Monday, December 7, 2015

Semua Negara Kafir Salibis/Kafir Komunis/Kafir Syiah Membunuhi Ratusan Ribu Anak-Anak/Perempuan Muslim ( Ahlus Sunnah ) Suriah ! Bagaimana Reaksi Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam/Para Sahabat Radhiyallahu 'Anhu, Sekiranya Masih Hidup Menyaksikan Umat Islam ( Masih Mengharapkan Jannah ? ) Membela Kaum Kafir Tersebut ( Baik Ucapan/Hatinya ) Atau Diam ?

Kedudukan Hukum Membantu Orang Kafir dalam Memerangi Kaum Muslimin

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS. Al-Fath[48] : 29).
Sebelum tragedi Suriah, jutaan  kaum Muslimin ( Ahlus Sunnah ) dibantai dengan keji oleh kufar-kufar diatas di Afghanistan, Chechnya, Irak, Libia, Somalia, Mali, Philipina dengan dalih/alasan penuh kebohongan ( karangan ), pada dasarnya karena kebencian mereka kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setelah Suriah mungkin akan ada lagi Negara muslim yang diperlakukan sama. Mengapa para pemimpin umat/tokoh-tokoh muslim  di Negara kita seperti tidak peduli dengan nasib tragis umat Islam suriah ? mereka terkesan menyuarakan yang bertolak belakang atau tidak berani membela saudara sesama muslim ( ahlus sunnah ) ! Apakah mereka menginginkan kufar syiah Nushairiyah Bashar Asad ( 12 % penduduk Suriah ) terus berkuasa dan membantai umat Islam ( 85 %  penduduk suriah ) ? semua sikap kita akan dipertanggung jawabkan di yaumil akhir !

Menolong orang kafir dalam menindas kaum muslimin

Ini adalah perkara yang sangat berbahaya. Hal ini termasuk pembatal keislaman jika maksudnya adalah menolong orang kafir untuk menindas kaum muslimin disertai dengan kecintaan pada agama atau ajaran mereka. Allah Ta’ala berfirman,
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia” (QS. Al Mumtahanah : 1)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain. “Barangsiapa di antara kamu berloyal pada mereka (menolong mereka), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
(QS. Al Ma-idah : 51)
Para ulama bahkan mengatakan bahwa perbuatan semacam ini termasuk pembatal keislaman dan sebab seseorang murtad. Na’udzu billah min dzalik.
Sedangkan jika tidak ada pilihan lain (artinya: dipaksa) untuk melakukan seperti itu, namun tidak disertai dengan rasa cinta pada kekufuran mereka, maka ini dikhawatirkan saja dapat keluar dari Islam. Adapun jika masih punya pilihan (tidak dipaksa), namun ia masih benci pada agama kekafiran, maka ia terjerumus dalam dosa besar. ( Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqod, hal. 360 dan penjelasan Syaikh Sholih Al Fauzan dalam Durus fii Syarh Nawaqidil Islam, hal, 157-158.

Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi -Hafidzahullah- menerangkan;
Jika ada seseorang membantu musyrikin dalam memerangi muslimin, hal ini berarti dia loyal kepada musyrikin dan mencintai mereka. Dan berloyal kepada mereka adalah riddah (kemurtadan) karena hal ini menandakan akan kecintaannya kepada mereka. Apabila ia menolong mereka dengan harta, dengan senjata, dengan informasi-informasi dan masukan, ini menunjukkan akan kecintaan dia kepada mereka dan mencintai mereka membatalkan Islam (riddah). Dan dasar wala’/loyalitas adalah cinta dan lahir darinya memberi bantuan, dukungan dengan masukan, harta dan senjata. Maka jika seseorang membantu musyrikin dalam memerangi muslimin ini berarti ia melebihkan musyrikin dari muslimin…


Kedudukan Hukum Membantu Orang Kafir dalam Memerangi Kaum Muslimin

Amerika Serikat membentuk dan memimpin langsung koalisi internasional untuk menggempur Daulah Islamiyah (IS) di Irak dan Suriah. Berbagai upaya dilakukan koalisi yang beranggotakan puluhan negara itu, mulai dari melancarkan serangan udara, mengirimkan perlengkapan militer hingga bantuan lainnya. Tak hanya negara-negara Barat saja yang bergabung dalam koalisi tersebut, namun beberapa negara Arab yang mayoritas penduduknya Islam juga turut membantu koalisi yang diprakasai oleh Obama tersebut. Dengan dalih ingin menghancurkan IS/ISIS, karena selain mengancam keamanan negara Arab lainnya, IS/ISIS juga dianggap bertindak di luar batas kewajaran manusia, beberapa negara muslim yang tergabung dalam koalisi siap membantu apa saja yang dibutuhkan dalam serangan tersebut.

Namun fakta berbicara lain, ketika pasukan koalisi internasional itu mulai melakukan serangannya, ternyata yang menjadi target sesungguhnya tidak hanya IS/ISIS saja, namun sejumlah faksi-faksi mujahidin lain pun turut menjadi target serangan mereka. Bahkan tak sedikit dari rakyat sipil yang menjadi korban dalam serangan yang mereka lancarkan.[1]

Sehingga tak heran, jika sejak awal pembentukan koalisi itu, banyak para ulama yang mengecam upaya pembentukan tersebut. Meskipun sebagian besar tindakan yang dilakukan oleh IS/ISIS tidak disetujui oleh mereka, namun mereka seolah-olah sudah bisa memprediksi bahwa selain ingin menggempur IS/ISIS, banyak tersimpan kepentingan lain yang menjadi target Amerika dalam pembentukan koalisi tersebut.

Ketika menanggapi tentang rencana koalisi tersebut, Syaikh Abu Bashir At-Thartusi, sosok ulama jihadis yang dikenal paling kritis terhadap IS/ISIS, berkomentar, “Yang tampak dari tujuan serangan koalisi mereka dan pengeboman pengecut mereka adalah Jamaah ISIS dan terorisme seperti yang mereka klaim, padahal tujuan tersembunyi mereka adalah menyerang rakyat dan tanah Suriah!. Mereka ingin menghancurkan masa depan Suriah dan revolusi Suriah, menghancurkan kebebasan dan kemerdekaan Suriah agar mereka dapat memberlakukan idiologi mereka – yang di dalamnya ada kepentingan mereka – terhadap rakyat Suriah.”[2]

Sementara Syaikh Al-Maqdisi, ulama rujukan para mujahidin, tak segan-segan menyebutkan pasukan koalisi tersebut dengan sebutan pasukan salib yang sedang bersatu menyerang ummat Islam.[3]

Kecaman ulama terhadap pasukan koalisi tersebut, ternyata tidak hanya muncul dari para ulama yang ikut berkecimpung langsung dalam medan jihad. Kecaman itu juga datang dari Ketua Persatuan Ulama Internasional, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi yang ikut mengecam pembentukan koalisi internasional tersebut. “Saya memiliki gagasan dan metode yang sama sekali berbeda dengan IS. Di sisi lain, saya tidak terima dengan tindakan Amerika Serikat untuk memerangi mereka karena AS hanya mengikuti kepentingannya sendiri, bukan nilai-nilai Islam.” demikian ungkap Syaikh Yusuf Qordhawi dalam akun twitternya.[4]

Selain itu, kecaman serupa juga muncul dari sejumlah besar ulama Yordania, mereka menilai bahwa bentukan koalisi tersebut sama saja ingin melawan Islam, sementara kempanye untuk menyerang IS hanya sebagai alasan dan bentuk legitimasi mereka untuk menyerang kaum muslimin. “Oleh karena itu kami dengan tegas mengecam seluruh intervensi koalisi tersebut, dan hukumnya haram bergabung atau ikut membantu mereka dalam bentuk apa pun.” demikian tegas mereka.[5]

Kecaman para ulama tersebut tentunya menandakan ada banyak hal yang mereka khawatirkan ketika terjadi serangan pasukan koalisi tersebut. Salah satunya adalah efek serangan itu sendiri yang banyak mengancam nyawa kaum muslimin. Padahal dalam Islam, nyawa seorang muslim lebih berharga daripada dunia, “Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. An-Nasa’i)

Jika memang demikian faktanya, maka tak heran jika dalam menanggapi peristiwa tersebut sebagian kaum muslimin ada yang penasaran dan bertanya, bukankah misi yang dilancarkan oleh koalisi tersebut sama saja menyerang kaum muslimin? Lantas bagaimana hukum membantu atau mendukung pasukan koalisi tersebut? padahal yang banyak menjadi korban adalah saudara kaum muslimin sendiri.

Urgensi Al-wala’ wal baro’ Terhadap Aqidah Seorang Mukmin

Persaudaraan menjadi salah satu karakteristik dalam ajaran Islam. Ketika seseorang mengucapkan syahadat, maka secara otomatis dia telah mengikat persaudaraan dengan mukmin lainnya. Dia tidak boleh mendhalimi saudara mukmin lainnya, tidak boleh mendustainya, menghina, mencela, apalagi membunuh. Selain itu, dia juga punya haq dan kewajiban untuk saling membantu saudara lainnya, membela kehormatannya, menolongnya dari serangan musuh dan sebagainya. Bahkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan persaudaraan tersebut layaknya seperti satu anggota badan, jika salah satu anggota badan sakit maka anggota badan lainnya juga akan ikut merasakan sakit.

Dalam kajian aqidah, prinsip persaudaraan seperti ini disebut dengan al-wala’ wal baro’ artinya cinta terhadap sesuatu atau seseorang hanya karena Allah dan benci terhadap seseorang atau sesuatu juga hanya karena Allah. Juga, atau dalam makna lain adalah menjadikan orang muslim sebagai saudara yang berhak mendapatkan loyalitas dan menganggap orang-orang kafir sebagai musuh yang tidak boleh loyal atau bahkan saling membantu dalam menciptakan makar terhadap Islam.

Para ulama menyimpulkan bahwa prinsip al-wala’ wal baro’ seperti ini menjadi syarat keimanan seseorang. Allah ta’ala berfirman:

وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadnya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Al-Maidah: 81)

Tentang ayat itu, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah mensyaratkan bagi seorang muslim untuk tidak berwali atau mengambil teman setia dari orang-orang kafir. Kata Law dalam ayat tersebut menandakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin, yaitu tidak boleh mengangkat pemimpin atau penolong-penolong dari orang-orang kafir. Karena antara keimanan dan menjadikan orang kafir sebagai penolong adalah dua prinsip yang berlawanan, dua prinsip itu tidak mungkin bisa berkumpul dalam hati orang mukmin. (lihat : Ibnu Taimiyah, Al-Iman, hal: 14)

Syaikh Hamad bin ‘Atiq mengatakan, “Adapun perihal memusuhi orang-orang kafir dan musyrik, maka ketahuilah sesungguhnya Allah telah mewajibkan hal itu dan menekankan kewajiban ini dan Allah mengharamkan berwali kepada mereka dan menegaskan keharamannya. Sehingga dalam Kitabullah tidak ada hukum yang lebih banyak dalilnya dan lebih gamblang penjelasannya setelah wajibnya tauhid dan haramnya syirik melebihi masalah ini.” (Abdul Azizi bin Muhammad bin Ali Alu Abdul Lathif, Nawaqidhul Iman al Qauliyah wal ‘Amaliayah, hal: 359).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati prinsip al-wala’ wal baro’ dengan ikatan keimanan paling kuat yang dimiliki oleh orang mukmin.

“Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (Shohih Al-Jami’: 2539)

Demikianlah konsekuensi keimanan seseorang kepada Allah. Persaudaraan menjadi simbol tali keimanan yang melekat pada dirinya. Sehingga ketika ada musuh yang mendhaliminya sementara dia tidak mau menolongnya, maka tentu keimanannya perlu dipertanyakan kembali. Apalagi jika dia ikut-ikutan membantu atau membela musuh ketika mereka menyerang kaum muslimin, tentunya orang yang seperti ini akan mendapatkan ancaman yang cukup tegas dalam syariat Islam.

Hukum Membantu Orang Kafir dalam Memerangi Kaum Muslimin

Besarnya perhatian Islam terhadap persaudaran antara sesama muslim, juga menimbulkan efek hukum yang cukup tegas atas orang-orang yang membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin. Tentunya orang awwam pun bisa memahami bagaimana jika ada seseorang yang senang ketika saudaranya yang seagama didhalimi, apalagi kalau sampai membantu mereka untuk menyerang kaum muslimin. Tentu hal itu akan sangat berlawanan dengan prinsip keimanan yang diyakininya.

Membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin adalah salah satu tabiat orang munafik. Ia merupakan bagian dari cabang kemunafikan yang selalu muncul untuk meyerang Islam. Allah ta’ala telah menjelaskannya dalam berbagai macam nash Al-Qur’an, diantaranya adalah:

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. An-Nisa’ 138-139)

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana…”(QS. Al-Maidah: 52)

Para ulama pun telah sepakat bahwa barangsiapa yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya, penolongnya, atau ikut bergabung dan membantu mereka dalam memerangi ummat Islam maka dia telah murtad, keluar dari agama Islam. (Lihat: Tafsir At-Tabari, 3/140, Majmu’atu Tauhid, Hal: 38, Ad-Duraru Sunniah, 7/ 201, Fatawa Bin Baz, 1/ 272)

Syaikh Sulaiman bin Abdullah, cucunya Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam risalahnya Ad-Dalail Fi Hukmi Muwalati Ahli Isyraak menyebutkan lebih dari dua puluh dalil tentang larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau penolong. Diantara kumpulan dalil-dalil tersebut adalah:

Allah menegaskan bahwa orang yang mengangkat orang kafir sebagai wali maka dia termasuk bagian dari golongan mereka.
Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Imam Ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini berkata,”Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, sekutu atau membantu mereka dalam melawan kaum muslimin, maka ia adalah orang yang se-idiologi dan seagama dengan mereka. Karena tak ada seorangpun yang menjadikan orang lain sebagai walinya kecuali ia ridha dengan diri orang itu, agamanya, dan kondisinya. Bila ia telah ridha dengan diri dan agama walinya itu, berarti ia telah memusuhi dan membenci lawannya, sehingga hukum (kedudukannya) seperti hukum walinya.” [Tafsir Ath Thabari 6/160].

Ibnu ‘Atiyah menjelaskan, maksudnya adalah mencintai dan mengikuti mereka dalam seluruh tujuan yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu ‘Atiyah, 8/152)

Al-Baidhawi berkata, “Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai wali (penolong) maka dia termasuk dari golongan mereka. Ayat ini menegaskan tentang wajibnya menjauhi mereka. (Tafsir Al-Baidhawi, 5/ 192)

Kesimpulan hukum tersebut juga ditegaskan oleh para ulama lainnya, misalnya Ibnu Hazm dalam Al Muhala 13/35 , Asy Syaukani dalam Fathul Qadir 2/50, Al Qasimi dalam Mahasinu Ta’wil 6/240.

Allah ta’ala berlepas diri dari mereka yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya.
Allah ta’ala berfirman:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya ia terlepas dari pertolongan Allah ….” (QS. Ali Imran :28).

Imam Asy-Syaukani menjelaskan bahwa dia tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allah sedikitpun bahkan Allah berlepas diri darinya dalam setiap keadaan. (Fathul Qodir, 1/331)

Dalam sebuah hadits Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan ummatnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa membantu dalam rangka membunuh seorang mukmin dengan separuh kalimat saja, ia akan menghadap Allah, tertulis di antara kedua matanya: Aayisun min rohmatillah… (orang yang berputus asa dari rahmat Alloh). (HR. Ibnu Majah)

Membantu orang kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin merupakan amalan yang dapat membatalkan keimanan.
Allah berfirman:

“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 80-81)

Ketika kota Baghdad ingin digempur oleh pasukan Tartar, sebagian kaum muslimin ada yang ikut bergabung bersama pasukan tersebut. mengomentari hal itu, Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa diantara mereka bergabung ke dalam pasukan Tartar maka dia lebih berhak untuk dibunuh terlebih dahulu daripada pasukan Tartar. Karena dalam pasukan Tartar ada pasukan yang ikut berperang karena terpaksa dan ada juga tidak. Sementara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa hukuman terhadap orang murtad lebih besar daripada orang kafir asli disebabkan beberapa hal.” (Ibnu Taimiyah: Majmu’ Fatawa, 28/534)

Dalam kitab Majmu’atu Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan bahwa pembatal keislaman yang kedelapan adalah membantu dan tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam memusuhi umat Islam, dengan dalil QS. Al Maidah :51. (Lihat: Majmu’atu Tauhid, hal: 38)

Syaikh Abdullah bin Abdul Latif Alu Syaikh berkata, “Saling tolong menolong dengan orang kafir adalah kafir yaitu seperti membantu mereka dengan harta, jiwa dan pikiran.” (Ad-Duraru Sunniyah: 7/ 201)

Bagaimana Jika yang Diperangi adalah Ahlu Bughat atau Orang Khawarij?

Dalam konteks koalisi yang dipimpin Amerika untuk menggempur IS/ISIS, mungkin sebagian orang akan bertanya, bukankah yang mereka perangi itu orang-orang khawarij yang juga mengancam keamanan ummat Islam lainnya?

Dalam menanggapi masalah ini, jumhur ulama berpendapat bahwa memohon pertolongan kepada orang kafir dalam memerangi ahlul bughat atau khawarij adalah haram. Hanya kalangan ulama Hanafiah saja yang membolehkannya namun dengan syarat yang cukup ketat, yaitu kekuasaan Islam lebih kuat (lebih mendominasi) daripada kekuasaan mereka. Karena pada dasarnya tujuan memerangi khawarij bukan dalam rangka ingin membunuh mereka akan tetapi menahan kekejaman atau memaksa mereka untuk taat kembali. (Lihat: Al-Sarkhasi, Al-Mabshut, 10/135)

Al-Qarafi, salah seorang ulama Malikiah, berkata, “Tidak boleh membunuh tawanan mereka, hartanya juga tidak boleh dijadikan ghanimah, keturunan mereka tidak boleh ditawan dan tidak boleh memohon bantuan kepada orang musyrik dalam memerangi mereka.” (Al-Qarafi, Al-Dzakhiroh, 12/9)

Imam Nawawi berkata, “Tidak boleh memohon bantuan kepada orang kafir untuk memerangi mereka, karena orang kafir tidak boleh menguasai urusan kaum muslimin, oleh karena itu, bagi orang yang terkena qishas tidak boleh diwakilkan kepada orang kafir, demikian juga tidak boleh bagi imam mengangkat orang kafir sebagai algojo dalam menegakkan hudud atas orang muslim. (An-Nawawi, Raudhatul Thalibin, 10/60)

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan Allah sama sekali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk berkuasa (memusnahkan) orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 141)

Memang berbeda ketika berhadapan dengan orang kafir, sebagian ulama membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir jika memang keadaannya dharurat dan menbutuhkan hal itu. Standarnya tetap melihat pertimbangan maslahat dan mudharat dan yang paling penting dalam hal ini adalah mereka menetapkan syarat yaitu kaum muslimin tetap menjadi penguasa yang tertinggi, karena jika kekuasaan kafir lebih mendominasi dalam pasukan tersebut, suatu saat dikhawatirkan mereka akan menguasai urusan kaum muslimin. (lihat: Asyaibani, Syarh As-Sair Al-Kabir, 4/1422, An-Nawawi, Syarh Muslim, 2/198, Ibnu Hajar, Fath Bari, 6/176, As-Syaukani, Nailul Authar, 8/44)

Semua pertimbangan hukum tersebut bermuara kepada kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin, sehingga Syaikh Hamud ‘Uqala As-Syu’aibi menyebutkan beberapa alasan kenapa tidak boleh bagi pemimpin muslim meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang khawarij dalam kondisi apapun. Hal itu karena disebabkan beberapa hal, diantaranya:

Banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan pendapat ulama yang melarang memohon bantuan kepada orang kafir dalam rangka memerangi orang kafir lainnya. Jika pendapat ini lebih rajih maka larangan meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang Islam tentu lebih utama.
‘Illah (alasan) bolehnya memerangi ahlul bughat (khawarij) adalah untuk menahan kekejaman mereka dan memaksa mereka untuk taat kepada amir bukan untuk dibunuh. Oleh karena itu dalam hal ini tidak butuh bantuan orang kafir.
Meminta bantuan kepada orang kafir berarti menjadikan mereka sebagai wali dan menandakan kecondongan hatinya kepada mereka.

ولا تركنوا إلى الذين ظلموا فتمسكم النار

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka,…”(QS. Hud: 113)

Meminta bantuan orang kafir akan memudahkan mereka untuk memecah belah kekuatan muslimin sehingga mereka dapat menguasai urusan kaum muslimin
Meminta bantuan kepada orang kafir sama saja memberikan kepada mereka legitimasi untuk intervensi langsung terhadap urusan kaum muslimin dan akan menampakkan kelemahan kaum muslimin serta secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai pemimpin yang akan dijadikan tempat bagi kaum muslimin untuk berhukum (mengambil kebijakan).[6]
Demikianlah ketegasan Islam dalam menyikapi ummatnya yang ikut bergabung bersama orang kafir atau turut membantu mereka dalam memerangi kaum muslimin. Tentu bagi kita yang memahami hukum tersebut dan berkomitmen dengan ajaran Islam, tidak mungkin terbawa-bawa untuk membantu dengan segala bentuk kempanye memerangi saudara kaum muslimin, di belahan dunia mana pun. Memang kita tidak dilarang bermu’amalah dengan orang-orang kafir dan saling membantu dalam hal kemaslahatan kaum muslimin, tapi sangat naif sekali, jika hal itu menyebabkan sebagian orang Islam rela mendukung atau membantu mereka demi menghancurkan saudaranya sendiri. Wa’iyadzubillah.

[1] /2014/10/07/serangan-udara-pasukan-koalisi-membantai-24-warga-sipil-di-anbar/
[3] /2014/09/24/doa-kepedulian-syaikh-maqdisi-atas-serangan-dan-sekutu-di-irak-dan-suriah/ 
[4] (/2014/09/15/syiakh-yusuf-qardhawi-kecam-koalisi-internasional-untuk-lawan/)
Penulis: Muhammad
Referensi kitab:
Tafsir At-Tabari, Ibnu Jarir At-Tabari
Tafsir Ibnu ‘Atiyah, Ibnu ‘Atiyah
Tafsir Al-Baidhawi, Al-Baidhowi
Al Muhala, Ibnu Hazm
Fathul Qadir, Asy Syaukani
Mahasinu Ta’wil, Al Qasimi
Al-Mabshut, Al-Sarkhasi
Al-Dzakhiroh, Al-Qarofi
Raudhatul Thalibin, An-Nawawi
Syarh As-Sair Al-Kabir, As Syaibani
Syarh Muslim, An-Nawawi
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqalani
Nailul Authar, As-Syaukani
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah
Ahkam Alu Dzimmah, Ibnu Qoyyim
Kitab Al-Iman, Ibnu Taimiyah
Nawaqidhul Iman al Qauliyah wal ‘Amaliayah, Abdul Azizi bin Muhammad bin Ali Alu Abdul Lathif
Majmu’atu Tauhid, Muhammad bin Abul Wahab
Fatawa Bin Baz, Abdul Aziz bin Baz


Written By AL FARUUQ MEDIA on Jumat, 12 September 2014 | 07.14
Syekh Ahmad Syakir dalam salah satu tulisannya menjelaskan bahwa berdirinya seorang Muslim dalam barisan orang-orang kafir melawan kaum Muslimin, maka itu termasuk salah satu pembatal keislaman. Minimal, ujar beliau, hal itu haram dengan pengharaman yang keras.
Beliau menjelaskan beberapa ayat Al-Qur’an terkait hal ini :
“Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah:5).
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”(QS.Al-Baqarah :217)
Juga beberapa hadits berikut :
Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunannya dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasululloh SAW., bersabda :
“Barangsiapa membantu dalam rangka membunuh seorang mukmin dengan separo kalimat saja, ia akan menghadap Alloh, tertulis di antara kedua matanya: Aayisun min rohmatillah… (orang yang berputus asa dari rahmat Alloh).”
Di dalam sanad hadis ini terdapat Yazid bin Ziyad, namun ia dikuatkan dengan sebuah hadist Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amru ra. Bahwasanya Nabi SAW., bersabda:
“Sungguh, hilangnya dunia lebih ringan di sisi Alloh daripada terbunuhnya seorang muslim.”
Dalam riwayat Ibnu Majah: “…lebih ringan di sisi Alloh daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.”
Al-Hakim meriwayatkan juga di dalam Mustadraknya demikian juga Thabarani dari Ibnu Abbas ra.a bahwasanya Nabi SAW., bersabda:
“Barangsiapa membantu orang dzalim untuk membela kebatilannya, ia telah terlepas dari tanggungan Alloh dan rasul-Nya.”
Kemudian, fatwa-fatwa yang dikeluarkan itu, paling tidak memperbanyak jumlah kaum salibis, memperkuat pendapat mereka melawan kaum muslimin. Di dalam Tarikh-nya, Al-Khatib meriwayatkan dari Anas, beliau memarfu‘kannya:
Para Ulama berkata: Maknanya adalah, “Barangsiapa memperbanyak jumlah suatu kaum dengan cara bergaul dengan mereka, membantu dan tinggal bersama mereka, atau bergabung dengan mereka maka hukumnya sama dengan mereka.”
Hendaknya setiap muslim mengerti bahwa belahan bumi manapun ketika bekerja sama dengan musuh-musuh Islam yang memperbudak kaum muslimin, baik Inggris, Perancis, para sekutu dan yang semisal dengan mereka, dengan kerja sama berbentuk apapun, atau mengajak mereka berdamai dengan tidak memerangi mereka sekuat tenaga, apalagi yang menolong mereka dengan kata-kata dan perbuatan untuk mencelakakan saudara seagamanya sendiri; sungguh ketika seseorang melakukan salah satu dari perbuatan tadi kemudian ia sholat, maka sholatnya batal, atau bersuci dengan wudhu maupun mandi atau tayammum, maka bersucinya batal. Jika ia puasa; yang wajib maupun sunnah, maka puasanya batal. Atau naik haji, maka hajjinya batal. Atau membayar zakat wajib, atau mengeluarkan shodaqah sunnah, maka zakatnya batal dan tertolak. Atau dia melakukan ibadah kepada robbnya dengan bentuk ibadah apapun, maka ibadahnya batal tertolak. Dalam semua itu, ia tidak memperoleh pahala sedikitpun, bahkan ia mendapatkan dosa dan kesalahan.
Hendaknya setiap muslim tahu: Bahwa ketika ia melakukan cara yang hina ini, amal perbuatannya sia-sia, berupa seluruh ibadah yang ia lakukan terhadap robbnya sebelum ia kembali ke dalam lumpur kemurtadan yang ia ridhoi terhadap dirinya sendiri ini. Kita berlindung kepada Alloh, jika seorang muslim hakiki yang beriman kepada Alloh dan rasul-Nya sampai ridho dengan perbuatan seperti ini.
Hal ini mengingat bahwa Iman adalah syarat sahnya setiap Ibadah, sekaligus syarat diterimanya, sebagaimana itu adalah perkara gamblang yang sudah maklum dalam agama secara pasti, tidak ada seorang muslimpun yang menyelisihinya.
Untuk itu, lanjut beliau, kaum Mmuslimin harus keluar dari setiap penguasa yang membantu orang-orang Amerika melawan umat Islam. Sebab perbuatan ini adalah riddah (murtad) yang menjadikan seorang penguasa harus diturunkan!!
Wallahu a’lam bis showab!
M Fachry
Sumber: Al-mustaqbal.net

http://fursansyahadah.blogspot.co.id/2014/09/hukum-membantu-orang-kafir-memerangi.html


Hukum Membantu Orang Kafir dalam Memerangi Kaum Muslimin

Pokok Pembahasan : Perbuatan – perbuatan yang membatalkan Dua Kalimat Syahadat
Besarnya perhatian Islam terhadap persaudaran antara sesama muslim, juga menimbulkan efek hukum yang cukup tegas atas orang-orang yang membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin. Tentunya orang awam pun bisa memahami bagaimana jika ada seseorang yang senang ketika saudaranya yang seagama dizhalimi, apalagi kalau sampai membantu mereka untuk menyerang kaum muslimin. Tentu hal itu akan sangat berlawanan dengan prinsip keimanan yang diyakininya.

Membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin adalah salah satu tabiat orang munafik.Ia merupakan bagian dari cabang kemunafikan yang selalu muncul untuk meyerang Islam. Allâh swt telah menjelaskannya dalam berbagai macam nashal-Qur’an, diantaranya adalah:

بَشِّرِالْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا * الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin.Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allâh. (QS. An-Nisa’ [4]: 138-139)

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ

 “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana…” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 52) Para ulama pun telah sepakat bahwa barangsiapa yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya, penolongnya, atau ikut bergabung dan membantu mereka dalam memerangi ummat Islam maka dia telah murtad, keluar dari agama Islam.

Di antara perbuatan yang bertentangan dengan aqidah adalah memberi dukungan terhadap orang-orang kafir diantara perbuatan itu adalah bersekutu dengan mereka melawan orang-orang Islam, maksud bersekutu di sini adalah menolong, membantu dan mendukung orang-orang kafir melawan kaum muslimin, bergabung dengan orang-orang kafir, membela mereka dengan harta, pedang dan pena. Ini adalah kekufuran, bertentangan dengan iman.

Dalam al-Quran Surah Ali Imran ayat 28 Allâh swt berfirman :

لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

 “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi perwakilan dengan meninggalkan orang-orang mukmin.barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allâh, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.Dan hanya kepada Allâh engkau kembali.”(QS. Ali Imran [3]: 28).

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖوَسَاءَتْمَصِيرًا

 “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalanorang-orang yang tidak beriman maka Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam.Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisâ’ [4]: 115)

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖوَلَاتَتَّبِعُواالسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِۚذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allâh agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’âm [6]: 153)
Syaikh Sulaiman bin Abdullah, cucunya Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam risalahnya Ad-Dalail Fi Hukmi Muwalati Ahli Isyraak menyebutkan lebih dari dua puluh dalil tentang larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau penolong.

Diantara kumpulan dalil-dalil tersebut adalah:
Allâh menegaskan bahwa orang yang mengangkat orang kafir sebagai wali maka dia termasuk bagian dari golongan mereka.Allâh swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 51)

Imam Ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini berkata,”Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, sekutu atau membantu mereka dalam melawan kaum muslimin, maka ia adalah orang yang se-idiologi dan seagama dengan mereka. Karena tak ada seorangpun yang menjadikan orang lain sebagai walinya kecuali ia ridha dengan diri orang itu, agamanya, dan kondisinya. Bila ia telah ridha dengan diri dan agama walinya itu, berarti ia telah memusuhi dan membenci lawannya, sehingga hukum (kedudukannya) seperti hukum walinya.” Ibnu ‘Atiyah menjelaskan, maksudnya adalah mencintai dan mengikuti mereka dalam seluruh tujuan yang mereka inginkan.” Sementara Al-Baidhawi berkata, “Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai wali (penolong) maka dia termasuk dari golongan mereka.Ayat ini menegaskan tentang wajibnya menjauhi mereka.

Kesimpulan hukum tersebut juga ditegaskan oleh para ulama lainnya, misalnya Ibnu Hazm dalam Al-Muhalaa 13/35, Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir 2/50, Al-Qasimi dalam Mahasinu Ta’wil 6/240.
Allâh swt berlepas diri dari mereka yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya.Allâh swt berfirman :

لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

 “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi perwakilan dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allâh, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.dan hanya kepada Allâh engkau kembali.”(QS. Ali Imran [3]: 28).

Imam Asy-Syaukani menjelaskan bahwa dia tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allâh sedikitpun bahkan Allâh berlepas diri darinya dalam setiap keadaan.

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw mengingatkan ummatnya. Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah saw bersabda :

مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُؤْمِنٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ ،لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ: آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Barangsiapa membantu dalam rangka membunuh seorang mukmin dengan separuh kalimat saja, ia akan menghadap Allâh, tertulis di antara kedua matanya: Aayisun min rohmatillah… (orang yang berputus asa dari rahmat Allâh).” (HR. Ibnu Majah) Membantu orang kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin merupakan amalan yang dapat membatalkan keimanan.
Allâh berfirman:

تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ * وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِا للَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَااتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

 “Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allâh kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allâh, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 80-81).

Ketika kota Baghdad ingin digempur oleh pasukan Tartar, sebagian kaum muslimin ada yang ikut bergabung bersama pasukan tersebut. Mengomentari hal itu, Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa diantara mereka bergabung ke dalam pasukan Tartar maka dia lebih berhak untuk dibunuh terlebih dahulu daripada pasukan Tartar.Karena dalam pasukan Tartar ada pasukan yang ikut berperang karena terpaksa dan ada juga tidak. Sementara sunnah Nabi saw telah menetapkan bahwa hukuman terhadap orang murtad lebih besar daripada orang kafir asli disebabkan beberapa hal.”

Syaikh Abdullah bin Abdul Latif Ali berkata, “Saling tolong menolong dengan orang kafir adalah kafir yaitu seperti membantu mereka dengan harta, jiwa dan pikiran.”

Dilema ISIS
Bagaimana dalam konteks koalisi yang dipimpin Amerika Serikat untuk menggempur IS/ISIS yang belakangan ini ramai diperdebatkan. Bukankah yang mereka perangi itu orang-orang khawarij yang juga mengancam keamanan ummat Islam lainnya? Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa memohon pertolongan kepada orang kafir dalam memerangi ahlul bughat atau khawarij adalah haram.Hanya kalangan ulama Hanafiah saja yang membolehkannya namun dengan syarat yang cukup ketat, yaitu kekuasaan Islam lebih kuat (lebih mendominasi) daripada kekuasaan mereka. Karena pada dasarnya tujuan memerangi khawarij bukan dalam rangka ingin membunuh mereka akan tetapi menahan kekejaman atau memaksa mereka untuk taat kembali.

Al-Qarafi, salah seorang ulama Malikiah, berkata, “Tidak boleh membunuh tawanan mereka, hartanya juga tidak boleh dijadikan ghanimah, keturunan mereka tidak boleh ditawan dan tidak boleh memohon bantuan kepada orang musyrik dalam memerangi mereka.” Imam Nawawi berkata, “Tidak boleh memohon bantuan kepada orang kafir untuk memerangi mereka, karena orang kafir tidak boleh menguasai urusan kaum muslimin, oleh karena itu, bagi orang yang terkena qishas tidak boleh diwakilkan kepada orang kafir, demikian juga tidak boleh bagi imam mengangkat orang kafir sebagai algojo dalam menegakkan hudud atas orang muslim.

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan Allâh sama sekali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk berkuasa (memusnahkan) orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa [4]: 141)

Memang berbeda ketika berhadapan dengan orang kafir, sebagian ulama membolehkan meminta bantuan kepada orang kafir jika memang keadaannya darurat dan menbutuhkan hal itu. Standarnya tetap melihat pertimbangan maslahat dan mudharat dan yang paling penting dalam hal ini adalah mereka menetapkan syarat yaitu kaum muslimin tetap menjadi penguasa yang tertinggi, karena jika kekuasaan kafir lebih mendominasi dalam pasukan tersebut, suatu saat dikhawatirkan mereka akan menguasai urusan kaum muslimin.

Semua pertimbangan hukum tersebut bermuara kepada kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin, sehingga Syaikh Hamud ‘Uqala As-Syu’aibi menyebutkan beberapa alasan kenapa tidak boleh bagi pemimpin muslim meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang khawarij dalam kondisi apapun. Hal itu karena disebabkan beberapa hal, diantaranya:

Banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan pendapat ulama yang melarang memohon bantuan kepada orang kafir dalam rangka memerangi orang kafir lainnya. Jika pendapat ini lebih rajih maka larangan meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang Islam tentu lebih utama.
‘Illah (alasan) bolehnya memerangi ahlul bughat (khawarij) adalah untuk menahan kekejaman mereka dan memaksa mereka untuk taat kepada amir bukan untuk dibunuh. Oleh karena itu dalam hal ini tidak butuh bantuan orang kafir.
Meminta bantuan kepada orang kafir berarti menjadikan mereka sebagai wali dan menandakan kecondongan hatinya kepada mereka.
Meminta bantuan orang kafir akan memudahkan mereka untuk memecah belah kekuatan muslimin sehingga mereka dapat menguasai urusan kaum muslimin
Meminta bantuan kepada orang kafir sama saja memberikan kepada mereka legitimasi untuk intervensi langsung terhadap urusan kaum muslimin dan akan menampakkan kelemahan kaum muslimin serta secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai pemimpin yang akan dijadikan tempat bagi kaum muslimin untuk berhukum (mengambil kebijakan).

Demikianlah tulisan kami pada edisi kali ini semoga pada Bulan Suci Ramadhan kali ini seluruh Umat Islam mendapatkan pencerahan dan selepas Ramadhan nanti mendapatkan pertolongan dari Allâh swt agar bisa bersatu–padu menghadapi musuh–musuh mereka yang sebenarnya. Aamiiin.


(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi)
Sudah menjadi ketetapan ilahi (sunnatullah) bahwa kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-batil) tidak akan pernah bersatu. Keduanya laksana dua kutub yang selalu berseberangan. Demikian pula para pengusungnya, mereka akan terus berseteru hingga akhir zaman nanti. Para pengusung kebenaran (ahlul haq) adalah para wali Allah l dari kalangan orang beriman, sedangkan para pengusung kebatilan (ahlul batil) adalah para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Kecintaan dan Kebencian di Ranah Keimanan

Kecintaan (al-hubbu) dan kebencian (al-bughdhu) merupakan amalan hati yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan seseorang. Demikian pula dalam kehidupan beragama, keduanya tak bisa dipisahkan dari ranah keimanan seseorang. Secara kelaziman, kecintaan (al-hubbu) akan mewariskan sikap loyal/setia (al-muwalah), sedangkan kebencian (al-bughdhu) akan mewariskan sikap permusuhan (al-mu’adah).1

Keempat amalan tersebut akan terbilang sebagai amalan mulia, bahkan sebagai tanda bukti kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya l manakala dilakukannya karena Allah l (fillah), bukan karena hawa nafsu atau kepentingan tertentu.2 Tak heran bila kemudian dikukuhkan sebagai tali keimanan terkokoh dan salah satu prinsip keyakinan (akidah) terpenting dalam Islam. Rasulullah n bersabda:

أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ

“Tali keimanan terkokoh adalah bersikap loyal (setia) karena Allah l dan memusuhi karena Allah l, mencintai karena Allah l dan membenci karena Allah l.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir no.11537 dari sahabat Abdullah bin Abbas c, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1728)

Di antara bentuk kecintaan dan sikap loyal (setia) karena Allah l (fillah) adalah mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka. Adapun di antara bentuk kebencian dan sikap permusuhan karena Allah l (fillah) adalah membenci dan memusuhi para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya, ad-Da’ wad Dawa’, menegaskan bahwa kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada orang beriman tersebut tidaklah sah jika tidak diiringi dengan kebencian dan sikap permusuhan terhadap musuh-musuh Allah l dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Prinsip keyakinan di atas, sungguh telah terpatri pada jiwa para sahabat Nabi n selaku generasi terbaik umat ini, bahkan menjadi simbol kepribadian mereka yang diabadikan dalam Al-Qur’anul Karim. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah l:
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangatlah keras terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang sesama mereka.” (al-Fath: 29)

Kewajiban Mencintai Orang Beriman dan Membenci Orang Kafir

Manakala perseteruan antara para wali Allah l dari kalangan orang beriman selaku pengusung kebenaran (ahlul haq) dengan para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya selaku pengusung kebatilan (ahlul batil) tidak pernah berhenti hingga akhir zaman nanti, maka di antara norma luhur dan keadilan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya—sebagai konsekuensi keimanan—adalah kewajiban mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka. Sebagaimana pula Islam menanamkan kebencian dan sikap permusuhan kepada para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, berkata, “Sesungguhnya setelah mencintai Allah l dan Rasul-Nya n, wajib mencintai para wali Allah l dan memusuhi musuh-musuh-Nya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah para wali Allah l, sebagian mereka adalah pembela bagi sebagian yang lain. Adapun orang-orang kafir adalah musuh Allah l dan musuh orang-orang beriman. Allah l mewajibkan sikap loyal (setia) terhadap sesama orang-orang beriman dan menjadikannya sebagai konsekuensi keimanan, sebagaimana pula Dia l melarang orang-orang beriman dari sikap loyal (setia) kepada orang-orang kafir.” (Majmu’ Fatawa 28/190)

Di antara dalil wajibnya mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka adalah firman Allah l:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Maka dari itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 55—56)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)3
Di antara dalil wajibnya membenci para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya adalah firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” (al-Mumtahanah: 1)
“Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata’.” (al-Mumtahanah: 4)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai para pemimpin, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan barang siapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)
“Kalian tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadilah: 22)4

Fenomena Berinteraksi dengan Orang Kafir

Para Pembaca yang mulia, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa membenci orang kafir dan memusuhinya karena Allah l ialah tali keimanan terkokoh dalam Islam. Adapun mencintai orang kafir dan bersikap loyal (setia) kepadanya adalah perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam. Namun, realitas menunjukkan bahwa berinteraksi dengan orang kafir merupakan sebuah fenomena dalam kehidupan ini. Baik dengan orang kafir yang tinggal di negeri muslim dengan segala hak dan kewajibannya (dzimmi), orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin (mu’ahad), orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan untuk tinggal di negeri muslim (musta’man), maupun orang kafir yang sedang bermusuhan dengan kaum muslimin (harbi). Bagaimanakah bimbingan Islam mengompromikan masalah ini? Untuk mengetahuinya, ikuti dengan saksama bahasan berikut.


Larangan Loyal pada Orang Kafir

Segala puji hanyalah milik Allah semata. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi yang tiada lagi nabi sesudah beliau, Muhammad bin ‘Abdillah,‘alaihis sholatu was salaam. Wa ba’du: …
By Yananto Sulaimansyah  20 December 2012
Segala puji hanyalah milik Allah semata. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi yang tiada lagi nabi sesudah beliau, Muhammad bin ‘Abdillah,‘alaihis sholatu was salaam. Wa ba’du:
Allah Ta’ala berfirman tentang bapak para nabi, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
دْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkar kepadamu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata” (QS. Al Mumtahanah : 4)
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, prinsip al wala’ wal baro’, loyalitas kepada kaum muslimin dan kebencian kepada orang kafir, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam seperti termaktub dalam ayat di atas pada masa-masa ini seolah-olah telah redup di hati-hati kaum muslimin. Padahal prinsip al wala’ wal baro’adalah salah satu prinsip dalam agama Islam dan sebab tegaknya kemuliaan agama Islam di atas seluruh agama di dunia ini.
Larangan Bersikap Loyal kepada Orang Kafir
Di dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala melarang kaum muslimin untuk memberikan sikap wala’, loyalitas kepada orang kafir, dan menjadikan mereka sebagai teman setia. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia” (QS. Al Mumtahanah : 1)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Ma-idah : 51)
Bentuk Loyalitas pada Orang Kafir
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, setelah membawakan dalil terlarangnya memberikan loyalitas kepada orang kafir, berikut ini kami bawakan beberapa contoh bentuk loyalitas kepada orang kafir –dengan memohon taufik dari Allah- agar kita tidak terjatuh ke dalamnya.
1. Ridho terhadap kekafiran orang kafir, tidak mengkafirkan mereka, meragukan kafirnya mereka, atau bahkan sampai membenarkan madzhab (ajaran) mereka
Ini merupakan perkara yang sangat berbahaya yang dapat mengeluarkan seorang muslim dari agamanya. Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mencintai orang kafir karena kekafirannya (artinya: cinta akan kekafiran mereka, ed), maka dia keluar dari Islam. Lihat Al Wala’ wal Bara’ fil Islam, hal. 232.
2. Meyakini sebagian akidah kafir yang mereka anut atau berhukum dengan kitab suci mereka
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا سَبِيلًا
“Tidakkah kamu lihat orang-orang yang Allah berikan mereka bagian dari kitab?Mereka beriman dengan setan dan thoghut, dan mereka berkata kepada orang-orang kafir : ‘Mereka adalah orang-orang yang lebih lurus jalannya daripada orang-orang yang beriman’” (QS. An Nisaa’ : 51)

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, bukankah dapat kita saksikan saat ini sebagian dari orang yang ber-KTP Islam, bahkan dianggap ‘cendikiawan muslim’, tapi meyakini akidah-akidah sesat yang dimiliki orang kafir seperti komunisme, sekulerisme, dan liberalisme? Wallahul musta’aan.
3. Menjadikan orang kafir penolong setia atau pelindung[1], menyerahkan urusan yang berkaitan dengan kaum muslimin kepada mereka, dan menjadikan mereka sebagai orang kepercayaan
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai penolong setia atau pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman yang lain. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia telah lepas dari Allah.Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Ali ‘Imron : 28). Lihat Al Irsyad ila Shahihil I’tiqod, hal. 360
4. Menolong orang kafir dalam menindas kaum muslimin
Ini adalah perkara yang sangat berbahaya. Hal ini termasuk pembatal keislaman jika maksudnya adalah menolong orang kafir untuk menindas kaum muslimin disertai dengan kecintaan pada agama atau ajaran mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Barangsiapa di antara kamu berloyal pada mereka (menolong mereka), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51).
Sedangkan jika tidak ada pilihan lain (artinya: dipaksa) untuk melakukan seperti itu, namun tidak disertai dengan rasa cinta pada kekufuran mereka, maka ini dikhawatirkan saja dapat keluar dari Islam. Adapun jika masih punya pilihan (tidak dipaksa), namun ia masih benci pada agama kekafiran, maka ia terjerumus dalam dosa besar. (tidak  Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqod, hal. 360 dan penjelasan Syaikh Sholih Al Fauzan dalam Durus fii Syarh Nawaqidil Islam, hal, 157-158.
5. Membantu orang kafir dalam penyelenggaran hari-hari besar mereka, menghadiri perayaan hari besar mereka, dan memberikan ucapan selamat untuk hari besar mereka
Allah Ta’ala berfirman ketika menerangkan sifat dari hamba-hamba Allah yang beriman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
“Dan orang-orang yang tidak menghadiri az zuur” (QS. Al Furqan : 72). Makna ayat di atas, di antara sifat hamba Allah adalah tidak menghadiri hari besar orang kafir.  Lihat Al Irsyad, hal. 362.
6. Berkasih sayang atau mencintai mereka
Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al Mujadilah : 22)
7. Duduk bersama mereka ketika mereka sedang menghina Islam dan kaum muslimin
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Sungguh Dia telah menurunkan kekuatan kepada kalian di dalam kitab bahwa jika kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari atau dihina (oleh orang kafir), maka janganlah duduk bersama mereka sampai mereka membicarakan hal lain. Karena sesungguhnya (jika kalian tetap duduk bersama mereka), sungguh kalian seperti mereka” (QS. An Nisaa’ : 140)
8. Menyerupai mereka dalam hal-hal yang merupakan kekhususan mereka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Tasyabbuh dengan orang kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka, kebiasaan mereka, ibadah mereka, akhlak mereka (seperti mencukur jenggot dan memanjangkan kumis), pakaian mereka, gaya makan dan minum mereka, dan selainnya yang termasuk ciri khas orang kafir hukumnya adalah haram. LihatAl Irsyad, hal. 359.
Dan yang dimaksud dengan ciri khas orang kafir adalah : jika ada orang yang melakukan sesuatu atau memakai sesuatu, maka orang yang melihatnya akan mengira bahwa dia adalah orang kafir.
9. Tinggal di negeri kafir dan tidak mau pindah ke negeri Islam padahal mampu
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97) إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98)
“Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh malaikat dalam keadaan menzhalimi diri sendiri,malaikat bertanya kepada (mereka), ‘Dalam keadaan bagaimana kalian ini?!’.Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi ini (Mekkah)’. Malaikat menjawab, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian bisa berhijrah?!’. Mereka itulah yang tempat kembalinya adalah jahannam. Dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas dari kalangan laki-lak  ,perempuan, dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak tahu jalan (untuk hijrah)” (QS. An Nisaa’ : 97-98)
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Ini adalah ancaman keras bagi orang yang tidak mau hijrah (dari negeri kafir) sampai meninggal dunia padahal mampu untuk hijrah” (Taisir Karimir Rahman hal. 176).
10. Wisata atau bertamasya ke negeri kafir
Jika berpergian dalam rangka pengobatan, belajar ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk kaum muslimin yang tidak didapatkan di negeri-negeri Islam, atau alasan yang dibenarkan syari’at, maka diperbolehkan asalkan syaratnya terpenuhi. Namun jika bepergian dalam rangka wisata atau pleasure saja ke negeri kafir, maka ini jelas bukan suatu yang urgent dan dinilai berdosa.
12. Menyanjung mereka karena takjub dengan kemajuan peradaban dan teknologi yang mereka miliki tanpa melihat akidah mereka yang rusak
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Janganlah kalian mengarahkan pandangan kalian kepada kenikmatan yang Kami berikan kepada golongan-golongan mereka sebagai bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengannya.Dan rizki Rabb-mu lebih baik dan lebih kekal” (QS.Thaha : 131)
11. Mengagungkan kedudukan mereka dan memberikan gelar-gelar yang bersifat memuliakan tanpa keperluan
13. Bertemu dengan mereka dengan wajah berseri-seri dan hati gembira
14. Memulai ucapan salam kepada mereka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mulai memberikan salam kepada orang yahudi dan nasrani. Jika kalian berpapasan dengan mereka di jalan, paksalah mereka untuk minggir” (HR. Muslim)
15. Memberi nama anak dengan nama-nama khas orang kafir
Hal ini termasuk tasyabbuh dengan orang kafir sehingga terlarang.
16. Memintakan ampunan untuk mereka dan mendo’akan rahmat bagi mereka
Allah Ta’ala berfirman,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidaklah patut bagi Nabi dan orang-orang beriman untuk meminta ampunan bagi orang musyrik meskipun mereka adalah kerabat dekatnya setelah jelas bagi mereka bahwa orang musyrik itu adalah penduduk neraka jahim” (QS. At Taubah : 113)
17. Menggunakan kalender masehi
Kalender masehi adalah bentuk mengenang kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihis salamyang bid’ah ini dibuat-buat oleh orang Nashrani sendiri dan bukan berasal dari agama Nabi ‘Isa ‘alaihis salam. Maka penggunaan kalender ini menunjukkan adanya keikut sertaan menyebarkan syi’ar-syi’ar dan hari besar mereka (lihat Al Irsyad, hal. 362).
Akan tetapi, seandainya terpaksa menggunakan kalender masehi, maka cantumkanlah kalender hijriyyahnya juga.
Tetap Wajib Berbuat Adil
Kaum muslimin yang dimuliakan  Allah, meskipun kita diwajibkan untuk membenci orang yang Allah benci, yakni orang-orang kafir, namun hal itu bukanlah alasan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang kafir. Islam adalah agama yang indah dan penuh keadilan. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin, terlebih lagi jika hal itu dapat membuat mereka tertarik memeluk agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidaklah melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung kalian.Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Wallahu a’lam.
Referensi:
Al Irsyad ila Shahihil I’tiqod, Syaikh Sholih Al Fauzan
Al Wala’ wal Bara’ fil Islam
Durus fii Syarh Nawaqidil Islam, Syaikh Sholih Al Fauzan
Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
2 Shafar 1434 H
Penulis: Yananto Sulaimansyah
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Munafik Lebih Bahaya daripada Kafir

Rabu 4 Jamadilakhir 1436 / 25 Maret 2015 23:15
TELAH kita ketahui bahwasanya orang kafir merupakan musuh terbesar bagi umat Islam. Mereka menginginkan umat Islam ini tiada. Mereka ingin mneguasai dunia, dengan seluruh orang mengikuti aturannya. Namun ternyata, ada yang lebih bahaya daripada orang kafir. Siapakah mereka? Mereka itulah orang munafik.
Orang kafir ingkar kepada Tuhan, sedangkan orang munafik percaya adanya Tuhan. Tapi, mengapa umat Islam sepakat bahwa orang munafik lebih berbahaya terhadap Islam dibanding orang kafir?
Orang kafir akan terang-terangan memusuhi Islam. Mereka tidak lagi sembunyi, dalam melawan ia berhadap-hadapan. Orang munafik, mengaku Islam, tetapi secara diam-diam ia memusuhi. Orang munafik punya dua pedang. Pedang yang satu dipergunakan membela agama, sedang yang satu lagi dipakai untuk menikam umat Islam. Pedang yang pertama pasif, sedang pedang kedua aktif. Dia akan aktif jika punya kesempatan untuk “menggunting dalam lipatan” atau menikam dari belakang.
Allah SWT dalam menghadapi orang beriman cukup memberi dua ayat saja. Menanggulangi permasalahan orang kafir dengan dua ayat saja. Tetapi dalam menghadapi orang munafik disediakan tiga belas ayat di surah al-Baqarah.
Lapangan nifak luas sekali. Di bidang politik, agama, pers, pemikir, pegawai, pengusaha, seniman, olahraga dan di mana-mana tercium bau munafik. Apabila agama dan dakwah digunakan sebagai jembatan untuk memperoleh kedudukan dan mencari harta, disitulah terdapat kemunafikan. [Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab/Karya: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi/Penerbit: Gema Insani]

https://www.islampos.com/munafik-lebih-bahaya-daripada-kafir-172330/

 

Dalil-dalil perintah umum untuk berperang dan kewajiban mentaatinya


Tajuk Buku: Jihad Membela Negeri Kaum Muslimin
Penulis: Dr. Abdullah Yusuf Azzam
1.      Allah SWT berfirman:
(انْفِرُوا خِفَافًا  وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ) (التوبة: 14)
“Berangkatlah kamu untuk berperang baik kamu merasa ringan maupun kamu merasa berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At Taubah: 41).
Dan sebelum ayat ini Allah SWT telah menerangkan adzab dan balasan bagi orang yang menolak atau tidak ikut dalam menjalankan perintah umum untuk berperang.  Dan kita telah sama mengeahui bahwa tidak ada siksaan terhadap orang yang meninggalkan suatu perintah kecuali kalau perintah itu wajib dan juga siksaan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang haram.
AllahSWT berfirman:
(إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيْمًا  وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرُكُمْ وَلاَ تَضُرُّوْهُ شَيْئًا وَاللهُ عَلىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ) (التوبة: 29)
“Kalau kamu tidak mau pergi berperang, nicaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak dapat memberi kemudharatan kepada Nya sedikitpun.  Dan Allah  Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At Taubah 39)
Ibnu Katsir menyatakan:
“Allah SWT telah memerintahkan dan juga Rasul-Nya telah memerintahkan untuk keluar berperang kepada segenap kaum muslimin di tahun peperangan tabuk untuk memerangi musuh Allah dari bangsa Rum yang kafir dari kalangan ahli kitab.  Dan Bukhari telah menjadikan bab tersendiri dalam shahihnya dengan nama : Bab kewajiban berperang dan perkara yang diwajibkan dalam jihad dan niat.
Bukhari dalam bab ini mencantumkan sebab turunnya ayat ini (At Taubah 41). Dikatakan bahwa perintah umum berperang itu disebabkan oleh adanya berita yang didengar kaum muslimin bahwa kerajaan Rum telah melampaui perbatasan jazirah Arab untuk menyerang Madinah.  Maka bagaimanakah kalau orang kafir telah masuk ke negeri muslimin, tentunya perintah umum berperang lebih wajib lagi.  Abu Thalhah menyatakan: dalam hal makna kalimat  خِفَافًا وَثِقَالاً dalam ayat ini (yakni ayat 41) ialah: Bermakna orang tua dan pemuda (wajib berangkat berperang).  Allah SWT tidak akan meminta alasan dari siapapun untuk meninggalkan kewajiban berperang ini.[1] Hasal Al Bashri menyatakan: bahwa makna خِفَافًا وَثِقَالاً ialah wajib pergi berjihad dalam keadaan sulit maupun mudah.
Ibnu Taimiyah dalam Majma’ul Fatawa jilid 28 halaman 358 menyatakan:
“Maka apabila musuh akan menyerang kaum muslimin, maka wajib atas kaum muslimin yang diserang maupun yang tidak diserang untuk membela diri dan melawan serangAN musuh tersebut.  Sebagaimana firman Allah SWT Ta’ala:
(وَإِنِ اسْتَنْصُرُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ) (الأنفال: 72).
“Bila mereka minta tolong kepadamu dalam membela agamanya, maka wajib atas kamu menolong mereka”. (Al-Anfal: 72)
Dan juga sebagaimana perintah Rasulullah SAW kepada kaum muslimin agar mereka menolong atau membela saudaranya sesama kaum mukminin.  Dan kewajiban jihad ini sama beratnya atas orang yang mampu menyediakan harta untuk peperangan tersebut ataupun yang tidak mampu.  Dan jihad yang seperti ini wajib atas setiap muslim dengan segala kemungkinan yang dipunyai oleh setiap orang dari segi tenaga maupun harta, baik yang sedikit maupun yang banyak hartanya, baik yang berjalan kaki maupun yang berkendaraan, sebagaimana keadaan kaum muslimin ketika musuh mereka bermaksud menyerang mereka di peperangan khandaq.  Dalam peperangan ini Allah SWT tidak mengizinkan siapapun untuk meninggalkan kewajiban ikut berjihad”.
Az Zuhri menyatakan:
“Said bin Musayyab pergi berperang dan aku juga ikut pergi berperang bersamanya. Maka orang menyatakan kepada Said: “Engkau ini dalam keadaan sakit hendaknya jangan ikut berperang.” Maka Said menyatakan: “Allah SWT telah meminta kaum muslimin pergi berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Maka kalaupun aku (karena sakitku) tidak mampu ikut menyerang musuh, aku ikut berperang sekadar memperbanyak jumlah pasukan dan menjaga barang-barang pasukan[2].
2.      Allah SWT berfirman:
(وَقَاتِلُوْا الْمُشْرِكِيْنَ كاَفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كاَفَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ) (التوبة: 26)
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwa Allah  itu beserta orang-orang yang bertakwa” (At Taubah: 36)
Ibnu Arabi menyatakan:
“Makna – Kaaffatan كافة – ialah dengan mengepung mereka yaitu kaum musyrikin dari segala arah dan keadaan.[3]
3.      Allah  SWT berfirman:
(وَقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ) (الأنفال: 40)
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan sampai agama itu semuanya untuk Allah.” (Al Anfal : 39)
Yang dimaksud dengan fitnah di ayat ini ialah syirik sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas dan As Suddi[4].
Oleh sebab itu bila orang kafir menyerang dan menduduki suatu negara Islam, sehingga umat Islam padanya merasa tidak aman lagi dalam menjalankan agamanya dan si kafir terus-menerus melakukan usaha-usaha pengaburan aqidah kaum muslimin pada negeri tersebut, maka  pada saat itulah wajib atas setiap muslim bangkit untuk membela agama dan diri mereka serta membela kehormatan dan harta mereka.
4.      Rasulullah SAW bersabda:
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ فَإِذَا اسْتَنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا .)رواه البخاري.
“Tidak ada hijrah (dari Mekah ke Madinah) setelah pembebasan kota Mekah. Yang ada ialah jihad dan niat (yang baik). Maka oleh sebab itu bila kamu diseru untuk berjihad memerangi orang kafir maka keluarlah”[5] (HR Bukhari)
Maka umat Islam wajib pergi berjihad bila diseru untuk itu.  Dan dalam keadaan mereka diserang oleh orang kafir, umat Islam dengan otomatis wajib berperang (walautun tidak ada yang menyerukannya untuk itu) guna melindungi agamanya.  Dan sandaran wajib berperang atas umat Islam itu ialah keperluan umat Islam untuk membela diri atau karena seruan imam untuk berperang.  Demikianlah pernyataan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam menerangkan hadits ini.
Al Qurtubi menyatakan:
“Setiap orang Islam yang tahu kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuh mereka, dan dia tahu bahwa dia mampu menghadapi musuh tersebut dan memungkinkan baginya untuk mengusir orang kafir tersebut, maka wajib dia membantu kaum muslimin yang diserang oleh orang kafir itu[6].”
5.      Sesungguhnya semua agama yang turun dari sisi Allah SWT, datang ke muka bumi untuk memelihara lima perkara penting, yaitu: agama, diri pribadi, kehormatan, akal, dan harta.  Oleh sebab itu wajib memelihara lima perkara tersebut dengan jalan apapun.  Dan dari itu pula Islam mensyariatkan membela diri dari serangan musuh[7].
Adapun yang dikatakan penyerang itu ialah mereka yang menyerbu pihak lain dengan paksa dan bertujuan menguasai diri yang diserang atau hartanya atau kehormatannya atau negerinya.
Sedangkan yang dikatakan penyerang ada dua macam:
a.       Penyerang atau perampas kehormatan.  Dalam hal ini walaupun penyerang itu muslim maka wajib untuk dilawan. Para ahli fiqih sepakat bahwa perlawanan itu wajib walaupun menyebabkan terbunuhnya penyerang itu.  Para ahli fiqih berpendapat bahwa seorang wanita muslimah dilarang menyerah kepada musuh walaupun sampai terbunuh kalau dia takut kehormatannya dianiaya oleh musuh tersebut.
b.      Penyerang atau perampas harta atau jiwa yang menurut jumhur ulama wajib dilawan, walaupun perlawanan itu menimbulkan terbunuhnya penyerang yang muslim.  Ini adalah merupakan pendapat yang kuat dalam Madzhab Maliki dan Syafii
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ[8] .
“Barang siapa terbunuh karena membela hartanya maka dia itu syahid dan barangsiapa terbunuh karena membela darahnya maka dia itu syahid dan barang siapa terbunuh karena membela agamanya maka dia itu syahid dan barangsiapa terbunuh karena membela keluarganya maka dia itu syahid” (HR Tirmidzi dan Nasai).
Al Jashshash menjelaskan:
Tidak ada khilaf di kalangan ulama bahwa bila seseorang menghunuskan pedangnya terhadap seorang lainnya untuk membunuhnya dengan kezaliman, maka wajib atas kaum muslimin untuk membunuh penyerang tersebut[9].
Dalam hal ini bila penyerang atau perampas terbunuh maka dia masuk neraka walaupun dia muslim dan bila orang yang diserang itu terbunuh maka dia syahid.
Ini adalah hukum penyerang yang muslim.  Lalu bagaimana pula bila penyerang itu adalah kafir yang mereka itu menyerang negeri kaum muslimin dimana pada waktu itu agama, kehormatan, harta, dan jiwa terancam hilang atau rusak.  Bukankah dalam keadaan ini wajib atas kaum muslimin melawan negara kafir yang menyerang itu?
6.      Bila orang kafir menawan kaum muslimin dan kemudian tawanan itu dijadikan lindungan dalam gerak maju mereka guna merampas negeri-negeri Islam, maka tetap wajib atas kaum muslimin untuk menyerang orang kafir tersebut walaupun mengakibatkan terbunuhnya kaum muslimin yang ditawan itu.  Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Majma’ul Fatawa 28/537 sebagai berikut: “Bahkan kalau seandainya di dalam orang kafir itu ada orang yang shalih dari sebaik-baik manusia dan tidak mungkin menyerang tentara kafir itu kecuali dengan membunuh orang shalih itu, maka terpaksa orang-orang shalih itu dibunuh juga.  Karena para Imam empat madzhab telah sepakat bahwa bila orang kafir menawan orang-orang Islam dan dijadikan tameng hidup untuk menghindarkan serangan kaum muslimin dan dihawatirkan bila tidak menyerang orang kafir itu, akan membahayakan kaum muslimin seluruhnya, maka pada saat itu boleh menembak mereka yang menjadi tameng hidup itu –tetapi dengan target tembakan orang kafir. Dan menurut pendapat salah seorang ulama, bahwa walaupun tidak dikhawatirkan hal itu akan membahayakan kaum muslimin pada umumnya, tetap boleh menyerang kaum kafir yang menyebabkan kematian orang-orang Islam yang tertawan tersebut”.  Dan dalam halaman 45 dalam kitab dan jilid yang sama, Ibnu Taimiyah menyatakan: “Menurut sunnah dan ijma’ yang keduanya sepakat bahwa penyerang yang muslim sekalipun, bila yang diserang tidak bisa membela diri kecuali dengan membunuhnya, maka penyerang itupun boleh dibunuh. Dalam hadits shahih Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa terbunuh dalam membela hartanya maka dia itu syahid.”
Hukum yang demikian ini haruslah ada karena kepentingan melindungi kaum muslimin secara umum dari bahaya fitnah dan syirik.  Dan melindungi agama mereka serta kehormatan mereka adalah lebih diutamakan daripada melindungi beberapa gelintir orang Islam yang ditawan itu dan dijadikan perlindungan oleh orang kafir tersebut.
7.      Memerangi kelompok pengacau
Allah SWT SWT berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوْا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين (الحجرات: 9)
“Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.  Jika salah satu dari keduanya berbuat anaiaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat anaiaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al Hujurat: 9).
Kalau Allah SWT memerintahkan kita untuk memerangi kelompok pengacau yang mereka itu muslim untuk menjaga persatuan umat Islam dan melindungi agama, kehormatan dan harta mereka, maka bagaimana pula hukumnya memerangi negara kafir yang durhaka kepada Allah SWT, bukankah yang demikian itu lebih utama dan lebih dianjurkan.
8.      Hukum orang yang memerangi atau memusuhi Islam
إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).  Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang berat.” (Al Maidah: 33)
Ini adalah hukum bagi orang Islam yang memerangi kaum muslimin, menakut-nakuti mereka dan membuat kerusakan di muka bumi serta mempermainkan harta orang ramai dan menginjak-injak kehormatan mereka.  Sungguh Rasulullah SAW telah menjalankan hukum ini terhadap orang-orang Urniyyin sebagaimana yang terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim[10].
Di dalam hadis ang diriwayatkan dari Anas, bahwa sekelompok orang dari suku ‘Ukl dan Urainah hendak masuk Islam, tetapi mereka berkhianat maka Rasulullah memerintahkan untuk mendatangi mereka dan menghukum mereka dengan  mencongkel mata mereka, memotong tangan dan kaki mereka Maka bagaimana pula dengan negara kafir yang membuat kerusakan di kalangan manusia dengan merusakkan agama, harta, dan kehormatan mereka. Sesungguhnya mengusir musuh adalah kewajiban yang paling utama setelah beriman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Inilah sebagian dalil-dalil dan keharusan mentaati perintah umum berperang apabila orang kafir masuk menduduki negeri kaum muslimin. Dan memerangi musuh yang kafir adalah seutama-utama kewajiban setelah kewajiban iman[11]..
[1] Mukhtashar Ibnu Katsir, 2:144
[2] al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, 8:150
[3] Ibid
[4] al-Qurthubi, 2:253
[5] Hadis Shahih, Diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh al-Bukhari, as-Shahih, 2;651, 3;1025, 1040, 1120, 1164, Muslim, as-Shahih 2;986, Abu Dawud, as-Sunan, 3;3, at-Tirmidzi, as-Sunan, 4;148, ad-Darimi, as-Sunan, 2;312, Ahmad, al-Musnad, 1;226, 266, 355, dan juga diriwayatkan dari Aisyah oleh Muslim, as-Shahih, 3;1488
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 6;30
[7] Jami’ al-Ahkam, 8;150
[8] Hadis Shahih, diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Amru bin Ash oleh Bukhari, Shahih, 2:877, Muslim, Shahih 1:124, Abu Awanah, Musnad, 1:49-50,  dan diriwayatkan pula dari Sa’id bin Zaid oleh an-Nasa’I, 7:116, Ahmad, al-Musnad, 1:190, al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 3:266, Lihat; shahih al-Jami’ ash-Shaghir, al-Albani no. 6321.
Hadis tersebut dicantumkan dalam Hasyiyah Ibnu Abidin, 5:383, az-Zu’aili, 6:110, Mawahib al-Jalil, 6:323, Tuhfah al-Muhtaj, 4;124, al-Iqna’, 4;290, ar-Raudlah al-Bahiyyah, 2;371, al-Bahr az-Zuhar, 6;268,
[9] Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, 1;2402
[10] Lihat al-Fath ar-Rabbani syarh Musnad Imam Ahmad asy-Syaibani, Ahmad Abdurrahman al-Banna, 81;128
[11] Al-Fatawa Al Kubra, 4/608

Karakter Umat Islam (3): . Tegas terhadap Orang Kafir dan Berkasih Sayang dengan Sesama Muslim