KH. DR. Ali Mustafa Yaqub
Titik Temu Wahabi-NU (Prof. Dr. Ali
Mushthofa Ya’kub)
Prof. Dr. Ali Mushthofa Ya’kub: Jangan Mau Jadi
Jangkrik! [Untuk Orang NU yang Mau Diadu Domba Dengan Wahhabi]
KH.
Ali Mushofa Ya'qub tegas terhadap
kesesatan Syiah
kesesatan Syiah
A. Z.
MuttaqinKamis, 21 Rajab 1437 H / 28 April 2016 18:02
KH. Dr. Ali Musthofa
Ya’qub M.A.,saat menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, sangat tegas
berbicara tentang kesesatan dan bahaya Syiah. Dia dikenal sebagai tokoh Umat
yang sangat lugas dan tegas dalam membela Islam dan Umat Islam. Kiai juga tak
segan mengingatkan bahaya Syiah bagi Umat dan NKRI. Dirinya mengaku kecolongan
saat ada pendeta Syiah berbicara di Masjid Istiqlal.
Kiai Ali Musthofa
pernah mengatakan ceramah pendeta Syiah di Masjid Istiqlal yang meresahan kaum
Muslimin Ahlus Sunnah sudah masuk dalam kategori membahayakan NKRI.
“Memang benar, ada
ulama Syi’ah dari Iran yang memberikan ceramah di masjid Istiqlal hari Jum’at
Kemarin. Cuma yang mempunyai wewenang untuk memberikan izin itu bukan saya
tetapi Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal di bawah pengawasan Kementerian
Agama,” kata Kiai Musthofa lansir hidayatullah.com, Sabtu (22/11/2014).
Menurutnya, ceramah
salah satu pendeta Syi’ah asal Iran di Masjid Istiqlal hari Jum’at (21/11/2014)
lalu telah membuat keresahan kalangan umat Islam, khususnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dia membenarkan bila
acara itu diadakan di Masjid Istiqlal pada hari Jumat kemarin, di mana ketika
itu dirinya sedang ada urusan ke Pontianak. Awalnya informasi yang dia terima
ada dua tamu, satu imam Masjid Kubah (Madinah), satunya lagi dari Iraq. Rupanya
setelah datang dari Pontianak dia baru faham jika yang ceramah itu justru dari
Iran, bukan dari Iraq.
Kiai Ali Musthofa
mengatakan dirinya sudah berulangkali memberikan masukan kepada Badan Pengelola
Pelaksana Masjid Istiqlal untuk tidak memberikan kesempatan kepada ulama Syi’ah
untuk berceramah di Masjid Istiqlal karena hal itu hanya akan menimbulkan
kontroversi, kecuali hanya untuk melaksanakan shalat saja.
“Silahkan memberikan
izin kepada tamu dari Iran (orang-orang Syi’ah,red) untuk melaksanakan shalat
di masjid Istiqlal tapi jangan sampai memberikan kesempatan berceramah karena
akan membahayakan umat Islam,” tegasnya mengulang nasehatnya yang diberikan
kepada Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal Jakarta.
Apalagi menurut Kiai
sudah jelas bahwa Syi’ah sendiri merupakan ancaman terbesar yang membahayakan
umat Islam, khususnya NKRI. Jadi jangan sampai memberikan kesempatan kepada
orang-orang Syiah untuk angkat bicara berceramah di masjid Istiqlal.
Hanya saja nasehatnya
sering tidak diindahkan. Apalagi, kewenangan memberikan izin tamu-tamu
internasional untuk berceramah di masjid Istiqlal Jakarta dipegang oleh Ketua
Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal, langsung dalam pengawasan
Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) RI, ujar Kiai.
Karena itu Syiah
bergembira atas digantinya KH Ali Mustafa Yaqub sebagai Imam Besar Masjid
Istiqlal. Hal itu dinyatakan lewat akun IJABI Pusat @ijabipp. KH Ali Mustafa
Yaqub dicopot sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Jum’at, 22 Januari
2016, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengukuhkan Nasaruddin Umar,
pendukung Islam liberal sebagai imam besar Masjid Istiqlal Jakarta menggantikan
KH Ali Mustafa Yaqub.
Bongkar liberal dan Syiah
di PBNU
Kia Ali juga pernah
mengungkapkan bahwa aliran sesat Syi’ah dan kelompok Islam Liberal (Islib)
sudah masuk dan menyusup ke salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni
PBNU pimpinan Said Agil Siroj.
“Ada pengurus PBNU
yang selalu membela Syi’ah dan selalu hadir dalam acara-acara Syi’ah. Paling
tidak dia selalu hadir dalam acara Asyura dan selalu menjadi pembicara utama,”
kata Ali Mustafa kepada bangsaomline.com, Jum’at (24/4/2015).
Menurutnya berbeda
dengan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang toleran terhadap perbedaan, aliran
sesat Syi’ah hanya memberi dua pilihan.
“Ikut saya atau saya
bunuh,” ujar Ali Mustafa mencontohkan doktrin paham dan ajaran Syi’ah. Karena
itu menurut dia, Syi’ah sangat bahaya jika berkembang di Indonesia.
Kiai Ali Mustafa
mengungkapkan, indikasi aliran sesat Syi’ah sudah masuk ke dalam PBNU sangat
jelas. “Dulu Jamiyatul Qurra Wal Huffadz (Jamqur) pernah kerjasama dengan
Syi’ah, saya sempat baca MoU-nya. Tapi akhirnya ketahuan lalu dibatalkan,”
ungkapnya.
MOU (Memorandum of
Understanding) atau nota kesepahaman antara PBNU dengan Syi’ah ini sempat
heboh. Banyak media online melansir berita MoU PBNU dengan Universitas
al-Mustafa al-‘Alamiyah, Qom, Iran itu.
Dokumen kerjasama di
bidang pendidikan, riset dan kebudayaan itu dilakukan tanpa sepengetahuan dan
persetujuan Syuriah PBNU. Dokumen tertanggal 27 Oktober 2011 itu dibuat dalam
dua bahasa, Persia dan Indonesia. KH Sahal Mahfudz yang saat itu menjabat
sebagai Rais ‘Aam marah dan membatalkan MoU tersebut.
(azm/arrahmah.com)
Beliau (Bpk KH.
Ali Musthofa Ya’qub) adalah Ulama NU tulen. Beliau alumni salah satu pesantren
besar di Jawa Timur yang merupakan salah satu dari sekian pesantren
basis berdiri nya NU.
Salah satu
tulisan Beliau adalah “Amalan Bid’ah di bulan Rajab” tulisan yang cukup
kontroversial bagi umat nahdliyin (NU).
Beliau juga pernah berfatwa haramnya membangun bangunan di kuburan ketika
ditanya tentang makam ust. Jefri yang diberi keramik di atasnya.
Beliau pun setuju agar makam ustadz diratakan dengan tanah dan
tidak dibangun di atasnya keramik / semen.
Dan beberapa fatwa beliau juga di nilai tidak pro dengan NU.
Tapi lepas dari
itu, sebagaimana tulisan Beliau tentang amalan bidah di bulan Rajab.. Dan
hari ini Beliau pun meninggal di bulan Rajab. Masya Allah..
Saya jadi ingat
juga dengan wafatnya Imam Ghazali.. Di akhir hayatnya Beliau merasa ingin
sekali belajar Hadis. Maklum selama hidup nya Imam Ghozali disibukkan dengan
serangan para ahli filsafat. Imam Ghozali pun selalu membahas Islam ditinjau
dari filsafat supaya Islam tidak digeser oleh para filosof.
Dan pada akhir
hayatnya, Imam Ghozali meninggal dalam kondisi memeluk kitab Imam Bukhari..
Beberapa riwayat mengetekan, di akhir hidup Beliau, Beliau sibuk dengan
belajar Ilmu Hadis. Beliau juga pernah berkata bahwa Beliau lemah dalam bidang
Hadis. Inilah yang membuat Beliau akhirnya mendalami Hadis di akhir hayat
Beliau. Sampai meninggal dengan kondisi memeluk kitab sahih Bukhori..
Dan sekarang, di
berbagai universitas Islam di mancanegara mulai membedah kitab ihya Ulumuddin
karya Al Ghazali yang ditemukan banyak hadis dhoif di dalamnya. Meskipun
begitu, Al Ghazali tetaplah Ulama yang sangat luar biasa dan patut
dihormati. Jika ada kekurangan ya itu wajar, yang penting jasa beliau
dalam dakwah Islam sangat besar, dan memang wajar juga, karena Beliau hidup di
zaman yang mana filsafat sesat mencemari agama Islam. Mau tidak
mau, Al Ghazali harus melawan para filosuf tersebut untuk menjaga
kemurnian Islam..masya Allah, semoga Allah berikan tempat yang mulia
untuk imam Ghazali..
Kembali ke Bpk.
KH. Ali Mustofa Yaqub
Pak Kyai dari NU ini pernah ditanya oleh seseorang, apakah tidak ada kyai NU
yang menegur Bapak? Terkait tulisan tulisan Bapak yang dinilai
tidak pro dengan NU. Apalagi sebagai ulama MUI, beliau
memberi lampu hijau kepada dakwah salafi di Indonesia. Beliau berkata
“banyaaaaak… Banyak kyai NU menegur saya karena tulisan dan sikap saya..”
meskipun begitu, Beliau tetap menghormati para Kyai. Karena mereka (para kyai)
juga punya peran besar dalam dakwah Islam di Indonesia. Dan salah satu impian
Beliau yang patut kita teruskan adalah Beliau ingin mempersatukan ahlus
sunnah di Indonesia.. Sebagaimana buku yang Beliau tulis, benang merah
wahabi-NU..
Karena
tidak bisa kita pungkiri, rukun iman wahabi dan NU sama. Rukun
Islam ny juga sama..
Rujukannya juga
sama.. Yaitu madzhab 4..
Dan mereka sama
sama memahami Quran Hadis berdasarkan pemahaman generasi salaf..
Bedanya adalah
yang satu disiplin dan ketat dengan budaya, sedangkan yang
satunya longgar dan kurang begitu ketat dengan budaya..
Semoga Allah
persatukan kita.. Dijadikan umat yang bersatu. Tidak saling
membenci dan saling menghujat..
Semoga Allah
masukkan beliau dan kita semua ke dalam surga Allah..
Aamiin..
Via Fb Cholidi
Fathoni – Semarang
***
Prof Dari KH Ali
Mustafa Yaqub, MA: Pemakaman Mewah Haram
Hukum pemakaman
mewah seperti San Diego Hill adalah haram. Karena termasuk perbuatan mubadhir
atau berlebih-lebihan. Demikian pendapat Guru Besar Ilmu Hadis Institut
Ilmu Alquran (IIQ), Prof Dari KH Ali Mustafa Yaqub, MA, saat ditemui Mingguan Syariah, di kediamannya,Jalan SDI Inpres N0 11 Pisangan Barat, Ciputat,
Selasa, (8/5/2012) beberapa waktu lalu.
Membeli makam
mewah baik secara langsung maupun tidak langsung, tergolong perbuatan mubadhir
atau menghamburkan harta. Dan orang yang menghamburkan harta, dalam Islam
termasuk kawan syeitan.
Lihat
diperingatan Allah SWT dalam firmannya:“Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Rabbnya”. (QS. Al Isra’ : 27)
Kenapa perbuatan
itu mubadhir? karena sebenarnya biaya yang dikeluarkan semestinya tidak semahal
pemakaman San Diego Hill yang capai puluhan, ratusan juta, bahkan miliaran.
Padahal, biaya di pemakaman biasa tidak semahal itu.
KH Ali Mustafa
juga menilai orang yang membeli atau memesan makam itu terkesan sombong. Mereka
hanya ingin memamerkan kekayaanya kepada orang lain.
“Ketika mereka
hidup, mereka pamer kekayaannya. Dan ketika matipun, mereka pingin pamer
kekayaannya juga” sindir Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Ilmu Hadist Darus
Sunnah, Ciputat ini.
Pak Kyai tentu
menyayangkan hal itu. Karena Rasulullah sendiri sempat mengingatkan bahwa orang
yang sombong diancam masuk neraka. Ingat hadist nabi, “Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya
ada kesombongan meski sebutir atom.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’udi RA)
Alasan lain,
karena mereka buta sosial. Kok gitu? Kenapa dibilang buta sosial? karena mereka
lebih memilih beli makam mewah dibanding membantu orang lain yang butuh uluran
tangan mereka.
“Namun, jika yang
membeli adalah keluarganya, bukan dari yang meninggal, maka keluarganya yang
buta sosial,” ujar Imam Besar Masjidi Istiqlal Jakarta ini dengan tegas dan
lantang.
Di Indonesia,
menurut ekonom, jika mengacu pada data bank dunia, bahwa ukuran orang yang
tergolong miskin adalah jika pendapatannya dalam sehari kurang dari 2 dolar.
Nah, itu berarti orang Indonesia yang tergolong miskin jumlahnya mencapi 117
juta orang.
Padahal, dalam
ajaran islam, iman kita belum sempurna jika kita kenyang, sedang tetangga kita
lapar. Sesuai hadist nabi SAW, dari
Abdullah ibnul Mishwar, ia berkata, “Saya pernah mendengar lbnu Abbas
meriwayatkan dari lbnu Zubair di mana dia berkata, “Saya pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda, ’Seorang yang beriman tidak akan kekenyangan,
sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.”
Jika mereka
berdalih beli makam itu karena agar tidak bayar uang sewa makam. Sebab kalau
tidak bayar, makam bakal dibongkar. Menurut Ali, itu alasan yang
mengada-ada. Sebab, selama masih ada keluarga yang ngurus, tidak mungkin
dibongkar atau ditimpa dengan jasadi yang lain.
Menurut Penasihat
Syariah Transaksi Halal Omaha USA ini, itu terjadi lantaran yang meninggal
bukan warga Jakarta. Makanya, ia menyarankan agar warga pendatang kalau
meninggal jasadnya dibawa pulang dan dimakamkan di kampung halaman saja.
Sekali lagi Pak
Kyai mengingatkan, harta seseorang sejatinya bukan miliknya. Melainkan,
kepunyaan Allah SWT yang dititipkan sebagai amanah. Karenanya Allah menegaskan
agar digunakan semata-mata untuk mencari ridhaNya. Dan sesungguhnya Allah benci
orang yang menghamburkan harta. Sesuai peringatanNya: “Dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al An`aam : 141).
Apakah ada fatwa
MUI yang mengatur itu? Memang belum ada. Dan menurut Ali, tidak perlu karena
sudah jelas haram. Jika sekarang banyak umat muslim membeli makam mahal itu,
menurutnya karena mereka tergolong umat abu-abu.
(Mifta/Jauhari)
Sumber: rahmatbiz.wordpress.com/pesantreniiq.or.id –Saturday,
19 October 2013
***
KH Ali Mustafa
Yaqub Wafat, Dikebumikan di Pesantren Darussunnah Ciputat
KH Ali
Mustafa Yaqub wafat pada
hari Kamis (28/4) pagi di Rumah Sakit Hermina, Ciputat, Jakarta. Beliau dikenal
sebagai ulama yang pernah menjabat sebagai Imam Besar Masjidi Istiqlal,
Jakarta, juga sebagai mantan Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI).
Meninggalnya
ulama besar tersebut menurut keluarganya tidak disangka sebelumnya karena cukup
mendadak. Beliau disebut tidak mengidap sakit gawat, hanya diabetes namun itu
juga terkontrol dengan baik.
Namun di hari
sebelum meninggal, KH Ali Mustafa Yaqub sempat mengeluhkan sakit seperti masuk
angin dan tidka enak badan. Kesibukan beliau yang padat diduga memicu
kelelahan, sebab malam harinya ia masih menjadi pengisi acara pengajian di
Masjidi Sunda Kelapa.
“Setelah pulang
malam ke rumah mengeluh sakit dan malamnya dibawa ke Rumah Sakit Hermina Ciputat,”
ungkap Ali Nurdin, seorang kerabat di Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Cirendeu,
Ciputat.
Usai melaksanakan
sholat subuh, kondisi beliau pun menurun hingga akhirnya meninggal dunia.
Hal ini tentu
membuat umat Islam di tanah air berduka karena kehilangan seorang ulama yang
ilmunya masih banyak dibutuhkan oleh umat saat ini.
Almarhum
dikebumikan di kompleks Pondok Pesantren Darussunnah, yang dibangun salah
satunya atas prakarsa beliau.
Putra
satu-satunya yakni Ziaul Haromain, saat ini sedang berada di Amerika guna
menjadi pengajar di negeri tersebut.
“Dua tahun lalu
sudah wasiat minta dimakamkan di belakang pesantren,” ungkap Ali lagi.
Almarhum bahkan
telah menyiapkan makam untuk istri dan anaknya di kompleks pesantren tersebut.
Semoga amal ibadahnya diterima oleh Alloh SWT.*/iberita.com – Apr 28 2016
(nahimunkar.com)
4
Ketegasan KH Ali Mustafa Ya’qub yang Tidak Disukai Syiah dan Kalangan Liberal
KH
Ali Mustafa Ya’qub wafat pagi ini, Kamis (28/4/2016). Menurut Prof Didin
Hafidhuddin, almarhum adalah seorang ulama yang berani dan tegas dalam
menyampaikan kebenaran ajaran Islam.
Berikut ini empat ketegasan KH Ali Mustafa Ya’qub yang tidak disukai syiah dan kalangan liberal:
1. Melarang tokoh syiah ceramah di Masjid Istiqlal
Berikut ini empat ketegasan KH Ali Mustafa Ya’qub yang tidak disukai syiah dan kalangan liberal:
1. Melarang tokoh syiah ceramah di Masjid Istiqlal
Sewaktu
menjadi imam besar Masjid Istiqlal, KH Ali Mustafa Ya’qub melarang ulama syiah
berceramah di Masjid Istiqlal. KH Ali Mustafa Ya’qub mewanti-wanti agar jangan
sampai ada tokoh syiah yang memanfatkan Masjid Istiqlal karena bisa membawa
fitnah bagi umat Islam.
2.
Menolak pendapat bolehnya perempuan menjadi imam bagi laki-laki
Kalangan feminis dan liberal (JIL dan kawan-kawannya) getol memperjuangkan kesetaraan gender. Termasuk mendukung perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki.
KH Ali Mustafa Ya’qub secara tegas menolah pendapat bolehnya perempuan mengimami laki-laki. Ia bahkan menulis buku khusus berjudul Imam Perempuan.
Pakar hadits itu juga menegaskan bahwa hadits yang dipakai oleh kalangan JIL merupakan hadits dhaif.
3.
Tegas menolak pernikahan beda agama
Di saat kalangan liberal memperjuangkan bolehnya pernikahan beda agama dengan mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM), KH Ali Mustafa Ya’qub menegaskan larangan pernikahan beda agama.
KH Ali Mustafa Ya’qub juga menuliskan penjelasan larangan pernikahan beda agama itu dalam buku Nikah Beda Agama dalam Al Qur’an dan Hadits.
4.
Membongkar peran Syiah Iran dalam tragedi mina
Di saat kalangan Syiah menyerang Arab Saudi sebagai penanggungjawab tragedi Mina pada Idul Adha 10 Dzulhijjah 1436, KH Ali Mustafa Ya’qub membeberkan data keterlibatan Syiah Iran dalam musibah yang menelan korban 1000 jiwa itu.
Berdasarkan pengalamannya sembilan tahun di Arab Saudi dan selalu mengikuti prosesi ibadah haji, ia menyimpulkan tak mungkin musibah itu terjadi secara alami. Sebab jamaah haji pada tanggal 10 Dzulhijjah berada dalam kondisi lelah, mengantuk dan lapar sehingga jalannya pelan-pelan saat hendak melempar jumrah. Mereka juga tidak berdesakan.
Sumber : tarbiyah.net
Meneladani
KH Ali Mustafa Ya’qub, Ulama Pemersatu Umat ...
Beliau
rahimahullah sangat mirip dengan bapak ana rahimahullah. Semoga Allah
merahmatinya, dan mengampuni dosa2nya.
Berikut dialog Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub seputar Islam Nusantara, NU, dan Wahabi.
Bagaimana pandangan Pak Kiai tentang istilah “Islam Nusantara”?
Kalau “Islam Nusantara” itu Islam di Nusantara, maka tepat. Kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bercorak budaya Nusantara, dengan catatan: selama budaya Nusantara itu tidak bertentangan dengan Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat. Sebab sumber agama Islam itu Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya. Yang wajib kita ikuti adalah agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar lagi. Tapi kalau budaya, kita boleh ikuti dan boleh juga tidak diikuti. Contoh budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti. Demikian pula budaya Nusantara. Selama budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai sarung itu budaya Nusantara dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai koteka itu juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka itu tidak boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya
Tadi Pak Kiai menyatakan Islam yang bercorak budaya Nusantara itu tepat, padahal Pak Kiai tadi juga menyatakan sumber agama Islam bukan dari apa yang ada di Nusantara, jadi maksudnya apa Pak Kiai?
Maksud saya, Islam yang bercorak budaya Nusantara itu boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, baik aqidah maupun ibadah harus asli dari Nusantara, maka itu tidak tepat. Tapi saya katakan Islam itu bukan Arab sentris. Islam itu apa kata Al-Qur’an dan Hadits, bukan Arab sentris. Tidak semua budaya Arab harus kita ambil. Sebab ada budaya Arab yang bertentangan dengan ajaran Islam. Contohnya, orang- orang minum khamr di zaman Nabi dan beristri lebih dari empat. Tadi saya katakan, Nabi pakai sorban, apa kita wajib pakai sorban? Tidak ada hadits yang menunjukkan keutamaan memakai sorban. Tidak ada hadits yang mengatakan memakai sorban itu mendapat pahala. Para ulama mengatakan sorban itu budaya Nabi, budaya kaum Nabi pada zamannya.
Pak Kiai bagaimana sebaiknya umat Islam memandang budaya?
Sepanjang budaya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka kita boleh mengambilnya. Ini masuk wilayahmuamalah. Silakan ikuti budaya Arab, silakan pakai sorban. Tapi jangan mengatakan orang yang tidak pakai sorban, tidak mengikuti Nabi. Saya pukul kalau ada orang yang mengatakan seperti itu. Silakan makan roti karena mengikuti budaya Nabi. Tapi jangan mengatakan orang yang makan nasi, tidak mengikuti Nabi. Demikian juga budaya Nusantara. Sepanjang budaya Nusantara tidak bertentangan dengan Islam, silakan ambil. Islam sangat memberikan peluang bagi budaya, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, boleh kita ambil. Silakan berkreasi dan ambil budaya apapun, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam
Kemunculan “Islam Nusantara” ini membuat sebagian orang membandingkan dengan “Islam Arab”, bagaimana menurut Pak Kiai?
Saya tidak sependapat dengan bandingan-bandingan seperti itu. Islam itu Islam saja.
Jadi istilah “Islam Nusantara” itu tidak ada ya Pak Kiai?
Ya, Islam itu agama. Nusantara itu budaya. Tidak bisa disatukan antara agama dan budaya.
Selanjutnya mengenai NU dan “Wahabi”. Bagaimana pertentangan NU dan “Wahabi” antara tahun 20an sampai sekarang. Karena seperti diketahui, dulu di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) mereka bisa akur?
Saya mengatakan tidak ada pertentangan antara NU dan “Wahabi”. Yang ada adalah perbedaan antara ulama-ulama sumber rujukan NU dengan ulama-ulama sumber rujukan “Wahabi”. Perbedaan ini ada jauh sebelum NU dan “Wahabi” lahir. Jangankan NU dan “Wahabi”, Imam Syafi’i yang hanya satu orang, bisa berbeda pendapat ketika berada di Baghdad dan Mesir. Antara ulama-ulama mazhab Syafi’i juga bisa berbeda pendapat. Tapi perbedaan itu tidak akan keluar dari dua karakter, pertama, tidak menyebabkan kekafiran dan kedua, perbedaan itu sudah ada sebelum NU dan “Wahabi” ada. Jadi tidak perlu dipermasalahkan. Kalau ada yang mengatakan “Wahabi” itu suka mengkafirkan dan membid’ahkan , maka itu fitnah. Saya belajar “Wahabi” 9 tahun. Di dalam kitab-kitab “Wahabi” tidak ada yang menyatakan selain kelompok “Wahabi” itu kafir. Itu fitnah untuk mengadu domba NU dan “Wahabi”. Dan yang memfitnah itu adalah agen zionis. Kalau ada yang mengatakan Tuhannya bukan Allah, baru itu kafir.
Bagaimana pandangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tentang “Wahabi”?
Ketika itu, istilah yang lazim bukan “Wahabi” tapi salafi atau taimi. Banyak pandangan beliau yang sama dengan “Wahabi”. Kitab-kitab beliau banyak merujuk pada kitab-kitab Imam Ibnu Taimiyyah. Imam Ibnu Taimiyyah itu rujukannya “Wahabi”. Tapi kata beliau, “Banyak salafi-salafi yang palsu.” Palsu karena tidak mengikuti ajaran Imam Ibnu Taimiyyah.
Tentang kitab-kitab ulama di pesantren, kitab apa saja yang dipakai? Apa ada kitab ulama lokal? Sewaktu Saya di pesantren Tebu Ireng, kitab ilmu hadits karya Kiai Mahfudz itu dipelajari. Ulama-ulama lokal seperti Kiai Mahfud Termas asal Pacitan dan Kiai Nawawi asal Banten, juga menulis kitab, tapi menulisnya di Mekkah. Bisa jadi Kiai Hasyim ‘Asyari menulis kitabnya di Mekkah karena beliau pernah tinggal di sana.
Terakhir, apa nasihat Pak Kiai untuk umat Islam di tengah polemik isu “Islam Nusantara” serta NU dan “Wahabi” ?
Pertama, kita harus membedakan antara agama dan budaya. Agama: aqidah dan syariah, kita harus mengikuti Rasulullah. Sementara, budaya itu masuk muamalah. Budaya apa pun, termasuk budaya Arab selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, silakan. Tapi hati-hati, sebab bisa saja orang pakai sorban itu dalam rangka mencari popularitas. Ketika semua orang tidak pakai sorban, tapi ada 1 orang pakai sorban, maka itu diharamkan dalam Islam karena sorban itu menjadi pakaian popularitas. Menurut seorang Ulama Arab, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, hal itu menunjukkan kesombongan. Penampilan itu menunjukkan seorang merasa lebih mirip nabi. Itu arogan dan tidak bagus. Kedua, NU dan “Wahabi” tidak ada pertentangan, yang ada perbedaan. Persamaannya banyak dan perbedaannya sedikit. Perbedaannya itu tidak menimbulkan kekafiran dan perbedaan itu tidak terjadi setelah NU dan “Wahabi” ada. Jadi perbedaannya hanya dalam hal furu’iyyah, bukan hal yang prinsip.
(Sumber: Jejakislam.net. dengan sedikit revisi)
Berikut dialog Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub seputar Islam Nusantara, NU, dan Wahabi.
Bagaimana pandangan Pak Kiai tentang istilah “Islam Nusantara”?
Kalau “Islam Nusantara” itu Islam di Nusantara, maka tepat. Kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bercorak budaya Nusantara, dengan catatan: selama budaya Nusantara itu tidak bertentangan dengan Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat. Sebab sumber agama Islam itu Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya. Yang wajib kita ikuti adalah agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar lagi. Tapi kalau budaya, kita boleh ikuti dan boleh juga tidak diikuti. Contoh budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti. Demikian pula budaya Nusantara. Selama budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai sarung itu budaya Nusantara dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai koteka itu juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka itu tidak boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya
Tadi Pak Kiai menyatakan Islam yang bercorak budaya Nusantara itu tepat, padahal Pak Kiai tadi juga menyatakan sumber agama Islam bukan dari apa yang ada di Nusantara, jadi maksudnya apa Pak Kiai?
Maksud saya, Islam yang bercorak budaya Nusantara itu boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, baik aqidah maupun ibadah harus asli dari Nusantara, maka itu tidak tepat. Tapi saya katakan Islam itu bukan Arab sentris. Islam itu apa kata Al-Qur’an dan Hadits, bukan Arab sentris. Tidak semua budaya Arab harus kita ambil. Sebab ada budaya Arab yang bertentangan dengan ajaran Islam. Contohnya, orang- orang minum khamr di zaman Nabi dan beristri lebih dari empat. Tadi saya katakan, Nabi pakai sorban, apa kita wajib pakai sorban? Tidak ada hadits yang menunjukkan keutamaan memakai sorban. Tidak ada hadits yang mengatakan memakai sorban itu mendapat pahala. Para ulama mengatakan sorban itu budaya Nabi, budaya kaum Nabi pada zamannya.
Pak Kiai bagaimana sebaiknya umat Islam memandang budaya?
Sepanjang budaya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka kita boleh mengambilnya. Ini masuk wilayahmuamalah. Silakan ikuti budaya Arab, silakan pakai sorban. Tapi jangan mengatakan orang yang tidak pakai sorban, tidak mengikuti Nabi. Saya pukul kalau ada orang yang mengatakan seperti itu. Silakan makan roti karena mengikuti budaya Nabi. Tapi jangan mengatakan orang yang makan nasi, tidak mengikuti Nabi. Demikian juga budaya Nusantara. Sepanjang budaya Nusantara tidak bertentangan dengan Islam, silakan ambil. Islam sangat memberikan peluang bagi budaya, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, boleh kita ambil. Silakan berkreasi dan ambil budaya apapun, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam
Kemunculan “Islam Nusantara” ini membuat sebagian orang membandingkan dengan “Islam Arab”, bagaimana menurut Pak Kiai?
Saya tidak sependapat dengan bandingan-bandingan seperti itu. Islam itu Islam saja.
Jadi istilah “Islam Nusantara” itu tidak ada ya Pak Kiai?
Ya, Islam itu agama. Nusantara itu budaya. Tidak bisa disatukan antara agama dan budaya.
Selanjutnya mengenai NU dan “Wahabi”. Bagaimana pertentangan NU dan “Wahabi” antara tahun 20an sampai sekarang. Karena seperti diketahui, dulu di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) mereka bisa akur?
Saya mengatakan tidak ada pertentangan antara NU dan “Wahabi”. Yang ada adalah perbedaan antara ulama-ulama sumber rujukan NU dengan ulama-ulama sumber rujukan “Wahabi”. Perbedaan ini ada jauh sebelum NU dan “Wahabi” lahir. Jangankan NU dan “Wahabi”, Imam Syafi’i yang hanya satu orang, bisa berbeda pendapat ketika berada di Baghdad dan Mesir. Antara ulama-ulama mazhab Syafi’i juga bisa berbeda pendapat. Tapi perbedaan itu tidak akan keluar dari dua karakter, pertama, tidak menyebabkan kekafiran dan kedua, perbedaan itu sudah ada sebelum NU dan “Wahabi” ada. Jadi tidak perlu dipermasalahkan. Kalau ada yang mengatakan “Wahabi” itu suka mengkafirkan dan membid’ahkan , maka itu fitnah. Saya belajar “Wahabi” 9 tahun. Di dalam kitab-kitab “Wahabi” tidak ada yang menyatakan selain kelompok “Wahabi” itu kafir. Itu fitnah untuk mengadu domba NU dan “Wahabi”. Dan yang memfitnah itu adalah agen zionis. Kalau ada yang mengatakan Tuhannya bukan Allah, baru itu kafir.
Bagaimana pandangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tentang “Wahabi”?
Ketika itu, istilah yang lazim bukan “Wahabi” tapi salafi atau taimi. Banyak pandangan beliau yang sama dengan “Wahabi”. Kitab-kitab beliau banyak merujuk pada kitab-kitab Imam Ibnu Taimiyyah. Imam Ibnu Taimiyyah itu rujukannya “Wahabi”. Tapi kata beliau, “Banyak salafi-salafi yang palsu.” Palsu karena tidak mengikuti ajaran Imam Ibnu Taimiyyah.
Tentang kitab-kitab ulama di pesantren, kitab apa saja yang dipakai? Apa ada kitab ulama lokal? Sewaktu Saya di pesantren Tebu Ireng, kitab ilmu hadits karya Kiai Mahfudz itu dipelajari. Ulama-ulama lokal seperti Kiai Mahfud Termas asal Pacitan dan Kiai Nawawi asal Banten, juga menulis kitab, tapi menulisnya di Mekkah. Bisa jadi Kiai Hasyim ‘Asyari menulis kitabnya di Mekkah karena beliau pernah tinggal di sana.
Terakhir, apa nasihat Pak Kiai untuk umat Islam di tengah polemik isu “Islam Nusantara” serta NU dan “Wahabi” ?
Pertama, kita harus membedakan antara agama dan budaya. Agama: aqidah dan syariah, kita harus mengikuti Rasulullah. Sementara, budaya itu masuk muamalah. Budaya apa pun, termasuk budaya Arab selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, silakan. Tapi hati-hati, sebab bisa saja orang pakai sorban itu dalam rangka mencari popularitas. Ketika semua orang tidak pakai sorban, tapi ada 1 orang pakai sorban, maka itu diharamkan dalam Islam karena sorban itu menjadi pakaian popularitas. Menurut seorang Ulama Arab, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, hal itu menunjukkan kesombongan. Penampilan itu menunjukkan seorang merasa lebih mirip nabi. Itu arogan dan tidak bagus. Kedua, NU dan “Wahabi” tidak ada pertentangan, yang ada perbedaan. Persamaannya banyak dan perbedaannya sedikit. Perbedaannya itu tidak menimbulkan kekafiran dan perbedaan itu tidak terjadi setelah NU dan “Wahabi” ada. Jadi perbedaannya hanya dalam hal furu’iyyah, bukan hal yang prinsip.
(Sumber: Jejakislam.net. dengan sedikit revisi)