Seorang Khalifah Abbasiyah
Menjadi Syiah
Allah
berfirman yang artinya; “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).
Ibnu
katsir mengatakan mengenai tafsir ayat ini, “Allah mengetahui siapa saja dari
hambanya yang layak mendapatkan hidayah, dan siapa saja yang tidak pantas
mendapatkannya.”
Syaikh
Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin menerangkan, “Hidayah di sini maknanya adalah
hidayah petunjuk dan taufik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hidayah ini
kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan
dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka mesti mengikuti hikmah-Nya.”
Pembaca
yang budiman, ayat dan keterangan dari ulama di atas semoga menjadi renungan di
kehidupan sehari-hari. Dan semoga Allah senantiasa memberi taufik dan
hidayahnya kepada kita.
Berikut
ini adalah penjelasan singkat mengenai pengkhianatan seorang khalifah yang
awalnya seorang bermazhab Ahlussunnah tapi diakhir hayitnya menjadi Syiah.Naudzubillah.
Khilafah
bukanlah kalimat yang sepele. Kedudukannya sama dengan katup kesejahteraan
umat. Dia seperti benang yang digunakan untuk menyusun butiran-butiran kalung,
apabila benang itu putus, maka ikatan umat akan berantakan dan bercerai berai.
Sangat disayangkan, bahwa sebagian dari para khalifah Abbasiyah telah berpindah
dari madzhab Ahlussunnah ke madzhab-madzhab yang lain, seperti; Khalifah
Al-Makmun, yang menganut madzhab Mu’tazilah, karena pengaruh dari menterinya,
Ahmad bin Abi Du’ad. Dan dia melakukan apa saja yang dia inginkan, seperti
menguji orang-orang dengan masalah khalqil Qur’an (keyakinan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, bukan Kalamullah).
Khalifah
An-Nashir Lidinillah menjadi Syiah karena pengaruh dari beberapa orang menterinya
yang Syiah. Ibnu Katsir Rahimahullah menceritakannya:
“An-Nashir
Lidinillah Abul Abbas Ahmad bin Al-Mustadhi Biamrillah Abil Muzhaffat Yususf
bin Al-Muqtafi Liamrillah Al-Abbasi, perilakunya sangat buruk dan zhalim dalam
berkuasa. Dia menghancurkan Iraq pada masa kekuasaannya sehingga para
pendukungnya bercerai berai, dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
yang semestinya, dia adalah penganut madzhab Syi’ah. Diceritakan bahwa biasa
terjadi surat-menyurat antara dia dengan orang-orang Tatar, sehingga meyakinkan
mereka untuk tetap tinggal di dalam negeri. Inilah musibah yang sangat besar,
yang semua dosa besar menjadi kecil di hadapannya.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah,
13/106-1-7).
Sumber :
Pengkhianatan-pengkhianatan Syiah dan Pengaruhnya Terhadap Kekalahan Umat
Islam. Karya : Dr. Imad Ali Abdus Sami’
Kehancuran Khilafah Bani ‘Abbasiyyah di Kota Baghdad.
Diantara ulah
kaum syi’ah adalah apa yang terjadi pada khilafah terakhir Bani Abbasiyah.
Runtuhnya khilafah ini pada tahun 656 H disebabkan pengkhianatan syi’ah
rafidhah yang menyelinap dan menjadi duri dalam daging serta musuh dalam
selimut pemerintahan ahlus sunnah yang kala itu dipimpin oleh Khalifah al
Musta’shim Billah. Muhammad bin al Alqami dan Nashiruddin at Thusi, 2 orang
penganut syi’ah inilah yang menjadi provokator dan dalang peristiwa kehancuran
khilafah ini.
Pengkhianatan
Ibnul al-Alqami yang begitu dendam terhadap Ahlussunnah ini disebabkan karena
kekalahan kaum syi’ah pada peperangan antara kaum Sunni dan Syi’ah tahun 655 H
yang berakhir dengan direbutnya kota al-Karkh yang merupakan pusat kaum Syi’ah
Rafidhah. Saat itu beberapa rumah milik kerabat Ibnu al-Alqami sempat kena
jarah.
Sebelum peristiwa
kehancuran khilafah ini terjadi, Ibnul al Alqami yang menjabat sebagai menteri
kepercayaan kala itu berusaha meminimalisasi jumlah pasukan pemerintah. Jumlah
pasukan sebelum masa al Musta’shim sebanyak seratus ribu orang, namun ketika
masa al Musta’shim jumlah tersebut berkurang sampai hitungan sepuluh ribu
pasukan. Ya, ini bagian dari makar dan muslihat si Ibnul al Alqami ar Rafidhi.
Setelah kondisi
di Baghdad diatur demikian rupa, si pengkhianat ini mengirim surat kepada
bangsa Tartar sambil memberi jalan mudah bagi mereka untuk menyerang Baghdad
dan membocorkan rahasia pemerintahan Abbasiyyah. Semua itu dia lakukan dalam
rangka melenyapkan sunnah dan menghidupkan bid’ah Rafidhah, mengangkat khalifah
dari kalangan Fathimiyyah serta membunuh para ulama dan ahlu fatwa.
Pada tanggal 12
Muharram pasukan Tartar yang berjumlah kurang lebih 200.000 pasukan di bawah
kepemimpinan Hulagu Khan mengepung kota Baghdad dari arah timur dan barat.
Pasukan Baghdad tidak mampu untuk menghadang mereka karena jumlah yang sedikit
dan kekuatan persenjataan yang lemah dan minim.
Akhirnya khalifah
berusaha melakukan gencatan senjata dengan Hulagu Khan dengan memberi berbagai
macam harta dan barang-barang berharga lainnya. Namun Hulagu Khan menolak
tawaran perdamaian ini karena memang sebelumnya dia telah mendapat bisikan dari
Ibnul al Alqami dan Nashiruddin at Thusi untuk menolak ajakan tersebut.
Bahkan 2 orang
ini menyarankan kepada Hulagu Khan untuk menghabisi khalifah. Singkat cerita,
Hulagu Khan pun membunuh Khalifah al Musta’shim Billah. Dengan gugurnya
Khalifah maka pasukan Tartar pun menyerbu masuk ke Baghdad tanpa perlawanan
yang berarti. Maka jatuhlah kota Baghdad di tangan pasukan Tartar.
Pasukan Tartar
membunuh setiap orang yang mereka temui. Banyak orang yang dilemparkan ke dalam
sumur dan tempat sampah. Mereka mendatangi suatu tempat lalu membuka paksa tempat
tersebut atau membakarnya.
Tak ada yang
selamat kecuali Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang meminta perlindungan
kepada pasukan Tartar atau berlindung di rumah Ibnu al-Alqami, serta para
saudagar atau konglomerat yang membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan
tersebut dengan jaminan keselamatan diri dan harta mereka.
Pasukan Tartar
masuk ke Baghdad pada akhir bulan Muharram. Selama 40 hari pedang-pedang mereka
terus mencari mangsa. Air sungai Dajlah berubah merah karena banyaknya yang
terbunuh. Demikian pula sungai-sungai berubah warna airnya menjadi biru karena
banyaknya kitab para ulama yang dibuang ke dalam sungai-sungai tersebut. Inna
lillahi wa inna ilahi raji’un.
Terjadi silang
pendapat di tengah-tengah para ahli sejarah tentang jumlah kaum muslimin yang
terbunuh pada waktu itu. Ada yang menyatakan 800 orang, adapula yang menyatakan
1.800.000 dan bahkan ada yang menyatakan 2.000.000 orang.
Adapun Khalifah
al Musta’shim Billah beliau terbunuh pada hari rabu tanggal 14 Shafar 656 H.
Kala itu beliau berusia 46 tahun 4 bulan dan khilafahnya telah berlangsung
selama 15 tahun 8 bulan.
Terbunuh pula
waktu itu putra sulung beliau yang bernama Abul Abbas Ahmad yang berusia 25
tahun. Kemudian putra kedua beliau yang bernama Abul Fadhl Abdurrahman yang
berusia 23 tahun juga dibunuh. Adapun putra bungsu beliau yang bernama Mubarak
serta 3 saudari beliau yang bernama Fatimah, Khadijah dan Maryam menjadi
tawanan. Disebutkan bahwa para remaja putri yang berada di rumah beliau yang
ditawan berjumlah kurang lebih 1000 orang, Allahu a’lam.
Inilah salah satu
fakta sejarah tentang kejahatan dan pengkhianatan syi’ah terhadap kaum muslimin
terkhusus ahlus sunnah.
Jika
demikian kenyataan yang ada, maka pantas dan relakah anda semua wahai kaum
muslimin untuk “berpelukan mesra dan bergandengan tangan dengan mereka”?
Jawabnya:
Tidak, sekali-kali tidak