Wahabi
dan Deradikalisasi
Rabu, 27 April 2016 - 09:00
WIB
Ibrahim muda adalah seorang yang radikal. Ia secara
demonstratif menunjukkan kezaliman rakyat di negerinya yang mempertuhan
patung-patung ciptaan mereka
Oleh: Agung Puspito
SEJARAH mencatat
nama intelektual Muhammad bin Abdul Waĥĥab (1703–1791 Masehi) yang mazhab fiqh-nya (ilmu
hukumnya) dianggap menjadi mazhab resmi kerajaan Arab Saudi. Ia dan kelompoknya
tidak menamakan diri “Wahhabi” melainkan Al-Muwahiddun, ‘Pendukung Tauhid’.
“Wahabi” adalah julukan yang berasal dari pihak-pihak lain.
Muhammad bin
Abdul Waĥĥab adalah pengikut ajaran Ibnu Taymiyah (1263—1328 M), seorangfaqiĥ (ahli ilmu
hukum) bermazhab Hanbali. Ibnu Taymiyah adalah seorang pembaharu dan pemurni,
dengan ajarannya yang terkenal, “Kembali kepada Kitab Suci dan kepada Sunnah
Nabi”, dan seruannya untuk meneladani kaum Salaf yang saleh yaitu kaum muslim
dari tiga generasi pertama.
Ia
memperjuangkan dibukanya pintu ijtihad(upaya
merumuskan hukum menggunakan Quran, sunnah Nabi, dan
akal) sepanjang masa. Ibnu Taymiyah dikenal menentang sikap-sikaptaqlid (menuruti
kata orang berdasarkan otoritas semata) dan jumud (beku,
statis). Seperti Ibnu Taymiyah, Muhammad bi Abdul Waĥĥab juga tak mau ber-taqlid kepada
keempat mazhab (Hanbali, Hanafi, Maliki, dan Syafi`i). Karenanya, ia tak
disukai kalangan ulama.
Apakah Ibnu
Taymiyah dan Muhammad bin Abdul Waĥĥab bertanggung jawab atas gerakan-gerakan
ekstrem yang dikaitkan dengan Wahabi? Ini tentu tak masuk akal, karena setiap
individu menanggung dosa dan pahala masing-masing.
Saat ini
banyak istilah yang disandingkan dengan gerakan-gerakan yang dijuluki “wahabi”.
Terkadang diimbuhi “radikal” dan “takfiri” (atau
mengafir-kafirkan orang lain). Perlu analisis kritis sebelum memberi atribut
“radikal” kepada seseorang atau kelompok.
Kamus bahasa Inggris (misalnya Oxford
Advanced Dictionary) menyebutkan radical sama artinya
dengan fundamental, yaitu ‘thorough
and complete’ (menyeluruh dan utuh); ‘favouring
fundamental reforms’ (mendukung reformasi fundamental); ‘advanced
in opinions and policies’ (maju dalam pandangan dan kebijakan).
Setidaknya,
tak ada konotasi negatif di sana. Berasal dari kata Yunaniradics (akar), kata
ini menjadi salah satu ciri studi filsafat yaitu sampai ke akar, tuntas.
Jadi,
mengapa harus ada “deradikalisasi”? Term ini mengacu kepada penanggulangan
terorisme yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
meliputi pencegahan dan perbaikan, yang mengandaikan adanya tindakan radikal
dari para pelaku teroris. Padahal, kasus-kasus terorisme di negeri ini, juga di
mancanegara seperti yang dilakukan ISIS, melibatkan pembunuhan menggunakan bom
atau senjata lainnya.
Itu tindakan
yang tidak berkonotasi radikal tapi lebih kepada tindakan ekstrem, bahkan
kriminal. Kita perlu berbuat sesuatu agar program deradikalisasi yang ada tidak
menjurus kepada anti-intelektual.
Tindakan-tindakan
radikal lebih merupakan penafsiran terhadap ajaran agama. Karenanya, bisa benar
dan bisa salah. Ini yang terjadi pada awal 2000-an ketika kelompok Taliban di
Afghanistan merusak warisan budaya umat Buddha yang dipahat di bukit-bukit batu.
Di Tiongkok,
tokoh nasionalis Tionghoa Dr Sun Yat Sen (lahir 1859) sewaktu remaja bergabung
dengan gereja di sekolah pemondokan di Hawaii. Ketika kembali ke Tiongkok pada
usia 17, Sun menjadi pemuda yang radikal. Ia merusak patung-patung di kuil
lokal karena dianggap berhala, lalu melanjutkan studi di Queen’s College, Hong
Kong, dan dibaptis menjadi seorang Kristen di Gereja Congregational di sana.
Pada 1920-an
di Hindia Belanda, kedatangan pihak kolonial Belanda di Papua disertai dengan
penyebaran agama. Mereka menggantikan religi penduduk lokal Sentani yang
dianggap menyembah berhala, dengan membakari rumah-rumah keramat serta
lukisan-lukisan kayu karya warga Sentani.
Kita baca
kisah tentang Ibrahim Bapak Para Nabi, pewaris ajaran monoteistik yang lurus kepada
penganut agama-agama wahyu.
Ibrahim muda
adalah seorang yang radikal. Ia secara demonstratif menunjukkan kezaliman
rakyat di negerinya yang mempertuhan patung-patung ciptaan mereka. Itu
patung-patung yang bahkan tidak mampu menolong diri sendiri, ketika Ibrahim
menghancurkan seluruh patung dan menaruh kapak penghancur itu di pundak patung
terbesar seakan ingin menunjukkan bahwa berhala itulah pelakunya.
Aparat
kerajaan bisa saja menangkapnya dengan sangkaan melakukan penistaan agama atau
penghinaan simbol-simbol negara. Tapi, pesan tauhid Ibrahim tak terpatahkan
dari generasi ke generasi: Allah Yang Esa tak boleh diduakan.
Risalah
tauhid baru berhenti sampai hadirnya nabi sekaligus rasul terakhir, Muhammad.
Dia adalah satu-satunya pewaris kenabian Ibrahim dari garis keturunan putera
pertama, Nabi Ismail, yang selama berabad-abad tak menurunkan seorang nabi pun.
Sedangkan
putera kedua Ibrahim, Ishaq, menurunkan Yaqub atau dikenal juga dengan nama
Israil, sehingga keturunannya digelari Bani Israil (Anak-anak Israil). Bani
Israil menurunkan nabi-nabi dan para rasul hingga rasul terakhir sebelum Nabi
Muhammad, Isa bin Maryam. Suku paling pembangkang dari Bani Israil enggan
menerima bahwa rasul terakhir, yang namanya tercantum di kitab suci mereka
(Ahmad), ternyata gembala dari Arab. Itu kan negeri padang pasir yang nyaris
tak berbudaya kecuali di bidang susastra.
Ahmad,
pemalu dan buta huruf, bukanlah orang yang dengan gagah memasuki ka-bah untuk
menghancurkan patung-patung berhala yang saat itu memenuhi rumah Allah.
Alih-alih, nabi ini dengan sabar menepati perjanjian yang dibuat dengan kaum
kafir untuk tidak memasuki Mekah dalam jangka waktu tertentu.
Kelak,
manusia dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong berhaji ke Makkah
mengunjungi rumah yang didirikan Ibrahim. Kejujuran adalah karakter integral
dari Muhammad dan ia tidak menyampaikan dakwah kecuali sebatas yang diwahyukan.
Bahkan Tuhan pun menggunakan lisan sang Nabi ketika Dia berfirman, “Jika bukan
karena engkau Muhammad, Aku tidak akan menciptakan Adam.”
Muhammad
yang istiqomah (konsisten) menyampaikan ayat-ayat untuk tak melakukan
penyerangan secara verbal terhadap praktik-praktik pemujaan berhala. Secara
verbal saja dilarang, apalagi secara fisik. Kini perbuatan itu dinilai ekstrem,
dan tampaknya tidak perlu tafsir yang rumit bagi larangan di bawah ini,
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan
janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.”{Quran S Al An’am [6]: 108}.*
Penulis dan Freelance Journalist
Siapakah yang Radikal? Wahabi ataukah NU?
Saudaraku
sesama kaum muslimin, terlebih warga NU yang kami hormati…!
Sebelum kita jauh
menyelami artikel berikut atau rubrik-rubrik lain yang ada dalam situs ini, ada
baiknya kita semua berusaha untuk obyektif, berlapang dada, dan mau menerima nasihat.
Dengan
meninggalkan sikap fanatik buta, pembelaan yang berlebihan, atau sikap
meremehkan pihak lain. Karena itu semua sikap yang tercela, dan akan menjadi
penghalang datangnya kebenaran kepada kita.
Sehingga apa yang
tertulis dalam rubrik ini secara khusus atau dalam situs ini secara umum bagai
sebuah cermin yang dibawakan oleh seseorang untuk saudaranya, agar saudaranya
tersebut bisa berkaca, bisa melihat coreng-moreng yang ada diwajahnya, menyadarinya
dan berusaha untuk membersihkan coreng-moreng tersebut.
Sebelumnya kami
mohon maaf jika penggunaan kata-kata kami berikut ini tidak berkenan di hati
saudara-saudara, karena terpaksa kami menggunakannya.
Pada sebuah
kesempatan, Said Agil Siraj, seorang yang dianggap tokoh, dianggap seorang
cendekiawan muslim, apalagi dengan embel-embel gelar akademis Profesor Doktor
di depan namanya, demikian pula karena dia diposisikan sebagai “pemimpin” di
ormas NU,
sehingga menjadikan banyak orang yang terpesona dan tersamar dari hakikat yang
sebenarnya.
Dia pernah
memprovokasi umat Islam dengan mengaitkan dakwah Wahabi [1] dengan arogansi, teror, anarkis dan
radikalisme.
Bahkan menurut
logika sepintasnya, dalam ajaran Salafi Wahabi diajarkan benih-benih
radikalisme dan terorisme yang berujung pada doktrin pengeboman di berbagai
tempat.
Saudara-saudaraku
coba kita renungi…
Tentunya sangat
disayangkan, seorang yang dianggap tokoh dan diposisikan sebagai pemimpin
“ormas Islam yang katanya terbesar di dunia (NU)”,
mengeluarkan statement yang sangat berbahaya dan menyesatkan umat.
Umat yang banyak
tidak memahami akar permasalahan, umat yang senantiasa hanya mengikut
(membebek) kepada tokoh-tokoh mereka, umat yang hampir tidak pernah mendapatkan
pencerahan, umat yang senantiasa dididik untuk taklid buta dan fanatisme pada
kelompoknya, menjadi korban dari komentar yang arogan ini.
Ibarat kata
pepatah: “Semut di seberang lautan tampak jelas
kelihatan, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.”
Menuduh
pihak-pihak lain sebagai kelompok yang arogan, penebar teror, anarkis dan
radikal. Namun bersamaan dengan itu menutup mata dari borok-borok kelompoknya
sendiri.
Sebelum kita
melanjutkan, ada baiknya kita melihat beberapa definisi berikut ini:
Bila dilihat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Arogansi“ bermakna : mempunyai sikap
superioritas, yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah
(sombong).
Masih dalam KBBI,
“Teror“ bermakna sebuah usaha untuk
menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. “Meneror” adalah berbuat
kejam (sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa ngeri dan takut.
Adapun “Anarkis“, dalam
KBBI bermakna : orang yang melakukan tindakan anarki (kekacauan) di suatu
negara.
Sedangkan “Radikalisme“ dalam
KBBI bermakna : paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis.
Sehingga tercakup
dalam pembahasan ini semua upaya yang dilakukan oleh seseorang atau golongan,
untuk menciptakan rasa ketakutan, dan kengerian. Atau untuk menimbulkan
kekacauan di suatu negara dalam upaya melakukan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik yang drastis, meskipun harus dilakukan dengan cara kekerasan
dan kekejaman (sewenang-wenang). Yang ini semua bermuara pada sikap
superioritas, merasa paling mayoritas, merasa paling benar, merasa paling
berkuasa, merasa paling hebat, sombong dan semisalnya.
Termasuk dalam
kategori di atas adalah teror yang berupa statement-statement, orasi, ceramah,
ancaman-ancaman, intimidasi, demonstrasi, pengerahan massa, sikap politik,
pendudukan sebuah tempat, pengrusakan, pembakaran, penculikan, atau bahkan
pembunuhan, dalam rangka memuluskan tujuan yang dikehendakinya.
Dengan mengetahui
definisi diatas, disadari atau tidak, suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang, namun dari realita yang ada kita akan melihat dan mendapati arogansi,
teror, anarkis dan radikalisme yang dilakukan oleh kelompok NU, ormas-ormas yang berafiliasi
pada NU,
tokoh-tokoh NU,
dan para warga NU.
———————————–
[1] (Kami meminjam istilah mereka, meski sebenarnya
istilah ini tidak benar)
Standar Ganda NU Dalam Bertoleransi
Saudara-saudaraku
kaum muslimin dimanapun anda berada, semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan
hidayah dan taufiq – Nya kepada kita semua…..
Masih terkait
peristiwa “Sidotopo Bergejolak”, tentunya
saudara-saudara semua masih ingat dengan ultimatum (baca: ancaman) dari warga Nahdiyin yang mereka tuangkan dalam sebuah
tulisan dan tidak segan-segan mereka pampang didepan khalayak ramai.
Untuk membantu
saudara-saudara ada baiknya kembali kita baca bersama, tertulis dalam spanduk
tersebut:
“Kami
Warga Nahdiyin Sepakat Tidak Ada Kata Damai Dengan
STAI Ali bin Abi Thalib [1] & Bersikeras TUTUP/DIBUBARKAN”.
Didalamnya
tertulis kalimat
“Tidak
Ada Kata Damai”.
Apa
yang terbersit dalam benak saudara?
Yang
tersirat dalam kalimat tersebut adalah warga Nahdiyin telah bersepakat untuk tidak berdamai
dengan seterunya. Dengan kata lain, warga NU sudah menutup pintu damai bagi “musuh” mereka, yang tersisa adalah dua pilihan
yang sama pahitnya:
1. “Tutup” secara sukarela
atau
2.
“Dibubarkan” dengan “kekuatan” yang mereka miliki.
Bagai
makan buah Si Malakama.
Sekarang
pertanyaannya.
Siapakah
seteru kaum NU tersebut?
Kaum
zindik?
Dari
kalangan Syi’ah atau Ahmadiyah?
Atau
dari kalangan orang kafir semisal Budha, Hindu, Kristen, Yahudi, atau Konghucu?
Teliti
punya teliti, rupanya rival NU tersebut adalah kaum “Wahabi”.
Sementara sumber permasalahan yang menjadi pemicu adalah ritual Maulid Nabi,
perayaan Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan yang semakna dengan ini.
Apakah
sudah sedemikian dahsyatnya “penyimpangan” yang dilakukan oleh
saudara-saudara kita dari kaum Wahabi tersebut?
Apakah
tidak ada batas toleransi bagi mereka?
Mengapa
disatu kutub, saudara-saudara kami warga Nahdiyin rela do’a bersama dengan tuhan yang
berbeda, menghadiri natal bersama, bahkan ribuan
Pasukan Penjaga Ulama (baca:
Banser) dengan sangat disiplinnya menjaga
gereja-gereja mereka ketika perayaan Natal berlangsung.
Bahkan Gus Dur yang begitu dielu-elukan oleh kaum Nahdiyin dan dianggap sebagai wali ke 10, yang
jejak kesesatannya diikuti oleh anak keturunannya, dia sangat bertoleransi dan
mati-matian membela sekelompok kaum, yang mereka meyakini ada nabi baru setelah
wafatnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam (Ahmadiyah).
Ini
adalah sebuah kesesatan yang berpijak pada kesesatan pula.
Atau
kita bisa melihat begitu toleransinya warga NU dengan anak-anak muda mereka yang telah
terjangkit penyakitSEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme). Mereka tumbuh subur dan berkembang ditengah-tengah tubuh
tambun NU. Sambil terus menyebarkan racun dan
bisa ke tengah-tengah umat. Seandainya bisa dan racun syubhatmereka
bisa dijadikan rudal, niscaya gunung pun akan hancur berkeping-keping karena dahsyatnya kesesatan pemikiran mereka.
Demikian
juga mereka bisa bersabar dengan orang-orang yang diposisikan sebagai tokoh dikalangan mereka, meskipunmemiliki pemikiran yang menyimpang, semisal Sa’id Aqil Siradj yang terus menghembuskan pemikiran Syi’ah nya, yaituorang-orang yang melaknat dan mengkafirkan mayoritas Sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Padahal mereka telah dijamin Surga oleh
Allah Azza Wa Jalla dan
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam.
Sedang
di kutub yang lainnya, tidak ada kata damai, tidak ada toleransi, tidak ada maaf dan seterusnya untuk kaum Wahabi.
Apakah
kaum Wahabi lebih menyimpang, lebih sesat dan lebih zindik dari Syi’ah atau
Ahmadiyah?
Atau
mungkin kaum Wahabi lebih kafir dari Kristen dan Yahudi?
Kita berlindung
kepada Allah dari kesesatan ini. Mudah-mudahan dengan tulisan yang ringkas
ini bisa menggugah kesadaran saudara-saudaraku kaum muslimin, terkhusus warga Nahdiyin (NU) yang masih bersih
hatinya, suci pikirannya, agar bisa lebih obyektif, adil, arif dan bijaksana
dalam menilai dan menyikapi setiap permasalahan, Amin.
Ambillah
pelajaran wahai orang yang berakal ….
Karena
demikianlah perintah Allah ta’ala kepada kita semua:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي
الْأَبْصَارِ ﴿٢﴾
“Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang
berfikir.” (Al-Hasyr: 2)
——————————-
[1]
Meskipun terdapat beberapa catatan
tersendiri untuk STAI Ali bin Abi Thalib dan
kelompok mereka. Dan tulisan
ini bukan dalam rangka membela STAI Ali bin Abi Thalib dan kelompok-kelompok
yang setipe dengannya. Hanya saja karena kita menyayangkan sikap arogan dan
tindakan anarkis yang dilakukan oleh warga NU dan tokoh-tokohnya.
Ingin
Bubarkan Acara HTI, GP Ansor-Banser Jember Bentrok dan Dibubarkan Paksa Polisi
Ratusan massa Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Barisan
Serba Guna (Banser) Jember, Jawa Timur yang ingin membubarkan pertemuaan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Ahad (1/5/2016) di gedung New Sari Utama terlibat
bentrok dengan aparat kepolisian.
Massa GP Ansor dan Banser berupaya memaksa masuk ke
lokasi pertemuan HTI namun dihadang oleh polisi. Sempat terjadi baku pukul
antara massa GP Ansor dan Banser dengan personil kepolisian.
Bentrok dapat dilerai setelah Kapolres Jember AKBP
Sabilul Alif turun tangan dan membubarkan paksa massa GP Ansor dan Banser.
GP Ansor menolak HTI karena dinilai antipemerintah dan
tidak mengakui NKRI, bahkan menolak Pancasila. Karenanya, kegiatan tersebut
harus dihentikan. (Baca juga: GP Ansor Tolak
Kampanye Khilafah, HTI: Menolak Khilafah Sama Saja Menolak Islam).
"Kami terjunkan 400 anggota Banser dan Ansor
untuk mengawal kedaulatan negara," kata Komandan Banser Jember, Lutfi
Alif, Komandan Banser Jember seperti dikutip Detik.
"Di Jember, mayoritas ormas Islam adalah yang menjunjung tinggi keutuhan NKRI. Sedangkan gerakan HTI ini adalah ancaman serius bagi negara Indonesia ini," ujar Lutfi.* [Syaf/voa-islam.com]
http://www.voa-islam.id./read/politik-indonesia/2016/05/01/43795/ingin-bubarkan-acara-hti-gp-ansorbanser-jember-bentrok-dan-dibubarkan-paksa-polisi/#sthash.FEAn4xG6.wlG16Tkz.dpbs"Di Jember, mayoritas ormas Islam adalah yang menjunjung tinggi keutuhan NKRI. Sedangkan gerakan HTI ini adalah ancaman serius bagi negara Indonesia ini," ujar Lutfi.* [Syaf/voa-islam.com]
Benarkah HTI Melanggar Konstitusi, Maka Boleh Dibubarkan?
( kita setuju manhaj HTI tidak sesuai dengan manhaj salafus shalih, ada penyimpangan )