Sabtu, 19 September 2015 - 22:37 WIB
Nama Wahabi sengaja dipilih –para pembencinya-
agar dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah abad keempat di Maroko, yang
dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum
Bertempat di aula AQL Islamic Center, Tebet
Jakarta Selatan, pada hari Sabtu 19 September 2015, Forum Jejak Islam untuk
Bangsa (JIB) menyelenggarakan diskusi menarik tentang isu Wahabi.
Kajian perdana yang disebut Ngobrol Bareng
Sejarah Indonesia (NGOBRAS) diikuti 89 peserta dengan mengangkat tema; “Gerakan
Pembaruan Islam Awal Abad 20”.
Tema ini diangkat bersamaan dengan memanasnya
kembali isu wahabisme di Indonesia. Tentu saja, sebagai umat Islam diperlukan
kajian serius agar tidak terjerumus pada berita-berita yang simpang-siur dan
provokatif.
Acara dimulai pukul 10.00 WIB dan dibuka oleh
Beggy Rizkiyansyah, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), selaku moderator.
Dalam memaparkan sinopsis ringkas tentang tema
kajian, Beggy mengharap agar kajian sejarah seperti ini bisa konsisten
dilaksanakan setiap bulan.
Setelah dirasa cukup, acara diserahkan langsung
kepada presentator Tiar Anwar Bachtiar, doktor sejarah lulusan Universitas
Indonesia ini.
Dalam pembukaan, Tiar menandaskan pentingnya
sejarah sebagai referensi bagi tindakan umat.
Selanjutnya, Ketua Persatuan Pemuda PERSIS ini menjelaskan panjang lebar
mengenai sejarah muncunya Wahabi serta pengaruhnya pada Pembaruan Islam
Indonesia pada awal 20-an hingga masa sekarang.
Ada catatan penting yang beliau sampaikan, di
antaranya; penyebutan istilah Wahabi sebenarnya kuranglah tepat. Pasalnya,
kalau mau konsisten, seharusnya kalau dinisbahkan kepada Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab, maka semestinya bernama: Muhammadiyah.
“Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam
menggunakan istilah,” ujar Tiar.
Lebih jauh ia benang merah, penyebutan istilah
Wahabi sangat sarat muatan politis. Sebab nama Wahabi sengaja dipilih –oleh
pembencinya- supaya dikesankan negatif seperti gerakan Wahabiyah pada abad
keempat di Maroko, yang dinahkodai seorang Khawarij bernama: Wahab bin Rustum.
“Masalah konflik antara Wahabi dan Asy`ari sudah terjadi beberapa abad yang
lalu, kalau sekarang memanas kembali berarti ada yang menunggangi,” ujarnya.
Paling tidak –menurut analisis Tiar- ada dua
hal mendasar yang menyebabkan isu ini memanas kembali.
Pertama, isu ini dipolitisasi sedemikian rupa
oleh pihak berkepentingan untuk memecah-belah umat.
Tiar menyebut adagium menarik yang sempat dikemukakan terkait masalah konflik
internal umat Islam ini.
“Konflik yang terjadi sebenarnya bukan karena
perbedaan pendapat, tapi perbedaan pendapatan,” demikian ia mengistilahkan.
Artinya, konflik perbedaan sebenarnya sudah
lama usai. Namun karena ada kepentingan politis, isu ini diangkat kembali.
Kedua, buntunya komunikasi umat. Akibatnya
terjadi kesenjangan yang luar biasa di antara umat Islam. Apalagi, jika masalah khilafiyah
furu`iyah (perbedaan pada masalah agama yang cabang bukan pokok)
dibesar-besarkan, maka akan menjadi semakin runyam.
Solusi paling riil untuk menghadapinya jelasnya
ialah tidak memperbesar konflik di wilayah furu`iyah, sembari
dibangun kembali semangat bertoleransi, kemudian perlu dijalin komunikasi yang
baik antar umat.
Selama umat Islam tidak “terpadu”(tergantung
pada duit), tak bermuatan kepentingan politik, serta mampu menjalankan
komunikasi dengan baik, maka Insyaallah isu lama seperti Wahabisme tidak akan
berakibat pada konflik yang lebih besar.
“Lebih baik energi umat Islam disatukan pada
hal-hal yang disepakati, serta tolerir terhadap yang tidak disepakati agar
tidak terbuang percuma.”
Menjelang Pukul 12.00 siang, diskusi pun
dipungkasi dengan beberapa harapan besar dari pembicara.
Pertama, ia meminta agar umat bisa menjaga persatuan dan tidak terpengaruh
dengan istilah-istilah provokatif. Kedua, pentingnya menjalin komunikasi yang
baik antarumat Islam.*/Kiriman Mahmud Budi Setiawan