Wednesday, July 1, 2015

Membantah Ustaz Abu Syafiq ( Tipikal Syiah ! ) Yang Menghina Syaikh Al-Albani


Lucu memang melihat gagasan dari salah seorang ustadz pembenci dakwah salaf berasal dari negri jiran yang bernama Abu Syafiq ( Syiaher ). Dia ingin merendahkan syaikh Al-Albani namun dengan gagasan yang sangat-sangat lemah.
Mari kita simak perkataan Abu Syafiq:

 “FATWA BUSUK WAHHABI BERONANI TIDAK BATAL PUASA. Onani / Melancap Di Siang Ramadhan TIDAK BATAL Puasa Walaupun Sengaja - Fatwa Terbodoh Wahabi Zaman Kini. Rujuk Di Atas Al-Albani Dlm Kitabnya Tamamul Minnah m/s 418 (gambar). Saya mohon kemaafan jika ia agak memalukan.. Tapi hanya utk menjelaskan betapa sesatnya Wahhabi ini mereka sering membawa fatwa2 yg sesat..  Oleh karena itu berhati-hatilah dalam mendapatkan fatwa hukum. Jangan ambil dari mufti wahhabi atau syiah atau selainnya. * Ada kawan saya minta tanyakan pada Wahabi2 AL Albaniy tu.. Soalan dia : Jika seorang Wahabon beronani disiang Ramadhan 30 kali sehari batal tak pose?? Sila jawab!!” (Lihat perkataan Abu Syafiq disini)
Jawab:
1- Kami sudah menulis permasalahan onani di siang ramadhan, apakah membatalkan puasa ataukah tidak. Namun yang benar, onani tidak membatalkan puasa namun pelakunya berdosa karena onani adalah haram.
Silahkan dibaca disini.
2- Apakah jika seorang ulama berfatwa bahwa onani tidak membatalkan puasa lantas dikatakan sebagai fatwa “busuk” “sesat” dan “wahhabi terbodoh”??
Kalau begitu maka Imam Ibnu Hazm, Imam As-Shana’ani, Imam Bukhari, Asy-Syaukani, Abu Bakr Al-Iskaf, Abu Al-Qasim adalah orang busuk, sesat, dan wahhabi terbodoh.
Maka saya tantang Abu Syafiq, beranikah Abu Syafiq mengatakan bahwasanya Ibnu Hazm adalah orang busuk dan Ash-Shana’ani adalah orang sesat dan Asy-Syaukani adalah wahhabi terbodoh??
=> Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
وَلاَ يَنْقُضُ الصَّوْمَ حِجَامَةٌ، وَلاَ احْتِلاَمٌ, وَلاَ اسْتِمْنَاءٌ, وَلاَ مُبَاشَرَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ أَوْ أَمَتَهُ الْمُبَاحَةَ لَهُ فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ, تَعَمَّدَ الإِمْنَاءَ أَمْ لَمْ يُمْنِ, أَمْذَى أَمْ لَمْ يُمْذِ
 “Dan puasa tidaklah batal karena bekam, mimpi basah, onani, atau karena mencium istri atau budak yang halal baginya selama yang menjadi objek bukanlah kemaluan, baik secara sengaja dia mengeluarkan mani ataukah tidak, baik dia mengeluarkan mani ataukah tidak” (Al-Muhalla 6/203)
Maka pertanyaannya buat Abu Syafiq yang terlalu gampang untuk menghina ulama: “Apakah Ibnu Hazm adalah wahhabi busuk? Dan apakah Ibnu Hazm adalah Wahhabi terbodoh??”
Beranikah Abu Syafiq mencela Ibnu Hazm sebagaimana dia telah mencela syaikh Al-Albani, hanya karena permasalahan ijtihad.
Hal ini menunjukkan betapa sempitnya dada beliau dalam menerima perbedaan pendapat fiqh.
=> Imam Ash-Shana’i rahimahullah berkata:
الْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا قَضَاءَ وَلَا كَفَّارَةَ إلَّا عَلَى مَنْ جَامَعَ وَإِلْحَاقُ غَيْرِ الْمُجَامِعِ بِهِ بَعِيدٌ
 “Yang lebih jelas adalah bahwasanya mengeluarkan mani tidak perlu qadha ataupun kaffarah kecuali orang yang berjima’. Adapun menyambung-nyambungkan orang yang tidak jima’ dengan orang yang jima’ adalah sesuatu yang sangat jauh untuk disamakan” (Subul As-Salam 3/323)
Apakah Imam Ash-Shana’i adalah wahhabi bodoh menurut Abu Syafiq hanya karena beliau berpendapat bahwasanya onani tidak membatalkan puasa? Dan apakah Imam Ash-Shana’i adalah wahhabi sesat dalam masalah hal ini?
Mampukah Abu Syafiq menjawabnya?
=> Imam Bukhari juga berpendapat demikian. Hal ini dapat kita istinbatkan dalam kitab shohih beliau. Maka dari itu disebutkan dalam Fiqh Al-Bukhari:
أفاد فيهما إباحة الاستمتاع على الصائم عن طريق المباشرة والتقبيل إذا كان متملكا نفسه بحيث لا يفضي استمتاعه إلى الجماع, فلا يؤثر هذا الاستمتاع على صومه وإن أمنى
 “Kedua bab ini (Bab bermesran dengan istri untuk orang yang berpuasa “Bab Al-Mubasyarah Li Ash-Sha’im dan bab orang yang puasa mencium istrinya “Bab Al-Qublah Li Ash-Shaim”) memberikan sebuah faidah bahwasanya diperbolehkan untuk orang yang berpuasa bermesraan dan mencium istrinya jika dia dapat menguasai dirinya sehingga hal tersebut tidak membawa kepada mencari kenikmatan dengan cara jima’. Maka hal tersebut tidaklah berbekas atas puasanya (tidak membatalkan puasanya)” (Fiqh Al-Imam Al-Bukhari hal. 69)
Imam bukhari membawakan sebuah riwayat dalam bab ini:
قَالَ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ: إِنْ نَظَرَ فَأَمْنَى يُتِمُّ صَوْمَهُ
 “Jabir bin Zaid berkata: “Jika dia melihat istrinya kemudian dia mengeluarkan maninya maka hendaklah dia tetap melanjutkan puasanya (tidak batal)” (HR. Bukhari)
Apakah Imam Bukhari menurut Abu Syafiq adalah wahhabi dungu yang tersesatkan juga? Beranikah Abu Syafiq mengatakannya?
=> Abu Bakr Al-Iskaf dan Abu Al-Qasim yang mana keduanya adalah ahli fikh hanafi juga berkata demikian.
Disebutkan dalam Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah:
إذَا عَالَجَ ذَكَرَهُ بِكَفِّهِ حَتَّى أَمْنَى لَمْ يُفْطِرْ ( عَلَى مَا قَالُوا ) أَيْ الْمَشَايِخُ ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الْإِسْكَافِ ، وَأَبِي الْقَاسِمِ لِعَدَمِ الْجِمَاعِ صُورَةً وَمَعْنًى
 “Jika dia menggerakkan dzakarnya hingga mengeluarkan maninya, maka hal tersebut tidaklah membatalkan puasanya, hal tersebut sesuai apa yang mereka katakan yakni: para masyaikh. Dan dia adalah perkataan Abu Bakr Al-Iskaf dan Abu Al-Qasim. Hal tersebut karena hal tersebut sama sekali bukanlah jima’ baik dari sisi hakikatnya maupun maknanya”  (Al-‘Inayah Syarh Al-Hidayah 3/285)
Apakah beliau berdua juga wahhabi bodoh yang sesat menurut Abu Syafiq hanya karena keduanya berpendapat bahwasanya onani tidak membatalkan puasa?? Silahkan Abu Syafiq menjawabnya sendiri.
=> Dan ulama lainnya juga berpendapat demikian seperti Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Muflih Al-Hanbali, Syaukani dll, yang mana saya rasa tidak perlu mencantumkan perkataan mereka demi untuk menyingkat pembahasan.
Maka kesimpulannya: Apakah para ulama yang telah kami sebutkan diatas adalah wahhabi menurut pandangan Abu Syafiq??
Kesimpulannya adalah bahwa Abu Syafiq terlalu gampang untuk mencela dan menghina terutama ini adalah permasalahan fikh. Apa karena masalah fikh, lantas Abu Syafiq berhak menyesatkan orang yang berselisih dengannya? Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
3- Perlu diketahui bahwasanya pembahasan apakah onani membatalkan puasa atau tidak adalah pembahasan tersendiri yang tidak ada kaitannya apakah onani haram ataukah tidak.
Syaikh Al-Albani tetap mengatakan bahwasanya onani adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Beliau berkata:
وأما نحن فنرى أن الحق مع الذين حرموه
 “Dan adapun kami, maka kami berpendapat bahwasanya kebenaran bersama para ulama yang mengharamkan onani” (Tamam Al-Minnah hal. 420)
Sehingga beliau menyatakan bahwasanya onani adalah haram, namun tidak membatalkan puasa. Hal ini dikatakan beliau sendiri dalam Tamam Al-Minnah yang mana Abu Syafiq menukil perkataan syaikh Al-Albani  dari kitab tersebut. Seharusnya Abu Syafiq membacanya juga.
Perlu diketahui pula, bahwasanya bukan semua yang haram dapat membatalkan puasa. Saya beri contoh: “Berdusta” berdusta adalah dosa dan suatu keharaman yang sangat munkar. Namun apakah berdusta membatalkan puasa? Atau sebaliknya, Abu Syafiq berani menyatakan bahwasanya berdusta adalah pembatal puasa???
4- Pembahasan fiqh penuh dengan ijtihad dan seharusnya bagi seluruh orang muslim untuk berlapang dada dalam menerima perbedaan pendapat dalam masalah fiqh terutama jika dia adalah seorang tokoh masyarakat.

Kenapa kita berani menyatakan bahwa fulan sesat dan fulan bodoh cuma karena berselisih pendapat mengenai perkara khilafiyyah ijtihadiyyah??
Seharusnya kita berpikir kembali. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:
إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
 “Jika seorang hakim (ulama) berhukum maka dia berijtihad kemudian dia benar maka dia mendapatkan 2 pahala. Dan jika dia berijtihad kemudian salah maka dia mendapatkan satu pahala” (HR. Bukhari)
Kalau Allah yang maha mulia memberikan pahala kalau ulama salah ijtihad lantas betapa beraninya kita yang penuh dosa menyesatkan orang??
Maka betapa tajamnya lisan ustaz Abu Syafiq yang terlalu mudah menyesatkan orang dan betapa sempit dadanya untuk menerima perbedaan pendapat dalam masalah fiqh yang penuh khilaf dan ijtihad.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.