Tragedi Mina yang terjadi
kemarin (24/9) mengejutkan banyak pihak. Setelah sebelumnya badai pasir dan
hujan lebat menyebabkan jatuhnya alat berat yang menewaskan seratusan jiwa,
kini lebih dari 700 nyawa melayang dalam tragedi Mina. Angka korban tewas ini menjadi
jumlah terbesar kedua dalam penyelenggaraan ibadah haji khususnya di Mina dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir setelah tragedi Mina 1990 yang menewaskan 1426
jiwa.
Dunia Islam tersentak. Namun
kali ini ada yang berbeda dengan tragedi Mina 1990. Kini alur informasi begitu
cepat tersebar, baik yang valid maupun yang tak jelas sumbernya. Media sosial
mengambil peran utama dalam hal ini. Hanya berselang satu hari bermunculanlah
siaran-siaran pesan yang menbahas tragedi Mina kali ini. Media-media televisi—apalagi
cetak—jauh tertinggal dengan tersebarnya kabar melalui media sosial.
Akibat dari tersebarnya
berbagai siaran pesan tersebut, informasi tentang tragedi Mina mulai bergeser
dari doa dan data korban tragedi menjadi berkembang dan cenderung liar ke arah
siapa yang layak disalahkan dalam tragedi ini. Bermunculan spekulasi, dan jika
ditarik garis pemisah opini yang berkembang ke arah Saudi versus Iran.
Beberapa pihak menyebarkan
informasi bahwa penyebab utama tragedi Mina ini adalah jamaah haji asal Iran
yang tidak tertib dalam mengambil jalur perjalanan. Sementara pihak pro Iran
mengatakan Saudi selaku penyelenggara tidak becus mengatur pelaksanaan
rangkaian ibadah haji di Mina. Ditambah bumbu penyedap dimana konon sebagian
jalan ditutup karena putra mahkota ingin melalui jalan tersebut sehingga
menyebabkan penumpukan jamaah haji dari dan akan menuju lokasi jumrah Aqabah.
Terlepas dari berbagai
spekulasi yang berkembang melalui media sosial, ada yang menarik dari “perang”
opini yang terjadi pasca tragedi Mina sehari lalu. Pihak-pihak yang gencar
melakukan protes keras kepada kerajaan Saudi Arabia sebagai penyelenggara dan
penanggungjawab ibadah haji adalah Iran dan pihak-pihak yang pro terhadap
mereka.
Media-media pro Iran pun
gencar membentuk opini sedemikian rupa yang mengarah kepada kesimpulan bahwa
Saudi-lah biang keladi dari tragedi Mina. Opini dari kubu pro Iran pun semakin
renyah karena dibalas dengan pihak-pihak anti Iran. Pada akhirnya, ide
internasionalisasi Mekkah dan Madinah pun kembali dikemukakan oleh kubu pro
Iran.
Ide internasionalisasi Mekah
dan Madinah bukanlah barang baru. Pada dekade 80-an ide ini pernah dipopulerkan
oleh pemimpin spiritual tertinggi Syiah sekaligus pemimpin revolusi Iran,
Khomeini. Khomeini meminta agar pengelolaan dua kita suci umat Islam itu
dikelola oleh Komite Islam Internasional dan tidak dibawah pemerintah Kerajaan
Saudi Arabia. Seruan Khomeini ini pun berujung kepada tragedi Mekah pada 1987
dimana 400 lebih warga Iran tewas setelah membuat kerusuhan di Mekkah. Berbagai
kalangan menilai insiden Mekah 1987 itu akibat dari provokasi dari Khomeini.
Kembali ke tragedi Mina
kemarin, berbagai opini gencar disuarakan kepada para pendukung Iran. Mereka
menyuarakan bahwa Saudi adalah pihak yang tidak becus menjadi penyelenggara
haji, dan sudah saatnya pengelolaan dua kota suci umat Islam
di-internasionalisasi. Ide Khomeini pun kembali dimunculkan, walau tanpa
menyebut sang empunya.
Dengan kata lain politisasi
tragedi Mina menjadi isu Iran versus Saudi menjadi terdengar sumbang, ada pihak
yang memang sengaja menginginkan isu ini kembali mengemuka. Setumpuk
kepentingan di balik isu internasionalisasi dua kota suci pun terasa. Mulai
dari kepentingan politik, ekonomi dan hegemoni dunia Islam terlihat.
Iran yang notabene menganut
agama Syiah sangat berkepentingan dengan ide internasionalisasi. Selain mereka
melanjutkan ide Khomeini, tentu mereka juga berkepentingan untuk
mendelegitimasi Saudi sebagai rival mereka dalam pertarungan geopolitik Timur
Tengah plus kekuatan pengaruh di dunia Islam.
Jika boleh sedikit
berandai-andai, tidak ada jaminan penyelenggaran haji dan pengelolaan dua kota
suci menjadi lebih baik jika dialihkan dari tangan Saudi Arabia. Justru
tantangan kompleks akan menanti dengan terlibatnya sejumlah pihak dalam mengaturnya.
Kita perlu juga menyadari mengatur 1.355.000 jiwa ditambah 48.000 jamaah haji
domestik— berasal dari budaya yang berbeda, bahasa yang berbeda—dalam satu
titik yang sama tidaklah mudah,.
Menyalahkan pihak
penyelenggara, dalam hal ini Saudi Arabia seperti opini yang beredar, tak lepas
dari aroma kebencian Iran (penganut Syiah) pada Saudi Arabia dan merekapun
selalu bernafsu untuk melepas dominasi Saudi pada dua kota suci. Iran yang
Syiah punya hajat untuk menguasai dua kota suci dan tentu tujuan mereka tidak
perlu dirinci disini, yang pasti mereka adalah aliran sesat yang merusak.
Kita pun tahu apa jadinya jika Iran yang syiah turut andil mengelola dua
kota suci.
Namun terburu-buru
menyalahkan jamaah asal Iran sebagai penyebab tragedi Mina juga perlu
dikoreksi, mengingat tragedi ini bukan baru satu kali, apakah kita mau
menyimpulkan bahwa seluruh tragedi di Mina sejak kurun 30 tahun belakangan
selalu disebabkan oleh jamaah Iran? Tentu ini kesimpulan yang berlebihan.
Kita tidak boleh terbuai
dengan pertarungan opini yang terjadi, ingat hasil investigasi terkait tragedi
Mina belum diumumkan, mari kita sama-sama bersabar untuk mendapatkan informasi
akurat seputar penyebab tragedi tersebut dari sumber-sumber yang
bertanggungjawab.
Terkait internasionalisasi
pengelolaan dua kota suci, selama dikelola oleh umat Islam (bukan Syiah bukan
pula PBB serta pihak mana pun di luar Islam) dan tak ada syariat yang diubah
dalam praktik ibadah haji selama ini, maka semua pintu yang diyakini akan
membawa kebaikan bersama, syariat Islam senantiasawelcome.
Penulis: Usyaqul Hurr