
Sementara itu kunjungan
Presiden SBY pada tahun 2008 ke Teheran merupakan balasan atas kunjungan
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada tahun 2006 ke Jakarta. Kedua negara juga
menandatangani MoU pembentukan Komite Konsultasi Bilateral dalam bidang
politik.
Menyusul pertemuan
SBY-Ahmadinejad, telah ditandatanggani lima MoU dalam bidang kerjasama
pertanian; pendidikan; kerjasama antara PT Pertamina dan mitra mereka di Iran;
pembentukan Joint Business Councilantara Kadin RI dan Kamar Dagang Iran; serta
kerjasama koperasi.
Presiden Mahmoud
Ahmadinejad menyampaikan penghargaannya kepada Presiden SBY atas posisi yang
diambil Indonesia dalam proses pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB
mengenai isu nuklir Iran yang menolak sangsi terhadap Iran.
Pasca kunjungan Presiden
Mahmoud Ahmadinedjad ke Jakarta dan Presiden SBY ke Teheran, hubungan kedua
negara semakin erat dengan ditandatanganinya kebijakan pemberian visa on
arrival pemegang paspor biasa bagi kedua negara yang melakukan kunjungan
singkat ke Indonesia dan Iran.
Kebijakan pemberian visa
on arrival bagi kedua negara juga berdampak positif pada sektor pariwisata.
Dalam tujuh tahun terakhir ini, cukup banyak wisatawan Iran yang berkunjung ke
Indonesia, demikian pula sebaliknya, banyak wisatawan Indonesia yang
mengunjungi Iran. Kedua negara telah menandatangani kerja sama di bidang
Pariwisata sejak 2002 lalu.
Di sektor ekonomi dan
perdagangan, Indonesia dan Iran juga gencar melakukan kerja sama. Hal ini
ditandai dengan meningkatnya volume perdagangan kedua negara. Pada tahun 1990
volume perdagangan kedua negara baru mencapai USD 200 juta. Jumlah ini
meningkat hingga USD 400 juta pada awal 2000-an. Kini, volume perdagangan kedua
negara telah mencapai lebih dari USD 1,5 miliar dan nampaknya akan terus tumbuh
di masa-masa yang akan datang.
Sementara delegasi
bisnis Iran Central Chamber of Cooperatives (ICC-Coop) juga melakukan kunjungan
ke Indonesia untuk menjajaki kerja sama yang lebih luas di berbagai sektor
seperti koperasi, konsultan keuangan, konsultan teknik, ekspor-impor, infrastruktur,
industri pelabuhan, minyak tumbuh-tumbuhan, manufaktur, dan kerajinan tangan.
Ekspor utama Indonesia
ke Iran di antaranya kertas dan produknya, benang, bahan baku tekstil, ban,
suku cadang mobil, peralatan komputer dan elektronik, karet, peralatan rumah
tangga, bubuk cokelat, biji kopi, dan produk kayu. Sedangkan Iran melakukan
ekspor besi baja setengah jadi, alumunium, LPG, etilen, propilen, karpet dan
kilim, lampu kerajinan tangan, dan kacang-kacangan ke Indonesia.
Kerja sama bilateral
kedua negara juga dilakukan di sektor sosial budaya. Di bidang penerangan,
kedua pemerintah telah memiliki MoU yang ditandatangani Menteri Penerangan RI
dan Menteri Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran. Pada 1991, hubungan Indonesia
dan Iran di bidang ini juga didukung kesepakatan kerja sama dalam kerangka OKI
dan GNB.
Hubungan sosial budaya
kedua negara juga terwujud dalam bentuk lain seperti kegiatan MTQ
Internasional, olimpiade matematika dan kimia yang diselenggarakan setiap tahun
oleh Iran.
Kedua negara juga mengadakan
banyak event budaya seperti pembuatan peranko bersama, Konferensi Internasional
di bidang Pendekatan Antar-Mazhab, Pekan Kebudayaan Iran-Indonesia, Pekan
Persahabatan Wanita Indonesia-Iran, Festival Film Iran, Pekan Persahabatan
Pemuda Indonesia-Iran, pameran Al-Quran, seminar internasional dalam rangka 60
tahun hubungan bilateral kedua negara dan sebagainya.
Di bidang pendidikan
agama, Iran secara aktif memberikan beasiswa kepada pelajar asing dari
tantangan berat berbagai negara, termasuk Indonesia melalui organisasi sosial
keagamaan Iran. Mereka sengaja dididik dan dijejali ideologi Syiah, sehingga
diharapkan nantinya setelah kembali ke Indonesia, mereka akan menjadi para
pendakwah Syiah yang berjiwa militan.
Saat ini tercatat 5.000
mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di berbagai universitas di Iran terutama
ilmu-ilmu agama. Mereka tesebar di berbagai universitas di Teheran, Qom,
Isfahan, Najaf, Mashad, Tabriz, Karbala dan kota-kota lainnya. Mereka
siap menjadikan Indonesia negara Syiah di Asia Tenggara dan terbesar di dunia
melebihi Iran yang saat ini hanya berpenduduk 80 juta orang, sementara
Indoensia 260 juta orang.
Sekarang yang menjadi
pertanyaan adalah, dengan semakin pesatnya hubungan di sektor ekonomi, politik
dan budaya serta keagamaan pada era kepemimpinan Presiden SBY dan Presiden
Ahmadinejad dan diteruskan Presiden Jokowi dan Presiden Hasan Rouhani
sekarang ini.
Apakah hubungan
bilateral ini tidak akan semakin meningkatkan kekhawatiran umat Islam Indonesia
yang Sunni akan di-Syiah-kan, sehingga akan terjadi Syiahisasi terhadap umat
Islam Indonesia. Padahal saat ini umat Islam Indonesia sudah menghadapi
tantangan berat Kristenisasi. (*) Oleh: Abdul
Halim (voa-islam.com)