Mantan
presiden Iran, Hashemi Rafsanjani, mengakui bahwa orang Syiah biasa mencela
para sahabat Nabi. Hal itulah yang akhirnya menimbulkan permusuhan antara Syiah
dan Sunni, hingga akhirnya lahirlah kelompok-kelompok sepertiISIS.
Lebih
lanjut, Rafsanjani, mengatakan, “Al-Quran telah memperingatkan kita agar tidak
berselisih dan terpecah-belah. Tapi kita sama sekali tidak memperhatikannya.
Perselisihan Syiah-Sunni tetap saja terjadi dengan mencela sahabat,
memperingati peristiwa terbunuhnya Umar bin Khattab, dan sebagainya,” seperti
dilansir Memo Islam, Kamis (14/11/2014) kemarin.
Aktivitas-aktivitas
itu, Rafsanjani menerangkan, sudah menjadi hal biasa bagi banyak orang, bahkan
menganggapnya sebagai sebuah ibadah. Karena itulah, terjadi perpecahan antara
Sunni dan Syiah, hingga akhirnya muncul kelompok-kelompok seperti Al-Qaidah, ISIS, Taliban, dan lainnya.
Dr.
Muhammad As-Saidi, guru besar Ushul Fiqh Universitas Ummul Qura, berkomentar
tentang pengakuan mantan presiden yang masih sangat berpengaruh dalam politik
Iran itu. Menurut As-Saidi, pengakuan itu tidak berarti membersihkan reputasi
Rafsanjani, melainkan hanya membuka kedok kebusukan Syiah.
Hal itu
karena Rafsanjani mengeluarkan pernyataan itu bukan sebagai sebuah penyesalan
taubat, melainkan hanya merupakan hasil pertimbangan politik. Pernyataan ini
seharusnya menjadi pegangan umat Islam yang selalu dituduh sebagai biang keladi
muncul terorisme. Ternyata biang keladinya adalah Syiah. (msa/dakwatuna)
Redaktur: M Sofwan
Respons Ulama Sunni Terhadap
Pengkafiran Sahabat Rasulullah SAW
06/12/15 | 13:34
Setelah
pemaparan sikap permusuhan yang disebarkan oleh para ulama syiah Imamiyah, maka
berikut respons kenyataan para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, baik yang
menyesatkan ataupun yang mengkafirkan syiah Imamiyah:
Imam Malik
Imam
al-Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marwadzi, katanya: “Saya mendengar Abu
Abdullah berkata, bahwa Imam Malik berkata: “Orang yang
mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam” [1].
Ibnu
Katsir ketika menafsirkan firman Allah di bawah:
(مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا)
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat
mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar”. (al –Fath: 29).
Imam
Ibnu Katsir berkata: “Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik, ia
mengambil satu kesimpulan bahwa golongan Rafidhah (Imamiyah), yaitu orang-orang
yang membenci para sahabat Nabi SAW adalah kafir. Beliau berkata: “Karena
mereka ini membenci para sahabat. Barang siapa membenci para sahabat, maka ia
adalah kafir berdasarkan ayat ini.” Pendapat ini disepakati oleh segolongan
ulama[2].
Imam
Qurtubi menegaskan ucapan imam Malik dan berkata: “Sungguh ucapan Imam Malik
itu benar dan penafsirannya pun benar. Siapa pun yang menghina seseorang
Sahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Tuhan
seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin[3].
Imam Ahmad
Beliau
adalah salah satu ulama Sunni yang amat keras sikapnya terhadap syiah Imamiyah,
sehingga banyak riwayat dari padanya yang secara jelas mengkafirkan syiah
Imamiyah. Sebagaimana beberapa nukilan pandangan beliau yang disebutkan oleh
imam al-Khalal bahwa Abu Bakar al-Marwazi berkata: “Saya bertanya kepada Abu
Abdillah tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya: Saya
berpendapat bahwa dia bukan orang Islam” [4].
Di lain tempat Imam al- Khalal berkata: “Abdul Malik bin Abdul Hamid
menceritakan kepadaku, katanya: “Saya mendengar Abu Abdillah berkata: “Barang
siapa yang mencela sahabat maka aku khawatir ia menjadi kafir seperti halnya
orang-orang Rafidhah (Imamiyah). Kemudian beliau berkata: “Barang siapa mencela
Sahabat Nabi SAW maka kami khawatir dia keluar dari Islam (tanpa disadari)”[5].
Ditegaskan kembali oleh beliau dan berkata: “Abdullah bin Ahmad bin Hambal
bercerita kepada kami, katanya: “Saya bertanya kepada ayahku perihal seseorang
yang mencela salah seorang dari Sahabat Nabi SAW. Maka jawabnya: “Saya
berpendapat ia bukan orang Islam”[6].
Tersebut
dalam kitab al-Sunnah karya Imam Abdullah bin Ahmad, mengenai pendapat beliau
tentang golongan syiah Imamiyah: “Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan
diri dari sahabat Muhammad SAW dan mencelanya, menghinanya serta
mengkafirkannya kecuali hanya empat orang saja yang tiada mereka kafirkan,
yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman. Golongan Rafidhah (Imamiyah) ini sama
sekali bukan Islam” [7].
Ibnu Taimiyah
Dalam
dua kitab yang dikarang oleh imam Ibnu Taimiyah “Majmu’ al-Fatawa” dan
“al-Sarim al-Maslul”, beliau menguraikan dan merincikan sebab yang boleh
menjadikan syiah Imamiyah kafir, beliau berkata: “Adapun seseorang yang mencela
sahabat dengan kata-kata yang tidak sampai mengingkari kejujuran mereka dan
agama mereka, seperti mengatakan bahwa ada sahabat yang bakhil, atau penakut,
atau kurang ilmunya, atau tidak zuhud dan sejenisnya, maka orang semacam ini
wajib mendapatkan pengajaran dan hukuman. Tetapi kita tidak menggolongkannya
sebagai orang kafir, hanya karena perbuatan tersebut. Demikianlah yang dimaksud
oleh pernyataan kalangan ulama yang tidak mengkafirkan orang-orang yang mencela
sahabat” [8].
Dapat
dipahami dari pandangan di atas, bahwa yang menyebabkan kafir orang-orang syiah
adalah karena mereka meragukan kejujuran (‘adalah al-Sahabat) para sahabat,
sehingga mereka melaknat dan mengkafirkan para sahabat tersebut.
Imam Bukhari
Beliau
menegaskan kekafiran syiah Imamiyah dalam perkataannya: “Bagi saya sama saja,
apakah aku shalat di belakang Imam beraliran Jahm atau Rafidhah (Imamiyah),
atau aku shalat di belakang Imam Yahudi atau Nasrani. Dan (seorang muslim)
tidak boleh memberi salam kepada mereka, mengunjungi mereka ketika sakit, kawin
dengan mereka, menjadikan mereka sebagai saksi dan memakan sembelihan mereka” [9].
Imam Ibnu Qutaibah
Beliau
berkata: bahwa sikap berlebihan golongan Syiah dalam mencintai Ali tergambar di
dalam perilakunya dengan melebihkan beliau di atas orang-orang yang dilebihkan
oleh Nabi dan para Sahabatnya. Mereka beranggapan bahwa Ali sebagai sekutu Nabi
SAW dalam kenabian, dan para Imam dari keturunannya mempunyai pengetahuan
tentang hal-hal yang ghaib. Pandangan seperti itu dan banyak hal-hal rahasia
lainnya menjadikannya sebagai perbuatan dusta dan kekafiran, kebodohan dan
kejahilanan yang keterlaluan” [10].
Imam Abdul Qadir Al-Baghdadi
Beliau
berkata :”Golongan Jarudiyah, Hisyamiyah, Jahmiyah, Imamiyah sebagai golongan
pengikut hawa nafsu yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat terbaik Nabi, maka
menurut kami mereka adalah kafir. Menurut kami mereka tidak boleh disalatkan
dan tidak sah bermakmum salat di belakang mereka” [11].
Imam Al-Qadhi Abu Ya’la
Beliau
berkata: “Adapun hukum terhadap orang Rafidhah”, jika ia mengkafirkan sahabat
atau menganggap mereka fasik yang berarti mesti masuk neraka, maka orang
semacam ini adalah kafir” [12].
Imam Ibnu Hazm
Imam
Ibnu Hazam menilai layak mengkafirkan syiah Imamiyah karena mereka mengkafirkan
para sahabat dan mengatakan bahwa Al-Quran mushaf Utsmani palsu, beliau
berkata: “Pendapat golongan Nasrani yang menyatakan bahwa golongan Rafidhah
(Syiah Imamiyah) menuduh Al-Quran telah diubah, maka sesungguhnya dakwaan
semacam itu menunjukkan golongan Syiah adalah bukan muslim”, karena golongan
ini muncul pertama kali dua puluh lima (25) tahun setelah wafatnya Rasulullah.
Ia merupakan golongan yang melakukan kebohongan dan kekafiran seperti yang
dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. Salah satu pendapat golongan Syiah Imamiyah,
baik yang dahulu maupun sekarang ialah Al Quran itu sesungguhnya telah diubah.
Orang yang berpendapat bahwa Al- Quran ini telah diubah adalah benar-benar
kafir dan mendustakan Rasulullah SAW” [13].
Dalam
kitab beliau “Al Ihkam Fii Ushuuli Ahkaam” disebutkan bahwa: “Tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan semua kelompok umat Islam Ahlu Sunnah, Mu’tazilah,
Murji’ah, Zaidiyah, bahwa adalah wajib berpegang kepada Al-Quran yang biasa
kita baca ini “Dan hanya golongan Syiah ekstrem sajalah yang menyalahi sikap
ini. Dengan sikapnya itu mereka menjadi kafir lagi musyrik, menurut pendapat
semua penganut Islam. Dan pendapat kita sama sekali tidak sama dengan mereka
(Syiah Imamiyah). Pendapat kita hanyalah sejalan dengan sesama pemeluk agama
kita” [14].
Mengenai
kepalsuan Al-Quran yang diyakini oleh syiah Imamiyah, Ibnu Hazam membantah
keras dan berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah tidak pernah
menyembunyikan satu kata pun atau satu huruf pun dari syariat Ilahi. Saya tidak
melihat adanya keistimewaan pada manusia tertentu, baik anak perempuannya atau
anak saudaranya yang lelaki atau istrinya atau sahabatnya, untuk mengetahui
sesuatu syariat yang disembunyikan oleh Nabi terhadap bangsa kulit putih, atau
bangsa kulit hitam atau penggembala kambing. Tidak ada sesuatu pun rahasia,
perlambang ataupun kata sandi di luar apa yang telah disampaikan oleh
Rasulullah kepada umat manusia. Sekiranya Nabi menyembunyikan sesuatu yang
harus disampaikan kepada manusia, berarti beliau tidak menjalankan tugasnya.
Barang siapa beranggapan semacam ini, berarti sungguh ia telah kafir”[15].
Imam Al-Asfaraayaini
Telah
diriwayatkan beberapa macam aqidah Syiah, misalnya: Mereka mengkafirkan
sahabat, Al Quran telah diubah dari keasliannya dan terdapat tambahan serta
pengurangan, mereka menantikan kedatangan imam ghaib mereka yang akan muncul
untuk mengajarkan syariat kepada mereka ” beliau berkata: “Semua kelompok Syiah
Imamiyah telah sepakat pada keyakinan sebagaimana kami sebutkan di atas.”
Kemudian beliau menyatakan tentang hukum mereka sebagaimana dikatakannya:
“Dalam keyakinan mereka semacam itu sama sekali bukanlah merupakan ajaran Islam
dan hanya berarti suatu kekafiran. Karena di dalam keyakinan semacam itu tak
ada lagi sedikit pun ajaran Islam yang tersisa” [16].
Imam Al-Ghazali
Beliau
berkata: “Karena golongan Rafidhah (syiah Imamiyah) dalam memahami Islam
itu lemah (dangkal), maka mereka melakukan kedurhakaan dengan membuat aqidah al Badaa’. Meriwayatkan dari Ali,
bahwa beliau tidak mau menceritakan hal yang ghaib, karena khawatir diketahui
oleh Allah, sehingga Allah akan mengubahnya. Mereka pun meriwayatkan dari
Ja’far bin Muhammad, bahwa ia berkata: “Allah tidak mengetahui sesuatu kejadian
di masa datang sebagaimana hanya pada peristiwa Ismail, yaitu peristiwa
penyembelihannya. Aqidah semacam ini benar-benar suatu
kekafiran, dan menganggap Allah itu bodoh dan mudah terpengaruh. Hal semacam
ini mustahil, karena Allah itu ilmu-Nya Maha meliputi segala sesuatu” [17].
“Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar – semoga
Allah meridhai mereka- maka ia telah menentang dan membinasakan ijma’ kaum
muslimin. Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat
yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta mengukuhkan
atas kebenaran kehidupan agama mereka, keteguhan aqidah mereka dan kelebihan
mereka dari manusia-manusia lain. Kemudian kata beliau: “Bilamana riwayat yang
begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para
sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena ia telah
mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari
ucapan beliau, maka menurut ijma’ kaum muslimin orang tersebut adalah kafir” [18].
Tidak
kalah penting dan bahaya, Umar bin Khaththab dan anaknya Abdullah bin Umar
adalah perawi hadits bagi rukun Islam dan rukun Iman Ahli Sunnah, jika
sekiranya keduanya dikafirkan oleh Syiah Imamiyah, maka di manakah kesahihan
dan amalan Islam yang dipercayai Ahlu Sunnah? Hal inilah yang membuat
dasar penyesatan dan pengkafiran ulama Ahlu Sunnah terhadap golongan Syiah
Imamiyah.
Lebih
jauh lagi Profesor Dr. Abdul Mun’im Al-Namir (Mantan Menteri Waqaf Mesir)
menegaskan pendapatnya tentang syiah di dalam muqaddimah bukunya yang bertajuk:
“al-Syiah wa Al-Mahdi” yang berisi dialog beliau dengan Shekh Muhammad Ali
Taskhiri (seorang ulama penyebar ide pendekatan antara Sunni dan Syiah).
Beliau
berkata: ”Bismillaahir rahmaanir rahim, semoga selawat dan salam tercurah
kepada Rasulullah SAW, keluarga dan
para sahabat beliau, amma ba’du: Saya telah menjadikan dialog yang terjadi
antara saya dengan Shekh Muhammad Ali Taskhiri sebagai muqaddimah cetakan
keempat ini. Beliau adalah salah seorang ulama Iran yang sering menjadi utusan
pemerintah Iran untuk menghadiri berbagai macam konferensi dan seminar tentang
Islam. Beliau adalah ulama yang fasih dan luas ilmunya. Jika beliau berbicara
dengan bahasa Arab, seolah-olah beliau adalah orang Arab asli. Dan memang sejak
masih muda, beliau telah bertalaqqi di beberapa kota di Irak.
Pertemuan
ini terjadi di kota Moscat, ibukota Kesultanan Oman. Tepatnya terjadi di
area Universitas Sultan Qobus yang baru, luas dan megah yang terletak kurang
lebih sekitar 40 km dari ibukota Moscat. Di sana berlangsung Seminar Fiqih
Islam yang ditaja oleh kerajaan Oman dari tanggal 22-26 Sya’ban 1408 H atau
bertepatan dengan tanggal 9-13 April 1988 M. Seminar ini dihadiri
banyak para ulama senior, para ahli fiqih Islam dan tokoh pergerakan Islam,
misalnya Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Haqq Ali Jadul Haqq (w.1996 M).
Di
sana, ketika acara dimulai, saya bertemu dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri.
Kami pun bersalaman dan berbincang-bincang. Beliau mengingatkan saya bahwa
pertemuan yang pertama adalah terjadi di acara Forum Pemikiran yang diadakan di
kota Kosantin di Aljazair pada awal tahun 1980-an.
Di hari
keduanya saat rehat seminar tersebut, kami keluar bersama beliau dan
terjadilah dialog yang dimulai oleh beliau. Beliau berkata kepada saya, ”Anda
telah menzhalimi kami ketika Anda menuduh kami bahwa kami telah berkata bahwa
telah terjadi perubahan terhadap Al-Quran dan para sahabat yang telah
mengumpulkannya telah membuang (menghilangkan) beberapa surat atau beberapa
ayat, yaitu ayat tentang hak Ali sebagai pemimpin setelah Rasulullah SAW
wafat.”
Saya
jawab pertanyaan beliau ini, “Ya, memang saya telah menulis hal itu
berdasarkan kepada kitab-kitab kalian”. Saya pun lalu menyebutkan nama-nama
kitab-kitab mereka tersebut, salah satunya kitab “Fashlul Khithaab fii Itsbaati
Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbab”. Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syiah, yaitu
shekh Husein Al-Nuuri Al-Thabrasi pada abad ke-13 H. Kitab ini dicetak di Iran
pada tahun 1298 H. Saya hanya menukil apa yang tercantum di dalam kitab ini.
Bagaimana mungkin saya dianggap telah menzalimi kalian, karena semua yang saya
sebutkan di dalam masalah ini adalah bersumber dari kitab-kitab kalian yang
telah diakui oleh para ulama kalian. Dan kalian pun memberikan penghormatan
yang tinggi kepada penulis kitab ini pada saat dia meninggal dunia pada tahun
1232 H. Beliau ini dikuburkan di Najaf, Iraq, sebuah tempat agung menurut
orang-orang Syiah, di dekat kuburan Imam Ali Al-Murtaza”.
Beliau
berkata, ”Kitab ini tidak ada apa-apanya. Saya sendiri meletakkan kitab
ini di bawah kaki saya (beliau menghentakkan kakinya ke tanah) sambil marah”.
Saya berkata kepada beliau, ”Mengapa kalian diam saja pada saat kitab ini
menceritakan tentang kalian jika memang seperti itu?, Mengapa pula kalian tidak
mengumumkan jika kalian tidak mengakui isi kitab tersebut? Dan mengapa kalian
menyebarkan kitab ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga saya dan ulama yang
lain pun tahu bahwa kitab ini tidak mewakili ajaran mazhab kalian. Apakah ada
sebuah keterangan yang dirilis oleh pemimpin tertinggi Syiah pada saat ini
(Ayatullah Khumaini) bahwa isi kitab-kitab Syiah adalah tidak benar, seperti
kitab Al-Nuur Al-Thabrasi ini. Contoh lainnya tentang kebiasaan mencela para
sahabat yang telah mengumpulkan Al-Quran bahwa mereka itu telah mengubahnya.
Sebaiknya seluruh tuduhan ini dihapus dari kitab kalian itu pada saat akan
dicetak ulang. Apakah kalian merasa berat melaksanakan ini semua?”.
Kalian
tidak melaksanakan satu dari tuntutan kami ini. Karena saya tahu jika sebagian
dari para ulama kalian telah berlepas diri di dalam pengajian-pengajian mereka
dari tuduhan bahwa Al-Quran telah diubah. Akan tetapi pendapat yang paling kuat
adalah pendapat yang telah menuduh bahwa para sahabat telah mengubah-ubah
Al-Quran. Mengapa pula kalian tidak membuat pernyataan untuk seluruh rakyat
yang membaca kitab ini yang berisi penolakan kalian atas tuduhan ini?
Beliau
lalu berkata kepada saya, ”Anda telah membicarakan mengenai ucapan yang
mengatakan bahwa kami mempunyai mushaf Fathimah. Padahal kami tidak pernah
mengatakan seperti ini”. Saya pun berkata kepada beliau, ”Ya, rujukan
utama kalian telah mengatakan bahwa wahyu Allah SWT juga turun kepada Fatimah
setelah orang tuanya (Rasulullah SAW) wafat. Dan Ali RA adalah pencatat wahyu
tersebut sampai terkumpul dan di kemudian hari disebut dengan Mushaf Fatimah.”
Saya
baru tahu akan masalah ini setelah saya memperhatikan khutbah Imam Khumaini
yang disiarkan oleh radio Teheran. Beliau telah berkata di dalam khutbah
tersebut yang mana khutbah tersebut diadakan pada perkumpulan para wanita
pembesar Iran pada acara peringatan lahirnya Fatimah. Imam Khumaini
berkata: ”Sesungguhnya saya tidak kuasa untuk bercerita tentang Siti
Fatimah. Akan tetapi cukuplah dengan sebuah riwayat yang tercantum di dalam kitab
Al-Kaafi”. Beliau pun menceritakan riwayat ini di depan para istri
pembesar Iran.
Kitab Al-Kaafi yang
ditulis oleh Imam Al-Kulaini adalah kitab Syiah yang sepadan dengan Kitab
Al-Bukhari di kalangan Ahlu Sunnah. Hal inilah yang memaksa saya pergi ke kota
Najaf untuk bertemu dengan salah seorang ulama besar Syiah. Di sana saya bisa
melihat-lihat isi kitab tersebut yang merupakan cetakan Iran yang terdapat di
perpustakaan pribadi miliknya.
Saya
telah mencantumkan di dalam buku saya tentang juz dan bab yang menerangkan
tentang turunnya wahyu kepada Fatimah dan mushafnya secara jelas. Apakah dengan
ini saya dianggap telah melukai dan menzalimi kalian gara-gara saya melampirkan
seluruh isi buku saya dari sumber rujukan yang paling valid menurut kalian
berikut dengan teksnya?
Beliau
berkata, ”Kitab-kitab itu adalah kitab murahan dan tidak valid!” Saya
bertanya kepada beliau, ”Tapi, mengapa kalian menyebarkan kitab ini (kitab
Al-Kaafi) ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Amerika. Bahkan kalian telah
menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris agar mudah dibaca oleh semua orang
yang paham bahasa Inggris di Barat dan di Timur!, saya sendiri mempunyai
cetakan terbaru yang sudah diterjemahkan. Apakah dengan ini semua bisa
dikatakan jika kitab Al-Kaafi ini adalah kitab hebat menurut kalian? Sebab
kalian telah berupaya keras dan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk
mencetak dan menerjemahkannya sampai mencapai ratusan ribu eksemplar untuk
disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda mazhab
kalian. Apakah kalian merasakan hal ini?”.
Beliau
berkata, ”Di dalam kitab-kitab tafsir kalian terdapat banyak kisah-kisah
Israiliyat. Apakah hal ini bermakna bahwa kalian (Ahlu Sunnah) juga mengakui
keabsahannya?”.
Saya
jawab, ”Memang benar, di dalam kitab-kitab tafsir kami banyak riwayat
Israiliyat dan hadis-hadis yang tidak sahih. Akan tetapi sebagian para ahli
tafsir mengingatkan hal ini dan mereka juga mengakui jika riwayat-riwayat
tersebut adalah riwayat dusta. Kami sekarang ini sedang memberantas
riwayat-riwayat Israiliyat tersebut. Kami sedang menulis beberapa kitab yang
menjelaskan hal tersebut dan memperingatkan orang yang membacanya agar jangan
mempercayai riwayat-riwayat dusta tersebut. Sebagian para ulama ada yang
berusaha untuk mengoreksi dan membuang riwayat-riwayat Israiliyat, hadis-hadis
palsu dan hadis-hadis yang tidak shahih. Dibandingkan dengan kalian, kami lihat
kalian terus memperbaharui cetakannya dan anehnya dikemudian hari kalian
mengatakan jika kitab tersebut tidak ada apa-apanya? Bahkan kalian juga
menerjemahkannya dan mengirimkannya ke berbagai negara!. Mana yang dapat kami
percayai? Apakah ucapan yang tidak memiliki dalil apa pun ataukah kenyataan
yang merupakan dalil yang sangat kuat?”.
Di hari
kedua dari pertemuan di pagi hari, ada seorang dari saudara saya dari kalangan
para ulama yang memberitahu saya bahwa Shekh Ali Taskhiri terserang serangan
jantung dan telah dibawa ke Rumah Sakit Sultan. Saya menyesal, mungkin saja
saya yang menyebabkan serangan jantung ini. Akhirnya, saya secepatnya pergi ke
melawatnya di rumah sakit untuk melihat keadaan kesehatannya. Di rumah sakit,
saya melihat beliau telah sadar dan sedang berbaring di atas ranjangnya. Saya
pun merasa tenang setelah saya tahu bahwa penyebab ini semua adalah luka di
usus dua belas jarinya yang semakin parah. Beliau pun telah minum obat. Pada
saat kami sedang berbincang-bincang dengan beliau, datanglah Menteri Luar
Negeri Iran, yaitu Ali Akbar Wilayati menjenguk beliau. Menteri bersalaman
dengan kami. Di rumah sakit saya duduk sebentar dan kemudian saya berpamitan
agar keduanya (Menteri dan Sheikh) dapat berbincang dengan selesa.
Pada
hari kedua Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abu Al-Nur mengajak saya untuk menjenguk
Shekh kali kedua di rumah sakit. Pada saat tiba di rumah sakit, kami melihat
kamar Shekh telah kosong dari para pelawat. Teman saya ini mengajak saya untuk
melanjutkan dialog. Saya berkata kepadanya, ”Sekarang tema perbincangan
kita tentang tempat suci. Bagaimana yang kalian lakukan di dalam tempat suci
yang perbuatan tersebut tidak pernah diterima oleh kaum muslimin?”.
Beliau
menjawab, ”Sesungguhnya Imam Khumaini memerlukan sebuah fatwa syariah
Islam dari para ulama Ahlu Sunnah. Dan beliau pasti akan menyambutnya!”.
Saya
katakan kepada beliau, ”Apakah tema tentang keselamatan kota suci (Mekah)
perlu fatwa, padahal sudah ada nash ayat yang jelas yang menguatkan tentang
keselamatan kota suci Mekah. Misalnya firman Allah SWT, ”Barang siapa
memasukinya (Baitullah) selamat lah dia,” (QS Ali Imran [03]: 97). Setelah
Allah SWT memberikan rasa aman dan selamat kepada seluruh makhluk yang berada
di tanah suci sampai kepada burung-burung dan pepohonan, dan juga dilarang
berbalah pendapat di area tersebut, apakah setelah ini semua kita memerlukan
fatwa dari seseorang? Apakah usaha mendatangkan orang-orang yang siap
meledakkan dirinya bersama jemaah haji Iran, kemudian mereka melakukan
demonstrasi meneriakkan yel-yel nama imam Khumaini, mereka memblokir
jalan-jalan dan mengganggu pengguna jalan. Mereka bergerak menuju tanah suci
yang pada saat itu sedang dipadati oleh jemaah haji. Jumlah mereka mencapai
sepuluh ribu orang yang terlihat ganas. Hasil dari ini semua sudah bisa
diketahui. Apakah perilaku ini sesuai dengan jaminan keamanan yang Allah SWT
minta dari kita, yaitu kita harus menjaga keamanan kota suci (Mekah)?”.
Wahai
saudaraku … sengaja saya menyebutkan kejadian ini kepadamu agar pengetahuanmu
terhadap buku saya ini bertambah. Juga agar kita semua tahu akan tabiat dan
tingkah laku orang-orang yang kita sering bergaul dengan mereka. Kami semua adalah
kaum muslimin dari kalangan bangsa Arab. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan
petunjuk-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya! [19].
Untuk
renungan bagi syiah Imamiyah yang menyesatkan dan mengkafirkan sahabat, kalau
seseorang itu dianggap sebagai musuh, apakah akan menamakan anak-anaknya -laki
maupun perempuan- seperti nama musuh-musuhnya? Jawabannya tentu tidak. Namun
ternyata ada lima imam dari 12 salasilah imam syiah Imamiyah rela menamakan
anak-anak mereka dengan nama “Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Aisyah”. Seperti
yang disebutkan dalam kitab syiah sendiri yaitu “Kasyfu al-Ghummah fi Ma’rifat
al-Aimmah” dikarang oleh shekh Abu Al-Fath Al-Arbili. Dan secara
ringkasnya, Imam Ali RA menikah dengan beberapa wanita selepas kematian Fatimah
Al-Zahrah RA[20],
di antara yang menamakan nama putranya dengan nama para sahabat adalah:
Ali
bernikah dengan Ummul Banin bintu Hizam Ibnu Darim. Kemudian memperoleh anak
bernama Usman bin Ali, Abbas bin Ali, Abdullah bin Ali dan Jaafar bin Ali.
Ali
bernikah dengan Laila binti Mas’ud Al-Darimiyah dan memperoleh cahaya mata
bernama Abu Bakar bin Ali dan Ubaidillah bin Ali.
Ali
bernikah dengan Ummu Habib binti Rabi’ah dan memperoleh cahaya mata bernama
Umar bin Ali dan Ruqayyah binti Ali.
Ali
bernikah dengan Al-Suhba’ binti Rabi’a bin Taghlab dan memperoleh cahaya mata
bernama Umar bin Ali.
Kemudian
dari anak-anak Ali juga menamakan anak-anak mereka seperti berikut:
Dari 8
anak laki-laki Imam Hasan bin Ali (beliau sebagai imam ke 2/wafat 49 H), beliau
namakan seorang putranya “Umar bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib”.
Dari 17
anak perempuan imam Musa bin Ja’far Al-Kazim (beliau sebagai imam ke 7/wafat
183 H), seorang putrinya diberi nama “Aisyah binti Musa bin Ja’far Al-Kazim”.
Satu satunya
anak perempuan imam Ali bin Musa Al-Ridza (beliau sebagai imam ke 8/wafat 203
H) diberi nama “Aisyah binti Ali bin Musa Al-Ridza”.
Satu
satunya anak perempuan imam Ali bin Muhammad Al-Hadi (beliau sebagai imam ke
10/wafat 254 H) diberi nama “Aisyah binti Ali bin Muhammad Al-Hadi”.
Kesimpulan/Penutup
Setelah
tamatnya penulisan ini, penulis ingin menyimpulkan bahwa Syiah tidak semuanya
sesat dan tidak semuanya kafir. Sebelumnya telah diterangkan bahwa syiah yang
kafir sebagaimana kesepakatan semua ulama (Sunni, Mu’tazilah, syiah Zaidiah dan
Imamiyah) adalah syiah Ismailiah Batiniah. Adapun syiah Zaidiah adalah syiah
yang paling dekat dengan Sunni, ulama Ahlu Sunnah berbeda tanggapan dan
pandangan terhadap syiah Imamiyah atau sering disebut sebagai syiah imam 12.
Walau bagaimanapun Syiah lebih awal menyesatkan dan mengkafirkan Sunni,
sehingga menjadi perkara yang wajar kalau sebahagian ulama Sunni mengatakan
bahwa syiah Imamiyah adalah kafir atau sekurang-kurangnya mereka sesat, ini
disebabkan karena syiah Imamiyah Itsna’Asyariah sendiri yang menyesatkan dan
mengkafirkan para sahabat Rasulullah SAW, seperti Abu Bakar, Umar dan Usman.
Mereka menzahirkan laknat kepada para sahabat tersebut baik dalam doa
saat ziarah maqam imam Husain, atau dalam banyak karya-karya ulama mereka yang
dipenuhi dengan cacian dan makian kepada orang-orang yang berada di sekeliling
Nabi SAW, dan hanya sedikit sahaja yang mereka tidak kafirkan yaitu: Ali,
Ammar, Miqdad dan Salman.
—
Rujukan:
Ar-Razi,
1328 H, al-Masa`il al-Khamsun Fi Ushul al-Kalam, Bimajmu’ah ar-Rasa`il, hal
384-385, cet Kairo.
Ridha,
Muhammad Rasyid, 1375 H, Tafsir al-Manar, Kairo, Thab’ah Darul Manar.
Al-Jalayand,
Muhammad as-Sayyid, Qadhiyyatu al-Khair wasy-Syarr fil-Fikri al-Islami, Maktbah
Kaherah.
Abdul
Jabbar, Tatsbutu Dala`il an-Nubuwwah, Beirut, Darul Arabiyyah.
Al-Tusi,
al-Tibyan fi Tafsir Al-Quran, al-Hajriah, Taheran, 1365 H.
Ibnu
Qutaibah, Al-Ikhtilaf fi al- Lafdh wa al-Rad ‘ala al-Jahmiyah wal Musyabbihah,
Cet. As Sa’adah
Al
Baghdadi, Al Farq Baina Al Firaq, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon.
Ibnu
Hazam, 2014, Al-Fisal fi Al-Milal wa Al-Ahwa’, Darul Kutub Ilmiah,
Beirut-Lebanon.
Ibnu
al-Arabi, 2008, al-Awasim Min al-Qawasim, Maktbah al-Sunnah, Kaherah.
Al-Qurthubi,
1372H, al-Jami’ Li-Ahkam Al-Quran, Dar al-Sya’b, Kaherah.
Al-Baqilani,
al-Tamhid, Darul Fikr al-Arabi, Kaherah.
Ibnu
Taimiah, 2011, Majmu’ al-Fatawa, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon.
Al-Baghdadi,
2012, Al- Farq baina al- Firaq, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon. Mesir,
tahun 1349 H.
Ibnu Hazam,
2010, Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon.
Muqaddimah
“al-Syiah, al-Mahdi, al-Darruz”, Dar al-Hurriyah, Kaherah.
Abu
al-Fath al-Arbili, Kasyfu al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah, Beirut-Lebanon,
Darul Adwaa’, 1985.
Ja’far
bin Mansur, 1984, Kitab al-Kasyf, Darul Andalus, Beirut-Lebanon.
Ali Bin
Walid, 1982, Damighu al-Bathil, Muassasah ‘Izzu al-Din, Beirut-Lebanon
Idris
‘Imaduddin, 1991, Zahru al-Ma’ani, al-Muasssasah al-Jaami’iyyah,
Beirut-Lebanon.
Yusuf
Al-Bahrani, 1985, Al-Hadaaiqun-Naadlirah, Dar al-Adwaa, Beirut-Lebanon.
Al-Majlisi,
1983, Biharul Anwar, Darul Ihaya al-Turats al-‘Arabi, Beirut-Lebanon.
Al-Kulaini,
Ushul al-Kaafi, Dar al-Ta’aruf lil Matbuu’at, Beirut-Lebanon.
Shekh
al-Mufid, 1983, Awaail al-Maqaalat, Darul Kitab al-Islami, Beirut-Lebanon.
—
Catatan Kaki:
[1] Al-Khalal. Al- Sunnah, 2/557.
[2] Tafsir Ibnu Katsir, 4/219.
[3] Al-Jaami’ Li Ahkam al-Qur’an, Al-Qurtubi,
4/219.
[4] Al-Khalal, Al- Sunnah, 2/557.
[5] Al-Khalal, Al- Sunnah, 2/558.
[6] Al-Khalal, Al- Sunnah, 2/558.
[7] Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, 82.
[8] Lihat: Majmu’ al-Fatawa, 3/352. Al-Sarim
al-Maslul, 586, 571.
[9] Bukhari, Khalq Af’al al-‘Ibad, 125.
[10] Ibnu Qutaibah, Al-Ikhtilaf fi al- Lafdh wa
al-Rad ‘ala al-Jahmiyah wal Musyabbihah, 47. Cet. As Sa’adah Mesir, tahun 1349
H.
[11] Lihat: Al- Farq baina al- Firaq, 357.
[12] Lihat: Al Mu’tamad, 267.
[13] Lihat: Al-Fisal fi Al-Milal wa Al-Ahwa’,
5/40.
[14] Lihat: Al-Ihkam Fi Usul al-Ahkam, 1/96.
[15] Lihat: Al-Fisal fi Al-Milal wa Al-Ahwa’,
2/274-275.
[16] Lihat: Al- Tabsir Fi al-din, 24-25.
[17] Lihat: Al- Mustasfa, 1/110.
[18] Lihat: Fadaaih al-Batiniah, 149.
[19] Lihat : Muqaddimah “al-Syiah, al-Mahdi,
al-Darruz”, Dar al-Hurriyah, Kaherah.
[20] Abu al-Fath al-Arbili, Kasyfu al-Ghummah fi
Ma’rifat al-Aimmah, 2/66-65, Beirut-Lebanon, Darul Adwaa’, 1985.
Redaktur: Ardne