Tuesday, June 30, 2015

Kontribusi “Wahabi” di Jagat Nusantara

Ahad 11 Ramadhan 1436 / 28 Juni 2015 15:04
peta-islam-nusantara

TERKAIT persoalan Islam Nusantara, ada beberapa pertanyan yang diajukan Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Tiar Anwar Bachtiar kepada Azyumardi Azra, yakni soal keberpihakannya pada Islam yang ia sebut ber-kalam Asy’ari, fikih Syafi’i, dan tasawuf Al-Ghazali.
“Azra lupa, satu hal penting dalam sejarah Nusantara, terutama sejarah Indonesia, yaitu tentang proses terbentuknya bangsa ini. Apakah betul sejarah Islam di negeri ini hanya dibentuk oleh ‘Islam Nusantara’ seperti yang didefinisikannya?” ujar Tiar yang juga Doktor Sejarah UI ini dalam kajian ““Islam Nusantara Dalam Pembahasan Sejarah Islam” di Masjid Ukhuwah Islamiyyah Universitas Indonesia (UI), Sabtu (27/6/2015).
Menanggapi pandangan Azyumardi Azra, Tiar Anwar Bachtiar memaparkan lebih jauh. Islam yang disebutnya “Islam Arab” (Wahabi-Hambali) sesungguhnya bukan barang baru yang ada di Indonesia. Jika kita menengok sejarah pada sosok Muhammad bin Abdul Wahab – hidup pada akhir abad ke-18 (1703-1792), dimana pemikirannya sudah sampai ke Indonesia. Dan, sejak abad ke-19, pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab sudah bisa dilacaj jejaknya di Indonesia. Tokoh pahlawan nasional yang mendapat pengaruh dari Muhammad bin Abdul Wahab adalah Tuanku Imam Bonjol (1722-1864) dari Sumatera Barat.
Keterpengaruhan Imam Bonjol oleh ajaran Muhammad bin Abdul Wahab bisa dilacak dalam buku RO Parlindungan yang kontroversial “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”(1816-1833). Buku ini ini sangat tendensius dan mendapat kritik dari Buya Hamka dalam bukunya “Fakta dan Khayal Tuanku Rao” (1973).
Melalui buku-buku tersebut, terdapat informasi menarik tentang kecenderungan mazhab yang dianut oleh Imam Bonjol, yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hambal dengan referensi teologis dari Muhammad bin Abdul Wahab. Ini menunjukkan bahwa mazhab Hambali dan teologi Wahabi merupakan bagian dari sejarah pembentukan wilayah Nusantara ini.
Keterlibatan mazhab Hambali-Wahabi dalam sejarah Indonesia akan semakin terlihat ketika memasuki abad ke-20. Sejak zaman Imam Bonjol itu pula,, pemikiran-pemikiran mazhab Hambali-Wahabi terus berkembang di Indonesia, bahkan di seluruh dunia Islam. Sehingga mendorong tumbuhnya gerakan pembaharuan Islam di Mesir (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha), India (Wahiduddin Khan), dan sebagainya.
Adapun pengaruhnya di Indonesia, umumnya melalui Mesir, yaitu melalui tulisan-tulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar dan Al-Urwatul-Wutsqa. Tulisan-tulisan tersebut sangat berpengaruh pada  gerakan-gerakan Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Al-Irsyad.
Pertemuan Muhammadiyah dengan tokoh-tokoh murid Imam Bonjol dari Sumbar yang kemudian bergabung dengan Muhammadiyah adalah Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka). Pertemuan ini mendekatkan Muhammadiyah kepada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.
Sementara Al-Irsyad justru mendapatkan pengaruh langsung dari wilayah Hijaz dan Nejd, mengingat Ahmad Soorkati, sang pendiri adalah seorang terpelajar dari kawasan itu.
Tradisionalis-Modernis Bersatu
Tidak ada yang bisa menyangkal, keterlibatan Muhammadiyah, Persis, dan Al Irsyad dalam kemerdekaan Indonesia. Mereka bersama-sama  dengan para ulama lain dari kalangan pesantren (tradisionalis), turut berjuang, berkorban dan melahirkan Indonesia.
Menurut Tiar, begitu besar kontribusi gerakan-gerakan Islam ini dalam membangun SDM melalui lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Boleh dikatakan, gerakan pembaharu bercorak Wahabi awalnya adalah membentengi akidah umat dari serangan sekularisasi dan Kristenisasi yang dilancarkan oleh Belanda.
“Kalau merujuk kesini, seharusnya Islam Nusantara harus memasukkan unsur ‘Hambali-Wahabi’ di dalamnya sebagai bagian dari Islam yang diterima masyarakat Nusantara,” ungkap Tiar. [Desastian/Islampos]