Saturday, November 14, 2015

Turki Dan Kelahiran Pan Islamisme Baru (Sebuah Catatan Perjalanan)


Turki dan Kelahiran pan Islamisme Baru
(Sebuah catatan perjalanan)
Oleh Darlis Aziz*
Pan Islamisme, adalah sebuah gerakan yang disuarakan oleh Jamaluddin Al-afgani pada pertengahan abad ke 19 lalu. Ide Pan Islamisme (Persatuan Islam) merupakan bentuk perlawanan beliau terhadap penjajahan dan kesewenang-wenangan barat yang waktu itu diwakili oleh Inggris, Prancis, dan beberapa negara sekutunya terhadap negara-negara miskin yang dikenal sebagai negara ketiga yang kebanyakan adalah negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam.

Jamaludin waktu itu menyampaikan ide-ide yang mencerahkan kepada kaum muda terdidik yang menginginkan perubahan bagi negerinya. Hal itu telah membangkitkan kesadaran mereka akan pentingnya mencintai tanah air dan melakukan pembaharuan dalam berbagai sistem kehidupan yang lebih siap melawan imperialisme peradaban barat.

Setelah keruntuhan kekhalifahan terakhir Islam di Ottoman-Turki, fakta menunjukkan ummat islam menjadi "pembebek" peradaban barat, bahkan At-Taturk sendiri sebagai bapak pendiri Negara Turki mewajibkan seluruh warga negaranya untuk mengikuti gaya hidup barat, baik dalam berpakaian, makanan, bahasa, pendidikan dan sebagainya. Hal ini juga bahkan menjalar ke seluruh negara-negara bekas imperium terakhir yang berbentuk monarkhi tersebut seperti Mesir, India, dan negara-negara bekas jajahan Inggris dan Prancis lainnya.

Perpecahan di tubuh kekhalifahan itu telah menyebabkan wilayah kekuasan Islam di bawah Ottoman pecah kedalam lebih dari 50 negara baru. Hal tersebut sebenarnya sudah diprediksi oleh banyak tokoh umat Islam pada waktu itu termasuk Sultan terakhir Turki Usmani yaitu Sultan Abdul Hamid II, beliau melihat virus itu terus menjalar bahkan menyentuh ke dalam jantung kekhalifahan di Turki. Menyadari hal tersebut beliau pun memanggil Jamaluddin Al-afghani untuk menangkal virus tersebut dengan mendukung ide yang dibawanya saat itu yaitu Pan Islamisme, namun ketidak siapan sang Sultan terhadap luasnya ide yang dibawa yaitu reformasi total terhadap sistem monarki menyebabkan dia (Jamaluddin) harus mendekam didalam jeruji besi.

Ide cemerlang tersebut sebenarnya merupakan jawaban atas "status quo" kekhalifahan yang tidak lagi bisa menjawab setiap persoalan yang dihadapi dalam berbagai dimensi kehidupan ummat yang sedang dijajah oleh pemikiran dan peradaban luar.

Akibat tidak diakomodirnya proposal yang ditawarkan oleh Jamaluddin tersebut -tanpa menafikan juga berbagai sebab-sebab ilahiah lainnya- harus dibayar mahal oleh Ummat Islam dengan hilangnya pagar penjaga umat (kekhalifahan) pada tahun 1923, atau 92 tahun yang lalu.

Maha besar Allah yang telah menjanjikan untuk mempergilirkan kekuasaan kepada siapapun yang dikehendakinya (Q.S. Ali-Imran :26), ketika ummat Islam jauh dari jalanNya, maka bisa saja Allah mencabut kekuasaan yang dimiliki dan diberikan kepada yang lain (Barat). Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali ketika terjadi perang salib, "Kebanyakan dari kita lebih sering menangisi kekalahan tersebut daripada mempertanyakan kenapa kita bisa kalah" (Majid Irsan Kilani : 2006).

Barat yang lebih siap didalam Ilmu Teknologi, Manajemen, Pendidikan, Transportasi, Kebersihan, Ketertiban, Pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya, namun disaat yang sama kita meninggalkan hal-hal utama didalam Islam tersebut dan tidak berupaya untuk menginstropeksi diri kenapa kita tidak berupaya untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Bahkan lebih parah lagi kita larut dan pasrah dalam penjajahan baru ini dengan saling menyalahkan, korupsi merajalela, perebutan kekuasaan dan degradasi moral yang luar biasa. Tidak salah kalau kemudian Muhammad Abduh (muridnya Jamaludin Al-afghani) menyatakan bahwa "aku melihat Islam di barat tapi tidak aku lihat muslim disana, namun aku melihat muslim di timur tapi tak kulihat Islam disana" merupakan bentuk kritik beliau atas kondisi umat muslim pada saat itu.

Langkah Instropeksi tersebut setidaknya sudah dimulai dari tempat keruntuhan kekhilafahan itu sendiri. Kemunduran yang dialami Turki semenjak menjadi sebuah negara (republik) sampai terjadinya krisis besar pada tahun 1997, Turki mengalami kemunduran luar biasa bahkan digelar sebagai "the sickman", korupsi dimana-mana, mata uang lira tidak punya nilai sama sekali jika dibandingkan dengan Dolar dan Euro.

Erdogan yang terpilih sebagai Perdana Menteri dua perioda (14 Maret 2003-28 Agustus 2014) dan Presiden Turki (28 Agustus 2014 - sekarang) setelah krisis melanda negeri 2 peradaban besar tersebut, mencoba untuk memperbaikinya dimulai dari memperbaiki fasilitas publik, memberantas korupsi, membangun kepemimpinan yang tidak hanya dengan slogan "merakyat" namun betul-betul Pro-Rakyat sehingga pendapatan perkapita masyarakat Turki naik 5 kali lipat dari hanya 2.500 Lira menjadi 10.500 perkapitanya.

Selain perhatiannya untuk kebangkitan "ummat" di dalam negeri, saya juga melihat bagaimana perhatiannya untuk kebangkitan umat secara global.
Selama satu minggu saya berada di Turki dalam rangka menghadiri Simposium Mahasiswa International oleh UDEF (sebuah lembaga yang dibentuk oleh organisasi kemanusian Turki untuk dunia pendidikan Internasional), saya menyaksikan langsung bagaimana hal tersebut berhasil diwujudkan Pemerintah Turki dengan slogan Hizmetnya, dimana Pemerintah betul-betul hadir dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Islam dunia.

Perhatian pemerintah Turki terhadap konflik Suriah dan sekitarnya cukup besar setidaknya penanganan pengungsi yang sangat baik bahkan terbaik di abad ini menjadi jawaban atas itu semua. Selain penanganan pengungsi, perhatian Turki terhadap dunia Pendidikan juga sangat besar pelajar Internasional (terutama dari negara Islam) yang belajar di Turki sekarang mungkin lebih bisa menjawab bagaimana Pemerintah Turki memberikan pelayanannya. Mulai dari beasiswa, diskon transportasi, diskon makan sampai dengan 50%, kemudahan akses dalam berbagai kebutuhan pelajar, bahkan untuk Pelajar lokal Pemerintah Turki memberikan beasiswa gratis dari mulai SD sampai dengan S3.

Didalam persoalan perbedaan mazhab, Turki juga memiliki cara yang sangat bagus, dimana mayoritas masyarakat menggunakan mazhab hanafi, namun mazhab-mazhab lain juga tidak pernah menjadi persoalan utama bagi masyarakat disana, mereka lebih menggunakan Tasamuh(toleransi) didalam beribadah.

Beberapa hal di atas setidaknya menjadi harapan bagi saya agar Pemerintah kita, khususnya Pemerintah Aceh bisa belajar banyak terhadap semua yang dilakukan tersebut. Apalagi kita punya banyak dana (otsus dan bagi hasil migas) yang sangat kontras dengan Turki yang tidak punya banyak Sumber Daya Alam.

Sungguh diluar batas logika jika saat ini kita disibukkan dengan hal-hal yang remeh temeh dan terkesan fatalis. Tentunya kita berharap istilah "gabuek dengan péng griêk" yang tidak habis-habisnya dari semenjak dulu.

Akhirnya dalam sebuah ziarah ke makam pahlawan perintis penaklukan konstantinopel Abu Ayub Al Anshary saya berdo'a semoga Allah Swt. bermurah hati kepada kami masyarakat Aceh untuk melahirkan generasi pemimpin yang bisa menjadi pahlawan perubahan bagi keadaan kami saat ini. Amin ya Rabbal'alamiin.
Wallahu'alam bishawwab.
*Darlis Aziz, Ketua Umum KAMMI Wilayah Aceh