Orang
Muslim beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasullullah saw.,
keluarga beliau, keutamaan mereka atas kaum Mukminin dan kaum Muslimin yang
lain, dan bahwa ketinggian derajat mereka ditentukan oleh siapa di antara
mereka yang paling dahulu masuk Islam.
Sahabat-sahabat
Rasulullah saw. yang paling utama ialah para khulafaur rasyidin,
yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Kemudian disusul sepuluh orang yang dijamin masuk surga, yaitu keempat khulafaur
rasyidin, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-Awwam, Sa’ad bin Abi
Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarrah, Abdurrahman bin Auf.
Disusul para sahabat yang ikut perang Badar, kemudian disusul orang-orang yang
dijamin masuk surga selain sepuluh orang di atas, misalnya Fathimah Az-Zahra’,
Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Tsabit bin Qais, Bilal bin Rabah, dan lain
sebagainya. Kemudian disusul para sahabat yang ikut menghadiri Baiat
Ar-Ridwan yang berjumlah seribu empat ratus sahabat Radhiyallahu
Anhum.
Terhadap
sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan keluarga beliau, maka orang Muslim:
Mencintai
mereka, karena kecintaan Allah Ta’ala, dan kecintaan Rasulullah saw. kepada
mereka. Allah Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya,“Maka Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka pun mencintai-Nya, yang
bersikap lemah-lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela.” (Al-Maidah: 54).Tentang sifat mereka,
Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan dia keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29).Rasulullah saw. bersabda,“(Takutlah
kepada), Allah, (takutlah kepada) Allah terhadap sahabat-sahabatku, dan jangan
jadikan mereka sebagai bahan tuduhan sepeninggalku. Barangsiapa mencintai
mereka, maka karena kecintaanku, ia mencintai mereka. Barangsiapa membuat
mereka marah, maka karena kemarahanku, ia membuat mereka marah. Barangsiapa
menyakiti mereka, sungguh ia telah menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, sungguh
ia telah menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah, maka tidak lama lagi
Allah akan mengambilnya (menghukumnya).” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan
ia meng-hasan-kan hadits ini).
Beriman
kepada keutamaan mereka atas kaum Mukminin, dan kaum Muslimin yang lain, karena
firman Allah Ta’ala dalam pujian kepada mereka, “Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:
100).Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian mencaci-maki
sahabat-sahabatku, karena jika salah seorang dari kalian berinfak dengan emas
sebesar gunung Uhud, maka infaknya tersebut tidak mencapai satu mud (6 ons)
mereka atau setengahnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Abu Daud).
Berpendapat
bahwa Abu Bakar adalah sahabat Rasulullah saw. yang paling mulia dibandingkan
sahabat-sahabat lainnya, kemudian disusul Umar bin Khatthab, kemudian Utsman
bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib, karena dalil-dalil berikut:Sabda
Rasulullah saw., “Jika aku mengambil kekasih dari umatku, aku pasti
mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku, namun ia adalah saudaraku, dan
sahabatku.”(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma
berkata,“Kami pernah berkata ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup,
‘(Sahabat terbaik) ialah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab, kemudian
Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib.’ Ketika hal ini didengar oleh
Rasulullah saw., beliau tidak memungkirinya.”Ali bin Abi Thalib r.a.
berkata, “Orang terbaik umat ini setelah nabinya ialah Abu Bakar,
kemudian Umar bin Khaththab. Jika aku mau, aku sebutkan orang ketiga yaitu
Utsman bin Affan.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Mengakui
kelebihan-kelebihan para sahabatnya, dan kebaikan-kebaikan mereka, seperti
kebaikan Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan dalam sabda
Rasulullah saw. kepada Gunung Uhud yang gemetar bersama para sahabat yang
berada di atasnya, “Tenanglah engkau Uhud, sesungguhnya di atasmu
terdapat Nabi, Shiddiq (Abu Bakar), dan dua orang yang syahid (Umar dan
Utsman).” (Diriwayatkan Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Daud, dan
Ahmad).Atau seperti kelebihan, dan kebaikan Ali bin Abu Thalib r.a., karena
sabda Rasulullah saw. kepadanya, “Tidaklah engkau senang kalau
kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Nabi Musa?”(Diriwayatkan
Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).Atau seperti kelebihan
Fathimah Radhiyallahu Anha, karena Sabda Rasulullah saw., “Fatimah
adalah wanita terkemuka dari wanita-wanita penghuni surga.”(Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari).Atau seperti kelebihan Az-Zubair bin Al-Awwan, karena sabda
Rasulullah saw., “Sesungguhnya setiap nabi itu mempunyai hawari
(penolong), dan hawariku (penolongku) ialah Az-Zubair bin Al-Awwam.” (Diriwayatkan
Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).Atau seperti kelebihan
Hasan, dan Husain, karena Sabda Rasulullah saw., “Ya Allah, cintailah
keduanya, karena aku mencintai keduanya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari,
At-Tirmidzi, dan Ahmad).
Atau
seperti kelebihan Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, karena
sabda Rasulullah saw.,“Sesungguhnya Abdullah (bin Umar) adalah orang
shalih.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).
Atau
seperti kelebihan Zaid bin Haritsah r.a., karena sabda Rasulullah saw., “Engkau
adalah saudara kita dan mantan budak kita.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau
seperti kelebihan Ja’far bin Abu Thalib r.a., karena sabda Rasulullah saw., “Engkau
sangat mirip dengan perawakanku,dan akhlakku.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau
seperti kelebihan Bilal bin RabahRadhiyallahu Anhu, karena sabda
Rasulullah saw., “Aku mendengar suara sandalmu di depanku di surga.”(Diriwayatkan
Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Atau
seperti kelebihan Salim, mantan budak Abu Hudzaifah, Abdullah bin Mas’ud, Ubai
bin Ka’ab, dan Muadz bin Jabal, karena sabda Rasulullah saw.,“Hendaklah
kalian meminta pembacaan al-Qur’an kepada empat orang Abdullah bin Mas’ud,
Salim manta budak Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab, dan Muadz bin Jabal.”(Diriwayatkan
Al-Bukhari).
Atau
seperti kelebihan AisyahRadhiyallahu Anha, karena sabda Rasulullah saw., “Kelebihan
Aisyah atas seluruh wanita dalah seperti kelebihan makanan Tsarid (roti yang
diremuk dan direndam dalam kuah) atas semua makanan.” (Diriwayatkan
Al-Bukhari).
Atau
seperti kebaikan kaum Anshar, karena sabda Rasulullah saw., “Jika kaum Anshar
melewati suatu lembah, atau jalan di antara dua bukit, aku pasti melewati
lembah kaum Anshar. Jika tidak karena Hijrah, aku pasti menjadi salah seorang
dari kaum Anshar.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau
karena sabda Rasulullah saw. tentang kaum Anshar, “Kaum Anshar, mereka
tidak dicintai kecuali oleh orang Mukmin, dan mereka tidak dibenci kecuali
orang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, ia dicintai Allah. Dan barangsiapa
membenci mereka, ia dibenci Allah.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau
seperti kebaikan Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah
saw., “Arasy goyah karena kematian Sa’ad bin Muadz.”(Diriwayatkan
Al-Bukhari).
Atau
seperti kelebihan Usaid bin Khudhair Radhiyallahu Anhu ketika
ia bersama salah seorang sahabat Rasulullah saw. di rumah Rasulullah saw. di
malam yang gelap gulita. Ketika keduanya keluar dari rumah Rasulullah saw.,
tiba-tiba di kedua tangan Usaid bin Khudair terdapat sinar, kemudian keduanya
berjalan dengan diterangi sinar tersebut. Ketika keduanya berpisah, sinar
tersbut pun hilang dari keduanya.
Atau
seperti kebaikan Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah
saw., “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu
ayat, ‘(Dia tidak termasuk orang-orang kafir dari Ahli Kitab)’.”Ubai bin
Ka’ab berkata, ‘Apakah Allah juga menyebut namaku?’ Rasulullah saw. bersabda, “Ya,
betul,” Ubai bin Ka’ab pun menangis. (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau
seperti kebaikan Khalid bin WalidRadhiyallahu Anhu, karena sabda
Rasulullah saw., “Khalid adalah salah satu pedang Allah yang terhunus.”(Diriwayatkan
Al-Bukhari).
Atau
seperti kebaikan HasanRadhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., “Anakku
ini adalah orang terkemuka. Mudah-mudahan dengannya, Allah mendamaikan dua
kelompok dari kaum Muslimin.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau
seperti kebaikan Abu Ubaidah Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., “Setiap
umat mempunyai orang kepercayaan, da sesungguhnya orang kepercayaan kita, hai
umat (Islam), adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (Diriwayatkan
Al-Bukhari).
Menahan
diri dari mengungkap keburukan mereka dan taidak berkomentar tentang
persengketaan yang terjadi pada mereka, karena sabda-sabda Rasulullah saw.,
misalnya sabda beliau berikut:“Janganlah kalian mencaci-maki
sahabat-sahabatku.”(Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Abu Daud).“Jangan
kalian menjadikan mereka (sahabat-sahabatku) sebagai bahan tuduhan
sepeninggalku.”(Diriwayatkan At-Tirmidzi).“Barangsiapa menyakiti mereka
(para sahabat), sungguh ia telah menyakitiku. Barangsiapa menyakitiku, sungguh
ia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa menyakiti Allah, maka tidak lama lagi
Allah akan mengambilnya (menghukumnya).” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
Beriman
kepada kehormatan istri-istri Rasulullah saw., bahwa mereka adalah
wanita-wanita suci bersih, mencari keridhaan mereka, dan berpendapat bahwa
istri-istri beliau yang termulia ialah Khadijah binti Khuwailid, dan Aisyah
binti Abu Bakar, karena firman Allah Ta’ala,“Nabi itu (hendaknya) lebih
utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya
adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6).
Sumber:
Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi,Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi
Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm.
91-98.
Copy dari : http://alislamu.com
Allah Memerintahkan Mendo’akan Para Sahabat, Rafidhah Memerintahkan
Mencela Mereka.
by alfanarku
Sesungguhnya ada
satu kelompok yang hina dari kalangan Rafidhah yang memusuhi para shahabat,
membenci mereka serta mencelanya -kita berlindung kepada Allah dari hal
tersebut-. Ini menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik, hati mereka telah
berubah. Di manakah keimanan mereka terhadap Al Qur`an tatkala mereka mencela
orang-orang yang telah Allah ridhai?
Sa’d bin Abi
Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata: “Manusia terdiri dari tiga kedudukan. Telah
berlalu dua kedudukan dan tersisa satu kedudukan. Maka perbaikilah amalan yang
kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa.” Lalu beliau
membaca firman-Nya:
“(Juga) bagi
para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hasyr:
8)
“Mereka adalah kaum
Muhajirin, dan ini satu kedudukan.” Lalu beliau membaca:
“Dan
orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap
apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Beliau berkata:
“Mereka adalah kaum Anshar, dan inipun satu kedudukan yang telah berlalu.” Lalu
beliau membaca:
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:
‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)
Lalu beliau
berkata: “Sungguh telah berlalu dua kedudukan dan tersisa kedudukan ini. Maka
perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih
tersisa, dengan beristighfar untuk mereka (kaum yang telah berlalu).” (HR.
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/484,dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqad,
2/2354, cetakan Darul Bashirah dan Darul Atsar)
Jadi jika kita
ingin termasuk pada kedudukan yang tersisa tersebut, hendaknya kita mendo’akan
ampunan buat generasi awal Islam yang telah beriman sebelum kita dan tidak
membiarkan kedengkian tumbuh dalam hati kita terhadap mereka. Do’a dan Cinta
berlawanan dengan celaan dan kedengkian.
Banyak alasan klise
yang yang dilontarkan oleh para pencela shahabat untuk menjustifikasi perbuatan
mereka, dengan alasan studi kritis lah, membela kebenaran lah, membela ahlul
bait lah (padahal ahlul bait berlepas diri dari mereka) dan lain
sebagainya, padahal jelas-jelas Allah dalam Alqur’an memerintahkan untuk
mendo’akan mereka (Muhajirin dan Anshar). Demikian juga Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam telah melarang mencela sahabat-sahabat beliau dengan begitu
jelas.
“Janganlah
kalian mencela para shahabatku. Demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya,
kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak
akan menyamai satu mud (yang mereka infaqkan) dan tidak pula setengahnya.”
(Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, dan riwayat Muslim dari
hadits Abu Hurairah)
Nah telah jelaskan
siapa yang mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya dan siapa yang justru
menentangnya.
Salam