وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (١) الَّذِي جَمَعَ مَالا
وَعَدَّدَهُ (٢) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (٣) كَلا لَيُنْبَذَنَّ فِي
الْحُطَمَةِ (٤)
(1).
Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela (2). yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya (3). dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat
mengkekalkannya (4). Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam
(neraka) Huthamah
Sebuah foto yang membuat
geger jagad dunia maya khususnya Facebook beredar akhir-akhir ini. Terlihat
dalam foto tersebut, beberapa orang pria yang mengalami lumpuh namun
mereka tetap memaksakan diri untuk shalat berjamaah di masjid.
Dalam foto ini terlihat tiga
orang pria limpuh. Dua orang sedang duduk di kursi roda, sedangkan satu orang
lagi menggunakan alat bantu untuk mnopang dirinya supaya bisa melaksanakan
shalat sambil tengkurap.
Belum diketahui secara
pasti lokasi ketiga pria dalam foto ini. Namun yang pasti, kejadian ini membuat
sejumlah pengguna Facebook terharu, malu, dan kagum dengan sosok pria lumpuh
tersebut. Mereka memiliki fisik tak sempurna, namun hal itu tidak menjadikan
sebuah alasan untuk beribadah kepadaNya.
“Malu diri ini ya Allah melihat kesungguhan mereka…”
Ujar akun bernama Faqih.
“MashaaAllah… Mereka memiliki Iman yang sangat kuat,
sehingga membuatnya ringan untuk memenuhi panggilanNya.” Sahut
sebuah akun bernama Rizki Kurniawan.
“Jika imannya sudah kuat, halangan sebesar apapun tidak ada
artinya.. Patut kita tiru semangatnya.. Semoga bisa.” Komentar
sebuah akun bernama Malaika Khadija.
Sementara itu, para pengguna
Facebook lainnya menyebut jika foto tersebut menjadi pukulan telak dan
pelajaran untuk seluruh muslim yang ada di dunia. Foto ini mengajarkan kita
untuk lebih semangat menjalan ibadah, terutama shalat yang merupakan ibadah
wajib.
“Cukup menyedihkan dengan kaum muslimin saat ini. Banyak dari
kita yang sehat namun menyia-nyiakan nikmat sehat itu untuk
meninggalkan sholat.” Ungkap akun milik Reza Apriliandi.
“Betapa banyak orang di luar sana yang menyibukkan diri dengan
pekerjaan dan aktivitasnya sehingga menghiraukan kumandang Adzan.
Mereka terlena dengan kehidupan dunia dan melalaikan untuk melaksanakan
kewajiban sebagai seorang muslim,” tulis akun lainnya milik Rahma
Rahmawati.
Mereka memiliki fisik yang
tidak sempurna, namun tetap ingin shalat berjamaah di masjid. Semoga Allah
membalas segala pengorbanan yang dilakukan dan segera mengangkat penyakitnya.Allahumma Aamiin. Lantas, apa
alasan kita yang masih sehat untuk tidak shalat berjamaah di masjid?*/qolbunhadi.com
***
Bagaimana dengan kita?
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ ، فَلاَ
صَلاَةَ لَهُ ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.(رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ,
وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ, وَإِسْنَادُهُ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ صحيح مرفوعا
عن ابن عباس)
“Barangsiapa yang mendengar adzan namun ia tidak
memenuhi panggilan tersebut (tidak datang ke masjid), maka tidak ada shalat
baginya kecuali adaudzur.”
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Ibnu Hibban,
Al-Hakim, sanadnya shahih atas syarat Muslim, dari sahabat Ibnu ‘Abbas,
shahih).
Lihatlah, meskipun masjidnya sudah runtuh tapi mereka
saudara-saudara kita di Gaza tetap mendirikan sholat di masjid dan berjamaah.
Bagaimana dengan kita?
Silahkan di share…. dari FB ghirah Islam
Thalhah bin Ubaidillah: Raja infak meski
tangannya lumpuh
Musa bin Thalhah bin Ubaidillah
mengisahkan bahwa harta kekayaan hasil perdagangan ayahnya, Thalhah bin
Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, baru saja datang dari negeri Hadramaut, Yaman.
Jumlah harta tersebut sangat besar, 700.000 dirham, setara dengan 70.000 dinar
atau sekitar 29, 75 kilogram emas. Angka yang sangat besar, karena Thalhah bin
Ubaidillah saat itu adalah salah seorang milyader sahabat di Madinah.
Bukannya gembira dan tentram hatinya,
Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu pada malam itu justru kebingungan.
Semalaman ia membolak-balikkan badannya di atas ranjang, tanpa sedikit pun bisa
tertidur. Ia sama sekali tidak khawatir ada perampok akan menyatroni rumahnya.
Bukan itu yang dikhawatirkannya. Ia tengah memikirkan hal lain.
“Apa persangkaan seorang hamba kepada
Rabbnya, jika di waktu malam ia tidur sementara di dalam rumahnya ada harta
sebanyak ini?” kata Thalhah.
Beruntung Thalhah memiliki seorang istri
yang shalihah, ahli ibadah dan zuhud. Ia adalah Ummu Kultsum binti Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Istrinya memberikan saran yang baik kepada suaminya.
“Mana kepedulian Anda kepada sebagian
kawan-kawan dekat Anda? Jika waktu pagi telah tiba, siapkanlah nampan dan
piring-piring kecil sebagai wadah harta tersebut, lalu bagikanlah harta itu kepada
kawan-kawan dekat Anda!”
Thalhah tersenyum gembira dengan usulan
istrinya. Katanya, “Engkau memang wanita yang mendapat taufik, putri dari orang
yang mendapat taufik.”
Pada keesokan harinya Thalhah pun
menempatkan harta tersebut dalam nampan dan piring-piring kecil. Ia membagikan
setiap piring kecil yang berisi uang dalam jumlah besar kepada para sahabat
dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Adapun sebagian kawan dekat beliau diberi
jumlah yang lebih besar dalam nampan. Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang
yang mendapatkan jatah satu nampan.
Ketika acara pembagian harta kepada kaum
Muhajirin dan Anshar hampir selesai, Ummu Kutsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq
mendatangi suaminya.
“Wahai Abu Muhammad! Tidakkah kita
sendiri juga mendapat jatah dari pembagian harta ini?” tanyanya mengingatkan
suaminya.
Hampir saja Thalhah bin Ubaidillah
terlupa untuk menyisakan sebagian harta tersebut bagi keperluan keluarganya
sendiri.
“Wah, dimana saja engkau sejak tadi pagi?
Untukmu adalah bagian yang masih tersisa,” jawab Thalhah.
Ummu Kutsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq
bercerita, “Ternyata yang tersisa adalah sebuah kantung yang berisi uang
sekitar 1000 dirham.”
Seribu dirham adalah senilai dengan 100
dinar, yaitu sekitar 500 gram emas. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’,
1/30-31)
Subhanallah, masya Allah….
Nama lengkap sahabat yang mulia ini
adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim
bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. Nama panggilannya Abu Muhammad. Marganya adalah
Bani Taim. Sukunya adalah suku Quraisy. Abu Muhammad Thalhah bin Ubaidillah
At-Taimi Al-Qurasyi radhiyallahu ‘anhu.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
salam memberinya gelar Thalhah Al-Fayyadh atau Thalhah yang senantiasa
mengalirkan banjir infak, Thalhah Al-Khair atau Thalhah si orang baik dan
Thalhah Al-Jud atau Thalhah si dermawan.
Ia adalah salah seorang yang pertama kali
masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun) dan berhijrah ke Madinah. Ia adalah salah
seorang dari sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira akan masuk surga oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia juga merupakan salah satu dari enam
majlis syura yang ditunjuk oleh khalifah Umar bin Khathab untuk mengangkat
khalifah sepeninggal beliau.
Saat terjadi perang Badar, Thalhah tengah
berdagang di Syam dan merasa sangat menyesal karena tidak turut serta dalam
peperangan pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Namun Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam tetap memberinya jatah dari harta rampasan perang
Badar.
Pada perang Uhud, Thalhah menunjukkan
kepahlawan luar biasa dalam menyelamatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
salam. Ia bertempur habis-habis untuk melindungi nyawa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam, sampai kedua busurnya patah, jari-jari tangannya terputus dan
tangan kanannya lumpuh akibat banyaknya luka yang ia derita.
عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَرَأَيْتُ يَدَ
طَلْحَةَ شَلَّاءَ وَقَى بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ أُحُدٍ
Dari Ismail bin Qais ia berkata: “Saya telah melihat
tangan Thalhah lumpuh, (karena) ia mempergunakan tangan tersebut untuk
melindungi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam pada perang Uhud.” (HR. Bukhari
no. 3724 dan 4063 dan Ibnu Majah no. 128)
Atas besarnya pengorbanan dan perjuangan Thalhah dalam
perang Uhud, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menyatakan Thalhah pasti akan
masuk surga.
عَنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَسَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَئِذٍ أَوْجَبَ
طَلْحَةُ حِينَ صَنَعَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا
صَنَعَ يَعْنِي حِينَ بَرَكَ لَهُ طَلْحَةُ فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ظَهْرِهِ
Dari Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda pada
hari itu [perang Uhud]: ‘Thalhah telah pasti [masuk surga atau meraih ridha dan
ampunan Allah] ketika ia melakukan tindakan yang ia lakukan bagi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam’. Yaitu saat Thalhah merunduk lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam menaiki punggung Thalhah [untuk naik ke sebuah
batu besar].” (HR. Tirmidzi no. 3739, Ahmad dan Al-Hakim. Tirmidzi berkata:
Hadits ini hasan. Al-Hakim dan Adz-Dzahabi berkata: Hadits ini shahih)
Sifat kedermanan dan kegemaran berinfak telah menjadi
karakter Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu.
Imam Ibnu Sa’ad, Ath-Thabarani dan Abu Nu’aim
Al-Ashbahani meriwayatkan dari Qabishah bin Jabir, ia berkata: “Saya telah
menemani Thalhah. Saya tidak pernah melihat orang yang suka memberi harta dalam
jumlah sangat besar, walaupun tidak diminta, seperti dia.”
Imam Hasan Al-Bashri meriwayatkan bahwa Thalhah bin
Ubaidillah menjual sebuah tanahnya yang luas seharga 700.000 dinar. Pada malam
harinya ia tidak bisa tidur dan berkeringat dingin karena khawatir memiliki
harta sebanyak itu di rumahnya. Maka pada keesokan harinya ia membagi-bagikan
harta tersebut [kepada kaum muslimin]. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’,
1/32)
Istri, anak, kerabat dan kaum muslimin yang hidup pada
zaman sahabat dan tabi’in banyak menceritakan kisah-kisah kedermawanan Thalhah
lainnya. Riwayat mereka terukir dengan indah dalam kitab-kitab sejarah sehingga
masih bisa menjadi pelajaran bagi umat Islam sampai hari akhir.
Saudaraku seislam dan seiman…
Kita memiliki dua tangan yang normal, tidak cacat dan
tidak lumpuh. Tapi bisa dipastikan perjuangan dan pengorbanan tangan kita untuk
memperjuangkan Islam tidak ada apa-apanya dibandingkan tangan Thalhah bin
Ubaidillah. Bisa dipastikan infak fi sabilillah yang dikeluarkan oleh tangan
kita tidak ada apa-apanya dibandingkan infak Thalhah bin Ubaidillah.
Jika kita mustahil mampu menyamai amal kedua tangan
Thalhah bin Ubaidillah, setidaknya kita harus berusaha untuk meniru jejaknya
sesuai kemampuan maksimal kita. Allah Ta’ala hanya memerintahkan kita untuk
beramal sesuai kemampuan maksimal kita. Allah Ta’ala tidak menuntut kita
berbuat lebih dari itu. Dan bulan suci Ramadhan ini adalah wahana yang paling
baik untuk hal itu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Mengharukan,
Ulama Dijebloskan ke Penjara Karena Hutang
Sebuah kejujuran dalam
berdagang membawa seorang ulama besar yang wara’ masuk penjara. Ia masuk bui
karena tidak bisa membayar hutang kepada seseorang. Perlu dipahami, ini bukan
hutang sembarang hutang, tapi hutang yang disebabkan niat baik seorang ulama
yang selalu takut kepada Allah.
Dilansir laman Kisahikmah,
kisah ini sungguh mengharukan dan wajar jika membuat kita menitikkan air mata,
menyaksikan keteguhan ulama memegang teguh nilai-nilai Islam yang
didakwahkannya.
Ibnu Sirin. Tabi’in ini
merupakan ulama ternama di Basyrah. Ia sangat dihormati karena kedalaman ilmunya
serta dimuliakan karena kesungguhan ibadah dan pesona akhlaknya.
Ibnu Sirin juga sangat
dihormati oleh para pemimpin muslim saat itu. Namun, ia sangat menjaga diri
dari mereka. Ahli fikih itu tak mau berdekat-dekat penguasa, apalagi menikmati
fasilitas dari mereka. Pernah pemimpin Ibnu Hubairah Al Fazari memberinya
hadiah 3.000 dinar, Ibnu Sirin dengan tegas menolaknya.
Ibnu Sirin lebih memilih
jalan berdagang untuk mendapatkan rezeki yang halal. Namun sebuah insiden
membuatnya menghadapi cobaan berat.
Suatu hari ia membeli minyak
seharga 40.000 dinar secara kredit. Ketika memeriksa minyak yang dikirimkan
kepadanya itu, Ibnu Sirin terkejut. Ia menjumpai sesuatu yang tak ia sukai pada
minyak itu yang dapat menodainya. Ibnu Sirik khawatir minyaknya rusak karena
terkena najis.
“Jika aku menjual minyak ini,
aku bisa berdosa. Jika aku mengembalikan minyak ini kepada pedagang, maka ia
pasti akan menjualnya kembali kepada orang-orang dan aku bisa berdosa karena
membiarkannya sementara aku tahu minyak ini telah rusak,” kata Ibnu Sirin.
Kemudian ia menumpahkan seluruh minyak itu dan menanggung hutang 40.000 dinar.
Tibalah waktu membayar. Sang
pemilik minyak itu marah karena Ibnu Sirin tak mampu melunasinya. Lantas ia
mengadukan Ibnu Sirin ke penguasa. Ulama kharismatik itu pun dimasukkan
penjara.
“Wahai Syaikh,” kata seorang
penjaga penjara yang mengetahui kedudukan Ibnu Sirin, “jika malam tiba
pulanglah engkau ke rumahmu dan bermalamlah di sana. Jika pagi menjelang,
kembalilah ke sini. Lakukanlah begitu hingga engkau dibebaskan.”
“Tidak!” jawab Ibnu Sirin
tegas. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika kulakukan itu, berarti aku
membantumu untuk melakukan pengkhianatan.”
Suatu hari terdengar kabar
Anas bin Malik wafat. Seseorang datang menghadap Ibnu Hubairah Al Fazari
mengabarkan hal itu seraya mengatakan bahwa sebelum Anas wafat, ia berwasiat
agar yang memandikannya adalah Muhammad bin Sirin.
Ibnu Hubairah memberikan izin
Ibnu Sirin keluar dari penjara, namun Ibnu Sirin menolak meskipun ia sangat
ingin bertakziyah kepada sahabat Nabi itu. “Aku tidak akan keluar hingga
mendapat izin dari pemilik minyak. Sebab aku berada di sini atas kesalahanku
padanya.”
Maka mereka pun mendatangi
pemilik minyak itu untuk meminta izin. Setelah mendapat izin dari pemilik
minyak itu, barulah Ibnu Sirin mau keluar untuk mengurus jenazah Anas bin
Malik. Selesai urusan jenazah, Ibnu Sirin kembali ke penjara, bahkan tak sempat
mampir ke rumahnya
Meski Dipenjara, Ulama
Ini Tetap Memberikan Santunan kepada Orang Miskin
Bersyukurlah
karena memeluk Islam. Di dalam agama langit ini terdapat banyak teladan dari
pendahulunya. Bermula dari generasi nabi dan rasul sebelum Rasulullah Muhamamd
Saw, generasi belaiu dan generasi selepasnya; terdiri dari sahabat, tabi’in,
pengikut tabi’in dan ulama-ulama yang besar ketakutan dan harapannya kepada
Allah Swt.
Hingga
akhir dunia ini, generasi-generasi ini akan tetap ada. Karena merekalah obor
yang menerangi dunia dari kebodohan nan tak bertepi. Mereka ibarat cahaya yang
terangnya akan terus berpendar ke segenap penjuru.
Sebut
saja misalnya, Imam Ibnu Taimiyah. Gelar Hujjatul Islam amatlah layak disandangkan kepada
penulis Majmu’ Fatawa ini. Guru dari Ibnul Qayyim
al-Jauziyah ini menguasai banyak bidang keilmuan. Di zamannya, beliau memiliki
banyak ‘musuh’ yang berasal dari kalangan orang bodoh dan rezim yang berkuasa.
Sehingga,
dalam perjalanan hidupnya, guru dan muridnya itu pernah diarak dalam satu kendaraan
sembari dilempari sampah. Bukan hanya oleh rezim berkuasa, bahkan masyarakat
dan anak-anak di zaman itu pun turut diprovokasi untuk melakukan hal bodoh itu.
Di
dalam perjalanan hidup beliau, sebagaimana dikutip oleh Dr Abdullah Azzam dalam Tarbiyah
Jihadiyahdisebutkan salah satu kebiasaan Imam ini. Katanya,
“Sebelum dipenjara, aku terbiasa mendatangi beberapa rumah kaum muslimin yang
fakir untuk memberikan santunan.” Sungguh, ini bukan sebuah sarana untuk
berpamer diri. Ini adalah pelajaran bagi siapa yang mau mengambil hikmah.
“Kemudian,
setelah aku dijebloskan ke dalam penjara, kebiasaan itu secara otomatis
terhenti.” Demikian lanjutan cerita sang Imam yang beliau tuliskan dalamMajmu’ Fatawa. Anehnya, meski
beliau berada di dalam penjara, masyarakat yang terbiasa mendapat santunan itu
tetap mendapatkannya dari sosok yang amat mirip dengannya.
Keluarga-keluarga
penerima santunan itu berkisah, “Sesungguhnya engkau (Ibnu Taimiyah) datang
sendiri kepada kami.” Bukan hanya itu, disebutkan bahwa sosok yang amat mirip
dengan Ibnu Taimiyah itu melakukan hal serupa: memberikan bantuan sebagaimana
biasa dilakukan olehnya.
Guna
memastikan, peristiwa itu pun disampaikan kepada sang Imam. Lantas, dijelaskan
oleh beliau dengan mengatakan, “Ketahuilah bahwa saudara-daudara kami dari
golongan jin telah menggantikan kedudukan kami.” Beliau melanjutkan seraya
memotivasi, “Jika seluruh penduduk bumi tidak bersahabat,” pungkas beliau,
“maka jin yang alim dan malaikat akan senantiasa menyertai orang mukmin.”
[Pirman]
Salman bin Musleh Al-Sharari,
seorang warga Saudi, tidak ragu-ragu untuk menjual harta benda miliknya yang
berharga agar bisa memulangkan sahabat Turki-nya yang terluka, Muhammad Ali
Arsalan.
Ali-Sharari berteman dengan
Arsalan selama kunjungannya di sebuah kota industri di Domat Al-Jandal.
Sebagaimana dilansir
oleh Al Bawaba, Jum’at
(5/2/2016), Arsalan menjadi lumpuh ketika kecelakaan mobil menyebabkan dia
menderita patah tulang dan memar.
Ketika Al-Sharari
mengunjunginya, Arsalan menyatakan keinginannya untuk pulang ke Turki agar bisa
bersama dengan keluarga dan anak-anaknya.
Al-Sharari tidak ragu-ragu
untuk menjual mobilnya dan membelikan Arsalan tiket kelas bisnis dari Jouf ke
Riyadh dan kemudian ke Ankara.
Tidak hanya itu, Alsharairi
juga mengawal Arsalan ke bandara Riyadh dan mengucapkan perpisahan dengan
senyum dan doa semoga cepat sembuh.
Dia juga berkordinasi dengan
keluarga temannya di Turki untuk mengirim ambulans ke bandara untuk membawa
Arsalan ke rumah sakit.
Dan apa yang tersisa dari
harga mobil yang dijual itu juga diberikan kepada Arsalan.
Al-Sharari bersyukur kepada
Allah ketika dia menerima telepon dari Arsalan yang memberitahukan bahwa ia
tiba dengan selamat di rumah sakit dan mendapatkan pengobatan. (Hanin Mazaya/arrahmah.com)
Sumber: arrahmah.com/Ameera/Jum’at, 26 Rabiul Akhir 1437 H / 5 Februari 2016
(nahimunkar.com)