Sabtu,
5 Desember 2015 - 12:50 WIB
Umat Islam merasakan ada sesuatu yang tidak adil;
tetapi suara mereka seperti tersekat
Nativisasi adalah usaha untuk
mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan pembangunan bangsa
Oleh: Dr. Adian Husaini
RASULULLAH Shallallahu
‘Alaihi Wassallam bersabda: “Hampir
tiba suatu masa dimana berbagai kaum mengepung kalian, bagaikan orang-orang
yang lapar mengerumuni hidangan mereka.” Maka seorang sahabat Nabi bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari
itu?” Nabi menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu
banyak, tetapi kamu (laksana) buih dari air yang mengalir; dan Allah
Subhanahu Wata’ala akan mencabut rasa takut terhadap kalian dari hati
musuh-musuh kalian; dan Allah Subhanahu Wata’ala akan menancapkan ke dalam hati
kalian penyakit al-wahnu.”
Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya RasulAllah ?” Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassallam menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu
Daud)
Di zaman
seperti sekarang, kita, umat Islam, patut benar-benar merenungkan makna hadits
Nabi Muhammad tersebut. Bahwa, ada satu zaman dimana kondisi umat
Islam laksana buih. Jumlahnya banyak, tetapi tidak berharga; tidak disegani
oleh musuh-musuh Islam. Ketika itu umat Islam ada dalam kondisi dikeroyok oleh
berbagai kaum. Mereka yang mengepung umat Islam itu adalah manusia-manusia
lapar yang meleleh air liurnya, sedang siap menerkam hidangan lezat. Mereka
siap menerkam dan mencabik-cabik, melumat, dan menelan hidangan lezat di
hadapannya.
Gambaran
Nabi tentang kondisi umat Islam seperti itu mengejutkan para
sahabat beliau yang mulia. Maka, seorang diantara mereka bertanya, apa
sebab-musababnya, sehingga umat Islam menjadi makhluk lemah tak berdaya dan
super-hina seperti itu? Apakah karena mereka berjumlah sedikit? Nabi
pun menjawab, bahwa jumlah umat Islam itu banyak. Tetapi, mereka
adalah “buih” air yang mengalir. Buih adalah benda tidak berharga; tidak
bernilai, tidak diperhitungkan; mengikut saja kemana arus air mengalir.
Ketika
itulah umat Islam menjadi bulan-bulanan berbagai kaum; menjadi ajang permainan;
tidak berdaya dihadapan musuh-musuh yang sudah lama menunggu kesempatan
mencabik-cabik mereka. Rasa takut, rasa segan, apalagi rasa hormat terhadap
umat Islam tiada lagi. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassallam menjelaskan akar masalah atau sumber penyakit umat Islam,
yakni mereka terjangkit penyakit ganas bernama “al-wahnu”, yaitu
penyakit cinta dunia dan takut mati. Ibarat virus HIV, penyakit al-wahnu kemudian
menggerogoti daya tahan tubuh manusia. Berbagai virus atau bakteri penyakit –
bahkan yang daya virulensinya lemah sekalipun – dengan leluasa merusak
sel-sel dan jaringan tubuhnya.
Mari kita
renungkan dengan pikiran jernih dan perasaan yang lapang! Apakah kondisi kita
dan umat Islam sekarang ini seperti telah digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassallam ? Jumlah kita di Indonesia sekarang
lebih dari 200 juta jiwa. Itu jumlah yang sangat besar. Jumlah kaum Yahudi di
dunia saat ini saja tidak sampai 15 juta orang. Tetapi, dunia paham, bagaimana
kedudukan dan kemampuan kaum Yahudi dalam menguasai berbagai bangsa, termasuk umat
Islam. (Lihat: www.davidduke.com).
Kaum yang
kecil ini masih terus menjajah, menista, dan membunuhi orang-orang Palestina.
Bangsa Palestina yang berjuang untuk merebut kemerdekaan justru sering
diposisikan sebagai pihak yang salah; diberikan julukan militan, radikal, dan
teroris. Sementara negara Israel masih nyaman dengan aneka perilaku
kejahatannya. Tak ada sanksi internasional yang diterimanya.
Israel masih
saja menikmati dukungan dari negara AS dan khususnya kaum Kristen fundamentalis
(Kristen-Zionis) yang mempercayai kejayaan negara Yahudi Israel sebagai
prasayarat kedatangan Yesus kedua kalinya (the second coming of Christ).
Meskipun membunuh ribuan warga jajahan Palestina, media-media massa
internasional tidak menjuluki Benyamin Netanyahu sebagai seorang militan atau
teroris Yahudi. Itu sangat berbeda dengan pelaku serangan 11 September 2001 dan
Serangan Paris belum lama ini – siapa pun mereka. Para pemimpin dunia langsung
meneriakkan para pelakunya sebagai teroris.
Di
Indonesia, umat Islam bisa memahami dan merasakan, bagaimana dahsyatnya serbuan
kaum Kristen GIDI di Papua terhadap masjid dan kios-kios umat Islam di sana.
Serangan itu dilakukan ketika umat Islam sedang menjalankan shalat Idul Fithri.
Pemerintah tahu itu. Umat Islam pun paham, bagaimana kemudian proses penanganan
terhadap para pelaku. Mereka tidak disebut sebagai teroris atau diberikan label
teroris Kristen. Entah sudah berapa puluh tentara dan polisi yang meninggal
dibunuh di Papua. Hingga kini, pelakunya tidak disebut sebagai teroris. Mereka
hanya disebut kelompok bersenjata.
Umat Islam
merasakan ada sesuatu yang tidak adil; tetapi suara mereka seperti tersekat.
Dari berbagai berita dan informasi yang beredar terus-menerus secara beruntun
melalui media sosial dan media komunikasi umat – khutbah, majlis taklim, dan
sebagainya – terbentuk pemahaman yang sama, bahwa umat Islam merasa
diperlakukan tidak adil. Perasaan itu bisa terus terakumulasi, tertimbun dalam
hati, seperti api dalam sekam. Semua kekacauan dunia ini ditimpakan
kesalahannya kepada ISIS dan kelompok sejenis. Dulu, kesalahan itu ditimpakan
kepada al-Qaeda (Al Qaidah). AS dan kawan-kawannya tidak pernah salah. Might
is right. Yang kuat adalah yang benar.
Digelontorkan
opini global, bahwa yang salah adalah kaum radikal. Liberal tidak salah.
Umat Islam lalu dipaksa
berpikir liberal, meskipun dengan kemasan baru. Dibuatlah opini,
seolah-olah ada yang namanya “Islam Nusantara”, yang katanya berbeda dengan
“Islam Arab”. Katanya, Islam Nusantara itu hebat sekali, karena bersifat
damai dan toleran.
Sejumlah
survei menggambarkan bahwa umat Islam Indonesia tidak toleran, karena tidak
bisa menerima paham-paham dan aliran sesat. Umat Islam disuruh menerima paham
dan apa saja, sehingga umat Islam layak menerima julukan “terhormat” sebagai
umat yang toleran, berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Pokoknya telan
saja!
Pada saat
yang sama, umat Islam dan bangsa Indonesia dipaksa menerima aneka jenis hiburan
yang “melenakan” jiwa bangsa.
Berbagai
perilaku amoral, mengumbar aurat, melecehkan norma dan akal sehat,
terus-menerus diberikan tempat terhormat di layar kaca. Semua atas nama
kebebasan. Paham liberalisme ekstrim yang membongkar nilai-nilai moral agama
dan kesopanan pun bebas dijejalkan kepada masyarakat. Lalu, disela-sela
tontonan yang memanjakan syahwat, diselipkan iklan perlunya bangsa Indonesua
melakukan revolusi mental. Apa definisinya? Telan saja dulu.
Dari
berbagai pertanyaan yang muncul dalam forum-forum kajian dan perkuliahan, saya
memahami adanya keresahan umat Islam di Indonesia terhadap diri dan bangsa
mereka. Sebagai mayoritas, umat Islam seperti merasakan adanya kekuatan dahsyat
yang mengeroyok diri dan keimanan mereka. Ironisnya, umat Islam merasa tidak
berdaya, karena mereka berhasil dipecah belah dan diadu-domba. Devide
et impera! Artinya, pecah belah dan adu domba! Sebagian tokoh dan kalangan
umat Islam diangkat, diberikan tempat terhormat, untuk digunakan menyerang
kelompok lain. Ratusan tahun kekuatan penjajah – yang kecil jumlahnya –
berhasil memecah belah bangsa Indonesia dan kemudian dengan leluasa mengeruk
kekayaan alam negeri kita.
Sepatutnya,
umat Islam mau belajar dari sejarah.
Lihatlah
saat ini, kondisi bangsa kita sendiri! Para politisi yang semua mengaku
sebagai patriot dan cinta bangsa, terlibat tindakan saling jegal, saling
caci-maki, dan saling hujat, untuk mengangkat diri dan kelompoknya dengan
menjatuhkan politisi lain. Rakyat diajari para elite bangsa untuk terus-menerus
terlibat dalam pelestarian dendam dan kebencian. Rasa kasih sayang pada sesama
perlahan-lahan sirna bersamaan dengan meruyaknya kebebasan saling caci di media
sosial.
Mungkin,
kondisi umat Islam saat ini bisa diumpamakan laksana seorang musafir yang
dirampas harta bendnya dan dilucuti pakaiannya. Yang tersisa tinggal celana
kolor, jiwa, pemikiran, dan keimanannya. Si musafir masih bersyukur, ada
yang tersisa. Tapi, si perampas masih tidak puas. Pikiran dan jiwanya pun hendak
dilucuti pula. Ia tidak boleh lagi berpikir dan meyakini bahwa agamanya sendiri
yang benar. Dengan mudahnya ia mendapat julukan garis keras, fundamentalis,
radikal, intoleran, dan sebagainya. Bagi kaum kafir, iman dianggap tidak
penting.
Bahkan, ada
yang menyebut, keyakinan beragama sebagai sumber konflik umat beragama.
Disebarkanlah paham pluralisme yang meminta umat Islam mengakui kebenaran semua
agama; atau minimal ‘pluralisme kewargaan’ yang mengajak umat Islam memiliki
pandangan dan sikap bahwa keimanan, kesesatan, dan kekufuran harus diperlakukan
sama di ruang publik; diberikan perlakuan dan anggaran yang sama. Katanya, itu
demi HAM dan kebebasan beragama; Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
mereka pandang lebih suci dan lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan
al-Quran. Dengan alasan, negara Indonesia bukan negara Islam. Mereka tidak
ridho jika umat Islam punya iman yang kokoh, karena dianggap membahayakan
eksistensi dan kenyamanan kekufuran.
Semoga kita
masih berakal sehat. Jika seorang yang mengaku muslim menyatakan, bahwa iman
dan kufur, tauhid dan syirik adalah sama saja, lalu apa artinya keimanan bagi
dirinya? Jika ada polisi mengatakan, bahwa korupsi dan tidak korupsi sama saja,
maka apa artinya ia jadi polisi? Maka, sungguh aneh jika para para ulama dan
pejabat yang muslim berdiam diri ketika ada seorang kepala daerah dengan
sengaja dan terang-terangan mengembangkan paham kemusyrikan, dengan alasan
mengembangkan kebudayaan atau kebijakan lokal (local wisdom).
Padahal,
setiap hari, seorang muslim senantiasa memanjatkan doa untuk Nabi Muhammad
dan Nabi Ibrahim a.s. dalam shalatnya. Ketangguhan dan
kegigihan Nabi Ibrahim a.s. dalam melawan kemusyrikan sungguh luar biasa.
Beliau harus berhadapan dengan raja, masyarakat, dan bahkan orang tuanya
sendiri. Nabi Muhammad pun memberikan keteladanan bagaimana
membersihkan patung-patung di dalam Ka’bah. Apa yang akan dikatakan sang kepala
daerah dan pejabat yang mengaku muslim kepada Allah Subhanahu
Wata’ala di akhirat nanti jika mereka ditanya
tentang maraknya pembuatan dan penyembahan patung-patung? Belum lagi
pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara yang seharusnya memprioritaskan
pemenuhan kebutuhan pokok, seperti pendidikan, pekerjaan, pangan, sandang,
papan, dan seterusnya.
Nativisasi
Dalam buku Percakapan
Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Mohammad Natsir
menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia saat
ini, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi dan (3) gerakan nativisasi.
Dalam nasehat yang disampaikan kepada M. Amien Rais dan kawan-kawan, Pak Natsir
mengingatkan perlunya umat Islam mencermati dengan serius gerakan nativisasi
yang dirancang secara terorganisir, yang biasanya melakukan koalisi dengan
kelompok lain yang juga tidak senang pada Islam, apakah golongan Kristen maupun
golongan sekularis sendiri.
Nativisasi
adalah usaha untuk mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan pembangunan
bangsa. Digambarkan seolah-olah Islam adalah biang keladi kehancuran kejayaan
bangsa yang disimbolkan dengan kejayaan Majapahit. Gara-gara perkembangan
dakwah Islam – yang dilakukan terutama oleh Wali Songo – Majapahit hancur.
Maka, secara diam-diam dan terus-menerus, dirancang strategi untuk merusak
keimanan umat Islam dengan cara mengembangkan paham syirik dengan aneka rupa
istilah indah-indah, sejenis ”local wisdom” dan sebagainya. Islam diletakkan
sebagai ”virus asing” yang bertentangan dengan budaya lokal. Uniknya,
pengembangan tradisi syirik di tengah kaum muslim, tak jarang mendapat sokongan
pejabat dan pihak asing.
Sebagian
kalangan Hindu, bahkan bernafsu ingin mengambalikan orang Jawa agar memeluk
kembali agama Hindu. Majalah Media Hindu(Oktober, 2011) menulis: “Kembali
menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi
Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat
memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk
menjadi negara maju.”
Salah satu
proyek nativisasi yang terkenal adalah diterbitkannya kitabDarmogandul yang
sangat melecehkan Islam. Dalam Tesis masternya di Program Magister Pemikiran
Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Susiyanto menunjukkan beberapa
paragraf dalam KitabDarmogandul, yang secara tersurat
mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa: “Serat ‘Arab djaman wektu
niki,sampun mboten kanggo,resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi
prakawis, Serate Djeng Nabi, Isa Rahu’llahu. Artinya, Serat Arab
jaman waktu ini sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang
digunakan untuk memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah. ”Wong
Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama
kawruh, …. Yang artinya, “Orang Jawa berganti agama, besok banyak yang
meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi)”.
Kitab Darmogandul yang
tidak diketahui penulisnya hingga kini, adalah kitab yang ditujukan untuk
melecehkan Islam, dan mengagungkan budaya lokal. Para Wali Songo digambarkan
sebagai manusia-manusia yang tidak tahu balas budi yang mengkhianati Raja
Majapahit. Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama Pertama RI, pernah
menulis dan menerjemahkan Darmogandul yang banyak memuat
pelecehan terhadap Islam. Dalam salah satu bait Pangkur-nya serat ini menulis:
“Akan tetapi
bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah
sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah Subhanahu Wata’ala,
memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam
hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Ada lagi
ungkapan dalam serat ini: “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, nabi terakhir. Ia
sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur.
Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi
sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala
ditaruh di tanah berkali-kali.”
“…
Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak
sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh
dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak
pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
Menyimak
berbagai peristiwa yang menimpa umat Islam di Indonesia dan berbagai dunia,
patutlah kita merenung, apakah kondisi kita saat ini seperti yang sudah
dinubuatkan oleh Nabi Muhammad ? Jika benar, kita patut melakukan
diagnosa yang menyeluruh, untuk menemukan sumber penyakitnya, dan kemudian kita
lakukan terapi kausalis dan simptomatis sekaligus! Tujuannya, agar penyakit itu
tidak kambuh lagi di masa depan. Allahu A’lam.*/Depok, 4 Desember
2015
Penulis
adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun
Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Rep:
Cholis Akbar
Editor:
Admin Hidcom
Mayoritas paling menderita
kasus terorisme adalah negara muslim
Sabtu,
21 November 2015 - 08:59 WIB
Negeri 1001 Malam ini mencatatkan skor bulat 10 sebagai
negara dengan dampak terorisme paling parah di dunia
Menurut Chomsky, Amerika telah
menjadi penguasa tukang kontrol dan menjadi’kekuatan teroris
utama’
Iraq menjadi
negara dengan dampak terorisme paling besar tahun lalu, menurut sebuah
penelitian. Global Terrorism Index 2015 (GTI) mencatat 9.929 kematian karena
aksi terorisme di Iraq pada 2014, yang tertinggi untuk sebuah negara pada
laporan yang dilansir oleh Institute for Economics and Peace (IEP). Studi
tersebut juga menunjukkan bahwa meski dampaknya terasa ke seluruh dunia, angka
kematian tertinggi hanya terjadi di lima negara.
Index yang
dirilis sebelum penembakan di Paris, menemukan bahwa 78 persen kematian karena
tindak terorisme pada 2014 terjadi di Iraq, Afghanistan, Nigeria, Pakistan, dan
Suriah. Berikut adalah kesepuluh negara yang disebutkan dalam Global
Terrorism Index,dengan urutan dari yang teringan sampai terberat:
Thailand: mencatat
skor 7,279, negara ini adalah negara dengan skor tertinggi di kawasan Asia
Tenggara. Pada 2014, Thailand mencatatkan serangan teroris terbanyak dalam
sejarah Negara Gajah Putih tersebut, dengan peningkatan insiden sebanyak 16%
dari tahun sebelumnya, meski angka kematian turun jika dibandingkan pada masa
genting tahun 2009 yang mengakibatkan hilangnya nyawa 255 orang. Konflik di
Thailand terjadi paling banyak di selatan negara tersebut, dimana terjadi
banyak pertentangan antara Muslim Thailand dan pemerintahnya.
Libya: dengan
skor 7,29, Libya mencatatkan peningkatan 255% kematian akibat terorisme pada
2014 dibandingkan tahun sebelumnya. Terorisme di Libya terkait atas krisis
Libya yang berawal pada 2011 setelah terlemparnya Muammar Qadhfy dari kursi
kekuasaan.
Somalia: skor
negara ini adalah 7,6 dalam GTI, dan telah berada dalam peringkat sepuluh besar
negara yang paling terpengaruh selama 8 tahun berturut-turut. Dalam sejarahnya,
tahun 2014 tercatat sebagai tahun dengan jumlah korban jiwa paling buruk.
Insiden terburuk terjadi saat 20 orang terbunuh dan 20 orang lainnya terluka
saat sebuah bom bunuh diri terjadi di sebuah café.
Yaman: sebanyak
512 insiden terorisme terjadi selama 15 tahun belakangan di Yaman, dan
mencatatkan skor 7,642. Pada 2014, jumlah aksi terorisme meningkat sebanyak 72%
dibandingkan tahun sebelumnya, dengan jumlah korban jiwa mencapai 654 orang.
Jumlah tersebut meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun terburuk
sebelumnya, yakni pada 2012 di mana terdapat 372 orang korban jiwa.
India: Secara
mengejutkan, negara ini telah 14 kali muncul sebagai ‘top 10’ dalam GTI, dengan
skor tahun ini sebanyak 7,747. Kebanyakan aksi terorisme di India memiliki
jumlah korban yang kecil. Pada 2014, sekitar 70% serangan tidak memakan korban
jiwa. Mungkin ini juga alasan mengapa aksi terorisme di India tidak terdengar
di berita Internasional. Kebanyakan aksi terror di India dilakukan oleh tiga
kelompok: komunis, Islamis, dan separatis.
Suriah: 8,108
adalah skor negara ini di GTI. Pada 2014, terdapat 1690 korban jiwa akibat aksi
terorisme di Suriah. Jika Anda berpikir bahwa angkanya terbilang kecil jika
dibandingkan apa yang ditampilkan di media tentang Suriah, ini karena
kebanyakan kematian di Suriah dicatat sebagai korban perang. Serangan terburuk
di Suriah adalah saat sebuah kendaraan meledak di dekat sebuah pasar yang
membunuh 40 orang dan mencederai 60 orang lainnya. (Rilis resmi PBB
menyebutkan, jumlah sipil akibat kekejian rezim Bashar al Assad mencapai lebih
200 ribu jiwa)
Pakistan: Meski
jumlah insiden di Pakistan telah turun sebanyak 7%, Pakistan masih berada di 5
besar dengan skor 9,065. Ini dikarenakan masih banyaknya orang yang tewas dalam
serangan terorisme di Pakistan, dengan 1760 orang menjadi korban selama tahun
2014. Kelompok paling mematikan di negara yang beribukota di Islamabad ini
adalah Tehrik-i-Taliban Pakistan, yang bertanggungjawab atas 31% serangan dan
60% korban jiwa.
Nigeria: Negara
yang memindah ibukotanya dari Lagos ke Abuja pada akhir 1991 tersebut
mencatatkan skor 9,213 dalam GTI. Pada 2014, Boko Haram di Nigeria menjadi grup
paling mematikan di dunia, dengan jumlah korban yang dibunuh mencapai 6118
orang. Tahun sebelumnya, Boko Haram bertanggungjawab atas 86% kematian di
Nigeria. Di peringkat kedua, terdapat kelompok militan Fulani yang membunuh
1229 orang selama tahun 2014.
Afghanistan: dengan
skor 9,233, negara ini berada di peringkat kedua dengan dampak terparah dari
aksi terorisme. Pada 2014, terdapat aksi terorisme di 515 kota berbeda di
Afghanistan. Meski begitu, tempat yang paling banyak mengalami aksi terorisme
terkonsentrasi di daerah 100 mil dari perbatasan dengan Pakistan, dengan polisi
sebagai target paling banyak, mencapai 50% dari keseluruhan aksi.
Iraq: Negeri
1001 Malam ini mencatatkan skor bulat 10 sebagai negara dengan dampak terorisme
paling parah di dunia. Sejumlah 3370 aksi terorisme terjadi di Iraq selama
2014, mengakibatkan 9929 orang meninggal dunia, 4211 bangunan rusak, serta
mencederai 15137 orang.
Dari
kesepuluh negara tersebut, 7 diantaranya negara dengan mayoritas Muslim,
sementara Nigeria memiliki populasi Islam dan Kristen yang sama rata. IEP juga
menemukan bahwa terdapat pergeseran terhadap persebaran target tindak terorisme
selama 2014, dimana terjadi penurunan angka kematian pemuka agama dan
penganutnya sebanyak 11 persen, namun jumlah kematian penduduk sipil malah
meningkat tajam sebanyak 172%.
Sebagai
tambahan, IEP mengatakan para korban aksi-aksi tersebut adalah negara-negara
dengan problem-problem pengungsian paling parah. Ini membenarkan pernyataan
Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker yang berkomentar bahwa mereka yang
melakukan aksi penembakan di Paris adalah mereka yang dihindari oleh para
pengungsi.
Sementara
dalam Index yang sama, Indonesia tercatat pada ranking 33 dengan skor 4,755.
Barat ikut Sibuk
Sayangnya,
semua angka-angka ini tidak ikut memasukkan ‘State Terorism’ (Terorisme
yang dilakukan Negara). Seperti invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya
terhadap Negara Afghanistan tahun 2001 dalam Operation Enduring Freedomyang
diklaim mencapai lebih dari dari 50.000 orang (15.000-20.000 milisi
Taliban dan 25.000-30.000 warga sipil)
Termasuk
invasi Amerika Serikat dan sekutunya di Iraq. Data Iraq Body Count (IBC)
jugkorban invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya pada serangan ke Iraq tahun
2003 mengorbankan sekitar 13,500–45,000 warga sipil.
Ini belum
termasuk jutaan korban teror penjajah Israel di Palestina semenjak dimulainya
pendudukan tahun 1948. Juga penjajahan negara-negara Eropa di negeri Muslim
seperti dilakukan Prancis dan Inggris di kawasan Timur Tengah.
Menariknya,
meski yang banyak menjadi korban terorisme itu umat Islam, yang merasa paling
sibuk membasmi terorisme justru Negara-negara Barat dan Eropa.
Atas nama
‘Perang Melawan Teror’, tahun 2001, Presiden AS George W. Bush pertama
kali meluncurkan proram Global War on Terrorism/GWOT, sebuah
kampanye perang melawan terorisme.
Namun
faktanya, justru AS dan negera-negara besar inilah yang dinilai menjadi biang
kerok instabiltas sosial-politik-ekonomi dan kemanan di berbagai belahan dunia
Islam.
Karena itu,
Michel Chossudovsky, Profesor Ekonomi (Emeritus) pada Universitas Ottawa,
Direktur dari the Centre for Research on Globalization (CRG),
Montreal dan penulis bukunya The Globalization of Poverty and The New
World Order (2003) dan America’s War on Terrorism (2005)
pernah menulis di www.globalresearch.ca bahwa sesungguhnya ancaman nyata terhadap keamanan
global justru berasal dari aliansi Amerika Serikat-NATO-Israel.
Profesor
linguistik di Massachuset
Insitute
Technology (MIT), Dr. William Chomsky dalam bukunya Pirates and
Emperor: International Terrorism in the Real World, yang telah
diterjemahkan oleh Mizan dengan judul Maling Teriak Maling; Amerika
Sang Teroris?
Menurut
Chomsky, Amerika telah menjadi penguasa tukang kontrol kehidupan masyarakat
dunia. Bahkan, lebih dari itu, dengan standar ganda yang digunakan dalam
berbagai kasus, Amerika telah menjadi’kekuatan
teroris utama’, ujar Chomsky.*