Sabtu,
12/12/2015 13:44:27
Kondisi
kemanusiaan di Suriah tampaknya masih belum beranjak menuju tanda-tanda
kemajuan. Pasca jatuhnya pesawat SU-24, Teroris Rusia tetap tidak mau mengevaluasi
agresi militernya di Suriah. Isu kemanusiaan yang selama ini menjadi sasaran
kritik para aktivis, kini justru beralih menjadi panggung orasi politik propaganda
Rusia kepada Turki.
Teroris Rusia pun
memutuskan untuk melakukan embargo terhadap Turki. Tak hanya larangan kunjungan
ke Turki yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia, impor bahan makanan asal Turki
pun juga dilarang untuk dilakukan.
Bahkan
ada pihak-pihak yang turut mengancam: jika Turki tidak mengubah sikap
politiknya, maka teroris Rusia bisa saja menghancurkan negara bekas Khilafah tersebut
dengan 10 rudal.
Padahal,
jauh sebelum itu, Rusia sudah menyerang warga sipil Suriah keturunan Turki di
sebelah barat provinsi Lattakia. Jauh sebelum “gertakan” itu dilancarkan, warga
sipil Suriah keturunan Turki itu telah merasakan keganasan rudal-rudal Rusia.
Kemenhan
Rusia menerangkan, ada 17 wilayah etnis Turkmen di Suriah yang telah digempur
Rusia sejak 30 September 2015. Imbas dari serangan ini memaksa 2000 warga
penduduk Suriah keturunan Turki meninggalkan kampung halaman mereka.
Mehmet
Şandır, mantan anggota parlemen dari partai Gerakan Nasionali, mengatakan bahwa
hari ini penduduk Suriah keturunan Turki menghadapi pembersihan etnis di Suriah
utara. Bantuan kemanusiaan kepada penduduk Suriah keturunan Turki itupun masih
jauh dari cukup.
Tapi,
siapa yang menulis nasehat untuk Putin agar menghentikan kekejamannya? Siapa
yang peduli terhadap mereka? PBB, Bashar Assad, Amerika? Tidak ada. Israel dan
Rusia pun justru melakukan saling koordinasi, baik di Moskow maupun Tel Aviv,
untuk mengamankan agresi militer mereka di Suriah.
Hanya
Juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Stephane Dujarric yang meminta
agar Rusia mencegah jatuhnya korban sipil atas serangan-serangannya ke Wilayah
Suriah. Itupun PBB bicara setelah ditanya kantor berita Anadolu.
Pertanyaannya
adalah, benarkah serangan Rusia hanya dialamatkan kepada ISIS sebagaimana klaim
resmi Rusia selama ini? Realita justru menunjukkan pihak yang turut menjadi
korban pertama serangan Rusia justru kebanyakan warga sipil Suriah, termasuk
anak-anak. Mereka adalah warga Homs, yang jaraknya jauh dari Raqqah, basecamp
ISIS yang disebut-sebut Rusia sebagai target serangan.
Kelompok
HAM di Suriah, Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) mencatat, sejak Rusia
menyerang Suriah pada tanggal 30 September 2015 hingga 20 November 2015, 403
penduduk sipil telah tewas, termasuk di antaranya adalah anak-anak.
Sementara
itu, Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (the Syrian Network for Human
Rights/SNHR), mencatat sedikitnya 526 tewas, termasuk 137 anak-anak, sejak
Rusia meluncurkan serangan udara pertama.
Salah
satu korban serangan Rusia itu adalah bocah Suriah bernama Raghad. Jika anak
perempuannya pada umumnya, menjadikan boneka sebagai temannya, maka Raghad
sejak kecil “bersahabat” dengan desingan peluru dan lontaran bom.
Pada 30
September, sahabatnya itu menyapanya. Ia datang dari langit Suriah. Dikirim
jauh dari negeri beruang merah. Mengetuk, menyapa, menghampirinya. Dan, bom
dari Moskow itu benar-benar menghancurkan rumahnya.
Mulai
saat itu, senyum Raghad tak lagi mengembang. Mata kirinya melebam ke dalam.
Hari itu Raghad tiada, tewas. Iya, oleh “sahabatnya”. Raghad tidak sendiri,
sebab pada hari itu, empat anak lainnya ikut meregang nyawa oleh serangan
Rusia.
Data-data
ini kian membenarkan ucapan tokoh oposisi Rusia Garry Kasparov yang menegaskan
serangan Rusia ke Suriah hanya akan melanggengkan Bashar Assad untuk membunuh
warga sipil di Suriah.
“Putin
membantu Assad membunuh warga sipil dan menghancurkan semua oposisi, kecuali
ISIS. Hampir ribuan warga Suriah dibunuh secara massal oleh Assad dan Putin,”
ujar Kasparov dalam akun twitternya.
Langkah
Rusia memasuki Suriah juga menimbulkan kritikan tajam dari sejumlah pemimpin
muslim di Rusia. Seorang Mufti di Rusia, Nafigulla Ashirov, mempertanyakan
sikap Putin untuk memaksa masuk ke Suriah untuk mem-back-up Bashar Assad.
Ashirov
menilai, tidak ada jaminan serangan Rusia hanya ditujukan untuk menyasar ISIS.
Sebab, dalam banyak kejadian, serangan Rusia seringkali kerap menimbulkan
korban tewas di kalangan sipil.
Kritikan
kalangan muslim Rusia didasari atas rasa ukhuwah mereka sebagai sesama muslim.
Ikatan ukhuwah inilah yang menyatukan hati warga muslim Suriah dan Rusia, meski
mereka harus menerima kenyataan pahit karena Putin tetap melangsungkan niatnya
menyerang Suriah.
“Bashar
al-Assad terkenal atas perlawanannya terhadap Muslim Suriah,” keluh aktivis
Muslim, Ali Charinsky.
“Semua
Muslim adalah salah satu komunitas, satu tubuh -itulah mengapa kita tidak bisa
menerima keputusan Rusia. Tak satu pun teman-teman saya atau Muslim yang saya
kenal menerima hal itu…”
Sebagai
anggota tetap Dewan Keamanan PBB, seharusnya Rusia memainkan peran penting
untuk menjaga perdamaian dunia, bukan justru terlibat sebagai perpanjangan
tangan kejahatan HAM yang dilakukan Presiden Bashar Assad. Agresi keduanya
menjadi bukti dan saksi atas hilangnya rasa kemanusiaan dari negara-negara yang
ikut memperburuk kondisi kemanusiaan di Suriah.
Lantas
apa yang harus kita lakukan sebagai sesama manusia? Apakah kita menjadi bagian
yang memperburuk kondisi kemanusiaan di Suriah atau menjadi bagian untuk
meringankan beban warga Suriah? Pilihan itu ada di tangan kita.
Muhammad
Pizaro
Jurnalis,
pernah meliput di Suriah
Rusia Mulai Merasakan
Ketangguhan Mujahidin