Al Ustadz Abu Mu’awiyah Askari hafizhahulloh [1]
Hutsiyah (Syiah Hutsi)
merupakan kelompok syiah pecahan dari Syiah Zaidiyah yang berkembang di
Yaman. Pemimpinnya adalah Badrudin al-Hutsi, lahir pada tanggal 17 Jumadal Ula
1345 H di kota Dhahiyan dan dibesarkan di Sa’dah, Yaman Utara. Pada asalnya dia
berpemikiran Zaidiyah, yang kemudian lebih condong kepada pemikiran Syiah
Rafidhah yang berpusat di Iran. Dia pindah ke Iran setelah berselisih paham
dengan sebagian ulama yang bermazhab Zaidiyah.
Pada
tahun 1990 M, terjadi persatuan antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dibuka
kesempatan untuk membuat partai. Lembaga ini berubah menjadi Hizbul Haq (Partai
Kebenaran) yang menjadi perwakilan partai Zaidiyah di Yaman, Hushain Badruddin
al-Hutsi -anak Badruddin- merupakan tokoh politik yang sangat populer ketika
itu. Dia masuk ke dalam Majelis Perwakilan Rakyat pada tahun 1993 M dan 1997 M.
Sempat terjadi
perselisihan sengit antara Badruddin dengan ulama Syiah Zaidiyah di Yaman terkait seputar fatwa sejarah yang
didukung oleh para ulama Zaidiyah yang dipimpin oleh Majduddin al-Mu’ayyidi.
Mereka mengatakan bahwa persyaratan pemimpin harus dari al-Hasyimi (ahlul bait
Nabishollallohu ‘alaihi wa sallam) sudah tidak relevan lagi pada masa
sekarang ini, karena kondisi sejarah mengharuskan hal itu, Sekarang, rakyat
diberikan pilihan untuk menetapkan pemimpinnya tanpa harus ada syarat dari
keturunan Hasan atau Husainrodhiyallohu ‘anhu. Badruddin menentang
keras fatwa tersebut. terlebih lagi, Badruddin berasal dari Syiah Zaidiyah
al-Jarudiyah yang memiliki kedekatan dengan Syiah Rafidhah
Itsna ‘Asyariyah.
Masalahnya semakin
berkembang hingga Badruddin membela pemikiran Syiah Rafidhah. Bahkan, dia
menulis sebuah kitab yang berjudul “az-Zaidiyah fil Yaman“. Isinya menjelaskan
adanya kedekatan antara pemikiran Zaidiyah dan Itsna Asyariyah. Namun, karena
penentangan yang kuat terhadap pemikirannya yang menyelisihi mazhab Zaidiyah,
dia pindah ke Iran dan tinggal di sana beberapa tahun.
Kepergian Badruddin
dari Yaman tidak berarti pemikirannya mandek. Pemikirannya yang dibangun di atas
pemahaman Syiah Rafidhah justru semakin berkembang, terkhusus di
daerah Sha’dah dan sekitarnya sejak 1997M. Pada masa itu pula, anaknya yang bernama
Husain Badruddin keluar dari partai Hizbil Haq sekaligus keluar dari parlemen.
Ia kemudian mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama “Asy-Syabab
al-Mukmin”, artinya Pemuda Beriman. Ayahnya, Badruddin, menjadi rujukan utama
dalam pergerakan ini. Pada awalnya, kelompok ini hanya dianggap fokus
memperhatikan masalah agama. Namun, ternyata kelompok Pemuda Beriman ini
semakin menampakkan sikap perlawanannya terhadap pemerintah Yaman pada 2002M.
Saat
pergerakan kelompok ini mulai tampak, sebagian ulama Zaidiyah meminta presiden
Yaman ketika itu, Ali Abdullah Saleh, untuk memulangkan Badruddin ke Yaman guna
mempelajari kembali pemikiran-pemikiran yang diajarkan kepada para murid dan
pengikutnya. Badruddin menyetujui hal itu dan kembali ke Yaman. Ketika itu,
pemerintah Yaman tidak menyangka bahwa kelompok ini akan memiliki kekuatan
besar yang dapat melakukan perlawanan terhadap pemerintah Yaman.
Pada
tahun 2004, tatkala pengikut Hutsi semakin berkembang dan kuat, mereka
melakukan demonstrasi besar-besaran di jalanan negeri Yaman. Mereka menyebutkan
bahwa al-Hutsi mengaku sebagai Imam Mahdi yang harus ditaati. Bahkan, Sebagian
menyebutkan bahwa dia mengaku sebagai nabi. Pemerintah Yaman menentang keras
hal ini sehingga penyebabkan terjadinya perang terbuka melawan kelompok Hutsi.
Pemerintah mengerahkan lebih dari 30.000 tentara dan menggunakan pesawat serta
senjata berat. Ketika itu, pemerintah berhasil membunuh pemimpin Hutsi, Husain
Badruddin, dan merebut senjata mereka dalam jumlah besar.
Setelah
kematian Husain Badruddin, kelompok ini dipimpin langsung oleh ayahnya,
Badruddin al-Hutsi. Dia menjelaskan, kelompoknya mempersenjatai diri secara
diam-diam dengan sangat rapi hingga mampu melakukan perlawanan terhadap
pemerintah Yaman.
Pada
tahun 2008, Pemerintah Qatar berusaha menjadi penengah antara kelompok Syiah
Hutsi dengan Pemerintah Yaman. Akhirnya, disepakati adanya perjanjian damai.
Dengan kesepakatan ini, senjata milik Syiah Hutsi diserahkan kepada pemerintah
Yaman. Namun, tidak lama berlangsung kesepakatan tersebut, kelompok Syiah Hutsi
melanggarnya sehingga peperangan kembali meletus. Bahkan, Hutsi berhasil
memperluas daerah kekuasaannya dengan menguasai beberapa daerah yang ada di
sekitar Sha’dah. Meteka juga berusaha menguasai tepi Laut Merah dengan
menguasai salah satu pelabuhan agar leluasa menerima bantuan yang berasal dari
luar negeri, khususnya dari Iran.
Syiah Hutsi tidak hanya
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Yaman. Mereka juga benar-benar ingin
mendirikan negara Syiah Rafidhah
dengan membunuh dan mengusir siapa saja yang menyelisihi pemikiran mereka. Hal
ini menyebabkan terjadinya pengusiran penduduk besar-besaran dari kampung
halaman mereka yang dikuasai oleh kelompok Hutsi. Diberitakan bahwa hingga hari
Kamis tanggal 22 Sya’ban 1430H, bertepatan dengan tanggal 13 Agustus 2009M,
jumlah para pengungsi dari Kabupaten Sha’dah mencapai 130.000 orang dalam waktu
dua pekan terakhir. Mereka seluruhnya dari kalangan Ahlus Sunnahyang enggan mengikuti
keyakinan Hutsi.
Mereka tidak membiarkan
pondok pesantren Ahlus Sunnah yang dibangun oleh ahli hadits dari negeri Yaman,
Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rohimahulloh. Padahal isinya hanyalah para penuntut ilmu yang
menjauhkan diri dari berbagai permasalahan politik. Mereka hanya fokus
mendalami kitabulloh dan sunnah Rosululloh dengan pemahaman salafus sholih.
Meski demikian, kelompok Syiah Hutsi tidak henti-hentinya mengusik ketenangan
mereka.
Mereka
berusaha meratakan pondok pesantren Ahlus Sunnah dengan senjata berat berupa
tank, bazoka, mortir, dan lainnya. Selama lebih dari dua bulan, kelompok Hutsi
berhasil mengepung ma’had (pondok pesantren) tersebut dari berbagai arah dan
melarang masuknya bantuan berupa makanan, obat-obatan dan lainnya. Hal ini
menyebabkan banyak wanita, anak-anak, dan yang terluka mati karena kelaparan
dan kedinginan; tanpa mendapatkan pertolongan sama sekali.
Ini
adalah akibat perbuatan kelompok Syiah Hutsi yang sangat berkeinginan untuk
membasmi Ahlus Sunnah dan melenyapkannya dari negeri Yaman, khususnya di daerah
yang telah menjadi kekuasaan mereka.
Anehnya,
tatkala menghancurkan bangunan ma’had Ahlus Sunnah yang terletak di daerah
Kitaf dengan bahan peledak yang dahsyat, mereka meneriakkan slogan palsu,
“Kematian untuk Amerika, laknat untuk Israel, kemuliaan untuk Islam.”
Sungguh, teriakan yang
sangat aneh lagi palsu. Mereka tidak sedang menghancurkan Gedung Putih
kebanggaan Amerika atau meledakkan fasilitas milik Amerika dan Yahudi. Namun,
yang mereka hancurkan adalah markaz Ahlus Sunnah tempat para penuntut ilmu
mengkaji al-Qur’an dan as-Sunnah. Sungguh, ini bukanlah kebohongan pertama yang
dilakukan oleh penjahat Syiah. Wallohu Musta’an.
__________________________
[1]. Diambil dari Majalah Asy-Syari’ah No.10/IX/1435H-2014 dengan beberapa edit dari redaksi
[1]. Diambil dari Majalah Asy-Syari’ah No.10/IX/1435H-2014 dengan beberapa edit dari redaksi