Raja Salman Ancam
Obama Akan Hancurkan Ekonomi Amerika
Senin,
18 April 2016
Kerajaan
Arab Saudi mengancam akan menghancurkan ekonomi Amerika dengan melepas ratusan
miliar dolar AS aset-aset Saudi di Amerika jika pemerintahan Barack Obama
meloloskan sebuah RUU yang memungkinkan Arab Saudi diminta bertanggung jawab
atas serangan 11 September 2001.
Ancaman Saudi ini bukanlah main-main, Raja Salman melalui
menteri Luar Negerinya Adel Al Jubeir menitipkan pesan ini saat kunjungannya ke
Washington bulan lalu. Juberi menyampaikan dihadapan legislator AS bahwa Arab
Saudi akan melepas US$ 750 miliar aset mereka dalam bentuk surat-surat berharga
di AS sebelum aset itu dibekukan oleh pengadilan AS.
The New York Times edisi ahad (117/4/2016), menyebutkan
bahwa setelah mendapat ancaman dari Saudi, presiden Obama sangat panik, nampak
terlihat dari langkah yang ditempuh dengan langsung melakukan upaya lobi kepada
konggres Amerika agar membatalkan RUU tersebut. Ancaman Saudi ini menjadi
bahasan utama DPR dan pejabat dari Departemen Luar Negeri dan Pentagon.
Pemerintah Amerika memperingatkan para anggota DPR bahwa ekonomi Amerika akan
hancur jika Saudi merealisasikan ancamanya.
Untuk merespon ancaman Saudi ini, Obama secara khusus akan
berkunjung ke Riyadh pada hari Rabu (20/4/2016) untuk bertemu Raja Salman dan
pejabat Saudi lainnya.
Sementara pihak kerajaan Saudi menegaskan bahwa Saudi tidak
terlibat sama sekali dengan serangan 11 September 2001. Komisi 9/11 juga tidak
menemukan bukti keterkaitan pemerintah Arab Saudi, baik sebagai lembaga atau
individu pejabat kerajaan Saudi.[islamedia/mh]
Arab Saudi : Masa lalu yang
baik dengan Washington telah hilang dan tidak akan pernah kembali
Mantan
kepala intelijen Saudi Pangeran Turki Al-Faisal mengatakan bahwa hubungan
antara kerajaan dan AS telah berubah dan tidak akan pernah kembali seperti dulu
lagi.
“Sedang berlangsung kalibrasi ulang
hubungan kita dengan Amerika – seberapa jauh kita bisa
meninggalkan ketergantungan kita pada Amerika. Berapa banyak kita bisa
mengandalkan kekuatan pimpinan Amerika. Apa ada manfaat jika kami
masih bersama, “pangeran, yang juga menjabat sebagai duta negaranya di
Washington, mengatakan kepada jurnalis CNN, Christiane Amanpour, Rabu.
“Dan
saya tidak berpikir bahwa kita bisa mengharapkan presiden baru di Amerika bisa
mengembalikan, seperti yang saya katakan, hari-hari di masa lampau ketika
segala hal berbeda,” tambah Al-Faisal.
Pangeran membuat pernyataan saat Presiden
AS Barack Obama mengunjungi negara Teluk di mana ia bertemu dengan Raja Saudi
Salman Bin Abdulaziz.
Masa jabatan kedua Obama sebagai presiden
telah menyaksikan beberapa perbedaan pendapat dengan negara Teluk termasuk
penolakannya untuk menggunakan kekuatan militer terhadap rezim Assad di Suriah,
dan akhirnya adanya kesepakatan nuklir dengan rival sektarian dan
politik Arab Saudi, Iran.
Middle East Monitor
Mengapa Saudi membuat Obama
merasa tak diinginkan ?
Ketika
Presiden AS Barack Obama tiba di Riyadh pada hari Rabu dalam kunjungan resmi ke
Arab, ia melangkah keluar dari pesawat dan ke karpet merah, sangat mungkin
mengharapkan untuk disambut oleh Raja Salman, atau pejabat tinggi bangsawan;
bukannya disambut oleh Gubernur Riyadh dan pejabat tingkat lainnya yang lebih
rendah. Hal ini dianggap sebagai tanda dari Saudi ke seluruh dunia bahwa
kebijakan Obama tidak disambut di Arab dan seluruh GCC.
Sebelum kedatangannya, sudah jelas bahwa
ketegangan yang telah meningkat selama tahun lalu dan terlihat jelas
selama kunjungan Obama. Penyelesaian kesepakatan Iran adalah salah satu pukulan
terbesar untuk Arab. Setelah kesepakatan itu ditandatangani, Menteri Luar
Negeri Saudi Adel Al-Jubeir mengatakan bahwa ia “sangat prihatin” dan percaya
bahwa sebagian besar negara “tidak baik-baik saja dengan kesepakatan Iran”.
Menambahkan bahwa ia yakin Iran akan menggunakan uang ekstra untuk
mendanai “kegiatan keji mereka.” Al-Jubeir jelas mengisyaratkan
sikap resmi Saudi pada kesepakatan ini menyatakan bahwa itu adalah ancaman
bagi keamanan nasional mereka dan bahwa Obama mengorbankan keamanan di kawasan
itu.
Suriah
adalah masalah lain yang telah menjadi platform untuk perbedaan pendapat bagi
kedua belah pihak. Titik fokus yang intrinsik didefinisikan dengan kebijakan
pemerintahan Obama atas Suriah yang terjadi sebelum Raja Salman berkuasa. Pada
bulan Agustus tahun 2013, sembilan hari setelah pebantaian dengan senjata kimia
di Ghouta, Obama menyatakan bahwa AS menolak untuk meluncurkan serangan udara
di Damaskus untuk menjatuhkan rezim Assad. Sejak saat itu, sudah jelas
bahwa Obama tidak bersedia untuk menyingkirkan diktator Suriah Bashar Al-Assad,
sehingga membuat kebijakan AS tidak sesuai dengan kebijakan Arab – terutama
setelah Raja Salman naik tahta.
Selama setahun Raja Salman berkuasa,
daripada meminta bantuan Amerika untuk masalah Suriah, ia telah memutuskan
untuk mengambil alih sendiri masalah dengan regionalising konflik
sebagai gantinya. September lalu, Arab Saudi dan Turki mengancam akan mengambil
tindakan militer di Suriah, dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada ruang
untuk Assad di masa depan Suriah. Pada bulan Desember, Saudi membentuk aliansi
militer Muslim terdiri dari 34 negara Muslim Sunni. Pada bulan Februari, ada
kekhawatiran dalam NATO bahwa Arab, bersama dengan Turki, dapat meningkatkan
aksi militer independen di Suriah untuk menyeimbangkan kekuatan Timur Tengah.
Sebuah aksi independen
serupa terjadi pada bulan Maret tahun lalu ketika Saudi membentuk koalisi
untuk intervensi militer di Yaman. Tidak hanya dilakuakn tanpa
persetujuan AS, koalisi Saudi melakukannya tanpa memberitahu AS. Ketua Senat
Republik Komite Angkatan Bersenjata, John McCain, mengatakan: “Negara-negara
ini, dipimpin oleh Arab Saudi, tidak memberitahukan kami juga
tanpa koordinasi dengan kami atau meminta bantuan kami dalam upaya ini …
karena mereka percaya kita berpihak dengan Iran.” Faktanya bahwa ini terjadi
bebrapa hari setelah tepat dua bulan Raja Salman naik tahta, menunjukkan
bahwa ia sudah mengambil keputusan menentang pemerintahan Obama.
Obama sendiri menunjukkan ketidakcocokan
langsung kepada pemerintahan Saudi. Pada November tahun lalu, Obama
bertemu dengan Perdana Menteri Australia Malcom Turnball dalam sebuah acara
pertemuan santai. Ketika Turnball bertanya kepada presiden Amerika apakah
Saudi adalah teman bagi AS, Obama tersenyum dan berkata “Itu rumit.” Ketika
ditanya tentang bangkitnya ekstremisme di Indonesia, Obama tidak menghindar
untuk langsung menyalahkan Saudi. Dia mengatakan pada Turnball bahwa
munculnya ekstrimisme adalah karena Saudi dan negara-negara GCC lainnya
mendanai sekolah yang mengajarkan ekstrimisme dan ideologi yang ia percaya
sesuai dengan monarki Saudi.
Selama tahun lalu, Raja Salman
melakukan banyak usaha dalam membuat perbedaan kebijakan dari
pendahulunya. Raja Salman tidak mau Saudi dilihat sebagai kekuatan regional
belaka – ia ingin membawa monarki dan negaranya ke panggung internasional
sebagai penantang sepenuhnya atas otonom struktur kekuasaan unipolar global.
Dengan kebijakan pada tindakan politik dan militer yang menjadi lebih mandiri,
bersama dengan sikap secara terbuka yang
menunjukkan penentangan atas doktrin pemerintahan Obama di Timur
Tengah, jelas bahwa Saudi di bawah Raja Salman tidak akan berkompromi dengan
apa yang mereka yakini akan menjadi ancaman bagi keamanan mereka, atau hegemoni
mereka.
Diana Alghoul ~ Middle East Monitor