Saturday, June 4, 2016

Semakin Jelas Hakekat Perang Di Suriah Antara Sunni Dengan Alawi!

Hasil gambar untuk tartus port

DENTUMAN musik bergema di sejumlah bar yang berjajar di sepanjang pantai Kota Tartus, Suriah, pada suatu Minggu, beberapa pekan lalu. Kepulan asapshisha dan canda tawa beberapa pasang kekasih meningkahi suasana santai sore itu.
Kota di pesisir Laut Mediterania tersebut, ironisnya, hanya berjarak 96 km dari Homs, kota yang telah porak-poranda akibat pertempuran antara militer Suriah dan oposisi. Kondisi tersebut menjadikan Tartus semacam tempat pengungsian bagi kaum Alawi. Menurut berbagai pengamat, sejak konflik Suriah bereskalasi, ribuan orang Alawi telah meninggalkan rumah mereka di kota-kota yang dilanda pertikaian, semisal Aleppo serta Homs, dan hijrah ke kota-kota kaum Alawi, seperti Tartus dan Latakia.
Konsekuensinya, menurut para agen realestat, menemukan apartemen di Tartus yang populasinya membengkak dari 900 ribu jiwa ke 1,2 juta jiwa hanya dalam beberapa bulan terakhir, saat ini merupakan kemujuran belaka.
Majed, seorang Alawi yang delapan bulan silam meninggalkan pekerjaannya di Homs dan hijrah ke Tartus, ialah salah satu yang mujur. Ketimbang rekan-rekan senegaranya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di perbatasan Turki dan Libanon, pria berusia 30 tahun itu mampu kembali menata kehidupannya dengan bekerja sebagai salesman telekomunikasi. “Semua orang berpikir kami membela rezim dan pemerintah, tapi oposisi tidak memberikan kami pilihan kecuali kabur ke pesisir. Di sini saya bahkan tidak merasa berada di Timur Tengah, saya merasa sangat aman,” ujarnya.
Komentar senada diutarakan Fayez, 35, seorang Alawi yang berbisnis ekspor-impor. Sama seperti Majed, Fayez melarikan diri dari Homs tahun lalu setelah kelompok oposisi Tentara Pembebasan Suriah (FSA) menculik sepupunya dan menulis ‘hengkang’ di pintu rumahnya. “Kini Tartus adalah rumah baru saya. Saya tidak berniat untuk pergi,” imbuhnya.
Kawasan pesisir sepanjang Latakia hingga Tartus secara tradisional merupakan kampung halaman kaum Alawi. Ketika orang-orang Alawi di Damaskus ditanya mengenai asal mereka, tidak jarang mereka mengatakan, “Damaskus adalah maskan saya, kediaman saya. Namun, Latakia adalah ma’man saya.” Jika diterjemahkan secara harfiah, ma’man berarti rumah. Namun, makna kata itu berakar dari kata ‘keamanan’. Dengan begitu,ma’man berarti ‘tempat saya merasa aman’.
Negara Alawi
Perang sektarian yang merebak antara Alawi dan Sunni mencuatkan gagasan mengenai pembentukan kembali enklave Alawi. Seusai Perang Dunia I, Prancis yang menjajah sebagian Timur Tengah menciptakan otorita khusus Alawi atau Alaouite pada 1920. Otorita itu meliputi kawasan pesisir dari Latakia hingga Tartus.
Tatkala negara Suriah terbentuk pada 1925 dari gabungan otorita Damaskus dan Aleppo, otorita Alawi tidak turut menyatu. Kaum Alawi baru bergabung ke negara Suriah pada 1936 atau enam tahun setelah otorita Alawi menjadi teritori pemerintahan Latakia.
Menurut Firas Abi Ali, analis dari lembaga konsultan Exclusive Analysis di London, Inggris, gagasan pembentukan negara Alawi sulit diwujudkan. Kota-kota yang bersandar pada bisnis ekspor-impor, seperti Tartus dan Latakia, akan lumpuh mengingat para pedagang bakal mengalami kesulitan dalam menembus perbatasan guna menyalurkan dagangan mereka ke Kota Damaskus dan Aleppo. Lepas dari ekspor-impor, kata Abi Ali, sektor pariwisata dan pertanian tidak sanggup menopang ekonomi negara Alawi.
Joshua Landis, Direktur Center for Middle East Studies di University of Oklahoma, Amerika Serikat, juga skeptis dengan ide pembentukan negara Alawi. “Keluarga Al-Assad tidak pernah meletakkan fondasi pembangunan negara Alawi. Tidak ada infrastruktur nasional di kawasan pesisir untuk menyokong keberadaan negara.
Tidak ada bandara internasional, tidak ada pembangkit listrik, dan tidak ada industri yang bisa diandalkan. Intinya, tidak ada sesuatu hal yang bisa membangun ekonomi nasional,” jelasnya.
Faktor-faktor tersebut membuat para elite politik dan militer Suriah tidak melihat opsi lain, kecuali mempertahankan negara kesatuan. Namun, lantaran kaum Sunni berkeras menumbangkan Presiden Bashar al-Assad, sedangkan kekuatan berada di pihak Alawi, kecil kemungkinan pertumpahan darah bisa dihindari.
“Jika Al-Assad lengser besok pagi, perang di Suriah tidak akan berakhir, inti kekuatan Alawi akan terus bertempur. Pasukan konvensional memang akan melemah mengingat kekuatan berpusat di kantor kepresidenan. Namun, persenjataan militer sangat lengkap dan dilengkapi tank, pasukan khusus, serta pesawat,” tutur Abi Ali.
Skenario paling mungkin, tambahnya, pasukan oposisi akan berkonsentrasi di Dara’a, Deir al-Zour, jalur Homs-Idlib, dan daerah perdesaan di sekitar Aleppo serta Damaskus. Di lain hal, militer akan terus mempertahankan Aleppo, Damaskus, dan kawasan pesisir. Abi Ali melanjutkan, pertikaian lambat laun akan berkembang menjadi pertempuran konvensional dan kaum Alawi bakal terus menyingkir ke kawasan pesisir.
Analisis tersebut rupanya membuat Majed membulatkan tekadnya. “Memang benar tiada faktor-faktor yang tepat untuk mendirikan negara baru. Tapi, pesisir Suriah merupakan pusat dari kaum (Alawi). Jika perang berlanjut di Suriah, saya akan mendukung pemisahan. Sudah cukup pertumpahan darah,” tegasnya. (Reuters/AP/Foreign Affairs/Jer/I-2)
sumber :