Turki dan Kelahiran pan
Islamisme Baru
(Sebuah
catatan perjalanan)
Oleh Darlis Aziz*
Pan Islamisme,
adalah sebuah gerakan yang disuarakan oleh Jamaluddin Al-afgani pada
pertengahan abad ke 19 lalu. Ide Pan Islamisme (Persatuan Islam) merupakan
bentuk perlawanan beliau terhadap penjajahan dan kesewenang-wenangan barat yang
waktu itu diwakili oleh Inggris, Prancis, dan beberapa negara sekutunya terhadap
negara-negara miskin yang dikenal sebagai negara ketiga yang kebanyakan adalah
negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam.
Jamaludin waktu itu menyampaikan
ide-ide yang mencerahkan kepada kaum muda terdidik yang menginginkan perubahan
bagi negerinya. Hal itu telah membangkitkan kesadaran mereka akan pentingnya
mencintai tanah air dan melakukan pembaharuan dalam berbagai sistem kehidupan
yang lebih siap melawan imperialisme peradaban barat.
Setelah keruntuhan kekhalifahan
terakhir Islam di Ottoman-Turki, fakta menunjukkan ummat islam menjadi
"pembebek" peradaban barat, bahkan At-Taturk sendiri sebagai bapak
pendiri Negara Turki mewajibkan seluruh warga negaranya untuk mengikuti gaya
hidup barat, baik dalam berpakaian, makanan, bahasa, pendidikan dan sebagainya.
Hal ini juga bahkan menjalar ke seluruh negara-negara bekas imperium terakhir
yang berbentuk monarkhi tersebut seperti Mesir, India, dan negara-negara bekas
jajahan Inggris dan Prancis lainnya.
Perpecahan di tubuh kekhalifahan itu
telah menyebabkan wilayah kekuasan Islam di bawah Ottoman pecah kedalam lebih
dari 50 negara baru. Hal tersebut sebenarnya sudah diprediksi oleh banyak tokoh
umat Islam pada waktu itu termasuk Sultan terakhir Turki Usmani yaitu Sultan
Abdul Hamid II, beliau melihat virus itu terus menjalar bahkan menyentuh ke
dalam jantung kekhalifahan di Turki. Menyadari hal tersebut beliau pun
memanggil Jamaluddin Al-afghani untuk menangkal virus tersebut dengan mendukung
ide yang dibawanya saat itu yaitu Pan Islamisme, namun ketidak siapan sang
Sultan terhadap luasnya ide yang dibawa yaitu reformasi total terhadap sistem
monarki menyebabkan dia (Jamaluddin) harus mendekam didalam jeruji besi.
Ide cemerlang tersebut sebenarnya
merupakan jawaban atas "status quo" kekhalifahan yang tidak lagi bisa
menjawab setiap persoalan yang dihadapi dalam berbagai dimensi kehidupan ummat
yang sedang dijajah oleh pemikiran dan peradaban luar.
Akibat tidak diakomodirnya proposal
yang ditawarkan oleh Jamaluddin tersebut -tanpa menafikan juga berbagai
sebab-sebab ilahiah lainnya- harus dibayar mahal oleh Ummat Islam dengan
hilangnya pagar penjaga umat (kekhalifahan) pada tahun 1923, atau 92 tahun yang
lalu.
Maha besar Allah yang telah menjanjikan
untuk mempergilirkan kekuasaan kepada siapapun yang dikehendakinya (Q.S.
Ali-Imran :26), ketika ummat Islam jauh dari jalanNya, maka bisa saja Allah
mencabut kekuasaan yang dimiliki dan diberikan kepada yang lain (Barat).
Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali ketika terjadi perang salib,
"Kebanyakan dari kita lebih sering menangisi kekalahan tersebut daripada
mempertanyakan kenapa kita bisa kalah" (Majid Irsan Kilani : 2006).
Barat yang lebih siap didalam Ilmu
Teknologi, Manajemen, Pendidikan, Transportasi, Kebersihan, Ketertiban,
Pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya, namun disaat yang sama kita
meninggalkan hal-hal utama didalam Islam tersebut dan tidak berupaya untuk
menginstropeksi diri kenapa kita tidak berupaya untuk mengejar ketertinggalan
tersebut. Bahkan lebih parah lagi kita larut dan pasrah dalam penjajahan baru
ini dengan saling menyalahkan, korupsi merajalela, perebutan kekuasaan dan
degradasi moral yang luar biasa. Tidak salah kalau kemudian Muhammad Abduh
(muridnya Jamaludin Al-afghani) menyatakan bahwa "aku melihat Islam di
barat tapi tidak aku lihat muslim disana, namun aku melihat muslim di timur
tapi tak kulihat Islam disana" merupakan bentuk kritik beliau atas kondisi
umat muslim pada saat itu.
Langkah Instropeksi tersebut
setidaknya sudah dimulai dari tempat keruntuhan kekhilafahan itu sendiri.
Kemunduran yang dialami Turki semenjak menjadi sebuah negara (republik) sampai
terjadinya krisis besar pada tahun 1997, Turki mengalami kemunduran luar biasa
bahkan digelar sebagai "the sickman", korupsi dimana-mana, mata uang
lira tidak punya nilai sama sekali jika dibandingkan dengan Dolar dan Euro.
Erdogan yang terpilih sebagai
Perdana Menteri dua perioda (14 Maret 2003-28 Agustus 2014) dan Presiden Turki
(28 Agustus 2014 - sekarang) setelah krisis melanda negeri 2 peradaban besar
tersebut, mencoba untuk memperbaikinya dimulai dari memperbaiki fasilitas
publik, memberantas korupsi, membangun kepemimpinan yang tidak hanya dengan
slogan "merakyat" namun betul-betul Pro-Rakyat sehingga pendapatan
perkapita masyarakat Turki naik 5 kali lipat dari hanya 2.500 Lira menjadi
10.500 perkapitanya.
Selain perhatiannya untuk
kebangkitan "ummat" di dalam negeri, saya juga melihat bagaimana
perhatiannya untuk kebangkitan umat secara global.
Selama satu minggu
saya berada di Turki dalam rangka menghadiri Simposium Mahasiswa International
oleh UDEF (sebuah lembaga yang dibentuk oleh organisasi kemanusian Turki untuk
dunia pendidikan Internasional), saya menyaksikan langsung bagaimana hal
tersebut berhasil diwujudkan Pemerintah Turki dengan slogan Hizmetnya, dimana
Pemerintah betul-betul hadir dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat Islam dunia.
Perhatian
pemerintah Turki terhadap konflik Suriah dan sekitarnya cukup besar setidaknya
penanganan pengungsi yang sangat baik bahkan terbaik di abad ini menjadi
jawaban atas itu semua. Selain penanganan pengungsi, perhatian Turki terhadap
dunia Pendidikan juga sangat besar pelajar Internasional (terutama dari negara
Islam) yang belajar di Turki sekarang mungkin lebih bisa menjawab bagaimana
Pemerintah Turki memberikan pelayanannya. Mulai dari beasiswa, diskon
transportasi, diskon makan sampai dengan 50%, kemudahan akses dalam berbagai
kebutuhan pelajar, bahkan untuk Pelajar lokal Pemerintah Turki memberikan
beasiswa gratis dari mulai SD sampai dengan S3.
Didalam persoalan perbedaan mazhab,
Turki juga memiliki cara yang sangat bagus, dimana mayoritas masyarakat
menggunakan mazhab hanafi, namun mazhab-mazhab lain juga tidak pernah menjadi
persoalan utama bagi masyarakat disana, mereka lebih menggunakan Tasamuh(toleransi) didalam beribadah.
Beberapa hal di atas setidaknya
menjadi harapan bagi saya agar Pemerintah kita, khususnya Pemerintah Aceh bisa
belajar banyak terhadap semua yang dilakukan tersebut. Apalagi kita punya
banyak dana (otsus dan bagi hasil migas) yang sangat kontras dengan Turki yang
tidak punya banyak Sumber Daya Alam.
Sungguh diluar batas logika jika
saat ini kita disibukkan dengan hal-hal yang remeh temeh dan terkesan fatalis.
Tentunya kita berharap istilah "gabuek dengan péng griêk" yang tidak
habis-habisnya dari semenjak dulu.
Akhirnya dalam sebuah ziarah ke
makam pahlawan perintis penaklukan konstantinopel Abu Ayub Al Anshary saya
berdo'a semoga Allah Swt. bermurah hati kepada kami masyarakat Aceh untuk
melahirkan generasi pemimpin yang bisa menjadi pahlawan perubahan bagi keadaan
kami saat ini. Amin ya Rabbal'alamiin.
Wallahu'alam
bishawwab.
*Darlis Aziz, Ketua Umum KAMMI
Wilayah Aceh