“Apa yang saat ini terjadi di
Syam, sama buruknya dengan yang terjadi di Aljazair. Bahkan, terjadi
pembaruan-pembaruan untuk menyempurnakan taktik intelijen,” katanya saat
berbicara pada bedah buku Balada Jihad Aljazair, di Masjid Al-Muhajirin,
Grogol, Jakarta, pada Ahad (11/10).
Menurut ustadz Fuad, fenomena
ekstrim dalam takfir pada Jihad di Suriah juga diiringi dengan aksi
pengeksekusian. Pertama kali yang mengalami aksi eksekusi adalah komandan
Jabhah Nusrah Wilayah Raqqah, Suriah bernama Abu Saad Al-Hadrami. Ketika itu,
kelompok Daulah Islam Iraq dan Syam (ISIS) dituding berada di balik aksi
pengeksekusian. Awalnya, ISIS menyangkal telah membunuh Abu Saad Hadrami. Di
kemudian hari, ketika ditemukan bukti, akhirnya mereka mengakui telah membunuh
komandan Jabhah Nusrah.
“Ketika dituduh mereka
awalnya membantah, tetapi ketika dusta mereka terbongkar. Akhirnya, mereka
mengakui dengan bangga. Abu Saad Hadrami dibunuh karena dituduh murtad oleh
mereka,” ujar ustadz Fuad.
Saat ini, lanjut Ustadz Fuad,
kelompok ISIS bertindak lebih jauh lagi. ISIS sudah menerbitkan pembatal
keislaman yang dituduhkan kepada Jabhah Nusrah. Setelah sebelumnya, fatwa
murtad juga sudah diberikan kepada kelompok jihad lainnya di Suriah.
“Jabhah Nusrah dikafirkan
karena bekerjasama dengan Ahrar Syam yang lebih dulu dianggap murtad,”
terangnya.
Fenomena ekstrim dalam
pengkafiran ini, bukan saja merugikan Jihad. Akan tetapi, menghabisi jihad itu
sendiri. Sebagaimana hal itu bisa dilihat, ketika kelompok ekstrim mendahulukan
serangan terhadap kelompok lain yang dituduh murtad dibandingkan dengan
negara-negara kafir yang menginvasi Suriah.
“Ketika Rusia menyerang
mujahidin. Faktanya, saat ini ISIS juga menyerang mujahidin,” ucap utsadz Fuad.
Maka dari itu, imbuh Ustad
Fuad, pelajaran penting pada eksperimen jihad di Aljazair sangat relevan dikaji
untuk melihat peristiwa yang terjadi di bumi-bumi jihad saat ini. Pelajaran
berharga dalam jihad Aljazair adalah menyatunya mujahidin dan umat.
Persatuan mujahidin dan umat merupakan tonggak utama kemenangan dalam
perjuangan.
Strategi ini, ternyata telah
dibaca oleh intelijen negara-negara thogut. Mereka pun akhirnya membuat kontra
strategi untuk menghadapinya. Badan-badan intelijen, berusaha memisahkan
mujahidin dengan umat dalam kancah jihad. Maka, diupayakan bagaimana citra
mujahidin tidak disukai oleh masyarakat. Salah satunya, dengan menyebarkan
paham ekstrim dalam pengkafiran.
“Kemudian mereka berupaya
agar umat dibuat ketakutan dan mujahidin dibuat menyeramkan di mata umat,”
ungkapnya.
Dukungan umat sangat penting
dalam perjuangan. Bahkan, prinsip tersebut juga diyakini oleh kelompok
non-Islam dalam perjuangan mereka. Seperti di Filipina, kelompok oposisi
berhasil menggulingkan kekuasaan rezim saat itu melalui dukungan massa yang
disebut people power. Hal tersebut juga terjadi pada Arab Spring di Timur
Tengah, penguasa-penguasa tiran berhasil dijatuhkan melalui people power dengan
dukungan massa.
“Ketika dukungan massa kuat,
maka jihad tidak banyak mengandung kerugian. Kemungkinan kalah juga
menjadi kecil,” tandasnya.
Kenyataan itulah, kata ustadz
Fuad, membuat kekhawatiran intelijen rezim-rezim tiran di mana saja. Maka,
mereka berusaha menjauhkan umat dengan mujahidin.
Reporter: Bilal
Intelijen Manfaatkan Fatwa Ulama untuk
Hancurkan Jihad
Sepanjang sejarah eksperimen
jihad, fenomena ekstrim pengkafiran dinilai telah merugikan gerakan jihad
dibandingkan fenomena paham murjiah yang enggan mengkafirkan pelaku kekufuran.
Demikian diungkapkan oleh
Majelis Syariah Jamaah Ansharusy Syariah, Ustadz Fuad Al Hazimi pada bedah buku
‘Balada Jihad Aljazair’ di Masjid Al-Muhajirin, Grogol, Jakarta pada Ahad
(11/10).
“Menurut Syaikh Abu Mushab
As-suri, orang yang mudah mengkafirkan Muslim lebih banyak menyakiti jamaah
jihad,” katanya.
Lebih dari itu, kata Ustadz
Fuad, arsitek jihad global Abu Mushab As-Suri juga meyakini arahan dan fatwa
para ulama dan komandan yang dimanfaatkan oleh intelijen lebih merusak Jamaah
Islamiyah Musallahah dalam jihad Aljazair era 90-an dibandingkan kerja-kerja
intelijen asli yang menyusup di tubuh organisasi itu.
Badan intelijen bisa
memanfaatkan fatwa dan arahan para ulama, karena para ulama mendapat informasi
yang sudah dibelokkan. Akibatnya, para ulama dan komandan tersebut mengeluarkan
fatwa dan arahan yang membahayakan perjalanan jihad. Fatwa para ulama bukan dibelokkan
teksnya, tetapi informasi yang menjadi penentu pembuatan fatwa dan arahan sudah
sejak awal dibelokkan.
“Para masyayikh kadang-kadang
tidak tahu waqi (realita lapangan,red). Sementara, informasi yang diterima
salah. Namun, masyayikh ini di satu sisi punya legitimasi yang kuat ketika
berfatwa,” ungkapnya.
Lanjutnya, para ulama
pendukung jihad dan komandan mujahidin menjadi sumber kerusakan bukan karena
menjadi agen intelijen. Akan tetapi, karena mereka lemah dalam siyasah
syar’iyah (wawasan dan kemampuan politik,red). Sehingga, mereka sering terjebak
dalam perangkap intelijen.
“Mereka bisa seperti itu
karena lugu. Menghadapi penguasa dengan strategi yang kurang rapih,” cetus
Ustadz Fuad.
Saat terjadi jihad di
Aljazair, sebab-sebab kemenangan sebenarnya sudah ada di sana. Ketika itu, umat
sudah tidak percaya dengan demokrasi dan beralih ke jalan jihad. Untuk
menghadapi perlawanan umat ini, rezim thogut Aljazair tidak mendorong agar umat
kembali kepada demokrasi. Rezim Aljazair justru mendorong umat masuk ke dalam
gerakan jihad yang sudah dicemari oleh paham pengkafiran ekstrim.
“Mereka tidak mengajak umat
kembali ke demokrasi. Justru mereka mempercepat umat menjadi gerakan
penghancuran melalui jihad yang diradikalisasi,” terangnya.
Reporter: Bilal