DENTUMANÂ musik bergema di sejumlah bar
yang berjajar di sepanjang pantai Kota Tartus, Suriah, pada suatu Minggu,
beberapa pekan lalu. Kepulan asapshisha dan canda tawa beberapa pasang
kekasih meningkahi suasana santai sore itu.
Kota di pesisir Laut Mediterania tersebut, ironisnya,
hanya berjarak 96 km dari Homs, kota yang telah porak-poranda akibat
pertempuran antara militer Suriah dan oposisi. Kondisi tersebut menjadikan
Tartus semacam tempat pengungsian bagi kaum Alawi. Menurut berbagai pengamat,
sejak konflik Suriah bereskalasi, ribuan orang Alawi telah meninggalkan rumah
mereka di kota-kota yang dilanda pertikaian, semisal Aleppo serta Homs, dan
hijrah ke kota-kota kaum Alawi, seperti Tartus dan Latakia.
Konsekuensinya, menurut para agen realestat, menemukan
apartemen di Tartus yang populasinya membengkak dari 900 ribu jiwa ke 1,2 juta
jiwa hanya dalam beberapa bulan terakhir, saat ini merupakan kemujuran belaka.
Majed, seorang Alawi yang delapan bulan silam
meninggalkan pekerjaannya di Homs dan hijrah ke Tartus, ialah salah satu yang
mujur. Ketimbang rekan-rekan senegaranya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian
di perbatasan Turki dan Libanon, pria berusia 30 tahun itu mampu kembali menata
kehidupannya dengan bekerja sebagai salesman telekomunikasi. “Semua orang berpikir kami
membela rezim dan pemerintah, tapi oposisi tidak memberikan kami pilihan
kecuali kabur ke pesisir. Di sini saya bahkan tidak merasa berada di Timur
Tengah, saya merasa sangat aman,” ujarnya.
Komentar senada diutarakan Fayez, 35, seorang Alawi
yang berbisnis ekspor-impor. Sama seperti Majed, Fayez melarikan diri dari Homs
tahun lalu setelah kelompok oposisi Tentara Pembebasan Suriah (FSA) menculik sepupunya
dan menulis ‘hengkang’ di pintu rumahnya. “Kini Tartus adalah rumah baru saya.
Saya tidak berniat untuk pergi,” imbuhnya.
Kawasan pesisir sepanjang Latakia hingga Tartus secara
tradisional merupakan kampung halaman kaum Alawi. Ketika orang-orang Alawi di
Damaskus ditanya mengenai asal mereka, tidak jarang mereka mengatakan,
“Damaskus adalah maskan saya, kediaman saya. Namun, Latakia
adalah ma’man saya.” Jika diterjemahkan secara
harfiah, ma’man berarti rumah. Namun, makna kata itu berakar dari
kata ‘keamanan’. Dengan begitu,ma’man berarti ‘tempat saya merasa aman’.
Negara Alawi
Perang sektarian yang merebak antara Alawi dan Sunni
mencuatkan gagasan mengenai pembentukan kembali enklave Alawi. Seusai Perang
Dunia I, Prancis yang menjajah sebagian Timur Tengah menciptakan otorita khusus
Alawi atau Alaouite pada 1920. Otorita itu meliputi kawasan pesisir dari
Latakia hingga Tartus.
Tatkala negara Suriah terbentuk pada 1925 dari
gabungan otorita Damaskus dan Aleppo, otorita Alawi tidak turut menyatu. Kaum
Alawi baru bergabung ke negara Suriah pada 1936 atau enam tahun setelah otorita
Alawi menjadi teritori pemerintahan Latakia.
Menurut Firas Abi Ali, analis dari lembaga konsultan
Exclusive Analysis di London, Inggris, gagasan pembentukan negara Alawi sulit
diwujudkan. Kota-kota yang bersandar pada bisnis ekspor-impor, seperti Tartus
dan Latakia, akan lumpuh mengingat para pedagang bakal mengalami kesulitan
dalam menembus perbatasan guna menyalurkan dagangan mereka ke Kota Damaskus dan
Aleppo. Lepas dari ekspor-impor, kata Abi Ali, sektor pariwisata dan pertanian
tidak sanggup menopang ekonomi negara Alawi.
Joshua Landis, Direktur Center for Middle East Studies
di University of Oklahoma, Amerika Serikat, juga skeptis dengan ide pembentukan
negara Alawi. “Keluarga Al-Assad tidak pernah meletakkan fondasi pembangunan
negara Alawi. Tidak ada infrastruktur nasional di kawasan pesisir untuk
menyokong keberadaan negara.
Tidak ada bandara internasional, tidak ada pembangkit
listrik, dan tidak ada industri yang bisa diandalkan. Intinya, tidak ada
sesuatu hal yang bisa membangun ekonomi nasional,” jelasnya.
Faktor-faktor tersebut membuat para elite politik dan
militer Suriah tidak melihat opsi lain, kecuali mempertahankan negara kesatuan.
Namun, lantaran kaum Sunni berkeras menumbangkan Presiden Bashar al-Assad,
sedangkan kekuatan berada di pihak Alawi, kecil kemungkinan pertumpahan darah
bisa dihindari.
“Jika Al-Assad lengser besok pagi, perang di Suriah
tidak akan berakhir, inti kekuatan Alawi akan terus bertempur. Pasukan
konvensional memang akan melemah mengingat kekuatan berpusat di kantor
kepresidenan. Namun, persenjataan militer sangat lengkap dan dilengkapi tank,
pasukan khusus, serta pesawat,” tutur Abi Ali.
Skenario paling mungkin, tambahnya, pasukan oposisi
akan berkonsentrasi di Dara’a, Deir al-Zour, jalur Homs-Idlib, dan daerah
perdesaan di sekitar Aleppo serta Damaskus. Di lain hal, militer akan terus
mempertahankan Aleppo, Damaskus, dan kawasan pesisir. Abi Ali melanjutkan,
pertikaian lambat laun akan berkembang menjadi pertempuran konvensional dan
kaum Alawi bakal terus menyingkir ke kawasan pesisir.
Analisis tersebut rupanya membuat Majed membulatkan
tekadnya. “Memang benar tiada faktor-faktor yang tepat untuk mendirikan negara
baru. Tapi, pesisir Suriah merupakan pusat dari kaum (Alawi). Jika perang
berlanjut di Suriah, saya akan mendukung pemisahan. Sudah cukup pertumpahan
darah,” tegasnya. (Reuters/AP/Foreign Affairs/Jer/I-2)
sumber :