Jika berpikir
secara perlahan-lahan dengan lapang dada dan hati yang jernih, maka akan dapat
disimpulkan, tentang masa depan negara-negara Arab Sunni? Barangkali ini
kesimpulan yang sangat skeptis, yaitu negara-negara Arab Sunni akan dijajah
oleh Syi'ah?
Ada beberapa
patokan yang dapat menjadi dasar kesimpulan, bahwa negara-negara Arab Sunni,
bakal dijajah oleh Syi'ah Iran. Mungkin prediksi ini berlebihan, dan bisa
dinilai telalu skeptis dan pesimis melihat masa depan negara-negara Arab pasca
“Arab Spring”.
Perubahan
akibat "Arab Spring", menimbulkan "counter" terhadap
sejumlah negara-negara Arab oleh kekuatan lama yang didukung Barat, dan
kemudian merubah seluruh situasi dan keadaan di Timur Tengah dan Dunia Arab.
Termasuk di Suriah. Kegagalan negara-negara Arab Sunni menghadapi Syi'ah Iran,
disebabkan faktor-faktor :
Pertama,
negara-negara Arab Sunni tidak dapat bersatu dalam semua masalah, dan terus
memiliki perbedaan yang dalam, dan bahkan menjurus konflik yang terbuka, yang
sifatnya antar negara. Sebagai contoh, antara Mesir dengan Arab Saudi, dan
sejumlah negara Teluk. Betapa sekarang media-media Mesir, tanpa henti
mengolok-olok Arab Saudi, dan Raja Salman. Bandingkan dengan Syi'ah? Mereka
bersatu dibawah arahan Ayatullah Ali Khamenei, sebagai pemimpin dan panutan
golongan Syiah. Tidak ada konflik terbuka diantara negeri-negeri Syiah,
dan kelompok-kelompok Syiah di berbagai negara.
Kedua, negara-negara
Arab di tinggalkan oleh Amerika Serikat, Eropa, dan Rusia, dan tidak tidak lagi
dipandang sebagai sekutu yang strategis. Sekarang membangun hubungan baru
dengan Iran, sebagai sekutu strategis yang menggantikan negara-negara Arab.
Terjadinya pergeseran aliansi ini, bisa berdampak negatif, tapi juga bisa
berdampak positif bagi negara-negara Arab Sunni, bila meninggalkan
ketergantungan kepada Barat.
Ketiga, perubahan 'geostrategis' dan 'geopolitik' ini,
ditandai dengan dukungan enam negara utama, yaitu Amerika, Rusia, Cina,
Inggris, Perancis, dan Jerman, yang mendukung program nuklir Iran. Ini
mempunyai dampak keamanan dikawasan Timur Tengah, sangat berbahaya bagi
keamanan masa depan negara-negara Arab.
Keempat, Iran
bukan hanya mendapatkan dukungan dari enam negara utama dalam membangun
fasilitas nuklinya, tapi Iran juga mendapatkan senjata pamungkas, yaitu rudal
S-300, dari darat ke udara. Ini tidak dimiliki negara-negara Arab. Dengan
demikian, Iran memiliki arsenal persenjataan baru, dan berpotensi menjadi
ancaman bagi negara-negara Arab.
Kelima, negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Uni
Eropa, telah mencairkan semua asset Iran yang dibekukan selama terjadinya
konflik, dan sekarang mendapatkan dana mereka kembali yang nilai ratusan
triliun dolar. Ini dapat digunakan membiayi ekonomi dan militer Iran. Iran akan
mampu bertindak apa saja. Uni Eropa pun sekarang memulihkan kerjasama dengan
Iran, bersamaan dengan kunjungan Kepala Kebijakan Uni Eropa, Ferderica
Mogherini ke Teheran.
Kelima, Iran
semakin kokoh “hegemoninya” di kawasan Timur Tengah, bersamaan dengan dukungan
Amerika, Eropa, dan Rusia. Dengan isu “terorisme” yang terus didorong oleh
Iran, dan kecemasan Amerika, Eropa, Rusia, dan sejatinya dibelakang isu ini
kepentingan Zionis, Nampaknya Iran menjadi sekutu yang dipercaya. Sebutan
“evil” (iblis) oleh Amerika terhadap Iran, telah dihapus, dan sebagai gantinya
sekarang ini, Iran menjadi sekutu strategis Barat, Eropa, dan Rusia menghadapi
ancaman yang lebih potensial, yaitu “ISIS”, yang dianggap sebagai ancaman bagi
Barat. ISIS dianggap mewakili kelompok Sunni, dan lebih berbahaya dibanding
dengan Syi'ah.
Keenam,
negara-negara Arab “petro dollar”, diprediksi akan bangkrut, bersamaan dengan
turunnya harga minyak dan habisnya cadangan minyak mereka. Negara-negara Arab
tidak lagi bisa eksis di masa depan, karena minyaknya bukan hanya habis, tapi
harganya sudah tidak dapat lagi menopang APBN mereka. Inilah yang lebih suram. Apalagi,
gaya hidup para pangeran Arab. Sebagai gambaran Arab Saudi pun, sekarang sudah
mengalami defisit APBN.
Ketujuh, sampai
sekarang negara-negara Arab, mereka tidak jelas sikapnya terhadap
kelompok-kelompok pejuang oposisi di Suriah. Sikapnya masih sangat ditentukan
oleh Amerika, Eropa dan Rusia. Sikapnya yang tidak total mendukung para pejuang
oposisi, membuat Bashar Al-Assad semakin berkepanjangan. Seharusnya Arab Saudi,
sebagai negara utama, bisa melakukan “deal” politik dengan kekuatan oposisi, mengakhiri
rezim Bashar. Bahkan, negara-negara Arab ikut memerangi kelompok
Mujahidin, bersama-sama dengan Amerika, Rusia, dan Eropa.
Kedelapan, yang
lebih penting, banyaknya perbedaan diantara "harakah" (gerakan), dan
perbedaan itu, sampai pada tingkat yang sangat berlebihan, saling mengkafirkan,
menuduh kafir, murtad, dan bahkan di medan jihad pun saling berperang. Inilah
persoalan yang paling menghancurkan. Soal-soal ijtihadi, kemudian dijadikan
dasar saling mengkafirkan, dan bermusuhan. Semua itu, semakin melemahkan
perjuangan, khususnya bagi kekuatan golongan Sunni.
Inilah
beberapa kondisi dan perubahan politik di Timur Tengah, yang membuat semakin
melemahnya, kekuatan negara-negara Arab Sunni, menghadapi Syiah Iran, dan
kemungkinan peluangnya di masa depan, Timur Tengah, bisa jatuh ke tangan Syiah.
Ini harus mendapatkan perhatian di Indonesia. Tidak cukup menghadapi Syi'ah
Iran dengan pidato dan retorika.
Satu-satunya
peluang, bila Raja Salman bin Abdul Aziz dengan kharismanya bisa
menyatukan seluruh kekuatan negara-negara Arab Sunni dan membangun dialog
dengan Gerakan Islam, dan secara tegas melepaskan diri dari
ketergantungan kepada Amerika, Eropa, dan Rusia, serta bersikap mandiri,
termasuk tidak terbawa oleh permainan mereka.
Arab
Saudi dan negara-negara Arab Sunni harus tegas mendukung semua perjuangan
kelompok Sunni, seperti di Suriah, Irak,Yaman, dan tempat lainnya. Ini
kemungkinan yang dapat memenangkannya menghadapi Syi'ah Iran.
(mashadi/voa-islam.com)