Oleh: Dr. Slamet Muliono
Penulis Bina Qalam Indonesia
dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
SALAH satu media di Jakarta
beberapa hari yang lalu memberitakan bahwa pemikiran yang dikembangkan oleh
Islam Nusantara memiliki kemiripan dengan metode yang telah dilakukan kelompok
JIL (Jaringan Islam Liberal). Bahkan dalam pemberitaan itu diakhiri dengan
sebuah pandangan bahwa lahirnya Islam Nusantara merupakan respon dan sebuah
upaya untuk membendung gerakan Wahabi.
Untuk membuktikan pemikiran
itu, maka akan ditelusuri bagaimana pandangan beberapa pemikiran pengusung
Islam Nusantara dalam merespon gerakan wahabi itu.
Sebagaimana umum dipahami
bahwa salah satu di antara pemikiran yang dikembangkan pendukung Islam
Nusantara adalah pentingnya eksistensi budaya lokal. Mereka menginginkan budaya
lokal bisa terjamin dan hidup berdampingan di masyarakat tanpa gangguan.
Sementara kelompok Wahabi secara jelas menjamin eksistensi budaya lokal, asal
budaya lokal itu tidak bertentangan nilai-nilai Islam.
Apa yang disinyalir oleh
media cetak di Jakarta tentang kemiripan JIL dengan Islam Nusantara, maka bisa
ditunjukkan, setidaknya dengan dua indikator. Pertama, Islam Nusantara
mengidentifikasi, bahkan mengklaim dirinya berbeda dengan Islam di Timur
Tengah. Islam Timur Tengah dianggap keras, radikal dan intoleran, sehingga
tidak cocok dengan masyarakat Nusantara yang sopan, lembut, dan santun.
Kedua, Islam Nusantara bisa
berdialog dan menjamin kehidupan tradisi dan budaya lokal. Hal ini sungguh
berbeda dengan gaya Islam Timur Tengah, yang menurut anggapan penganut Islam
Nusantara, merupakan ancaman terhadap tradisi atau budaya lokal. Menjamin keberlangsungan
tradisi lokal inilah yang dijadikan barang kemasan untuk menarik minat
masyarakat Indonesia yang memiliki budaya yang sangat beragam.
Namun yang agak berbeda,
Islam Nusantara mensosialisasikan sedemikian terbuka dan masif, serta dalam
kadar tertentu, begitu percaya diri karena memperoleh dukungan dan justifikasi
dari kekuasaan. Pandangan yang sangat percaya diri ini dikhawatirkan munculnya
gesekan dan sejumlah anomali yang berujung pada perlawanan balik pihak lain
yang merasa terusik. Perlawanan balik yang begitu dahsyat itu disebabkan oleh
kesalahan strategi dalam melempar amunisi.
Amunisi yang dilemparkan
kelompok Islam Nusantara adalah tema-tema yang sudah diketahui dan dipahami
sebagai kebenaran umum. Martir yang dilontarkan oleh beberapa pengusung Islam
Nusantara secara bertubi-tubi, misalnya, justru menghantam balik dirinya
dan penggagas Islam Nusantara secara umum.
Langgam Jawa dalam membaca
Al-Qur’an, ikut tahlilan sebagai parameter Pancasilais, syetan ikut shalat
berjamaah, malaikat Munkar Nakir antri di makam Gus Dur, dan semakin panjang
jenggot menunjukkan kebodohan seseorang, merupakan gagasan-gagasan yang justru
kontra produktif.
Bola-bola panas yang dilempar
ini bukan mempermulus gagasan Islam Nusantara, tetapi justru merugikan dan
melemahkan gagasannya, serta pada kurun waktu tertentu menanam bom waktu.
Sementara apa yang
didakwahkan oleh para pengusung dakwah Islam, yang disinyalir sebagai penganut
wahabi, justru memperoleh simpati masyarakat pada umumnya.
Dakwah wahabi sudah sedemikian
besar dan masif serta masuk ke berbagai level sosial, sehingga kelompok Islam
Nusantara, seolah-olah merasa kehabisan akal untuk membendungnya. Maka
tidak heran bila serangan-serangan terhadap gerakan wahabi terlihat kalut.
Sementara masyarakat sekarang
sudah banyak yang terdidik sehingga bisa memilih pandangan yang memiliki
dasar-kuat, dan mana yang emosional-kalut.
Apa yang diperjuangkan oleh
pengusung Islam Nusantara memang tidak berbeda dengan apa yang telah dilalui
oleh JIL. Kalau JIL memperjuangkan liberalisasi pemikiran sehingga melahirkan
sejumlah konsep seperti sekularisme, pluralisme, kesetaraan Gender,
hermeneutika, HAM, multikulturalisme, hingga nikah beda agama, maka Islam
Nusantara justru secara vulgar mengajak untuk “berperang terbuka” terhadap
gerakan-gerakan dakwah Islam yang disinyalir sebagai gerbong Wahabi.
Apa yang dilontarkan
pengusung Islam Nusantara kurang begitu dikemas dengan baik, dan secara kasat
mata, sehingga masyarakat umum mengetahuinya sebagai produk gagal dan mengajak
bermusuhan terhadap kelompok lain.
Pada saat sama, gerbong
Wahabi sudah sedemikian masif dan tersebar secara luas mulai dari akar rumput
hingga pusat pemerintahan, masjid-musholla hingga lembaga pendidikan-pesantren,
dan radio-televisi hingga buletin-majalah.
Gerakan untuk mengajarkan
umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah begitu massif tanpa ada
organisasi formal sebagai payung dan penggeraknya. Belum lagi ditopang oleh
media sosial yang begitu murah, singkat dan cepat dalam memberikan dan mengajarkan
pesan-pesan dakwah.
Hal ini semakin membuat
gerakan wahabi ini sulit dibendung. Belum lagi lulusan Timur Tengah dengan
gelar Lc, Master hingga Doktor dengan berbagai disiplin ilmu (tafsir, sejarah,
hukum, hadits, dan sebagainya) semakin memperkuat basis keilmuan dan keilmiahan
dalam menjawab berbagai persoalan dan syubhat (keraguan) yang
menyebar di masyarakat.
Oleh karena itu, ketika
muncul gagasan langgam Jawa dalam melagukan Al-Qur’an, sampai tidaknya bacaan
Al-fatihah untuk orang yang sudah meninggal, tahlilan sebagai parameter
pancasilais, serta syetan yang ikut shalat jamaah, maka dalam hitungan jam
sudah ada bantahan terhadap gagasan yang dianggap nyeleneh itu.
Penjelasan dan bantahan
melalui media sosial seperti facebook, bbm, whattsapp, telegram dan lainnya
ikut mempercepat proses meneguhkan atau membantah sebuah pandangan. Bahkan
ketika seorang tokoh mengatakan sesuatu dengan mengutip sebuah buku atau kitab,
maka hari berikutnya sudah muncul penjelasan yang mendudukkan pandangan yang
sebenarnya serta meluruskan pandangan yang benar dari buku yang dirujuk.
Masyarakat saat ini sudah
terbiasa dan terdidik untuk meminta rujukan atau dalil sebelum menerima sebuah
ajaran, perintah atau larangan. Tidak seperti kondisi masyarakat sebelum era
reformasi, dimana mereka langsung menerima apa yang disampaikan oleh guru,
ustadzn atau kiainya tanpa mempertanyakan ulang dasar dan rujukannya.
Oleh karena itu, gerakan
untuk memasarkan gagasan kepada masyarakat luas bertujuan berdakwah atau
menghasut kelompok maka masyarakat sudah cerdas dan cerdik dalam menilainya.