Prof. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni, MA ( 17/10/15 20:23 )
Sebelum pemaparan tentang
perselisihan syiah tentang konsep “‘Ishmah” yang mengandung unsur kesucian para
imam dari perkara-perkara maksiat, ada baiknya kalau ditelusuri terlebih dahulu
sejarah bermulanya konsep tersebut dan bagaimana konsep tersebut menjadi
pegangan asas dalam pemikiran dan teologi syiah.
Umat Islam dari berbagai
golongan teologi baik Ahlu Sunnah ataupun Syiah, telah sepakat mengenai sifat
ma’shum para nabi dan rasul dalam menyampaikan risalah dari Allah. Akan tetapi,
syiah berlainan dengan Ahlu Sunnah dalam perkara ini, di mana mereka juga
menjadikan sifat ma’shum sebagai bagian dari sifat imam-imam syiah. Bahkan sifat
ma’shum yang dilekatkan dalam diri para imam merupakan perkara yang paling
penting dalam ideologi (akidah) mereka. Bahkan lebih dari itu, mereka
menambahkan lagi beberapa sifat-sifat kepada para imam, seperti mengetahui hal
ghaib.
Perlu disebutkan bahwa
pendapat mengenai kepemilikan sifat ma’shum ini pertama kali muncul dari
kalangan para ekstrimis syiah, seperti golongan Saba’iyyah, Kaisaniyyah,
Mukhtariyyah[1]. Kemudian pendapat ini semakin berkembang
pada masa pemerintahan Umawiyah.
Sebenarnya motif syiah
melekatkan sifat ma’shum kepada para imam adalah menurunkan kredibiliti sahabat
Rasulullah. Sehingga hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh mereka tidak
memiliki harga dan nilai, karena keraguan mereka terhadap para sahabat
Rasulullah saw. Jadi mereka sangat memerlukan syari’at alternatif yang
membebaskan mereka untuk tidak merujuk kepada hadits-hadits Nabi saw. Jadi idea
pemikiran mengenai imam ma’shum adalah alternatif yang akan memainkan peran
untuk menutupi kelemahan mereka, dan memberikan berbagai nasehat dan hukum yang
diperlukan oleh syiah.
Tidak diragukan lagi bahwa
ini adalah suatu beban yang ditanggung oleh seorang imam, yang menuntut dia
untuk memiliki sifat ma’shum. Karena tidak ada alasan untuk mengambil ucapannya
sebagai sebuah akidah selama dia tidak terbebas dari kesalahan dan terjaga dari
kekhilafan, jadi mereka berikan sifat ma’shum kepadanya. Dan yang lebih
membahayakan lagi adalah pendapat mereka mengenai sifat ma’shum imam telah
membawa kepada anggapan bahwa segala apa yang keluar dari para imam syiah sama
kedudukannya dengan firman Allah swt dan sabda Rasulullah saw. Oleh karena itu,
maka sumber rujukan hadits mereka mayoritas sanadnya terhenti kepada seorang
imam tanpa sampai kepada Rasulullah saw.
Dari sini, Dwight M.
Donaldson mensinyalir bahwa sifat ma’shum merupakan ide pemikiran asli syiah,
dan tidak terkena pengaruh dari kepercayaan masehi dan yahudi. Dan sifat
ma’shum ini juga tidak disebutkan oleh kaum muslimin era pertama dalam polemik
mereka dengan kaum kristen. Dan sesungguhnya Alquran sendiri tidak pernah
menyebutkan mengenai sifat ma’shum para nabi[2].
Akan tetapi, al-Qadhi Abdul
Jabbar melihat bahwa prinsip ma’shum bisa jadi diwarisi oleh syiah dari agama
majusi. Karena majusi mengklaim mengenai keberadaan “sang penolong” yang tengah
ditunggu-tunggu kedatangannya oleh para sahabatnya, yang mereka itu tidak
berdusta dan tidak bermaksiat kepada Allah. Dan mereka tidak melakukan kesalahan
yang kecil ataupun besar[3].
Jika begini keadaannya, jadi
siapakah dari kalangan syiah yang pertama kali menggagas dan mengikrarkan
akidah ini?
Para ulama saling berbeda
pendapat dalam menjawab pertanyaan ini. Dan jawabannya terbagi kepada dua
pendapat:
– Pertama: sebagian ulama
berpendapat bahwa pendapat mengenai sifat ma’shum para imam dimunculkan oleh
Abdullah bin Saba`. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh imam Ibnu Taimiyah:
“Ishmah adalah pandangan ekstrim pertama yang dimunculkan dalam Islam dan
dibawa oleh orang yang menyamar sebagai syiah, dan orang yang pertama
menampakkan ideologi tersebut adalah Abdullah bin Saba. Ia katakan bahwa bahwa
imam Ali adalah imam yang ditentukan kepimpinannya secara “nash”. Dan Ali juga
memiliki sifat ‘Ishmah atau ma’shum”[4].
– Kedua: sebagian lagi ulama
berpendapat bahwa pembicaraan mengenai sifat ma’shum dimulai oleh Hisyam bin
al-Hakam. Sebagaimana yang dinukil oleh Syahrastani dari perkataan Hisyam bahwa
para nabi boleh saja melakukan kemaksiatan, sementara imam tidak demikian sebab
ia ma’shum. Dengan alasan bahwa seorang Nabi tidak perlu kema’shuman karena
beliau telah diturunkan wahyu kepadanya yang dapat menegur dan menyadarkannya
dari kesalahan, sedangkan seorang imam tidak diturunkan wahyu kepadanya, karena
tidak ada wahyu yang boleh menegurnya, maka dia mesti memiliki sifat ma’shum[5]. Pendapat ini juga yang diambil oleh
al-Qadhi Abdul Jabbar, bahwa perkataan mengenai sifat ma’shum seorang imam yang
membuatnya tidak boleh melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam keadaan dan
kondisi apapun, dan juga tidak pernah ditimpa rasa lupa ataupun lalai, tidak
dikenal pada masa sahabat dan tabiin, sampai masa Hisyam bin al-Hakam yang
mencipatakan perkataan ini[6]. Pendapat ini juga dikuatkan oleh para
ahli peneliti Islam modern[7].
Adapun DR. Dhiya`uddin
ar-Rayyis (Profesor di Darul ulum, Universiti Kaherah) memberikan catatan bahwa
Hisyam bukanlah orang pertama yang memunculkan perkataan mengenai sifat ma’shum
imam, akan tetapi dialah orang pertama yang menggaskan ideologi-ideologi syiah
secara ilmiah dan sistematik, termasuklah konsep ‘Ishmah dan penentuan teori
“nash” kepimpinan[8].
Seperti itulah, para ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan masa kemunculan ideolgi kema’shuman seorang
imam dalam mazhab syiah. Pendapat yang pertama mengembalikan idea pemikiran
‘ishmah terhadap imam kepada Ali bin Abi Thalib yang dimunculkan oleh Abdullah
bin Saba`. Sedangkan pendapat yang kedua mengembalikannya kepada masa
ash-Shadiq melalui Hisyam bin al-Hakam. Dan nampaknya pendapat pertama lebih
dekat kepada kebenaran. Karena Abdullah bin Saba` sebagaimana dalam sejarah
diketagorikan orang yang pertama berbicara mengenai sifat ma’shum seorang imam
dan konsep penentuan “nash” kepemimpinan, sementara Hisyam bin al-Hakam dikategorikan
sebagai orang yang pertama menyusun dan merumuskan teori tersebut dengan
teratur, ini bermaknakan bahwa Hisyam bukanlah orang yang pertama mengeluarkan
ide mengenai sifat ma’shum imam.
Definisi ‘Ishmah Menurut
Pandangan Ahli Sunnah Dan Syiah
‘Ishmah dalam bahasa arab “اَلْعِصْمَةُ”bermakna pencegahan atau
penghalangan”اَلْمَنْعُ” . Dan kalimat ‘ishmatullah
abdahu “عِصْمَةُ اللهِ عَبْدَهُ
”bermakna: Allah menghalang
hambaNya dari apa yang dapat menghancurkannya. Dan lafaz ‘ashimahu
ya’shimuhu ‘ishman “عَصَمَهُ يَعْصِمُهُ عِصْمًا ” bermakna : menghalang dan
melindunginya. Lafaz al-‘ishmah “اَلْعِصْمَةُ”bermakna: penjagaan
(pemeliharaan), dan kalimat wa’tashim billah “وَاعْتَصِمْ
بِاللهِ ” bermakna: Halanglah
dirimu dari kemaksiatan dengan karunia Allah[9]. Sedangkan definisinya secara terminologi
para ulama ahli sunnah berbeda pendapat kepada dua pandangan:
Pertama: adalah kekuatan,
kemampuan atau karunia yang dilimpahkan oleh Allah kepada seorang yang memiliki
sifat ma’shum dengan tetap memberikan pilihan kepadanya.
Kedua: adalah suatu
keistimewaan dalam jiwa dan raga, yang membuat orang yang memiliki sifat
ma’shum terhalang dari dosa.
Imam Fakhruddin ar-Razi
al-Asy’ari telah membincangkan definisi ‘Ishmah sebagaimana perbedaan dua
pandangan di atas, beliau menjelaskan bahwa di antara mereka –menurut
klaimnya-: Pendapat pertama mengklaim bahwa orang yang memiliki sifat ma’shum
sebenarnya adalah orang yang tidak akan mungkin melakukan kemaksiatan, di
samping itu ada yang beralasan bahwa orang tersebut memiliki raga dan jiwa yang
istimewa dan hanya menuntunnya untuk tidak melakukan kemaksiatan. Dan alasan
lain bahwa orang yang ma’shum itu mungkin saja tidak ada keistimewaan sebab
kesamaan raga dengan orang lain, namun ‘ishmah ditafsirkan sebagai kemampuan
yang ada pada diri seseorang untuk berbuat kebaikan, inilah pandangan Abu Hasan
al-Asy’ari, Adapun pendapat kedua yang mengklaim bahwa orang yang memiliki
sifat ma’shum sebenarnya tidak menghalangnya dari melakukan kemaksiatan atau
memilih berbuat ma’siat dengan alasan bahwa perkara ‘ishmah sebenarnya adalah
limpahan perbuatan (kurnia) Allah diberikan kepada hambaNya, dan Allah
mengetahui bahwa dia tidak akan melakukan kemaksiatan dengan adanya sifat
tersebut[10].
Pengarang kitab al-Mawaqif
bernama imam al-Iiji berkata mengenai hakikat sifat ma’shum: “menurut pandangan
kami makna sifat ma’shum adalah Allah tidak menciptakan pada diri mereka dosa.
Sedangkan menurut Hukama (ulama) ma’shum adalah sifat atau kekuatan yang dapat
mencegah seseorang dari kemaksiatan”[11].
Definisi Sifat Ma’shum
Menurut Pandangan Syiah Zaidiyah
Sifat ma’shum menurut
pandangan syiah zaidiyah –sebagaimana dijelaskan oleh salah satu ulama Zaidiah
yaitu imam Ahmad asy-Syarafi: “penolakan jiwa untuk sengaja melakukan perbuatan
maksiat, atau sengaja meninggalkan ketaatan secara terus menerus, maksudnya
mencegah dirinya dari melakukan perbuatan kemaksiatan, dan meninggalkan
ketaatan secara sengaja untuk selama-lamanya. Karena dia memiliki sifat yang
membawanya ke arah perbutan tersebut, serta terciptanya sinar di dalam hati
seorang ma’shum untuk memilih berbuat taat dan meninggalkan kemaksiatan”[12].
Dari sini, syiah Zaidiyah
melihat bahwa para nabi ma’shum (terpelihara) dari sifat lupa, salah, alfa, dan
lalai dalam menyampaikan risalah Islam. Sedangkan pada perkara yang selain
penyampaian risalah mereka tidak ma’shum. Karena Allah swt telah memilih mereka
untuk menyampaikan risalah-Nya dan melaksanakan amanah-Nya. Dan tidak mungkin
Dia mengutus orang yang melupakan sesuatu dari risalah-Nya, atau lalai, atau
berdusta[13].
Definisi ‘Ishmah Menurut
Syiah Imamiah Dan Syiah Isma’iliyah
Syaikh al-Mufid (w413H)
mendefiniskan sifat ma’shum sebagai: “terhalangnya seseorang untuk melakukan
dosa dan keburukan”[14].
Dengan nada yang sama,
asy-Syarif al-Murtadha (w436H)[15] berkata: ” sifat ma’shum adalah
sifat yang diciptakan oleh Allah ta’ala pada diri seseorang, sifat ini mencegah
dirinya untuk memilih perbuatan yang buruk “[16].
Dari paparan teks ini dapat
disimpulkan bahwa ada dua penjelasan bagi sifat ma’shum:
1) Sifat ma’shum ini adalah
beberapa perkara yang diberikan oleh Allah ta’ala untuk hamba-Nya yang
mukallaf, yang menjadikan orang tersebut tidak melakukan perbuatan maksiat. Dan
mereka menafsirkan beberapa perkara ini sebagai empat hal, yaitu: yang pertama:
yaitu meletakkan di dalam diri manusia sifat yang menghalangnya dari melakukan
perbuatan keji, dan mengajak kepada menjaga diri. Yang kedua: pengetahuan
mengenai berbagai tempat kemaksiatan dan ketaatan. Yang ketiga: penegasan
pengetahuan tersebut dengaan wahyu dan penjelasan dari Allah swt. Yang keempat:
manakala dia melakukan kesalahan akibat lupa dan lalai, dia tidak dibiarkan
begitu saja, bahkan dia diberikan hukuman dan peringatan, dan ditambahkan
keuzuran kepadanya.
Jika keempat perkara ini
dimiliki oleh seseorang maka orang tersebut adalah seorang yang ma’shum, karena
sifat suci jika ditambah dengan pengetahuan, yaitu bahwa di dalam ketaatan ada
kebahagiaan, dan di dalam kemaksiatan ada kesengsaraan, kemudian ditambah
dengan kedatangan wahyu kepadanya, dan muncul penjelasan kepadanya, yang
disempurnakan dengan rasa takut terhadap hukuman dalam kadar yang sedikit, maka
dengan terkumpulnya keempat perkara ini terbentuklah sifat ma’shum yang hakiki.
2) Sifat ma’shum adalah suatu
sifat yang menghalang seorang mukallaf dari melakukan perbuatan yang buruk
dengan secara suka rela. Sifat tersebut bisa jadi tidak termasuk dalam empat
perkara yang telah disebutkan di atas, contohnya: Allah taala mengetahui bahwa
jika Dia menciptakan awan, atau hembusan angin, atau Dia gerakkan suatu objek,
maka perbuatan-Nya ini akan menghalang Zaid dari melakukan perbuatan yang buruk
secara suka rela. Maka sesungguhnya Allah ta’ala wajib untuk melakukan hal itu,
dan sifat ini adalah suatu penghalang bagi Zaid. Dan jika disebutkan mengenai
sifat ma’shum maka berarti dia adalah sekumpulan sifat yang menghalang seorang
mukallaf dari melakukan perbuatan yang buruk sepanjang masa dewasanya[17].
Sifat ma’shum menurut
pendapat syiah imamiah itsna asyariah dan syiah isma’iliyah bathiniah bersifat
mutlak, yaitu dapat menghapuskan segala sifat salah, lalai, lupa, dan
sebagainya[18]. Oleh karena itu, mereka berpendapat
bahwa tidak pernah diketahui dari imam Ali as bahwa dia pernah memberikan
pandangan yang salah, atau melakukan suatu perbuatan akibat salah dan lalai[19].
Al-Majlisi berkata:
“teman-teman kita para penganut syiah imamiah sepakat mengenai sifat ma’shum
para nabi dan imam dari dosa kecil dan besar, baik secara sengaja, ataupun
karena salah, ataupun karena lalai dari semenjak sebelum dan setelah kenabian-,
bahkan dari semenjak mereka dilahirkan, sampai mereka berjumpa dengan allah
ta’ala. Tidak ada yang tidak sependapat dengan pendapat ini kecuali ash-Shaduq
Muhammad bin Babawaih, dan gurunya yaitu Ibnu al-Walid “[20].
Di tempat yang lain,
al-Majlisi menyatakan: “ketahuilah bahwa imamiah telah bersepakat mengenai
sifat ma’shum para imam as dari melakukan dosa-dosa besar dan kecil, maka
mereka tidak akan melakukan dosa, baik secara sengaja, atau lupa, atau salah.
Mereka juga tidak melakukan kesalahan dalam ta`wil (penafsiran quran dan
haditst)”[21].
Jadi, menurut pandangan
al-Majlisi semua imam memiliki sifat ma’shum dalam semua bentuknya, besar
ataupun kecil, sifat ma’shum dari kesalahan, juga dari kelalaian, lupa, dan
sebagainya.
Masalah sifat ma’shum tidak
hanya terbatas pada penafian perbuatan maksiat, bahkan melampauinya. Pada abad
keempat, Ibnu Babawaih (w381H) dalam kitabnya yang berjudul: “Diin asy-Syiah
al-Imamiyah”, dia berkata: “akidah kita mengenai para imam bahwa mereka
memiliki sifat ma’shum dan suci dari segala keburukan. Dan mereka tidak
melakukan dosa yang besar ataupun yang kecil. Mereka juga tidak melakukan
kemaksiatan terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah, dan melakukan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Dan orang yang menafikan sifat ma’shum pada mereka
berarti dia telah jahil mengenai mereka, dan orang yang jahil mengenai mereka
berarti orang kafir. Keyakinan kita kepada para imam adalah mereka memiliki
sifat ma’shum, memiliki sifat yang sempurna, mengetahui segala perkara yang
berkaitan dengan mereka, dan mereka tidak disifati dengan sifat kekurangan,
kemaksiatan, dan kejahilan”[22].
Dengan ungkapannya ini, dia
menafikan kemaksiatan, juga kejahilan, dan kekurangan dari para imam, dan dia
mengakui kesempurnaan yang selalu mengiringi mereka dari permulaan kehidupan
mereka sampai ke akhir hayat. Dan dia kafirkan orang yang tidak sependapat
dengannya[23].
Perlu diisyaratkan di sini
bahwa syiah imamiah itsna asyariah dan syiah isma’iliyah bathiniah bersepakat
bahwa merupakan hal yang darurat adanya sifat ma’shum bagi seorang, di mana
kepimpinannya ditentukan langsung dari Allah Swt (nash) dari asal keturunan Ali
bin Abi Thalib. Karena sifat ma’shum adalah salah satu prinsip utama dalam
rukun akidah mereka, serta memiliki posisi yang penting, maka seorang imam
wajib atau mesti memiliki sifat ma’shum[24].
Ali bin al-Walid –ulama
Islma’iliah- (w612H) berkata: “hakikat dasar agama dan syari’at mengandung
nilai dan sifat ma’shum”[25]. Ini berdasarkan qias kepada Nabi saw.
Syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar-seorang ulama imamiah modern- berkata:
“sesungguhnya seorang imam seperti Nabi, yang harus memiliki sifat ma’shum dari
semua perkara yang buruk dan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi.
Dari semenjak masa kecil sampai masa kematian, secara sengaja ataupun lalai.
Sebagaimana dia harus memiliki sifat ma’shum dari kelalaian, kesalahan, dan
lupa. Karena semua imam merupakan penjaga dan pelaksana syari’at, maka posisi
mereka sama dengan posisi Nabi sehingga sama-sama ma’shum”[26].
Jadi, seorang imam memiliki
berbagai sifat dan kemampuan yang dimiliki oleh Nabi saw. Dan dia memiliki hak
kepimpinan (wilayah) dan kekuasaan yang sama seperti Nabi saw terhadap manusia.
Dan dia sama sekali tidak memiliki perbedaan dengan Nabi saw, kecuali hanya
pada masalah turun wahyu, maka seorang imam mengambil dari Rasulullah saw apa
yang telah diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Jadi kesimpulannya adalah
seorang imam memiliki sifat ma’shum sama seperti Nabi saw. Dan sesungguhnya
orang yang menafikan sifat ma’shum dari seorang imam berarti telah menafikan
imamah darinya, berdasarkan qiyas kepada nubuwwah[27].
Jadi, -menurut pandangan
mereka- jika telah diakui bahwa para nabi memiliki sifat ma’shum, maka para
imam juga memiliki sifat ma’shum karena mereka memiliki illat (sebab) yang sama
yang menjadi sebab bagi Allah untuk menciptakan para nabi.
Donaldson berkata: “syiah
menampakkan dan menonjolkan sifat ma’shum para rasul, bertujuan supaya dakwah
para imam-imam mereka mendapatkan pengakuan dengan cara melekatkan kema’shuman
juga kepada para imam syiah”[28]. Mereka memiliki keyakinan bahwa furu’
(cabang) mengikut dengan asal dalam hukum, jadi mereka meyakini akidah sifat
ma’shum para imam berdasarkan alasan bahwa mereka adalah penerus orang yang
ma’shum[29].
Para imam dalam pandangan
imamiah itsna asyariyah dan isma’iliyah bathiniah bukan hanya ma’shum dari
berbagai dosa besar dan kecil saja, bahkan dari semua dosa. Oleh karena itu, mereka
mengakui sifat ma’shum mutlak bagi para imam. Bukti bagi pengakuan imamiah
itsna asyariyah mengenai sifat ma’shum mutlak ini adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh as-Sayyid Muhsin al-Amin al-Husaini al-Aamili:”seorang imam
harus ma’shum dari dosa, kesalahan, dan kelalaian, seperti Nabi saw. Dan dia
harus memiliki semua sifat kesempurnaan terbebas dari semua kekurangan. Dan dia
adalah orang yang paling mulia pada masanya”[30].
Ibnu al-Muthahhar al-Hulliy
(w726H) berkata: “seorang imam mesti dilantik oleh Allah ta’ala, ma’shum dari
segala keburukan dan kesalahan, agar dia tidak meninggalkan sebagian hukum,
atau menambahnya secara sengaja ataupun lalai”[31].
Berbagai sebab sifat ma’shum
menurut mereka adalah sebagaimana yang diisyaratkan oleh syaikh Mufid terdiri
dari:
Ada keistimewaan dalam diri
orang yang ma’shum yang menghalangnya dari melakukan perbuatan yang keji
disebabkan oleh sifat ma’shum yang dimilikinya.
Dia memiliki pengetahuan
mengenai perkara yang buruk dan kemaksiatan, begitu juga halnya pengetahuan
dengan berbagai kebaikan dan perkara yang terpuji.
Penegasan pengetahuan ini
dengan wahyu yang berketerusan dan ilham dari Allah.
Allah mengingatkannya mengenai
perkara yang harus dia tinggalkan dan yang harus dia lakukan, maka dia
senantiasa mengetahui perkara yang benar[32].
Sedangkan berbagai ucapan
isma’iliyah bathiniah mengenai sifat ma’shum adalah sebagaimana yang dikatakan
oleh ad-Da’i Ahmad an-Naisaburi: “tidak ada seorangpun yang memiliki kesucian
seperti imam, akhlaknya bagus, baik, dermawan, lembut, dan memiliki sifat
keberanian yang tidak ada seorangpun yang mampu menandinginya. Dan dia jauh dan
terhindar dari semua dosa, aib, dan kekurangan”[33]. Di lain tempat dia berkata:
“sesungguhnya para imam terhindar dari kefasikan, kekejian, kezaliman,
kesalahan, dan peperangan, karena Allah ta’ala mensucikan mereka dari segala
debu dan aib”[34].
Dalam kitab “al-majalis
wal-Musayarat” dipaparkan perkataan yang ditujukan untuk al-Mu’izz li Dinillah[35]: “maka segala puji kepada Allah Yang
telah memberikan kenikmatan sifat ma’shum kepada kita, dan Dia tidak jadikan
hawa nafsu untuk kita pada apa yang Dia haramkan kepada kita”[36].
Dari berbagai ungkapan ini
menjadi jelas bagi kita sejauh mana pandangan mereka terhadap imam dan sifat
ma’shum. Dalam pandangan mereka, seorang imam mesti memiliki sifat ma’shum,
sama seperti Nabi saw. Karena dia adalah penjaga syari’at, dan satu-satunya
orang yang wajib menyampaikan risalah dari Allah swt setelah kematian Nabi saw.
Dan dialah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Akan tetapi dia tidak menerima
wahyu. Dan perkara terakhir inilah yang membedakannya dengan Nabi saw.
Di antara berbagai dalil yang
dijadikan sandaran oleh imamiah itsna asyariah dan isma’iliyah bathiniah
mengenai kewajiban sifat ma’shum bagi para imam adalah firman Allah swt:
(إِنَّمَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيراً) الأحزاب: 33
“Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”. (QS. al-Ahzab: 33).
Penjelasan syiah mengenai
ayat ini adalah: “sesungguhnya para ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini turun
berkaitan dengan Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Dan ayat ini secara jelas
menunjukkan sifat ma’shum mereka. Dan orang yang selain ma’shum tidak akan
menjadi imam”[37]. Karena -dalam
pandangan mereka- ayat tersebut secara terang-terangan berbicara mengenai sifat
ma’shum mereka dari berbagai perbuatan maksiat, sebagaimana yang dibuktikan
dari kalimat “innama” yang merupakan salah satu elemen pembatasan dan dalil
bagi pengkhususan[38].
Ibnu al-Muthahhar al-Hulliy
(w726H) mengomentari ayat di atas dan berkata: “ayat ini memberikan petunjuk
mengenai sifat ma’shum, dengan disertai penegasan berupa kalimat “innama”, dan
dengan memasukkan huruf “lam” dalam khabar, juga pengkhususan dalam firman
Allah dengan perkataan-Nya “ahlul bayt”, serta pengulangan dengan ucapan-Nya
“yuthahhirukum”, disertai dengan penegasan berupa kata “tathhiira”. Jadi yang
tidak masuk dalam kategori ayat ini tidak memiliki sifat ma’shum[39].
Sedangkan al-Faydh al-Kasyani
(w1091H), seorang ulama tafsir imamiah dalam kitab tafsirnya “ash-AShafi”
berkata: “ayat ini diturunkan kepada Rasulullah saw dan keluarganya, Ali bin
Thalib, Fathimah, Hasan, Husain, dan Ummu Salmah”[40].
Dalam salah satu kitab syiah
isma’iliyah bathiniah yang berjudul “Masaa`il Majmu’ah Min al-Haqaa`iq
al-‘Aliyah wad-Daqaa`iq wal-Asraar as-Saamiyah” dipaparkan bahwa ayat ini
menjelaskan tentang sifat ma’shum seorang imam. Dan sesungguhnya ibu seorang
imam terbebas dari haid: “yang dimaksud dengan ar-Rijs dalam ayat tersebut
adalah darah haid. Dan jika masa kehamilan janin telah sempurna maka individu
tersebut lahir sebagaimana halnya anak-anak manusia biasa. Akan tetapi,
individu ini memiliki keistimewaan sendiri yaitu: kesucian, sinar, dan cahaya
yang tidak dapat disifati, meskipun dia berbentuk tubuh manusia. Dan kemunculan
mukjizat darinya serta penampakkan tanda-tanda yang luar biasa darinya tidak
akan nampak kecuali setelah dia diwasiatkan oleh bapaknya untuk menjadi imam”[41].
Dari semua paparan di atas
ini, maka syiah imamiah mengakui sifat ma’shum para imam, karena mereka
terlepas dari dosa-dosa, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Maka mereka semua
ma’shum dari dosa, baik yang dilakukan secara lalai ataupun secara sengaja.
Syiah Isma’iliyah bathiniah
memberikan dalil bagi klaim mereka mengenai sifat ma’shum para imam dengan
firman Allah swt yang berbunyi:
(يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ
مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلاً) النساء: 59
“Hai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya”. (QS. 4:59)
Menurut pandangan syiah
Isma’iliyah, ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt telah mewajibkan orang yang
beriman untuk mentaati seorang imam, dan ketaatan terhadap imam ini sama dengan
ketaatan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Karena secara pemahamannya, tidak
mungkin mutiara disamakan dengan kerang, yang mulia disamakan dengan yang hina,
dan yang suci disamakan dengan najis. Yang berarti menyambungkan ketaatan
kepada seorang Rasul dengan ketaatan kepada seorang imam yang ma’shum karena
keduanya memiliki kedudukan yang sama. dan sesungguhnya kewajiban untuk
mentaati Rasulullah saw dan keluarganya adalah karena sifat ma’shumnya, maka
berarti kewajiban untuk mentaati seorang imam adalah karena sifat ma’shumnya.
Jadi kalau begitu berarti seorang imam itu memiliki sifat ma’shum[42].
Dari uraian di atas nampak
jelas akidah Syiah, bahwa segala sesuatu yang menunjukkan kewajiban nubuwwah
juga menunjukkan kewajiban imamah. Dan jika para nabi memiliki sifat ma’shum,
maka begitu juga halnya para imam, mereka juga memiliki sifat ma’shum.
Hakikatnya, sesungguhnya sifat ma’shum yang dinisbahkan kepada para imam mereka
adalah bertujuan mengakui berbagai periwayatan yang tidak sesuai dengan akal
dan logika, yang dinisbahkan kepada seorang imam, dengan tujuan menutup pintu
diskusi di hadapan para cendikiawan dan orang-orang pintar mengenai
kandungannya, dan memaksa manusia untuk menerimanya. Karena semua riwayat ini
muncul dari seorang imam yang ma’shum dan tidak akan melakukan kesalahan.
Ishmah merupakan kekuatan
jiwa yang mengarah kepada kebaikan semata “Malakah Nafsaniyah” (karakter
inheren), dengan terpasangnya karakter ini dalam hati seseorang membuatnya ia
tercegah dari perbuatan dosa, maksiat dan kesalahan. Dan malakah nafsaniyah ini
hanya dapat dimiliki dengan bantuan dan kekuasaan Allah.
[1] Golongan-golongan ini
sudah lupus dan tidak wujud lagi di zaman modern.
[2] Donaldson, 1946 M,
Aqidatusy-Syiah, hal 324-326, Mesir.
[3] Al-Qadhi Abdul Jabbar,
Tatsbit Dalaa`il an-Nubuwwah, 1/179, Beirut, Darul Arubah.
[4] Ibnu Taimiyah, 1969 M,
Jami’ ar-Rasa`il –al-Majmu’ah al-Uala-, hal 260-262, Kairo, Mathba’ah
al-Madani.
[5] Lih, asy-Syahrastani,
al-Milal wan-Nihal, 1/185.
[6] Al-Qadhi Abdul Jabbar,
Tatsbit Dala`il an-Nubuwwah, 2/528.
[7] Lih, an-Nasysyar, Ali
Sami, Nasy`ah al-Fikr al-Falsafi Fi al-Islam, 2/194.
[8] Lih, ar-Rayyis,
Dhiya`uddin, 1976 M, an-Nazhariyyat as-Siyasiyyah al-Islamiyyah, hal 94, Kairo,
Maktabah Dar at-Turats.
[9] Lih, Ibnu Manzhur,
Lisan al-Arab, 12/403.
[10] Ar-Razi, Mahshal Afkar
al-Mutaqaddimin wal-Muta`akhkhirin, hal 218, Kairo, Maktabah al-Kulliyyaat
al-Azhariyyah.
[11] Al-Iji, Kitab
al-Mawaqif Fi Ilmi al-Kalam, 3448.
[12] Ahmad asy-Syarafi,
Syarh al-Asas al-Kabir, 2/272.
[13] Lih, Ahmad bin
Sulaiman, Kitab Haqa`iq al-Ma’rifah Fi Ilmi al-Kalam, hal 429.
[14] Al-Mufid, Syarh Aqa`id
ash-Shaduq, hal 114, Tibriz, 1371H.
[15] dia adalah Abu Thalib
Ali bin al-Husain bin Musa al-Qurasyi al-Alawi al-Husaini al-Mawsuy
al-Baghdadi, anak Musa al-Kazhim. Dia adalah yang mengumpulkan kitab Nahju
al-Balaghah yang lafaznya dinisbahkan kepada imam Ali ra.
[16] Lih, asy-Syarif
al-Murtadha, 1387H/1967M, Amali al-Murtadha, 2/347, Beirut, tahqiq: Muhammad
Abu al-Fadhl Ibrahim, Dar al-Kitab al-Arabi.
[17] Ibn Abi al-Hadid, Syarh
Nahj al-Balaghah, 7/7-8.
[18] Lih, Ibn al-Muthahhir
al-Hulliy, Minhaj al-Karamah, hal 47.
[19] Jabir, Qasim Habib,
1407H/1987M, al-Falsafah wal-I’tizal Fi Nahj al-Balaghah, hal 127,
Beirut-Lebanon, al-Mu`assasah al-Jami’iyah lid-Dirasat an-Nasyr wat-Tawzi’.
[20] Al-Majlisi, Bihar
al-Anwar, 25/350-351.
[21] Al-Majlisi< Bihar
al-Anwar, 25/350-351, lih, Mir`aah al-Uquul, 4/352.
[22] Ibnu Babawiyah,
al-I’tiqadat, hal 108-109.
[23] Al-Qafari, Nashir Ali,
Ushul Mazhab asy-Syiah al-Itsna Asyariyah, 2/507.
[24] Lih, Fayyadh, Abdullah,
1986M, Tarikh al-Imamiyah Wa Aslafihim Min asy-Asyiah, hal 157, Beirut,
Mu`assasah al-A’lami lil-Mathbu’at. Musthafa Ghalib, al-Harakat al-Bathiniyah
fi al-Islam, hal 98. As-Sayyid Ali Abbas al-Mawsuy, Nazhariyyah al-Imamah Wa
Isykaliyyah al-Ghibah, hal 48, makalah di Majalah al-Minhaj, 1424H/2004M,
diterbitkan oleh Markaz al-Ghadir lid-Dirasat al-Islamiyyah, Beirut-Lebanon,
tahun kedelapan, no 32.
[25] Ali bin al-Walid, Taaj
al-Aqa`id Wa Ma’dan al-Fawa`id, hal 105.
[26] Al-Muzhaffar, Aqa`id
al-Imamiyyah, hal 67.
[27] Mughniyah, 1984M,
al-Islam wal-Aql, hal 224-225, Beirut-Lebanon, Dar wa Maktabah al-Hilal wa Dar
al-Jawad.
[28] Donaldson, Aqidah
asy-Syiah, hal 328.
[29] Mahmud Syukri al-Alusi,
Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyariyah, hal 284.
[30] As-Sayyid Muhsin
al-Amin al-Husain al-Aamili, ad-Durr ats-Tsamin, hal 23, Mathba’ah al-Aadab,
an-Najef-Iraq.
[31] Ibnu al-Muthahhir
al-Hulliy, Minhaj al-Karamah, hal 114.
[32] Lih, asy-Syaikh
al-Mufid, Awa`il al-Maqalat Fi al-Mazahib al-Mukhtarat, hal 97.
[33] Ad-Da’i Ahmad
an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 43.
[34] Ad-Da’i Ahmad
an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 71.
[35] Dia adalah khalifah
dinasti Fathimiah yang keempat, dilahirkan pada tahun 319H, dan dia menerima
khilafah pada tahun 342H, ketika itu dia berumur 23 tahun. Dia meninggal dunia
di Kairo pada tahun 356H. lih, ad-Da’i Idris Imaduddin, Uyub al-Akbar Wa Funun
al-Atsar-Akhbar ad-Dawlah al-Fathimiyah-, hal 202. Al-Muqrizi, at-Ta’azh
al-Hunafa Bi akhbar al-A`immah al-Fathimiyyin al-Khulafa, 1/93, tahqiq:
DR.Jamaluddin asy-Syayyal.
[36] Al-Qadhi an-Nu’man,
al-Majalis wal-Musayarat, hal 418.
[37] Mahmud Syukri al-Alusi,
Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyariah, hal 149 .
[38] Jabir, Qasim Habib,
al-Falsafah wal-I’tizal Fi Nahj al-Balaghah, gal 127.
[39] Ibnu al-Muthahhir al-Hulliy,
Minhaj al-Karamah, hal 121.
[40] Dia adalah mawla
Muhsin, yang diberikan julukan al-Faydh al-Kasyani, seorang ahli fiqih dan ahIi
tafsir imamiah. Dia wafat pada tahun 1091H. lih, Aagha Bazrak ath-Tharan,
Thabaqat A’laam asy-Syiah, hal 150.
[41] Masa`il Majmu’ah Min
al-Haqaa`iq al-Aaliyah wad-Daqaa`iq wal-Asraar as-Saamiyah, hal 8. kitab ini
tidak diketahui siapa nama pengarangnya.
[42] Hamid al-Karamani,
al-Mashabih Fi Itsbat al-Imamah, hal 75-76. Ad-Da’I Ali bin al-Walid, daamigh
al-baathil Wa Hatf al-Munadhil, 1/215-267.
Redaktur: Deasy Lyna
Tsuraya