Bismillah. Saudaraku, takfir
adalah perkara besar dalam Islam. Takfir itu ada, TAPI HANYA BOLEH DIKELUARKAN
oleh para ulama (dewan) yang kredibel & diakui.
Memvonis KAFIR tanpa hak ke
seorang Muslim, itu adalah bahaya besar. BISA MENGHAPUSKAN AMAL-AMAL si pelaku.
Dosanya seperti kaum murtad atau kaum musyrikin, yang amal-amalnya TERHAPUS.
Apa sedemikian dahsyat dosa
takfir serampangan? Jawabnya: YA!!!
.
IBARATNYA, dengan syarat dan
rukun tertentu seorang insan DIBERI ANUGERAH identitas Islam oleh Allah &
Rasul-Nya. Tapi oleh si penuduh, identitas Islam itu dia batalkan. Ini kan
melawan Allah & Rasul-Nya.
.
Nabi Saw bersabda: “Jika
seseorang memanggil saudaranya, ya kafir! Maka vonis itu akan menimpa salah
satu dari keduanya. Jika yang dituduh memang kafir ia akan kafir; namun kalau
tidak, tuduhan akan kembali ke si penuduh.” (HR. Bukhari Muslim).
.
Nabi Saw juga bersabda:
“Siapa yang mendakwa seseorang sebagai kafir (atau sbg musuh Allah), padahal
orang itu tidaklah demikian; maka vonis kafir itu akan kembali ke si pendakwa.”
(HR. Bukhari Muslim).
.
Ada kelakuan aneh. Kalau kita
berbeda pendapat, menolak suatu pendapat, atau menentang suatu gerakan (fasad);
tiba-tiba kita dimurtadkan. Aneh.
.
TENTU amat sangat aneh kalau
Anda berbeda dengan kami, menolak atau menentang kami; Anda lalu dikenai hukum
kafir. Aneh sekali sikap itu.
.
MEREKA hukumi manusia
berdasar SUKA atau BENCI. Kalau suka diterima, kalau benci dikafirkan.
.
JADI mereka seperti PENYEMBAH
HAWA NAFSU. Tidak mau tunduk KAIDAH SYARIAT. Hanya tunduk pada ulama-ulamanya
sendiri.
.
SEPERTI kaum Yahudi Nasrani
yang menjadikan pendeta-pendetanya sebagai TANDINGAN SELAIN ALLAH. #paganisme
.
DOSA mengkafirkan 1 Muslim
tanpa hak, sudah menghancurkan seluruh amal-amal si penuduh. Karena hukum
kekafiran BALIK KEPADANYA. Bagaimana kalau yang dikafirkan seribu Muslim,
ratusan ribu Muslim, jutaan Muslim?
.
BAGAIMANA kalau ada
Mbak-mbak, Ibu-ibu, gadis belia aktif mendukung KAMPANYE KAUM TAKFIR ini dalam
memurtadkan kaum Muslim? Ya menolong kaum zhalim dalam kezhalimannya, akan ikut
memikul dosa mereka. Yaitu sama-sama habis amalnya, kalau TIDAK SEGERA TAUBAT.
.
Semoga peringatan sederhana
ini bermanfaat. Amin ya Sallam.
==============
GERAKAN TAKFIRI DAN SEBAB
KEBINASAANNYA
.
Bismillah. Artikel ini cukup
penting. Kami berharap Anda membantu menyebarkan. Agar jadi nasehat buat para
pelaku Takfir semena-mena.
.
LDII seperti ISIS dan kaum
yang pro kepadanya, doyan mengkafirkan kaum Muslimin. Pengkafiran dijadikan
amal shalih yang sangat nikmat. Na’udzubillah minad dhalal wa ashabih.
.
Seperti kami jelaskan
sebelumnya, hadits Nabi Saw: “Siapa yang memanggil saudaranya ‘hai kafir’,
sedangkan padanya tidak ada alasan kekafiran, maka vonis kafir itu akan kembali
ke dirinya sendiri.”
.
Kalau mengkafirkan 1 Muslim,
10 Muslim, 100 Muslim, 1000 Muslim, 1000000 Muslim…maka mereka akan menanggung
DOSA KEKAFIRAN sebanyak jumlah Muslim yang mereka kafirkan. Na’udzubillah min
dzalik.
.
Bagi pendukung ISIS dan LDII,
sama saja. Mereka share DOSA KEKAFIRAN bersama orang-orang itu. Maka jauhi saja
kaum Takfiri tersebut, atau nasehati agar TAUBAT.
.
BAYANGKAN, akibat dosa
Takfir, amal-amal musnah, sejak baru lahir sampai dirinya jadi tukang Takfir
yang semena-mena. Termasuk bagi pendukung Takfirnya.
.
SUDAH begitu, sialnya, Takfir
mereka TIDAK NGARUH. Tidak membuat kerugian bagi Muslimin. Malah hanya
menghancurkan amal-amal mereka sendiri. (Termasuk amal Mas-mas, Mbak-mbak
pendukung propaganda mereka).
.
KAUM Takfir mendapat 5
KEHINAAN sekaligus dalam kehidupan dunia akhirat:
.
a. Mereka menanggung dosa
kekafiran sebanyak Muslim yang mereka kafirkan.
.
b. Mereka lebih buruk dari
kaum kafir sejati, karena kafir sejati hanya memikul masing-masing 1 dosa
kekafirannya.
.
c. Mereka lebih buruk dari
orang murtad, karena orang murtad hanya menganiaya dirinya sendiri, sedang
Takfiri menganiaya jutaan Ummat.
.
d. Allah sempitkan hidup
mereka dan dihinakan. Kalau memutus shilaturahim saja bisa membuat manusia
sempit hidupnya, apalagi MEMBATALKAN KEISLAMAN tanpa hak? Bukankan urusan agama
lebih penting dari nasab kekeluargaan?
.
e. Sehebat apapun mereka
mengkafirkan Ummat, tak ada pengaruhnya. Ummat tetap terjaga keislamannya,
meski mereka terus koar-koar mengkafirkan.
.
Allah SWT menjaga keislaman
Ummat, sedang kaum Takfiri berusaha mati-matian menghapus keislaman Ummat. Maka
siapa yang lebih kuat, Allah Ta’ala atau mereka?
.
FAKTA lain, kita akan selalu
dan selalu menyaksikan, bahwa kaum Takfiri ini pada akhirnya akan SELALU
BERDIRI SEJAJAR dengan kaum kufar & rezim thaghut. Selalu dan selalu
begitu. “Mereka memerangi Ahlul Islam dan membiarkan penyembah berhala.” (Lihat
posisi ISIS di Suriah saat ini! Sama saja. Bahu membahu dengan Assadis,
Rafidhah, Rusia, China, dll. menggempur Mujahidin Ahlus Sunnah).
.
TIDAK berlebihan jika kaum
Takfiri itu digambarkan seperti “anjing anjing neraka”. Mereka dijanjikan masuk
neraka, lalu melolong bersahut-sahutan di sana, karena pedihnya siksa; seperti
anjing menggonggong.
.
Na’udzubillah wa
na’udzubillah minat takfiriyin wa syarrihim wa ansharihim ajma’in. Amin.
=================
“SIAPA YANG TIDAK
MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR (MUSYRIK) MAKA DIA PUN KAFIR”
.
Bismillah. Ini adalah kaidah
yang sering kita dengar. Banyak disalahpahami. Memicu munculnya
kelompok-kelompok Takfiri.
.
Kaum Wahabi banyak disudutkan
karena kaidah ini. Maka semoga kajian sderhana ini bisa menjernihkan kerumitan,
bi idznillah.
.
[1]. KAIDAH ini tidak
masalah, bahkan sudah seharusnya begitu, JIKA pihak yang dikafirkan memang
orang-orang kafir sejati, seperti Yahudi, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Tao,
Shinto, Komunis, dll. Kaum kafir itu sendiri JUSTRU MENOLAK KERAS dirinya
dikaitkan dengan Islam. Mereka ikhlas, ridha, mantap berada DI LUAR ISLAM.
.
[2]. DAN sering jadi masalah
tatkala yang dikafirkan itu adalah kaum yang HUKUM ASALNYA Muslim. Mereka
divonis, dituduh, atau dicaci sebagai orang kafir. Nah, di sini urusannya
sering kusut dan membuat fitnah merebak.
.
[3]. DALAM ISLAM yang berhak
menetapkan hukum kafir/musyrik/murtad adalah QADHI SYARIAH (lembaga hukum Islam
yang kredibel). Atau mudahnya, para ulama resmi dan diakui kredibilitasnya.
JADI hukum takfir kepada manusia itu, BUKAN HAK ORANG PER ORANG.
.
[4]. Tidak setiap pelaku
perbuatan kufur/syirik, langsung divonis kafir. Tidak demikian. Karena ada proses
takfir yang harus dipenuhi terlebih dulu. PARA ULAMA PUN, sebelum memutuskan
hukum takfir (pengkafiran) pada Fulan atau Fulanah, harus melakukan INVESTIGASI
YANG DETAIL. Pengkafiran harus memenuhi syarat-syarat dan hilangnya
faktor-faktor toleransi (al mawani’).
.
[5]. Di antara syarat
jatuhnya hukum takfir: a. Si pelaku sudah dewasa; b. Ada bukti-bukti nyata dan
saksi atas perkataan atau perbuatan kufur; c. Pelaku sadar dan tidak gila; d.
Pelaku tidak dipaksa atau dalam tekanan; e. Pelaku tahu ilmu, jadi berbuat
bukan karena kebodohan; f. Perbuatan kufur bukan karena alasan taqiyah
(melindungi diri dari ancaman). JADI proses panjang, sebelum hukum kufur
disematkan.
.
[6]. Terkait takfir ini ada
DUA HAK yang harus dipahami. Pertama, HAK ALLAH Yang Maha Tahu hakikat
kekafiran seseorang. Bisa saja, seseorang dikafirkan karena memenuhi
syarat-syarat Syariat, tetapi dia di sisi Allah tidak dinyatakan kafir. Hak
seperti ini bukan wilayah manusia, tetapi wilayah Allah SWT. Kedua, HAK SYARIAT
ISLAM. Setiap Muslim otomatis mendapat perlindungan Syariat. Sebagian orang
statusnya tetap diakui sebagai Muslim, meskipun hatinya kafir, karena sesuai
syarat-syarat Syariat. Contoh, kaum Khawarij. Meskipun mereka melakukan dosa
amat sangat besar dengan mengkafirkan kaum Muslimin, secara Syariat mereka
tetap diakui sebagai Muslim, bukan kafir. Maka itu para ulama Sunnah rata-rata
sangat berhati-hati dalam urusan takfir. Sebab kalau keliru mengkafirkan bisa
fatal. Hukum kekafiran bisa berbalik ke diri sendiri.
.
[7]. DUA DALIL sangat penting
tentang pentingnya kehati-hatian dalam takfir dan tidak mengumbar hal itu
secara sembrono. Pertama, Nabi Saw menghukumi lahiriyah manusia. Orang-orang
munafik di Madinah tidak dikafirkan, meskipun hati mereka kafir. Kedua, Nabi
Saw murka ketika Usamah Ra membunuh laki-laki yang telah berucap “laa ilaha
illa Allah”. Hal ini jadi dalil bahwa Nabi Saw sangat hati-hati atas status
keislaman seseorang.
.
[8]. Dalam kondisi ada
manusia Muslim yang menghujat Syariat, menghujat Allah dan RasulNya, menghujat
Al Qur’an, dan lainnya; maka kita BOLEH MENGINGATKAN para pelakunya lewat
ANCAMAN KEKAFIRAN. Misal dengan kata-kata: “Hati-hati perbuatanmu bisa membawa
kepada kekafiran!” Tanpa memvonis seseorang secara PERSONAL sebagai orang
kafir. Vonis personal menunggu FATWA ULAMA.
.
Demikianlah, kaidah di atas
harus diposisikan secara adil & proporsional. Tugas mengkafirkan, adalah
tugas ulama kredibel. Kita boleh mengingatkan para PENGHUJAT SYARIAT dengan
hukum kekafiran, tapi secara umum saja, bukan vonis individual.
.
SEMOGA bermanfaat,
alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, wallahu a’lamu bi murodhihi.
(WeAre).
Memahami Konsep TAKFIR!
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Masalah TAKFIR (mengkafirkan
seseorang) banyak dibahas di berbagai kesempatan. Ada yang bersikap lantang
dalam Takfir; ada yang sangat lunak bahkan selunak-lunaknya. Hal ini cukup
membingungkan Umat. Mari kita kaji tema Takfir ini untuk mendapatkan pemahaman.
Bismillah, bi nashrillah, laa haula wa laa quwwata illa billah.
[a]. Orang Liberal mengklaim
bahwa: “Yang berhak menghakimi kafir tidaknya seseorang hanyalah Tuhan. Manusia
tidak berhak menghakimi manusia yang lain kafir.” Ini adalah kata-kata munkar
bin bathil; karena justru Al Qur’an menjelaskan secara gamblang kafirnya kaum
Yahudi, Nasrani, dan musyrikin. Bahkan Al Qur’an juga menyebut orang munafik
sebagai kafir hatinya; meskipun amal-amalnya tampak Muslim.
Urusan Takfir Berkaitan
dengan Darah dan Kehidupan Manusia.
[b]. Kaidah terbesar dalam
TAKFIR (mengkafirkan) adalah: Kita mengkafirkan manusia yang dikafirkan oleh
Allah dan Rasul-Nya; dan kita melepaskan manusia yang tidak dipandang kafir
oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi hukum Takfir mengikuti aturan Allah dan
Rasul-Nya, layaknya berbagai perkara apapun dalam Islam.
[c]. Dua kaum sesat dalam
Takfir, yaitu KHAWARIJ yang bermudah-mudah mengkafirkan manusia; dan MURJI’AH
yang bermudah-mudah dalam menerima keislaman manusia. Ahlus Sunnah Wal Jamaah
bersikap pertengahan, adil di antara kedua sekte itu.
[d]. Perkara Takfir bukan
masalah mudah. Ia berada di area AKIDAH, FIKIH, dan MUAMLAH. Disebut
akidah, karena masalah Takfir berkaitan dengan pembeda antara iman dan kufur.
Disebut fikih, karena ia dibahas oleh ulama-ulama dalam kitab-kitab fikih pada
bab Hukmul Irtidad(hukum orang-orang yang murtad). Disebut muamalat,
karena vonis kafir kepada seseorang ada dampak sosialnya (bagi keluarga dan
masyarakat). Maka itu jangan sembarangan membahas masalah ini.
[e]. Masalah Takfir banyak
dibahas terkait dengan pentingnya menegakkan Syariat Islam. Jika demikian, maka
perkara Takfir ini harus kita angkat sesuai Syariat Islam juga, agar selaras.
Tidak mungkin rasanya, kita ingin Syariat Islam tegak, tapi kita tidak mau
meletakkan urusan Takfir dalam timbangan Syariat Islam.
[f]. Takfir dibedakan atas
dua jenis: Takfir ‘Aamatau takfir global; dan Takfir Mu’ayyan atau
takfir individu. Takfir ‘Aam misalnya perkataan: “Para penyembah kubur adalah
kafir!” Nah, disini tidak disebut nama-nama para penyembah kubur; hanya disebut
secara global. Ini boleh dilakukan, sebagai peringatan bagi manusia. Sebagian
besar Takfir ulama Wahabi ada dalam posisi ini. Sedangkan contoh Takfir
Mu’ayyan misalnya pada perkataan: “Si Fulan bin Fulan, beralamat disini,
bekerja sebagai ini, identitasnya begini-begini; dia dinyatakan kafir karena
menyebarkan kartun menghina Nabi SAW.” Nah, ini takfir individu.
[g]. Takfir akan berjalan
sempurna sesuai Syariat Islam, jika terpenuhi 3 perkara: (1). Ada perbuatan,
ucapan, atau sikap yang membuat manusia terkena hukum kekafiran; (2). Ada
legitimasi hukum Syariat yang membuat hakim Islam bisa memutuskan vonis kafir
kepada seseorang; (3). Ada lembaga penegak hukum Islam yang bisa merealisasikan
hukuman (sanksi) terhadap orang yang murtad itu.
[h]. Sebuah contoh, misalnya
ada manusia Muslim bernama Rusli melakukan perbuatan kekufuran, misalnya dengan
menginjak-injak Al Qur’an. Maka kita tak bisa langsung memvonisnya kafir. Tapi
kita serahkan perkara ini kepada Qadhi Syariat (hakim yang tegak berdasarkan
Syariat Islam) untuk memeriksa perkaranya; sampai ada keputusan apakah
kekafiran Rusli sudah mantap, atau ada keraguan padanya? Siapa tahu, saat
menginjak-injak Al Qur’an Rusli dalam keadaan mabuk, sehingga dianggap seperti
orang tidak waras. Kalau Qadhi Syariat tidak ada, kita mencarikan fatwa dari
Dewan Ulama (Majelis Ulama) yang kredibel, untuk menanyakan status orang itu.
Dewan Ulama harus melakukan penyelidikan untuk sampai kepada satu kesimpulan
yang mantap. Jika telah ada ketetapan hukum yang mantap bahwa Rusli
memang kafir karena perbuatannya; penegak hukum Syariat segera bergerak untuk
melaksanakan sanksi atas Rusli (si murtad). Sanksi ditegakkan sesuai
ketentuan Syariat. Tampak disini, untuk menegakkan hukum Takfir dibutuhkan:
Kepastian perbuatan seseorang, legitimasi lembaga hukum Syariat, dan
pelaksanaan sanksi sesuai Syariat. Inilah contoh Takfir sesuai Syariat. Kalau
belum terpenuhi unsur-unsur ini, maka Takfir yang diberikan belum mencukupi aturan
Syariat.
[i]. Kita tidak boleh
menetapkan secara pasti (memvonis) misalnya: “Anggota MPR/DPR kafir murtad.
Anggota TNI/Polri kafir murtad. Hakim, jaksa, pegawai negara kafir murtad.”
Kata-kata demikian tidak boleh diucapkan. Alasannya: Siapa yang mengucapkan
kata-kata itu? Apakah dia seorang Qadhi Syariat, atau seorang Mufti, atau
seorang Ketua Dewan Ulama yang fatwa-fatwanya mengikat kehidupan kaum Muslimin?
Karena fatwa kafir harus memiliki legitimasi hukum. Tidak bisa semua orang
obral vonis Takfir. Nanti akan membuat semakin ruwet kehidupan Ummat. Alasan
lain: Menyebut jelas “anggota MPR/DPR” kafir murtad, itu termasuk jenis Takfir
Mu’ayyan, karena anggota lembaga itu jelas orang-orangnya. Manusia tahu siapa
anggota lembaga-lembaga itu, karena ada daftar keanggotaannya. Takfir Mu’ayyan
harus benar-benar dilakukan berdasarkan penyelidikan per individu, tidak bisa
main pukul rata. Nabi SAW tidak pernah menghukumi kafir kepada suatu kaum
secara global, kecuali kepada kaum yang benar-benar kafir seperti musyrikin
Makkah, Yahudi, Nasrani, dan semisalnya. Dalam riwayat, Umar bin Khatthab RA
meminja izin untuk membunuh seseorang karena dia hendak menyerahkan surat
rahasia ke puak-puak musyrikin di Makkah. Namun Nabi mencegahnya, dengan alasan
orang itu adalah peserta Perang Badar. Padahal perbuatannya secara zhahir sudah
dianggap kafir, karena bersekutu dengan musuh Islam. Begitu juga Usamah bin
Zaid RA pernah membunuh seseorang yang mengucap Laa Ilaha Illallah, lalu Nabi
SAW marah besar kepadanya. Padahal secara logika, alasan Usamah sangat bisa
dimengerti. Alasan lain: vonis semacam itu di negara yang tidak ada legitimasi
hukum Hudud seperti Indonesia ini, akan menimbulkan perpecahan di antara kaum
Muslimin. Sebaiknya, kaum yang bijak dan penuh perjuangan bersikap hati-hati
dalam perkara seperti ini!
[j]. Fakta berbicara, bahwa
dalam perjuangan Nabi SAW di Makkah, Takfir diangkat adalah untuk membedakan
antara pengikut Tauhid dan pengikut thaghut. Sifat Takfir itu global, dan dalam
konteks dakwah Islam. Sanksi atas kaum kafir tidak dilaksanakan di Makkah. Baru
setelah kaum Muslimin memiliki legitimasi hukum untuk menetapkan hukum kafir
kepada individu berikut sanksi hukumnya, ia dilaksanakan; yaitu setelah Ummat
mendapati kedaulatan hukum di Madinah.
Singkat kata, kita harus
berhati-hati ketika berbicara tentang Takfir ini. Sebagai Muslim, kita lebih
suka jika lebih banyak orang yang menjadi Islam; bukan lebih banyak orang
menjadi kafir. Kita mencintai keislaman atas orang lain, seperti kita mencintai
keislaman atas diri kita sendiri. Nabi SAW bersabda: “Laa yu’minu ahadukum
hatta yuhibba li akhihi maa yuhibbu li nafsih” (tidak beriman salah satu dari
kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya
sendiri). Cintailah untuk saudaramu, apa yang engkau cintai untuk dirimu
sendiri.
Semoga risalah sederhana ini
bermanfaat. Amin Allahumma amin.
(Abah Syakir).
Antara Takfir
dan Thaghut
Bismillahirrahmaaniirahiim.
Ada satu persoalan yang
berkembang di sebagian saudara-saudara kita, para ikhwanSalafi Jihadi (semoga
Allah memuliakan mereka dan kita dengan Jihad di jalan-Nya), yaitu seputar
Takfir. Masalah ini cukup menguras energi, pikiran, melelahkan batin, dan menimbulkan
aneka pertikaian. Semoga tulisan sangat sederhana ini bisa sedikit mengurai
persoalan itu, sehingga menghasilkan kebaikan. Amin Allahumma amin.
[1]. Tidak dipungkiri bahwa
konsekuensi Tauhid bagi seorang Muslim, adalah mengakui otoritas hukum Islam.
Siapa yang mengakui kedaulatan hukum Islam, dia adalah Muslim; sedangkan siapa
yang menolak berlakunya hukum Islam dalam kehidupan, jatuh hukum kekufuran
atasnya. Dalilnya adalah sikap Khalifah Abu Bakar As Shiddiq Radhiyallahu
‘Anhu yang memerangi kaum murtadin, karena mereka menolak hukum Zakat
maal.
Kelihatan Mirip, Tapi
Berbeda…
[2]. Sikap taslim(menerima)
hukum Islam berkonsekuensi keislaman; sedangkan inkar (menolak) hukum
Islam, berkonsekuensi kekufuran. Dalilnya, “Katakanlah, taatlah kalian kepada
Allah dan Rasul-Nya; jika kalian berpaling (dari Keduanya), maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 32). Disini jelas
terlihat, bahwa ingkar terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya bisa menimbulkan
kekafiran.
[3]. Ada yang berpendapat,
bahwa menolak hukum Islam yang menimbulkan kekafiran ialah yang disertai juhud (penolakan)
dalam hati. Kalau menolak secara zhahir, sedangkan menerima secara batin; hal
itu tidak dianggap sebagai kekafiran. Lalu muncul istilah “Kufrun duna kufrin”
(kufur, tetapi bukan kufur yang berarti keluar dari Islam). Para ulama
menjelaskan, bahwa iman itu meliputi: pembenaran dalam hati, perkataan dengan
lisan, pengamalan dengan perbuatan. Ia merupakan suatu kesatuan, tidak terpisahkan.
Sehingga tidak bisa seseorang disebut Mukmin, kalau hanya batinnya saja yang
membenarkan. Maka itu para ulama ada yang membagi kekafiran menjadi beberapa
bagian: kafir i’tiqadi (kafir keyakinan), kafir qauliy (kafir
perkataan), dankafir ‘amaliy (kafir perbuatan). Namun ada toleransi, yaitu
bagi siapa saja yang dipaksa mengucapkan kata-kata kekufuran, dengan ancaman
kematian; dia boleh mengucapkan hal itu, demi keselamatan dirinya. (Kisah Ammar
bin Yassir Radhiyallahu ‘Anhuma, seperti disebut dalam Surat An Nahl,
106).
[4]. Siapapun yang secara
jelas menolak, mengingkari, membenci, atau menafikan hukum Islam; jatuh hukum
kekafiran kepadanya. Orang-orang munafik di masa Nabi, seperti Abdullah bin
Ubay dan para pengikutnya, secara batin mereka kufur terhadap risalah Islam;
tetapi secara sosial, mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda kekafiran.
Syariat Islam hanya menghukumi manusia berdasarkan kenyataan zhahir. Kata Nabi Shallallah
‘Alaihi Wasallam: “Wa hisabuhu ‘alallahi Ta’ala” (dan perhitungan atas batin
mereka, terserah kepada Allah). [HR. Muslim, dari Abi Abdillah Thariq bin
Usyaim Radhiyallahu ‘Anhu].
[5]. Hukum takfir ini sering
dijadikan alat oleh sebagian orang untuk mengkafirkan sesama Muslim, tanpa
kaidah yang benar. Siapa saja yang dianggap tidak berhukum kepada hukum Allah
(kadang dengan mudah diartikan sebagai “siapa saja yang tidak mau diajak masuk
kelompoknya”), langsung dituduh kafir. Lalu muncul aneka macam vonis takfir;
ada yang secara mutlak, ada yang dirinci sesuai posisinya, ada yang diikat
dengan syarat-syarat tertentu. Malah metode takfir juga digunakan untuk
membangun kelompok, mencari anggota baru, meraih dukungan dan fasilitas. Mereka
membagi-bagikan vonis kafir dengan mudah, seperti membagikan voucher gratis.
Hal ini menandakan bahwa yang bersangkutan kurang memahami dasar-dasar ajaran
Islam.
[6]. Untuk memahami apakah
hukum takfir berdasarkan loyalitas kepada hukum Islam sudah berlaku atau belum,
caranya mudah. Lihatlah ketentuan hukum yang berlaku di sebuah negeri. Jika
negeri itu sudah menerapkan hukum Islam, maka takfir secara hukmiyah,
otomatis berlaku. Adapun jika di negeri itu belum berhukum dengan Syariat
Islam, maka takfir tersebut tidak bisa diterapkan. Sebab, banyak dari kaum
Muslimin mengikuti sesuatu bukan karena kesadaran atau sungguh-sungguh; tapi
karena takut, karena ikut-ikutan, atau karena alasan mencari nafkah untuk
keluarga. Jika kelak berlaku hukum Islam, mereka insya Allah akan menurut saja.
[7]. Dalil paling mudah untuk
menjelaskan masalah takfir hukmiyah ini adalah Sunnah Nabi Shallallah
‘Alaihi Wasallam. Ketika Nabi berdakwah di Makkah, disana berlaku hukum dakwah
dan tarbiyah. Saat itu Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam tidak
mengkafirkan manusia berdasarkan loyalitas kepada hukum Islam; tetapi
berdasarkan akidahnya, apakah dia menyembah Allah atau menyembah thaghut? Kalau
menyembah Allah, dia bertauhid alias Muslim; kalau menyembah thaghut, dia
musyrik alias kafir. Sedangkan Nabi mengkafirkan manusia berdasarkan loyalitas
kepada hukum Islam, baru diterapkan setelah Hijrah ke Madinah. Dalil yang bisa
disebut disini ialah: Kisah Kaab bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu dan
beberapa orang yang tidak ikut perang Tabuk, kisah pencegatan kafilah dagang
Abu Sufyan yang berakibat terjadinya perang Badr, sikap Nabi kepada orang-orang
munafik, konsekuensi perjanjian Hudaibiyah, dll.
[8]. Adalah tidak benar sikap
bermudah-mudah memvonis kafir kepada orang lain, di atas kenyataan sebuah negara
tidak berlandaskan hukum Islam ini. Kita belum memiliki hak menetapkan hukum
kakafiran berdasarkan loyalitas kepada hukum Islam; sebagaimana kita belum bisa
menerapkan sanksi hukum hududterhadap pelaku-pelaku perbuatan dosa besar.
Alasannya, karena di suatu negeri (misalnya Indonesia) belum berlaku hukum
Islam. Jika wasilah menuju suatu perkara tidak ada, otomatis hakikat perkara
itu juga tidak ada. NabiShallallah ‘Alaihi Wasallam tidak menerapkantakfir
hukmiyah di Makkah, sebelum ada Baiat Aqabah dan Hijrah. Takfir hukmiyah bisa
diterapkan di suatu negeri yang sudah berlaku hukum Islam. Jika disana belum
ada hukum Islam, maka yang berlaku adalah hukumdakwah, tarbiyah, dan siyasah (untuk
menerapkan hukum Islam).
[9]. Tetapi bukan berarti takfir
hukmiyah tidak berlaku. Ia tetap bisa diajarkan atau didakwahkan sebagai
PERINGATAN bagi kaum Muslimin, agar mereka loyal kepada Syariat dan tidak loyal
kepada hukum non Islami. Namun untuk menetapkan status kafir kepada seorang
Muslim (suatu kaum) dan diikuti berbagai konsekuensi hukumnya; belum bisa
dilaksanakan di negara yang tidak memberlakukan hukum Islam sebagai UU formal
yang mengikat rakyatnya. Darimana kepastian takfir akan ditetapkan, sedangkan
hukum yang menjadi rujukannya belum terwujud? Hal ini sama seperti ketika kita
tidak bisa menetapkan sanksi bagi pelaku zina, mencuri, merampok, membunuh,
minum miras, dll. sesuai hukum Islam; lantaran hukum itu sendiri belum berlaku
secara formal.
[10]. Takfir dan thaghut
adalah dua hal berbeda. Tetapi keduanya bisa saling berhubungan. Takfir di masa
Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam di Makkah umumnya berlandaskan
keingkaran manusia kepada Allah dan penghambaannya kepada thaghut. Sedangkan
takfir di masa Nabi di Madinah, salah satunya bersumber dari loyalitas kepada
selain hukum Islam. Takfir demikian belum berlaku di Makkah, sebelumFathu
Makkah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahberkata:
“Siapapun yang diibadahi selain Allah, selagi dia tidak membenci diibadahi, dia
adalah thaghut. Dan siapa saja yang ditaati dalam rangka maksiyat kepada Allah,
dan ditaaati dalam mengikuti jalan selain agama yang benar ini (Al Islam); sama
saja apakah karena penerimaan kabarnya yang mengingkari Kitabullah atau ditaati
perintahnya yang bertentangan dengan perintah Allah, dia adalah thaghut.
Terhadap hal ini dinamai orang yang manusia berhukum kepadanya, dengan selain
hukum Kitabullah, sebagai thaghut. Allah menamakan Fir’aun dan kaum Aad dengan
sebutan tughat.” (Majmu’ Al Fatawa, juz 20, hlm. 200).
Dalam hal ini, Syaikhul Islam
merangkum dua jenis sumber kekafiran sekaligus. Pertama, kekafiran yang
bersumber dari penyembahan (ibadah) kepada selain Allah. Kedua, kekafiran
yang bersumber dari berhukum kepada selain Syariat Islam. Kedua sumber
kekafiran itu dinamai sebagai thaghut.
Semoga risalah sederhana ini
bermanfaat. Jazakumullah khair atas segala perhatian. Dan mohon dimaafkan atas
segala khilaf dan kesalahan. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
(Ayah Syakir).