Gus Mus: Islam Kita Bukan
"Islam Saudi Arabia"
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) KH A Mustofa Bisri kembali menegaskan perbedaan antara muslimin
Indonesia dan Arab Saudi. Meski keduanya menganut agama yang sama tapi
masing-masing memiliki kekhasan budaya.
“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti
kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima,” katanya saat
membuka Pameran Seni Rupa Nasirun di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (2/10).
Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini berpesan kepada umat Islam di Indonesia
untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia, Nabi termasuk
pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai menyenangkan.
“Rasulallah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang
Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya
kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena
menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang
mana?” katanya disambut gelak tawa hadirin.
Gus Mus membuka pameran yang hadir dalam bentuk tabligh seni Rubuh Rubuh
Gedhang itu dengan menabuh beduk. Ia menilai, acara sejenis seharusnya diadakan
bukan hanya di Yogyakarta namun juga di seluruh penjuru Nusantara. Hal ini
sebagai wujud kecintaan masyarakat pribumi terhadap tradisi dan budaya di Tanah
Air.
Turut mengisi pada acara ini dalang Wayang Suket Slamet Gundono, Yusuf Chudlori
(Gus Yusuf) Tegalrejo, Romo Sindunata, Kirun, Marwoto, Den baguse Ngarso,
Djadug dan lainya.
Mengapa Tanah Air Mesti
Didahulukan daripada Islam?
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengaku
mengembangkan pemikiran Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tentang ukhuwwah
islamiyyah (persaudaraan
sesama umat Islam) danukhuwwah
wathaniyyah(persaudaraan sesama bangsa).
Menurut dia, sebagai sebuah strategi, memperjuangkan tanah air harus dilakukan
lebih dahulu daripada Islam. Kenapa? “Karena dengan tanah air ini kita
bisa memperjuangkan Islam,” ujarnya dalam pembukaan Harlah ke-60 dan Rakernas
IPNU di Jakarta, Senin (24/02).
Kiai Said, sapaan akrabnya, mengatakan banyak bangsa yang tidak bisa menjaga
tanah airnya akhirnya hilang dari sejarah, seperti yang dialami bangsa Kurdi.
“Man laisa lahu ardlun laisa
lahu tarikh, waman laisa lahu tarikh laisa lahu dzakirah;
barangsiapa tidak memiliki tanah air, tidak memiliki sejarah dan barangsiapa
tidak memiliki sejarah tidak akan dikenang,” imbuhnya.
Timur Tengah, lanjut Kiai Said, memiliki segudang ulama yang ‘alim dan
‘allamah. Namun demikian, di sana terjadi banyak konflik berdarah yang tidak
bisa dipecahkan oleh ulama.
Hal ini, menurutnya, karena tidak adanya nasionalisme di kalangan ulama dan
organisasi kemayarakatan sebagai kekuatan masyarakat sipil di sana. Dengan
adanya ormas seperti NU, Al-Washliyyah, Hizbul Wathan dan lain-lain, ulama
Indonesia memiliki peran strategis, baik di kancah nasional maupun
Internasional.
Maka dari itu, Kiai Said berharap IPNU sebagai ujung tombak pengkaderan NU
mampu mewarisi nilai-nilai yang telah dipelopori oleh ulama Nusantara sebagai
pengawal ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan NKRI.
“Selama masih ada NU, Insya Allah Indonesia akan terus ada. Semoga, NU langgeng
sampai yaumil qiyamah,” ungkapnya di depan Wakil Menteri Pertahanan Letjend
Sjafrie Sjamsoeddin, tamu undangan, para alumni IPNU, Pimpinan Pusat dan
Pimpinan Wilayah IPNU se-Indonesia.
Usai sambutan, Kiai Said menerima kenang-kenangan dari Ketua Umum PP IPNU
Khairul Anam Kharisah. PP IPNU periode ini juga memberi penghargaan kepada
tokoh-tokoh yang dianggap berjasa besar dan memiliki dedikasi kepada IPNU.
Said
Aqil Sebut Amalkan Pancasila Wujud Tegakkan Syariat, Ini Komentar Ketua Pemuda
Persis Jabar
Saat memberikan sambutan
pada acara Munas Ulama dan istighotsah menyambut Ramadan, Ketum PBNU Said Aqil
Siradj mengatakan bahwa mengamalkan Pancasila adalah wujud menegakkan syariat
Islam.
"Bagi para ulama NU
baik itu Wahid Hasyim dan yang lain seperti Hasyim Asy'ari memandang bahwa
Pancasila adalah ahlusunnah wal jama'ah. Maka NU menegaskan bahwa pengamalan
Pancasila adalah wujud menegakkan syariat Islam," katanya di Jakarta.
(baca selengkapnya: Ketua PBNU Said Aqil Siradj: Mengamalkan Pancasila
Adalah Menegakkan Syariat Islam).
Pernyataan Said Aqil
Siradj ini ditanggapi oleh Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Persis Jabar Ustadz
Syarif Hidayat, M.Pdi. Menurutnya, pernyataan “Mengamalkan Pancasila berarti
menegakkan Syari’at Islam” adalah pernyataan yang bisa benar dan bisa juga
salah.
"Benar bila yang
dimaksud Pancasila adalah rumusan dalam piagamSo Jakarta yang dipahami
oleh founding father negeri ini. Yakni,
Pancasila yang dilandasi kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para
pemeluknya," katanya dalam rilis yang diterima voa-islam.com, Selasa (16/06).
...wajar
bila kemudian ada sebagian Ikhwah yang menilai Pancasila itu telah
menjadi thãghût. Sebab, bila ada aturan selain aturan Allah
yang dianggap sacral dan sempurna sesempurna Islam tentu saja secara akidah
salah besar
Selanjutnya Ustadz
Syarif mengatakan, kita tidak bisa memungkiri kenyataan, bahwa rumusan
Pancasila itu digali dari nilai-nilai agama dan budaya bangsa saat itu,
termasuk Islam di dalamnya. Sayangnya, tujuh kata yang telah kita maklumi di
atas dicoret oleh sebagian founding father negeri ini.
"Padahal, bila
dicermati seksama nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tidak ada yang
bertentangan dengan Islam, kecuali sila pertama yang menjadi bias
maknanya," ujarnya.
Pancasila mengalami
sakralisasi dan kristalisasi. Seolah-olah Pancasila falsafah Negara yang sempurna
dan harga mati. Dan diperparah dengan kenyataan di lapangan, tidak ada seorang
anak bangsa di negeri ini yang bisa dijadikan figure Pancasialis sejati
Amat disesalkan di
kemudian hari, kata Ustadz Syarif, Pancasila mengalami sakralisasi dan kristalisasi.
Seolah-olah Pancasila falsafah Negara yang sempurna dan harga mati. Dan
diperparah dengan kenyataan di lapangan, tidak ada seorang anak bangsa di
negeri ini yang bisa dijadikan figure Pancasialis sejati.
"Sehingga, wajar
bila kemudian ada sebagian Ikhwah yang menilai Pancasila itu telah
menjadi thãghût. Sebab, bila ada aturan selain aturan Allah
yang dianggap sacral dan sempurna sesempurna Islam tentu saja secara akidah
salah besar," tuturnya seraya menyitir surat Al-Maidah ayat 50 yang
artinya. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin?.
Selain itu Ustadz Syarif
juga menyitri surat Fushilat ayat 33 yang artinya Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?’"(Q.S. Fushilat, ayat 33)
"Jadi, bagaimanapun
juga Pancasila jangan disetarakan dengan Islam sebagai agama Allah satu-satunya
yang mutlak benar dan yang diridhai-Nya," tegas Ustadz yang sedang
menempuh pendidikan Doktora di UIKA Bogor
Pancasila, terang Ustadz
Syarif memang telah menjamin umat Islam untuk menjalankan aktivitas ibadah dan
amaliah ritual sebatas hubungan hablun minallah wa
hablun min al-nas.
"Tetapi, Pancasila
tidak mengizinkan umat Islam menjalankan Syari’at Islam dalam ranah hokum
dan siyãsah jinãyah. Sehingga, bisa
dikatakan umat Islam leluasa menjalankan Syari’at Islam di negeri ini asalkan
jangan menegakkan hudûd dan qishãsh. Dengan kata lain,
Syari’at Islam minus hokum jinãyah. Islam yang tidak kaffah," paparnya.
Karena itu, sambungnya
lagi sebenarnya bila ada kemauan untuk mengizinkan umat Islam menjalankan
seluruh aspek ajarannya, niscaya Pancasila sebagai falsafah Negara mungkin
takkan ada yang ‘menggugat’.
"Oleh karenanya,
ungkapan menjalankan Pancasila sama dengan menjalankan Syari’at Islam belum
tentu benar. Apalagi Pancasila sebagai teks mati bisa ditafsirkan oleh siapa
saja dan apa saja. Berbeda dengan al-Qur’an dan Hadits yang notabene memiliki
batasan-batasan ilmiah dan aturan baku dalam penafsirannya. dengan demikian,
boleh jadi bagi umat Islam Pancasila itu begini, tetapi bagi umat lain
Pancasila itu begitu. Mana yang benar? Wallahu a’lam, " jelasnya.
Ketuhanan
yang Maha Esa hemat saya kurang islami, sebab Ketuhanan tidak mencerminkan
ajaran Tauhid, buktinya semua agama mengaku semuanya berketuhanan yang Maha Esa
walau faktanya berakidah syirik
Alhasil, menurut
pengajar di sekolah menenga Islam ini, ajaran Pancasila tidak seratus persen
mencerminkan ajaran Islam, namun demikian bukan pula Pancasila bertentangan
dengan Islam seratus persen. Artinya, ada nilai-nilai ajaran Islam di dalamnya
semisal rumusan musyawarah mufakat, keadilan bagi seluruh rakyat, dan
kemanusiaan yang adil dan beradab, justeru sarat dengan nilai-nilai Islam,
bahkan boleh diklaim berjiwakan Islam, karena adil, adab, dan musyawarah belum
tentu terdapat dalam ajaran agama lain. Atau mungkin itulah nilai-nilai
universal dari Pancasila.
"Adapun Ketuhanan
yang Maha Esa hemat saya kurang islami, sebab Ketuhanan tidak mencerminkan
ajaran Tauhid, buktinya semua agama mengaku semuanya berketuhanan yang Maha Esa
walau faktanya berakidah syirik," pungkasnya.