Ahad 11 Ramadhan 1436
/ 28 Juni 2015 15:04
TERKAIT persoalan
Islam Nusantara, ada beberapa pertanyan yang diajukan Peneliti Institute
for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Tiar Anwar Bachtiar
kepada Azyumardi Azra, yakni soal keberpihakannya pada Islam yang ia sebut
ber-kalam Asy’ari, fikih Syafi’i, dan tasawuf Al-Ghazali.
Menanggapi pandangan
Azyumardi Azra, Tiar Anwar Bachtiar memaparkan lebih jauh. Islam yang
disebutnya “Islam Arab” (Wahabi-Hambali) sesungguhnya bukan barang baru yang
ada di Indonesia. Jika kita menengok sejarah pada sosok Muhammad bin Abdul
Wahab – hidup pada akhir abad ke-18 (1703-1792), dimana pemikirannya sudah
sampai ke Indonesia. Dan, sejak abad ke-19, pemikiran-pemikiran Muhammad bin
Abdul Wahab sudah bisa dilacaj jejaknya di Indonesia. Tokoh pahlawan nasional
yang mendapat pengaruh dari Muhammad bin Abdul Wahab adalah Tuanku Imam Bonjol
(1722-1864) dari Sumatera Barat.
Keterpengaruhan Imam
Bonjol oleh ajaran Muhammad bin Abdul Wahab bisa dilacak dalam buku RO
Parlindungan yang kontroversial “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali
di Tanah Batak”(1816-1833). Buku ini ini sangat tendensius dan mendapat kritik
dari Buya Hamka dalam bukunya “Fakta dan Khayal Tuanku Rao” (1973).
Melalui buku-buku
tersebut, terdapat informasi menarik tentang kecenderungan mazhab yang dianut
oleh Imam Bonjol, yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hambal dengan referensi teologis
dari Muhammad bin Abdul Wahab. Ini menunjukkan bahwa mazhab Hambali dan teologi
Wahabi merupakan bagian dari sejarah pembentukan wilayah Nusantara ini.
Keterlibatan mazhab
Hambali-Wahabi dalam sejarah Indonesia akan semakin terlihat ketika memasuki
abad ke-20. Sejak zaman Imam Bonjol itu pula,, pemikiran-pemikiran mazhab
Hambali-Wahabi terus berkembang di Indonesia, bahkan di seluruh dunia Islam.
Sehingga mendorong tumbuhnya gerakan pembaharuan Islam di Mesir (Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha), India (Wahiduddin Khan), dan sebagainya.
Adapun pengaruhnya di
Indonesia, umumnya melalui Mesir, yaitu melalui tulisan-tulisan Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar dan Al-Urwatul-Wutsqa. Tulisan-tulisan
tersebut sangat berpengaruh pada gerakan-gerakan Islam di Indonesia,
seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Al-Irsyad.
Pertemuan Muhammadiyah
dengan tokoh-tokoh murid Imam Bonjol dari Sumbar yang kemudian bergabung dengan
Muhammadiyah adalah Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka). Pertemuan ini
mendekatkan Muhammadiyah kepada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.
Sementara Al-Irsyad
justru mendapatkan pengaruh langsung dari wilayah Hijaz dan Nejd, mengingat
Ahmad Soorkati, sang pendiri adalah seorang terpelajar dari kawasan itu.
Tradisionalis-Modernis
Bersatu
Tidak ada yang bisa
menyangkal, keterlibatan Muhammadiyah, Persis, dan Al Irsyad dalam kemerdekaan
Indonesia. Mereka bersama-sama dengan para ulama lain dari kalangan
pesantren (tradisionalis), turut berjuang, berkorban dan melahirkan Indonesia.
Menurut Tiar, begitu
besar kontribusi gerakan-gerakan Islam ini dalam membangun SDM melalui
lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah yang tersebar di seluruh pelosok
Nusantara. Boleh dikatakan, gerakan pembaharu bercorak Wahabi awalnya adalah
membentengi akidah umat dari serangan sekularisasi dan Kristenisasi yang
dilancarkan oleh Belanda.
“Kalau merujuk kesini,
seharusnya Islam Nusantara harus memasukkan unsur ‘Hambali-Wahabi’ di dalamnya
sebagai bagian dari Islam yang diterima masyarakat Nusantara,” ungkap Tiar.
[Desastian/Islampos]