“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang terhadap sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud.” (QS. Al-Fath[48] : 29).
Sebelum tragedi Suriah, jutaan kaum Muslimin ( Ahlus Sunnah ) dibantai dengan
keji oleh kufar-kufar diatas di Afghanistan, Chechnya, Irak, Libia, Somalia,
Mali, Philipina dengan dalih/alasan penuh kebohongan ( karangan ), pada
dasarnya karena kebencian mereka kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Setelah Suriah mungkin akan ada lagi Negara muslim yang diperlakukan sama. Mengapa
para pemimpin umat/tokoh-tokoh muslim di
Negara kita seperti tidak peduli dengan nasib tragis umat Islam suriah ? mereka
terkesan menyuarakan yang bertolak belakang atau tidak berani membela saudara sesama
muslim ( ahlus sunnah ) ! Apakah mereka menginginkan kufar syiah Nushairiyah
Bashar Asad ( 12 % penduduk Suriah ) terus berkuasa dan membantai umat Islam (
85 % penduduk suriah ) ? semua sikap
kita akan dipertanggung jawabkan di yaumil akhir !
Ini adalah perkara
yang sangat berbahaya. Hal ini termasuk pembatal keislaman jika maksudnya
adalah menolong orang kafir untuk menindas kaum muslimin disertai dengan
kecintaan pada agama atau ajaran mereka. Allah Ta’ala berfirman,
Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia” (QS. Al Mumtahanah : 1)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi
pemimpin-pemimpinmu. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain. “Barangsiapa
di antara kamu berloyal pada mereka (menolong mereka), maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”
(QS. Al Ma-idah : 51)
Para ulama bahkan mengatakan
bahwa perbuatan semacam ini termasuk pembatal keislaman dan sebab seseorang murtad. Na’udzu
billah min dzalik.
Sedangkan jika tidak
ada pilihan lain (artinya: dipaksa) untuk melakukan seperti itu, namun tidak
disertai dengan rasa cinta pada kekufuran mereka, maka ini dikhawatirkan saja
dapat keluar dari Islam. Adapun jika masih punya pilihan (tidak dipaksa), namun
ia masih benci pada agama kekafiran, maka ia terjerumus dalam dosa besar.
( Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil
I’tiqod, hal. 360 dan penjelasan Syaikh Sholih Al Fauzan dalam Durus fii Syarh
Nawaqidil Islam, hal, 157-158.
Asy-Syaikh Abdul Aziz
Ar-Rajihi -Hafidzahullah- menerangkan;
Jika ada seseorang membantu
musyrikin dalam memerangi muslimin, hal ini berarti dia loyal kepada musyrikin
dan mencintai mereka. Dan berloyal kepada mereka adalah riddah (kemurtadan)
karena hal ini menandakan akan kecintaannya kepada mereka. Apabila ia menolong
mereka dengan harta, dengan senjata, dengan informasi-informasi dan masukan,
ini menunjukkan akan kecintaan dia kepada mereka dan mencintai mereka
membatalkan Islam (riddah). Dan dasar wala’/loyalitas adalah cinta dan lahir
darinya memberi bantuan, dukungan dengan masukan, harta dan senjata. Maka jika
seseorang membantu musyrikin dalam memerangi muslimin ini berarti ia melebihkan
musyrikin dari muslimin…
Kedudukan
Hukum Membantu Orang Kafir dalam Memerangi Kaum Muslimin
Amerika Serikat membentuk dan
memimpin langsung koalisi internasional untuk menggempur Daulah Islamiyah (IS)
di Irak dan Suriah. Berbagai upaya dilakukan koalisi yang beranggotakan puluhan
negara itu, mulai dari melancarkan serangan udara, mengirimkan perlengkapan
militer hingga bantuan lainnya. Tak hanya negara-negara Barat saja yang
bergabung dalam koalisi tersebut, namun beberapa negara Arab yang mayoritas
penduduknya Islam juga turut membantu koalisi yang diprakasai oleh Obama
tersebut. Dengan dalih ingin menghancurkan IS/ISIS, karena selain mengancam
keamanan negara Arab lainnya, IS/ISIS juga dianggap bertindak di luar batas
kewajaran manusia, beberapa negara muslim yang tergabung dalam koalisi siap
membantu apa saja yang dibutuhkan dalam serangan tersebut.
Namun fakta berbicara lain,
ketika pasukan koalisi internasional itu mulai melakukan serangannya, ternyata
yang menjadi target sesungguhnya tidak hanya IS/ISIS saja, namun sejumlah
faksi-faksi mujahidin lain pun turut menjadi target serangan mereka. Bahkan tak
sedikit dari rakyat sipil yang menjadi korban dalam serangan yang mereka
lancarkan.[1]
Sehingga tak heran, jika sejak
awal pembentukan koalisi itu, banyak para ulama yang mengecam upaya pembentukan
tersebut. Meskipun sebagian besar tindakan yang dilakukan oleh IS/ISIS tidak
disetujui oleh mereka, namun mereka seolah-olah sudah bisa memprediksi bahwa
selain ingin menggempur IS/ISIS, banyak tersimpan kepentingan lain yang menjadi
target Amerika dalam pembentukan koalisi tersebut.
Ketika menanggapi tentang rencana
koalisi tersebut, Syaikh Abu Bashir At-Thartusi, sosok ulama jihadis yang
dikenal paling kritis terhadap IS/ISIS, berkomentar, “Yang tampak dari tujuan
serangan koalisi mereka dan pengeboman pengecut mereka adalah Jamaah ISIS dan
terorisme seperti yang mereka klaim, padahal tujuan tersembunyi mereka adalah
menyerang rakyat dan tanah Suriah!. Mereka ingin menghancurkan masa depan
Suriah dan revolusi Suriah, menghancurkan kebebasan dan kemerdekaan Suriah agar
mereka dapat memberlakukan idiologi mereka – yang di dalamnya ada kepentingan
mereka – terhadap rakyat Suriah.”[2]
Sementara Syaikh Al-Maqdisi,
ulama rujukan para mujahidin, tak segan-segan menyebutkan pasukan koalisi
tersebut dengan sebutan pasukan salib yang sedang bersatu menyerang ummat
Islam.[3]
Kecaman ulama terhadap pasukan
koalisi tersebut, ternyata tidak hanya muncul dari para ulama yang ikut
berkecimpung langsung dalam medan jihad. Kecaman itu juga datang dari Ketua
Persatuan Ulama Internasional, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi yang ikut mengecam
pembentukan koalisi internasional tersebut. “Saya memiliki gagasan dan metode
yang sama sekali berbeda dengan IS. Di sisi lain, saya tidak terima dengan
tindakan Amerika Serikat untuk memerangi mereka karena AS hanya mengikuti
kepentingannya sendiri, bukan nilai-nilai Islam.” demikian ungkap Syaikh Yusuf
Qordhawi dalam akun twitternya.[4]
Selain itu, kecaman serupa juga
muncul dari sejumlah besar ulama Yordania, mereka menilai bahwa bentukan
koalisi tersebut sama saja ingin melawan Islam, sementara kempanye untuk
menyerang IS hanya sebagai alasan dan bentuk legitimasi mereka untuk menyerang
kaum muslimin. “Oleh karena itu kami dengan tegas mengecam seluruh intervensi
koalisi tersebut, dan hukumnya haram bergabung atau ikut membantu mereka dalam
bentuk apa pun.” demikian tegas mereka.[5]
Kecaman para ulama tersebut
tentunya menandakan ada banyak hal yang mereka khawatirkan ketika terjadi
serangan pasukan koalisi tersebut. Salah satunya adalah efek serangan itu
sendiri yang banyak mengancam nyawa kaum muslimin. Padahal dalam Islam, nyawa
seorang muslim lebih berharga daripada dunia, “Hancurnya dunia lebih ringan di
sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. An-Nasa’i)
Jika memang demikian faktanya,
maka tak heran jika dalam menanggapi peristiwa tersebut sebagian kaum muslimin
ada yang penasaran dan bertanya, bukankah misi yang dilancarkan oleh koalisi
tersebut sama saja menyerang kaum muslimin? Lantas bagaimana hukum membantu
atau mendukung pasukan koalisi tersebut? padahal yang banyak menjadi korban
adalah saudara kaum muslimin sendiri.
Urgensi Al-wala’ wal baro’
Terhadap Aqidah Seorang Mukmin
Persaudaraan menjadi salah satu
karakteristik dalam ajaran Islam. Ketika seseorang mengucapkan syahadat, maka
secara otomatis dia telah mengikat persaudaraan dengan mukmin lainnya. Dia
tidak boleh mendhalimi saudara mukmin lainnya, tidak boleh mendustainya,
menghina, mencela, apalagi membunuh. Selain itu, dia juga punya haq dan
kewajiban untuk saling membantu saudara lainnya, membela kehormatannya,
menolongnya dari serangan musuh dan sebagainya. Bahkan dalam hadits, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan persaudaraan tersebut layaknya
seperti satu anggota badan, jika salah satu anggota badan sakit maka anggota
badan lainnya juga akan ikut merasakan sakit.
Dalam kajian aqidah, prinsip
persaudaraan seperti ini disebut dengan al-wala’ wal baro’ artinya cinta
terhadap sesuatu atau seseorang hanya karena Allah dan benci terhadap seseorang
atau sesuatu juga hanya karena Allah. Juga, atau dalam makna lain adalah
menjadikan orang muslim sebagai saudara yang berhak mendapatkan loyalitas dan
menganggap orang-orang kafir sebagai musuh yang tidak boleh loyal atau bahkan
saling membantu dalam menciptakan makar terhadap Islam.
Para ulama menyimpulkan bahwa
prinsip al-wala’ wal baro’ seperti ini menjadi syarat keimanan seseorang. Allah
ta’ala berfirman:
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ
مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Sekiranya mereka
beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan
kepadnya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu
menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang
fasik.” (QS. Al-Maidah: 81)
Tentang ayat itu,
Syikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah mensyaratkan
bagi seorang muslim untuk tidak berwali atau mengambil teman setia dari
orang-orang kafir. Kata Law dalam ayat tersebut menandakan syarat yang harus
dimiliki oleh seorang mukmin, yaitu tidak boleh mengangkat pemimpin atau
penolong-penolong dari orang-orang kafir. Karena antara keimanan dan menjadikan
orang kafir sebagai penolong adalah dua prinsip yang berlawanan, dua prinsip itu
tidak mungkin bisa berkumpul dalam hati orang mukmin. (lihat : Ibnu Taimiyah,
Al-Iman, hal: 14)
Syaikh Hamad bin
‘Atiq mengatakan, “Adapun perihal memusuhi orang-orang kafir dan musyrik, maka
ketahuilah sesungguhnya Allah telah mewajibkan hal itu dan menekankan kewajiban
ini dan Allah mengharamkan berwali kepada mereka dan menegaskan keharamannya.
Sehingga dalam Kitabullah tidak ada hukum yang lebih banyak dalilnya dan lebih
gamblang penjelasannya setelah wajibnya tauhid dan haramnya syirik melebihi masalah
ini.” (Abdul Azizi bin Muhammad bin Ali Alu Abdul Lathif, Nawaqidhul Iman al
Qauliyah wal ‘Amaliayah, hal: 359).
Oleh karena itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati prinsip al-wala’ wal baro’
dengan ikatan keimanan paling kuat yang dimiliki oleh orang mukmin.
“Tali keimanan yang
paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, cinta
karena Allah dan benci karena Allah.” (Shohih Al-Jami’: 2539)
Demikianlah
konsekuensi keimanan seseorang kepada Allah. Persaudaraan menjadi simbol tali
keimanan yang melekat pada dirinya. Sehingga ketika ada musuh yang
mendhaliminya sementara dia tidak mau menolongnya, maka tentu keimanannya perlu
dipertanyakan kembali. Apalagi jika dia ikut-ikutan membantu atau membela musuh
ketika mereka menyerang kaum muslimin, tentunya orang yang seperti ini akan
mendapatkan ancaman yang cukup tegas dalam syariat Islam.
Hukum Membantu Orang
Kafir dalam Memerangi Kaum Muslimin
Besarnya perhatian
Islam terhadap persaudaran antara sesama muslim, juga menimbulkan efek hukum
yang cukup tegas atas orang-orang yang membantu orang kafir dalam memerangi
kaum muslimin. Tentunya orang awwam pun bisa memahami bagaimana jika ada
seseorang yang senang ketika saudaranya yang seagama didhalimi, apalagi kalau
sampai membantu mereka untuk menyerang kaum muslimin. Tentu hal itu akan sangat
berlawanan dengan prinsip keimanan yang diyakininya.
Membantu orang kafir
dalam memerangi kaum muslimin adalah salah satu tabiat orang munafik. Ia
merupakan bagian dari cabang kemunafikan yang selalu muncul untuk meyerang
Islam. Allah ta’ala telah menjelaskannya dalam berbagai macam nash Al-Qur’an,
diantaranya adalah:
Kabarkanlah kepada
orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu)
orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi
orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS.
An-Nisa’ 138-139)
“Maka kamu akan
melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik)
bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut
akan mendapat bencana…”(QS. Al-Maidah: 52)
Para ulama pun telah
sepakat bahwa barangsiapa yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya,
penolongnya, atau ikut bergabung dan membantu mereka dalam memerangi ummat
Islam maka dia telah murtad, keluar dari agama Islam. (Lihat: Tafsir At-Tabari,
3/140, Majmu’atu Tauhid, Hal: 38, Ad-Duraru Sunniah, 7/ 201, Fatawa Bin Baz, 1/
272)
Syaikh Sulaiman bin
Abdullah, cucunya Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam risalahnya Ad-Dalail Fi
Hukmi Muwalati Ahli Isyraak menyebutkan lebih dari dua puluh dalil tentang
larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau penolong. Diantara
kumpulan dalil-dalil tersebut adalah:
Allah menegaskan
bahwa orang yang mengangkat orang kafir sebagai wali maka dia termasuk bagian
dari golongan mereka.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Imam Ath-Thabari
ketika menafsirkan ayat ini berkata,”Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai
pemimpin, sekutu atau membantu mereka dalam melawan kaum muslimin, maka ia
adalah orang yang se-idiologi dan seagama dengan mereka. Karena tak ada
seorangpun yang menjadikan orang lain sebagai walinya kecuali ia ridha dengan
diri orang itu, agamanya, dan kondisinya. Bila ia telah ridha dengan diri dan
agama walinya itu, berarti ia telah memusuhi dan membenci lawannya, sehingga
hukum (kedudukannya) seperti hukum walinya.” [Tafsir Ath Thabari 6/160].
Ibnu ‘Atiyah
menjelaskan, maksudnya adalah mencintai dan mengikuti mereka dalam seluruh
tujuan yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu ‘Atiyah, 8/152)
Al-Baidhawi berkata,
“Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai wali (penolong) maka dia termasuk
dari golongan mereka. Ayat ini menegaskan tentang wajibnya menjauhi mereka.
(Tafsir Al-Baidhawi, 5/ 192)
Kesimpulan hukum
tersebut juga ditegaskan oleh para ulama lainnya, misalnya Ibnu Hazm dalam Al
Muhala 13/35 , Asy Syaukani dalam Fathul Qadir 2/50, Al Qasimi dalam Mahasinu
Ta’wil 6/240.
Allah ta’ala berlepas
diri dari mereka yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya.
Allah ta’ala
berfirman:
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya ia terlepas dari
pertolongan Allah ….” (QS. Ali Imran :28).
Imam Asy-Syaukani
menjelaskan bahwa dia tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allah sedikitpun
bahkan Allah berlepas diri darinya dalam setiap keadaan. (Fathul Qodir, 1/331)
Dalam sebuah hadits
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan ummatnya. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
“Barangsiapa membantu dalam rangka membunuh
seorang mukmin dengan separuh kalimat saja, ia akan menghadap Allah, tertulis
di antara kedua matanya: Aayisun min rohmatillah… (orang yang berputus asa dari
rahmat Alloh). (HR. Ibnu Majah)
Membantu orang kafir
dalam rangka memerangi kaum muslimin merupakan amalan yang dapat membatalkan
keimanan.
Allah berfirman:
“Kamu melihat
kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik).
Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu
kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya
mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan
kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu
menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (QS. Al-Maidah: 80-81)
Ketika kota Baghdad
ingin digempur oleh pasukan Tartar, sebagian kaum muslimin ada yang ikut
bergabung bersama pasukan tersebut. mengomentari hal itu, Ibnu Taimiyah
berkata, “Barangsiapa diantara mereka bergabung ke dalam pasukan Tartar maka
dia lebih berhak untuk dibunuh terlebih dahulu daripada pasukan Tartar. Karena
dalam pasukan Tartar ada pasukan yang ikut berperang karena terpaksa dan ada
juga tidak. Sementara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menetapkan bahwa hukuman terhadap orang murtad lebih besar daripada orang kafir
asli disebabkan beberapa hal.” (Ibnu Taimiyah: Majmu’ Fatawa, 28/534)
Dalam kitab Majmu’atu
Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan bahwa pembatal keislaman
yang kedelapan adalah membantu dan tolong menolong dengan orang-orang kafir
dalam memusuhi umat Islam, dengan dalil QS. Al Maidah :51. (Lihat: Majmu’atu
Tauhid, hal: 38)
Syaikh Abdullah bin
Abdul Latif Alu Syaikh berkata, “Saling tolong menolong dengan orang kafir
adalah kafir yaitu seperti membantu mereka dengan harta, jiwa dan pikiran.”
(Ad-Duraru Sunniyah: 7/ 201)
Bagaimana Jika yang
Diperangi adalah Ahlu Bughat atau Orang Khawarij?
Dalam konteks koalisi
yang dipimpin Amerika untuk menggempur IS/ISIS, mungkin sebagian orang akan
bertanya, bukankah yang mereka perangi itu orang-orang khawarij yang juga
mengancam keamanan ummat Islam lainnya?
Dalam menanggapi
masalah ini, jumhur ulama berpendapat bahwa memohon pertolongan kepada orang
kafir dalam memerangi ahlul bughat atau khawarij adalah haram. Hanya kalangan
ulama Hanafiah saja yang membolehkannya namun dengan syarat yang cukup ketat,
yaitu kekuasaan Islam lebih kuat (lebih mendominasi) daripada kekuasaan mereka.
Karena pada dasarnya tujuan memerangi khawarij bukan dalam rangka ingin
membunuh mereka akan tetapi menahan kekejaman atau memaksa mereka untuk taat
kembali. (Lihat: Al-Sarkhasi, Al-Mabshut, 10/135)
Al-Qarafi, salah
seorang ulama Malikiah, berkata, “Tidak boleh membunuh tawanan mereka, hartanya
juga tidak boleh dijadikan ghanimah, keturunan mereka tidak boleh ditawan dan
tidak boleh memohon bantuan kepada orang musyrik dalam memerangi mereka.”
(Al-Qarafi, Al-Dzakhiroh, 12/9)
Imam Nawawi berkata,
“Tidak boleh memohon bantuan kepada orang kafir untuk memerangi mereka, karena
orang kafir tidak boleh menguasai urusan kaum muslimin, oleh karena itu, bagi
orang yang terkena qishas tidak boleh diwakilkan kepada orang kafir, demikian
juga tidak boleh bagi imam mengangkat orang kafir sebagai algojo dalam
menegakkan hudud atas orang muslim. (An-Nawawi, Raudhatul Thalibin, 10/60)
وَلَنْ يَجْعَلَ
اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah sama
sekali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk berkuasa
(memusnahkan) orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 141)
Memang berbeda ketika
berhadapan dengan orang kafir, sebagian ulama membolehkan meminta bantuan
kepada orang kafir jika memang keadaannya dharurat dan menbutuhkan hal itu.
Standarnya tetap melihat pertimbangan maslahat dan mudharat dan yang paling
penting dalam hal ini adalah mereka menetapkan syarat yaitu kaum muslimin tetap
menjadi penguasa yang tertinggi, karena jika kekuasaan kafir lebih mendominasi
dalam pasukan tersebut, suatu saat dikhawatirkan mereka akan menguasai urusan
kaum muslimin. (lihat: Asyaibani, Syarh As-Sair Al-Kabir, 4/1422, An-Nawawi,
Syarh Muslim, 2/198, Ibnu Hajar, Fath Bari, 6/176, As-Syaukani, Nailul Authar,
8/44)
Semua pertimbangan
hukum tersebut bermuara kepada kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin,
sehingga Syaikh Hamud ‘Uqala As-Syu’aibi menyebutkan beberapa alasan kenapa
tidak boleh bagi pemimpin muslim meminta bantuan kepada orang kafir untuk
memerangi orang khawarij dalam kondisi apapun. Hal itu karena disebabkan
beberapa hal, diantaranya:
Banyak dalil dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah dan pendapat ulama yang melarang memohon bantuan kepada
orang kafir dalam rangka memerangi orang kafir lainnya. Jika pendapat ini lebih
rajih maka larangan meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang
Islam tentu lebih utama.
‘Illah (alasan)
bolehnya memerangi ahlul bughat (khawarij) adalah untuk menahan kekejaman
mereka dan memaksa mereka untuk taat kepada amir bukan untuk dibunuh. Oleh
karena itu dalam hal ini tidak butuh bantuan orang kafir.
Meminta bantuan
kepada orang kafir berarti menjadikan mereka sebagai wali dan menandakan
kecondongan hatinya kepada mereka.
ولا تركنوا إلى
الذين ظلموا فتمسكم النار
“Dan janganlah kamu
cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api
neraka,…”(QS. Hud: 113)
Meminta bantuan orang
kafir akan memudahkan mereka untuk memecah belah kekuatan muslimin sehingga
mereka dapat menguasai urusan kaum muslimin
Meminta bantuan
kepada orang kafir sama saja memberikan kepada mereka legitimasi untuk
intervensi langsung terhadap urusan kaum muslimin dan akan menampakkan
kelemahan kaum muslimin serta secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai
pemimpin yang akan dijadikan tempat bagi kaum muslimin untuk berhukum
(mengambil kebijakan).[6]
Demikianlah ketegasan
Islam dalam menyikapi ummatnya yang ikut bergabung bersama orang kafir atau
turut membantu mereka dalam memerangi kaum muslimin. Tentu bagi kita yang
memahami hukum tersebut dan berkomitmen dengan ajaran Islam, tidak mungkin
terbawa-bawa untuk membantu dengan segala bentuk kempanye memerangi saudara
kaum muslimin, di belahan dunia mana pun. Memang kita tidak dilarang
bermu’amalah dengan orang-orang kafir dan saling membantu dalam hal
kemaslahatan kaum muslimin, tapi sangat naif sekali, jika hal itu menyebabkan
sebagian orang Islam rela mendukung atau membantu mereka demi menghancurkan
saudaranya sendiri. Wa’iyadzubillah.
[1]
/2014/10/07/serangan-udara-pasukan-koalisi-membantai-24-warga-sipil-di-anbar/
[3]
/2014/09/24/doa-kepedulian-syaikh-maqdisi-atas-serangan-dan-sekutu-di-irak-dan-suriah/
[4]
(/2014/09/15/syiakh-yusuf-qardhawi-kecam-koalisi-internasional-untuk-lawan/)
Penulis: Muhammad
Referensi kitab:
Tafsir At-Tabari,
Ibnu Jarir At-Tabari
Tafsir Ibnu ‘Atiyah,
Ibnu ‘Atiyah
Tafsir Al-Baidhawi,
Al-Baidhowi
Al Muhala, Ibnu Hazm
Fathul Qadir, Asy
Syaukani
Mahasinu Ta’wil, Al
Qasimi
Al-Mabshut,
Al-Sarkhasi
Al-Dzakhiroh,
Al-Qarofi
Raudhatul Thalibin,
An-Nawawi
Syarh As-Sair
Al-Kabir, As Syaibani
Syarh Muslim,
An-Nawawi
Fathul Bari, Ibnu
Hajar Al Atsqalani
Nailul Authar, As-Syaukani
Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyah
Ahkam Alu Dzimmah,
Ibnu Qoyyim
Kitab Al-Iman, Ibnu
Taimiyah
Nawaqidhul Iman al
Qauliyah wal ‘Amaliayah, Abdul Azizi bin Muhammad bin Ali Alu Abdul Lathif
Majmu’atu Tauhid,
Muhammad bin Abul Wahab
Fatawa Bin Baz, Abdul
Aziz bin Baz
http://www.kiblat.net/2014/10/16/kedudukan-hukum-membantu-orang-kafir-dalam-memerangi-kaum-muslimin/
Written By AL FARUUQ MEDIA on Jumat, 12
September 2014 | 07.14
Syekh Ahmad Syakir dalam
salah satu tulisannya menjelaskan bahwa berdirinya seorang Muslim dalam barisan
orang-orang kafir melawan kaum Muslimin, maka itu termasuk salah satu pembatal
keislaman. Minimal, ujar beliau, hal itu haram dengan pengharaman yang keras.
Beliau menjelaskan beberapa
ayat Al-Qur’an terkait hal ini :
“Barang siapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah:5).
“Mereka tidak henti-hentinya
memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada
kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”(QS.Al-Baqarah :217)
Juga beberapa hadits berikut
:
Ibnu Majah meriwayatkan dalam
Sunannya dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasululloh SAW., bersabda :
“Barangsiapa membantu dalam
rangka membunuh seorang mukmin dengan separo kalimat saja, ia akan menghadap
Alloh, tertulis di antara kedua matanya: Aayisun min rohmatillah… (orang yang
berputus asa dari rahmat Alloh).”
Di dalam sanad hadis ini
terdapat Yazid bin Ziyad, namun ia dikuatkan dengan sebuah hadist Tirmizi,
Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amru ra. Bahwasanya Nabi SAW.,
bersabda:
“Sungguh, hilangnya dunia
lebih ringan di sisi Alloh daripada terbunuhnya seorang muslim.”
Dalam riwayat Ibnu Majah:
“…lebih ringan di sisi Alloh daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan
yang benar.”
Al-Hakim meriwayatkan juga di
dalam Mustadraknya demikian juga Thabarani dari Ibnu Abbas ra.a bahwasanya Nabi
SAW., bersabda:
“Barangsiapa membantu orang
dzalim untuk membela kebatilannya, ia telah terlepas dari tanggungan Alloh dan
rasul-Nya.”
Kemudian, fatwa-fatwa yang
dikeluarkan itu, paling tidak memperbanyak jumlah kaum salibis, memperkuat
pendapat mereka melawan kaum muslimin. Di dalam Tarikh-nya, Al-Khatib
meriwayatkan dari Anas, beliau memarfu‘kannya:
Para Ulama berkata: Maknanya
adalah, “Barangsiapa memperbanyak jumlah suatu kaum dengan cara bergaul dengan
mereka, membantu dan tinggal bersama mereka, atau bergabung dengan mereka maka
hukumnya sama dengan mereka.”
Hendaknya setiap muslim
mengerti bahwa belahan bumi manapun ketika bekerja sama dengan musuh-musuh
Islam yang memperbudak kaum muslimin, baik Inggris, Perancis, para sekutu dan
yang semisal dengan mereka, dengan kerja sama berbentuk apapun, atau mengajak mereka
berdamai dengan tidak memerangi mereka sekuat tenaga, apalagi yang menolong
mereka dengan kata-kata dan perbuatan untuk mencelakakan saudara seagamanya
sendiri; sungguh ketika seseorang melakukan salah satu dari perbuatan tadi
kemudian ia sholat, maka sholatnya batal, atau bersuci dengan wudhu maupun
mandi atau tayammum, maka bersucinya batal. Jika ia puasa; yang wajib maupun
sunnah, maka puasanya batal. Atau naik haji, maka hajjinya batal. Atau membayar
zakat wajib, atau mengeluarkan shodaqah sunnah, maka zakatnya batal dan
tertolak. Atau dia melakukan ibadah kepada robbnya dengan bentuk ibadah apapun,
maka ibadahnya batal tertolak. Dalam semua itu, ia tidak memperoleh pahala
sedikitpun, bahkan ia mendapatkan dosa dan kesalahan.
Hendaknya setiap muslim tahu:
Bahwa ketika ia melakukan cara yang hina ini, amal perbuatannya sia-sia, berupa
seluruh ibadah yang ia lakukan terhadap robbnya sebelum ia kembali ke dalam
lumpur kemurtadan yang ia ridhoi terhadap dirinya sendiri ini. Kita berlindung
kepada Alloh, jika seorang muslim hakiki yang beriman kepada Alloh dan
rasul-Nya sampai ridho dengan perbuatan seperti ini.
Hal ini mengingat bahwa Iman
adalah syarat sahnya setiap Ibadah, sekaligus syarat diterimanya, sebagaimana
itu adalah perkara gamblang yang sudah maklum dalam agama secara pasti, tidak
ada seorang muslimpun yang menyelisihinya.
Untuk itu, lanjut beliau,
kaum Mmuslimin harus keluar dari setiap penguasa yang membantu orang-orang
Amerika melawan umat Islam. Sebab perbuatan ini adalah riddah (murtad) yang
menjadikan seorang penguasa harus diturunkan!!
Wallahu a’lam bis showab!
M Fachry
Sumber: Al-mustaqbal.net
http://fursansyahadah.blogspot.co.id/2014/09/hukum-membantu-orang-kafir-memerangi.html
Hukum Membantu Orang Kafir
dalam Memerangi Kaum Muslimin
Pokok Pembahasan :
Perbuatan – perbuatan yang membatalkan Dua Kalimat Syahadat
Besarnya perhatian
Islam terhadap persaudaran antara sesama muslim, juga menimbulkan efek hukum
yang cukup tegas atas orang-orang yang membantu orang kafir dalam memerangi
kaum muslimin. Tentunya orang awam pun bisa memahami bagaimana jika ada seseorang
yang senang ketika saudaranya yang seagama dizhalimi, apalagi kalau sampai
membantu mereka untuk menyerang kaum muslimin. Tentu hal itu akan sangat berlawanan dengan
prinsip keimanan yang diyakininya.
Membantu orang kafir
dalam memerangi kaum muslimin adalah salah satu tabiat orang munafik.Ia
merupakan bagian dari cabang kemunafikan yang selalu muncul untuk meyerang
Islam. Allâh swt telah menjelaskannya dalam berbagai macam nashal-Qur’an,
diantaranya adalah:
بَشِّرِالْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا * الَّذِينَ
يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ
عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa
mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil
orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang
mukmin.Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?Maka sesungguhnya
semua kekuatan kepunyaan Allâh. (QS. An-Nisa’ [4]: 138-139)
فَتَرَى الَّذِينَ
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا
دَائِرَةٌ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada
penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi
dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana…” (QS.
Al-Mâ’idah [5]: 52) Para ulama pun telah sepakat bahwa barangsiapa yang
menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya, penolongnya, atau ikut bergabung
dan membantu mereka dalam memerangi ummat Islam maka dia telah murtad, keluar
dari agama Islam.
Di antara perbuatan
yang bertentangan dengan aqidah adalah memberi dukungan terhadap orang-orang
kafir diantara perbuatan itu adalah bersekutu dengan mereka melawan orang-orang
Islam, maksud bersekutu di sini adalah menolong, membantu dan mendukung orang-orang
kafir melawan kaum muslimin, bergabung dengan orang-orang kafir, membela mereka
dengan harta, pedang dan pena. Ini adalah kekufuran, bertentangan dengan iman.
Dalam al-Quran Surah
Ali Imran ayat 28 Allâh swt berfirman :
لا يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi perwakilan dengan meninggalkan orang-orang
mukmin.barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allâh, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka.Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.Dan hanya kepada
Allâh engkau kembali.”(QS. Ali Imran [3]: 28).
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖوَسَاءَتْمَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalanorang-orang yang tidak
beriman maka Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul
dan mengikuti jalan orang-orang kafir) kemudian Kami seret ke dalam
Jahannam.Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisâ’ [4]: 115)
وَأَنَّ هَٰذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖوَلَاتَتَّبِعُواالسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِۚذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allâh agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-An’âm [6]: 153)
Syaikh Sulaiman bin
Abdullah, cucunya Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam risalahnya Ad-Dalail Fi
Hukmi Muwalati Ahli Isyraak menyebutkan lebih dari dua puluh dalil tentang
larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau penolong.
Diantara kumpulan
dalil-dalil tersebut adalah:
Allâh menegaskan
bahwa orang yang mengangkat orang kafir sebagai wali maka dia termasuk bagian
dari golongan mereka.Allâh swt berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 51)
Imam Ath-Thabari
ketika menafsirkan ayat ini berkata,”Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai
pemimpin, sekutu atau membantu mereka dalam melawan kaum muslimin, maka ia
adalah orang yang se-idiologi dan seagama dengan mereka. Karena tak ada
seorangpun yang menjadikan orang lain sebagai walinya kecuali ia ridha dengan
diri orang itu, agamanya, dan kondisinya. Bila ia telah ridha dengan diri dan
agama walinya itu, berarti ia telah memusuhi dan membenci lawannya, sehingga
hukum (kedudukannya) seperti hukum walinya.” Ibnu ‘Atiyah menjelaskan,
maksudnya adalah mencintai dan mengikuti mereka dalam seluruh tujuan yang
mereka inginkan.” Sementara Al-Baidhawi berkata, “Barangsiapa yang menjadikan
mereka sebagai wali (penolong) maka dia termasuk dari golongan mereka.Ayat ini
menegaskan tentang wajibnya menjauhi mereka.
Kesimpulan hukum
tersebut juga ditegaskan oleh para ulama lainnya, misalnya Ibnu Hazm dalam
Al-Muhalaa 13/35, Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir 2/50, Al-Qasimi dalam
Mahasinu Ta’wil 6/240.
Allâh swt berlepas
diri dari mereka yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya.Allâh swt
berfirman :
لا يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi perwakilan dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allâh,
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.dan hanya kepada Allâh
engkau kembali.”(QS. Ali Imran [3]: 28).
Imam Asy-Syaukani
menjelaskan bahwa dia tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allâh sedikitpun
bahkan Allâh berlepas diri darinya dalam setiap keadaan.
Dalam sebuah hadits
Rasulullah saw mengingatkan ummatnya. Dari Abu Hurairah r.a ia berkata,
Rasulullah saw bersabda :
مَنْ أَعَانَ عَلَى
قَتْلِ مُؤْمِنٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ ،لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ: آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
“Barangsiapa membantu
dalam rangka membunuh seorang mukmin dengan separuh kalimat saja, ia akan
menghadap Allâh, tertulis di antara kedua matanya: Aayisun min rohmatillah…
(orang yang berputus asa dari rahmat Allâh).” (HR. Ibnu Majah) Membantu orang
kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin merupakan amalan yang dapat
membatalkan keimanan.
Allâh berfirman:
تَرَى كَثِيرًا
مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ
أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ *
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِا للَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ
مَااتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka
tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat
buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allâh
kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman
kepada Allâh, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya
(Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi
penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(QS. Al-Mâ’idah [5]: 80-81).
Ketika kota Baghdad
ingin digempur oleh pasukan Tartar, sebagian kaum muslimin ada yang ikut
bergabung bersama pasukan tersebut. Mengomentari hal itu, Ibnu Taimiyah
berkata, “Barangsiapa diantara mereka bergabung ke dalam pasukan Tartar maka
dia lebih berhak untuk dibunuh terlebih dahulu daripada pasukan Tartar.Karena
dalam pasukan Tartar ada pasukan yang ikut berperang karena terpaksa dan ada
juga tidak. Sementara sunnah Nabi saw telah menetapkan bahwa hukuman terhadap
orang murtad lebih besar daripada orang kafir asli disebabkan beberapa hal.”
Syaikh Abdullah bin
Abdul Latif Ali berkata, “Saling tolong menolong dengan orang kafir adalah
kafir yaitu seperti membantu mereka dengan harta, jiwa dan pikiran.”
Dilema ISIS
Bagaimana dalam
konteks koalisi yang dipimpin Amerika Serikat untuk menggempur IS/ISIS yang
belakangan ini ramai diperdebatkan. Bukankah yang mereka perangi itu
orang-orang khawarij yang juga mengancam keamanan ummat Islam lainnya? Dalam
masalah ini para ulama berbeda pendapat.
Jumhur ulama
berpendapat bahwa memohon pertolongan kepada orang kafir dalam memerangi ahlul
bughat atau khawarij adalah haram.Hanya kalangan ulama Hanafiah saja yang
membolehkannya namun dengan syarat yang cukup ketat, yaitu kekuasaan Islam
lebih kuat (lebih mendominasi) daripada kekuasaan mereka. Karena pada dasarnya
tujuan memerangi khawarij bukan dalam rangka ingin membunuh mereka akan tetapi
menahan kekejaman atau memaksa mereka untuk taat kembali.
Al-Qarafi, salah
seorang ulama Malikiah, berkata, “Tidak boleh membunuh tawanan mereka, hartanya
juga tidak boleh dijadikan ghanimah, keturunan mereka tidak boleh ditawan dan
tidak boleh memohon bantuan kepada orang musyrik dalam memerangi mereka.” Imam
Nawawi berkata, “Tidak boleh memohon bantuan kepada orang kafir untuk memerangi
mereka, karena orang kafir tidak boleh menguasai urusan kaum muslimin, oleh
karena itu, bagi orang yang terkena qishas tidak boleh diwakilkan kepada orang
kafir, demikian juga tidak boleh bagi imam mengangkat orang kafir sebagai
algojo dalam menegakkan hudud atas orang muslim.
وَلَنْ يَجْعَلَ
اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allâh sama sekali tidak memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk berkuasa (memusnahkan) orang-orang mukmin.” (QS.
An-Nisa [4]: 141)
Memang berbeda ketika
berhadapan dengan orang kafir, sebagian ulama membolehkan meminta bantuan
kepada orang kafir jika memang keadaannya darurat dan menbutuhkan hal itu.
Standarnya tetap melihat pertimbangan maslahat dan mudharat dan yang paling
penting dalam hal ini adalah mereka menetapkan syarat yaitu kaum muslimin tetap
menjadi penguasa yang tertinggi, karena jika kekuasaan kafir lebih mendominasi
dalam pasukan tersebut, suatu saat dikhawatirkan mereka akan menguasai urusan kaum
muslimin.
Semua pertimbangan
hukum tersebut bermuara kepada kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin,
sehingga Syaikh Hamud ‘Uqala As-Syu’aibi menyebutkan beberapa alasan kenapa
tidak boleh bagi pemimpin muslim meminta bantuan kepada orang kafir untuk
memerangi orang khawarij dalam kondisi apapun. Hal itu karena disebabkan
beberapa hal, diantaranya:
Banyak dalil dari
al-Qur’an dan as-Sunnah dan pendapat ulama yang melarang memohon bantuan kepada
orang kafir dalam rangka memerangi orang kafir lainnya. Jika pendapat ini lebih
rajih maka larangan meminta bantuan kepada orang kafir untuk memerangi orang
Islam tentu lebih utama.
‘Illah (alasan)
bolehnya memerangi ahlul bughat (khawarij) adalah untuk menahan kekejaman
mereka dan memaksa mereka untuk taat kepada amir bukan untuk dibunuh. Oleh
karena itu dalam hal ini tidak butuh bantuan orang kafir.
Meminta bantuan
kepada orang kafir berarti menjadikan mereka sebagai wali dan menandakan
kecondongan hatinya kepada mereka.
Meminta bantuan orang
kafir akan memudahkan mereka untuk memecah belah kekuatan muslimin sehingga
mereka dapat menguasai urusan kaum muslimin
Meminta bantuan
kepada orang kafir sama saja memberikan kepada mereka legitimasi untuk
intervensi langsung terhadap urusan kaum muslimin dan akan menampakkan
kelemahan kaum muslimin serta secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai
pemimpin yang akan dijadikan tempat bagi kaum muslimin untuk berhukum
(mengambil kebijakan).
Demikianlah tulisan
kami pada edisi kali ini semoga pada Bulan Suci Ramadhan kali ini seluruh Umat
Islam mendapatkan pencerahan dan selepas Ramadhan nanti mendapatkan pertolongan
dari Allâh swt agar bisa bersatu–padu menghadapi musuh–musuh mereka yang
sebenarnya. Aamiiin.
(ditulis oleh: Al-Ustadz
Ruwaifi bin Sulaimi)
Sudah menjadi ketetapan ilahi
(sunnatullah) bahwa kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-batil) tidak akan
pernah bersatu. Keduanya laksana dua kutub yang selalu berseberangan. Demikian
pula para pengusungnya, mereka akan terus berseteru hingga akhir zaman nanti.
Para pengusung kebenaran (ahlul haq) adalah para wali Allah l dari kalangan
orang beriman, sedangkan para pengusung kebatilan (ahlul batil) adalah para
wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Kecintaan dan Kebencian di
Ranah Keimanan
Kecintaan (al-hubbu) dan kebencian (al-bughdhu) merupakan amalan hati yang tak
bisa dipisahkan dari kehidupan seseorang. Demikian pula dalam kehidupan
beragama, keduanya tak bisa dipisahkan dari ranah keimanan seseorang. Secara
kelaziman, kecintaan (al-hubbu) akan mewariskan sikap loyal/setia (al-muwalah),
sedangkan kebencian (al-bughdhu) akan mewariskan sikap permusuhan
(al-mu’adah).1
Keempat amalan tersebut akan terbilang sebagai amalan mulia, bahkan sebagai
tanda bukti kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya l manakala dilakukannya
karena Allah l (fillah), bukan karena hawa nafsu atau kepentingan tertentu.2
Tak heran bila kemudian dikukuhkan sebagai tali keimanan terkokoh dan salah
satu prinsip keyakinan (akidah) terpenting dalam Islam. Rasulullah n bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali keimanan terkokoh adalah bersikap loyal (setia) karena Allah l dan
memusuhi karena Allah l, mencintai karena Allah l dan membenci karena Allah l.”
(HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir no.11537 dari sahabat Abdullah bin
Abbas c, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1728)
Di antara bentuk kecintaan dan sikap loyal (setia) karena Allah l (fillah) adalah
mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal
(setia) kepada mereka. Adapun di antara bentuk kebencian dan sikap permusuhan
karena Allah l (fillah) adalah membenci dan memusuhi para wali setan dari
kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya, ad-Da’ wad Dawa’, menegaskan bahwa
kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada orang beriman tersebut tidaklah sah
jika tidak diiringi dengan kebencian dan sikap permusuhan terhadap musuh-musuh
Allah l dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Prinsip keyakinan di atas, sungguh telah terpatri pada jiwa para sahabat Nabi n
selaku generasi terbaik umat ini, bahkan menjadi simbol kepribadian mereka yang
diabadikan dalam Al-Qur’anul Karim. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah l:
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangatlah
keras terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang sesama mereka.”
(al-Fath: 29)
Kewajiban Mencintai Orang
Beriman dan Membenci Orang Kafir
Manakala perseteruan antara para wali Allah l dari kalangan orang beriman
selaku pengusung kebenaran (ahlul haq) dengan para wali setan dari kalangan
orang kafir dan para pembelanya selaku pengusung kebatilan (ahlul batil) tidak
pernah berhenti hingga akhir zaman nanti, maka di antara norma luhur dan
keadilan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya—sebagai konsekuensi
keimanan—adalah kewajiban mencintai para wali Allah l dari kalangan orang
beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka. Sebagaimana pula Islam
menanamkan kebencian dan sikap permusuhan kepada para wali setan dari kalangan
orang kafir dan para pembelanya.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Wala’
wal Bara’ fil Islam, berkata, “Sesungguhnya setelah mencintai Allah l dan
Rasul-Nya n, wajib mencintai para wali Allah l dan memusuhi musuh-musuh-Nya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu
adalah para wali Allah l, sebagian mereka adalah pembela bagi sebagian yang
lain. Adapun orang-orang kafir adalah musuh Allah l dan musuh orang-orang
beriman. Allah l mewajibkan sikap loyal (setia) terhadap sesama orang-orang
beriman dan menjadikannya sebagai konsekuensi keimanan, sebagaimana pula Dia l
melarang orang-orang beriman dari sikap loyal (setia) kepada orang-orang
kafir.” (Majmu’ Fatawa 28/190)
Di antara dalil wajibnya mencintai para wali Allah l dari kalangan orang
beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka adalah firman Allah l:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Maka dari itu, damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah). Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah
yang pasti menang.” (al-Maidah: 55—56)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)3
Di antara dalil wajibnya membenci para wali setan dari kalangan orang kafir dan
para pembelanya adalah firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan
musuhmu sebagai teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” (al-Mumtahanah: 1)
“Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka,
‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadahi
selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, dan telah nyata permusuhan dan
kebencian antara kami dan kalian selama-lamanya, sampai kalian mau beriman
kepada Allah semata’.” (al-Mumtahanah: 4)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi
dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka
sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
(al-Maidah: 51)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan
saudara-saudara kalian sebagai para pemimpin, jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan, dan barang siapa di antara kalian menjadikan mereka
sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)
“Kalian tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadilah: 22)4
Fenomena Berinteraksi dengan
Orang Kafir
Para Pembaca yang mulia, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
membenci orang kafir dan memusuhinya karena Allah l ialah tali keimanan
terkokoh dalam Islam. Adapun mencintai orang kafir dan bersikap loyal (setia)
kepadanya adalah perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam. Namun, realitas
menunjukkan bahwa berinteraksi dengan orang kafir merupakan sebuah fenomena
dalam kehidupan ini. Baik dengan orang kafir yang tinggal di negeri muslim
dengan segala hak dan kewajibannya (dzimmi), orang kafir yang terikat
perjanjian damai dengan kaum muslimin (mu’ahad), orang kafir yang mendapatkan
jaminan keamanan untuk tinggal di negeri muslim (musta’man), maupun orang kafir
yang sedang bermusuhan dengan kaum muslimin (harbi). Bagaimanakah bimbingan
Islam mengompromikan masalah ini? Untuk mengetahuinya, ikuti dengan saksama
bahasan berikut.
Larangan Loyal pada Orang Kafir
Segala puji hanyalah milik Allah
semata. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi yang tiada
lagi nabi sesudah beliau, Muhammad bin ‘Abdillah,‘alaihis sholatu was salaam.
Wa ba’du: …
By Yananto Sulaimansyah 20 December 2012
Segala puji hanyalah milik Allah
semata. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi yang tiada
lagi nabi sesudah beliau, Muhammad bin ‘Abdillah,‘alaihis sholatu was salaam.
Wa ba’du:
Allah Ta’ala berfirman tentang
bapak para nabi, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
دْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah
ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya
ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri kamu
dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkar kepadamu, dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah semata” (QS. Al Mumtahanah : 4)
Kaum muslimin yang
dimuliakan Allah, prinsip al wala’ wal baro’, loyalitas kepada kaum muslimin
dan kebencian kepada orang kafir, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam seperti termaktub dalam ayat di atas pada masa-masa ini
seolah-olah telah redup di hati-hati kaum muslimin. Padahal prinsip al wala’
wal baro’adalah salah satu prinsip dalam agama Islam dan sebab tegaknya
kemuliaan agama Islam di atas seluruh agama di dunia ini.
Larangan Bersikap
Loyal kepada Orang Kafir
Di dalam Al Qur’an,
Allah Ta’ala melarang kaum muslimin untuk memberikan sikap wala’, loyalitas
kepada orang kafir, dan menjadikan mereka sebagai teman setia. Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia” (QS. Al Mumtahanah : 1)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi
pemimpin-pemimpinmu. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain.
Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Ma-idah : 51)
Bentuk Loyalitas pada
Orang Kafir
Kaum muslimin yang
dimuliakan Allah, setelah membawakan dalil terlarangnya memberikan loyalitas
kepada orang kafir, berikut ini kami bawakan beberapa contoh bentuk loyalitas
kepada orang kafir –dengan memohon taufik dari Allah- agar kita tidak terjatuh
ke dalamnya.
1. Ridho terhadap
kekafiran orang kafir, tidak mengkafirkan mereka, meragukan kafirnya mereka,
atau bahkan sampai membenarkan madzhab (ajaran) mereka
Ini merupakan perkara
yang sangat berbahaya yang dapat mengeluarkan seorang muslim dari agamanya. Para
ulama sepakat bahwa siapa saja yang mencintai orang kafir karena kekafirannya
(artinya: cinta akan kekafiran mereka, ed), maka dia keluar dari Islam. Lihat
Al Wala’ wal Bara’ fil Islam, hal. 232.
2. Meyakini sebagian
akidah kafir yang mereka anut atau berhukum dengan kitab suci mereka
Allah Ta’ala
berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ
وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ
آَمَنُوا سَبِيلًا
“Tidakkah kamu lihat
orang-orang yang Allah berikan mereka bagian dari kitab?Mereka beriman dengan
setan dan thoghut, dan mereka berkata kepada orang-orang kafir : ‘Mereka adalah
orang-orang yang lebih lurus jalannya daripada orang-orang yang beriman’” (QS.
An Nisaa’ : 51)
Kaum muslimin yang
dimuliakan Allah, bukankah dapat kita saksikan saat ini sebagian dari orang
yang ber-KTP Islam, bahkan dianggap ‘cendikiawan muslim’, tapi meyakini
akidah-akidah sesat yang dimiliki orang kafir seperti komunisme, sekulerisme,
dan liberalisme? Wallahul musta’aan.
3. Menjadikan orang
kafir penolong setia atau pelindung[1], menyerahkan urusan yang berkaitan
dengan kaum muslimin kepada mereka, dan menjadikan mereka sebagai orang
kepercayaan
Allah Ta’ala
berfirman,
لَا يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah
orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai penolong setia atau
pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman yang lain. Barangsiapa yang
melakukannya, maka dia telah lepas dari Allah.Kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya.Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Ali
‘Imron : 28). Lihat Al Irsyad ila Shahihil I’tiqod, hal. 360
4. Menolong orang
kafir dalam menindas kaum muslimin
Ini adalah perkara
yang sangat berbahaya. Hal ini termasuk pembatal keislaman jika maksudnya
adalah menolong orang kafir untuk menindas kaum muslimin disertai dengan
kecintaan pada agama atau ajaran mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
“Barangsiapa di
antara kamu berloyal pada mereka (menolong mereka), maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51).
Sedangkan jika tidak
ada pilihan lain (artinya: dipaksa) untuk melakukan seperti itu, namun tidak
disertai dengan rasa cinta pada kekufuran mereka, maka ini dikhawatirkan saja
dapat keluar dari Islam. Adapun jika masih punya pilihan (tidak dipaksa), namun
ia masih benci pada agama kekafiran, maka ia terjerumus dalam dosa besar.
(tidak Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil
I’tiqod, hal. 360 dan penjelasan Syaikh Sholih Al Fauzan dalam Durus fii Syarh
Nawaqidil Islam, hal, 157-158.
5. Membantu orang
kafir dalam penyelenggaran hari-hari besar mereka, menghadiri perayaan hari
besar mereka, dan memberikan ucapan selamat untuk hari besar mereka
Allah Ta’ala
berfirman ketika menerangkan sifat dari hamba-hamba Allah yang beriman,
وَالَّذِينَ لَا
يَشْهَدُونَ الزُّورَ
“Dan orang-orang yang
tidak menghadiri az zuur” (QS. Al Furqan : 72). Makna ayat di atas, di antara
sifat hamba Allah adalah tidak menghadiri hari besar orang kafir. Lihat Al Irsyad, hal. 362.
6. Berkasih sayang
atau mencintai mereka
Allah Ta’ala
berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ
أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan
mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang
itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”
(QS. Al Mujadilah : 22)
7. Duduk bersama
mereka ketika mereka sedang menghina Islam dan kaum muslimin
Allah Ta’ala
berfirman,
وَقَدْ نَزَّلَ
عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا
وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Sungguh Dia telah
menurunkan kekuatan kepada kalian di dalam kitab bahwa jika kalian mendengar
ayat-ayat Allah diingkari atau dihina (oleh orang kafir), maka janganlah duduk
bersama mereka sampai mereka membicarakan hal lain. Karena sesungguhnya (jika
kalian tetap duduk bersama mereka), sungguh kalian seperti mereka” (QS. An
Nisaa’ : 140)
8. Menyerupai mereka
dalam hal-hal yang merupakan kekhususan mereka
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia
bagian dari mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Tasyabbuh dengan
orang kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka, kebiasaan mereka,
ibadah mereka, akhlak mereka (seperti mencukur jenggot dan memanjangkan kumis),
pakaian mereka, gaya makan dan minum mereka, dan selainnya yang termasuk ciri
khas orang kafir hukumnya adalah haram. LihatAl Irsyad, hal. 359.
Dan yang dimaksud
dengan ciri khas orang kafir adalah : jika ada orang yang melakukan sesuatu
atau memakai sesuatu, maka orang yang melihatnya akan mengira bahwa dia adalah
orang kafir.
9. Tinggal di negeri
kafir dan tidak mau pindah ke negeri Islam padahal mampu
Allah Ta’ala
berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ
تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ
قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ
اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97) إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ
وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98)
“Sesungguhnya
orang-orang yang dimatikan oleh malaikat dalam keadaan menzhalimi diri
sendiri,malaikat bertanya kepada (mereka), ‘Dalam keadaan bagaimana kalian
ini?!’.Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi ini
(Mekkah)’. Malaikat menjawab, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian
bisa berhijrah?!’. Mereka itulah yang tempat kembalinya adalah jahannam. Dan
jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas
dari kalangan laki-lak ,perempuan, dan
anak-anak yang tidak berdaya dan tidak tahu jalan (untuk hijrah)” (QS. An
Nisaa’ : 97-98)
Syaikh As Sa’di
rahimahullah berkata, “Ini adalah ancaman keras bagi orang yang tidak mau hijrah
(dari negeri kafir) sampai meninggal dunia padahal mampu untuk hijrah” (Taisir
Karimir Rahman hal. 176).
10. Wisata atau
bertamasya ke negeri kafir
Jika berpergian dalam
rangka pengobatan, belajar ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk kaum muslimin yang
tidak didapatkan di negeri-negeri Islam, atau alasan yang dibenarkan syari’at,
maka diperbolehkan asalkan syaratnya terpenuhi. Namun jika bepergian dalam
rangka wisata atau pleasure saja ke negeri kafir, maka ini jelas bukan suatu
yang urgent dan dinilai berdosa.
12. Menyanjung mereka
karena takjub dengan kemajuan peradaban dan teknologi yang mereka miliki tanpa
melihat akidah mereka yang rusak
Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَا تَمُدَّنَّ
عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Janganlah kalian
mengarahkan pandangan kalian kepada kenikmatan yang Kami berikan kepada
golongan-golongan mereka sebagai bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka
dengannya.Dan rizki Rabb-mu lebih baik dan lebih kekal” (QS.Thaha : 131)
11. Mengagungkan
kedudukan mereka dan memberikan gelar-gelar yang bersifat memuliakan tanpa
keperluan
13. Bertemu dengan
mereka dengan wajah berseri-seri dan hati gembira
14. Memulai ucapan
salam kepada mereka
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mulai memberikan salam kepada
orang yahudi dan nasrani. Jika kalian berpapasan dengan mereka di jalan,
paksalah mereka untuk minggir” (HR. Muslim)
15. Memberi nama anak
dengan nama-nama khas orang kafir
Hal ini termasuk
tasyabbuh dengan orang kafir sehingga terlarang.
16. Memintakan
ampunan untuk mereka dan mendo’akan rahmat bagi mereka
Allah Ta’ala
berfirman,
مَا كَانَ
لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ
كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ
“Tidaklah patut bagi
Nabi dan orang-orang beriman untuk meminta ampunan bagi orang musyrik meskipun
mereka adalah kerabat dekatnya setelah jelas bagi mereka bahwa orang musyrik
itu adalah penduduk neraka jahim” (QS. At Taubah : 113)
17. Menggunakan
kalender masehi
Kalender masehi
adalah bentuk mengenang kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihis salamyang bid’ah ini
dibuat-buat oleh orang Nashrani sendiri dan bukan berasal dari agama Nabi ‘Isa
‘alaihis salam. Maka penggunaan kalender ini menunjukkan adanya keikut sertaan
menyebarkan syi’ar-syi’ar dan hari besar mereka (lihat Al Irsyad, hal. 362).
Akan tetapi,
seandainya terpaksa menggunakan kalender masehi, maka cantumkanlah kalender hijriyyahnya
juga.
Tetap Wajib Berbuat
Adil
Kaum muslimin yang
dimuliakan Allah, meskipun kita
diwajibkan untuk membenci orang yang Allah benci, yakni orang-orang kafir,
namun hal itu bukanlah alasan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang
kafir. Islam adalah agama yang indah dan penuh keadilan. Oleh karena itulah,
Allah Ta’ala tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik kepada orang kafir
yang tidak memerangi kaum muslimin, terlebih lagi jika hal itu dapat membuat
mereka tertarik memeluk agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidaklah
melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil terhadap orang kafir yang tidak
memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung
kalian.Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil” (QS. Al
Mumtahanah : 8)
Wallahu a’lam.
Referensi:
Al Irsyad ila Shahihil
I’tiqod, Syaikh Sholih Al Fauzan
Al Wala’ wal Bara’
fil Islam
Durus fii Syarh
Nawaqidil Islam, Syaikh Sholih Al Fauzan
Taisir Al Karimir
Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
2 Shafar 1434 H
Penulis: Yananto
Sulaimansyah
Editor: Muhammad
Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Munafik Lebih Bahaya daripada
Kafir
Rabu 4 Jamadilakhir 1436 / 25
Maret 2015 23:15
TELAH kita ketahui bahwasanya
orang kafir merupakan musuh terbesar bagi umat Islam. Mereka menginginkan umat
Islam ini tiada. Mereka ingin mneguasai dunia, dengan seluruh orang mengikuti
aturannya. Namun ternyata, ada yang lebih bahaya daripada orang kafir. Siapakah
mereka? Mereka itulah orang munafik.
Orang kafir ingkar kepada
Tuhan, sedangkan orang munafik percaya adanya Tuhan. Tapi, mengapa umat Islam
sepakat bahwa orang munafik lebih berbahaya terhadap Islam dibanding orang
kafir?
Orang kafir akan
terang-terangan memusuhi Islam. Mereka tidak lagi sembunyi, dalam melawan ia
berhadap-hadapan. Orang munafik, mengaku Islam, tetapi secara diam-diam ia
memusuhi. Orang munafik punya dua pedang. Pedang yang satu dipergunakan membela
agama, sedang yang satu lagi dipakai untuk menikam umat Islam. Pedang yang
pertama pasif, sedang pedang kedua aktif. Dia akan aktif jika punya kesempatan
untuk “menggunting dalam lipatan” atau menikam dari belakang.
Allah SWT dalam menghadapi
orang beriman cukup memberi dua ayat saja. Menanggulangi permasalahan orang
kafir dengan dua ayat saja. Tetapi dalam menghadapi orang munafik disediakan
tiga belas ayat di surah al-Baqarah.
Lapangan nifak luas sekali.
Di bidang politik, agama, pers, pemikir, pegawai, pengusaha, seniman, olahraga
dan di mana-mana tercium bau munafik. Apabila agama dan dakwah digunakan
sebagai jembatan untuk memperoleh kedudukan dan mencari harta, disitulah
terdapat kemunafikan. [Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab/Karya: Prof. Dr. M.
Mutawalli asy-Sya’rawi/Penerbit: Gema Insani]
https://www.islampos.com/munafik-lebih-bahaya-daripada-kafir-172330/
Dalil-dalil perintah umum untuk berperang dan kewajiban mentaatinya
Tajuk Buku: Jihad Membela Negeri
Kaum Muslimin
Penulis: Dr. Abdullah Yusuf Azzam
1. Allah SWT berfirman:
(انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُوْنَ) (التوبة: 14)
“Berangkatlah kamu
untuk berperang baik kamu merasa ringan maupun kamu merasa berat dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At Taubah: 41).
Dan sebelum ayat ini
Allah SWT telah menerangkan adzab dan balasan bagi orang yang menolak atau
tidak ikut dalam menjalankan perintah umum untuk berperang. Dan kita telah sama mengeahui bahwa tidak ada
siksaan terhadap orang yang meninggalkan suatu perintah kecuali kalau perintah
itu wajib dan juga siksaan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang haram.
AllahSWT berfirman:
(إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا
أَلِيْمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا
غَيْرُكُمْ وَلاَ تَضُرُّوْهُ شَيْئًا وَاللهُ عَلىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ)
(التوبة: 29)
“Kalau kamu tidak mau
pergi berperang, nicaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan
digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak dapat memberi
kemudharatan kepada Nya sedikitpun. Dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(At Taubah 39)
Ibnu Katsir
menyatakan:
“Allah SWT telah
memerintahkan dan juga Rasul-Nya telah memerintahkan untuk keluar berperang
kepada segenap kaum muslimin di tahun peperangan tabuk untuk memerangi musuh
Allah dari bangsa Rum yang kafir dari kalangan ahli kitab. Dan Bukhari telah menjadikan bab tersendiri
dalam shahihnya dengan nama : Bab kewajiban berperang dan perkara yang
diwajibkan dalam jihad dan niat.
Bukhari dalam bab ini
mencantumkan sebab turunnya ayat ini (At Taubah 41). Dikatakan bahwa perintah
umum berperang itu disebabkan oleh adanya berita yang didengar kaum muslimin
bahwa kerajaan Rum telah melampaui perbatasan jazirah Arab untuk menyerang
Madinah. Maka bagaimanakah kalau orang
kafir telah masuk ke negeri muslimin, tentunya perintah umum berperang lebih
wajib lagi. Abu Thalhah menyatakan:
dalam hal makna kalimat خِفَافًا وَثِقَالاً dalam ayat ini (yakni ayat 41)
ialah: Bermakna orang tua dan pemuda (wajib berangkat berperang). Allah SWT tidak akan meminta alasan dari
siapapun untuk meninggalkan kewajiban berperang ini.[1] Hasal Al Bashri
menyatakan: bahwa makna خِفَافًا
وَثِقَالاً
ialah wajib pergi berjihad dalam keadaan sulit maupun mudah.
Ibnu Taimiyah dalam
Majma’ul Fatawa jilid 28 halaman 358 menyatakan:
“Maka apabila musuh
akan menyerang kaum muslimin, maka wajib atas kaum muslimin yang diserang
maupun yang tidak diserang untuk membela diri dan melawan serangAN musuh
tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT
Ta’ala:
(وَإِنِ اسْتَنْصُرُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمُ
النَّصْرُ) (الأنفال: 72).
“Bila mereka minta
tolong kepadamu dalam membela agamanya, maka wajib atas kamu menolong mereka”.
(Al-Anfal: 72)
Dan juga sebagaimana
perintah Rasulullah SAW kepada kaum muslimin agar mereka menolong atau membela
saudaranya sesama kaum mukminin. Dan
kewajiban jihad ini sama beratnya atas orang yang mampu menyediakan harta untuk
peperangan tersebut ataupun yang tidak mampu.
Dan jihad yang seperti ini wajib atas setiap muslim dengan segala
kemungkinan yang dipunyai oleh setiap orang dari segi tenaga maupun harta, baik
yang sedikit maupun yang banyak hartanya, baik yang berjalan kaki maupun yang
berkendaraan, sebagaimana keadaan kaum muslimin ketika musuh mereka bermaksud
menyerang mereka di peperangan khandaq.
Dalam peperangan ini Allah SWT tidak mengizinkan siapapun untuk
meninggalkan kewajiban ikut berjihad”.
Az Zuhri menyatakan:
“Said bin Musayyab
pergi berperang dan aku juga ikut pergi berperang bersamanya. Maka orang
menyatakan kepada Said: “Engkau ini dalam keadaan sakit hendaknya jangan ikut
berperang.” Maka Said menyatakan: “Allah SWT telah meminta kaum muslimin pergi
berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Maka kalaupun aku (karena
sakitku) tidak mampu ikut menyerang musuh, aku ikut berperang sekadar
memperbanyak jumlah pasukan dan menjaga barang-barang pasukan[2].
2. Allah SWT berfirman:
(وَقَاتِلُوْا الْمُشْرِكِيْنَ كاَفَّةً كَمَا
يُقَاتِلُوْنَكُمْ كاَفَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ)
(التوبة: 26)
“Dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan
ketahuilah bahwa Allah itu beserta
orang-orang yang bertakwa” (At Taubah: 36)
Ibnu Arabi
menyatakan:
“Makna – Kaaffatan كافة – ialah dengan mengepung mereka yaitu kaum musyrikin dari
segala arah dan keadaan.[3]
3. Allah
SWT berfirman:
(وَقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنَةٌ
وَيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ) (الأنفال: 40)
“Dan perangilah
mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan sampai agama itu semuanya untuk
Allah.” (Al Anfal : 39)
Yang dimaksud dengan
fitnah di ayat ini ialah syirik sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas dan As
Suddi[4].
Oleh sebab itu bila
orang kafir menyerang dan menduduki suatu negara Islam, sehingga umat Islam
padanya merasa tidak aman lagi dalam menjalankan agamanya dan si kafir
terus-menerus melakukan usaha-usaha pengaburan aqidah kaum muslimin pada negeri
tersebut, maka pada saat itulah wajib
atas setiap muslim bangkit untuk membela agama dan diri mereka serta membela
kehormatan dan harta mereka.
4. Rasulullah SAW bersabda:
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ
الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ فَإِذَا اسْتَنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا
.)رواه البخاري.
“Tidak ada hijrah
(dari Mekah ke Madinah) setelah pembebasan kota Mekah. Yang ada ialah jihad dan
niat (yang baik). Maka oleh sebab itu bila kamu diseru untuk berjihad memerangi
orang kafir maka keluarlah”[5] (HR Bukhari)
Maka umat Islam wajib
pergi berjihad bila diseru untuk itu.
Dan dalam keadaan mereka diserang oleh orang kafir, umat Islam dengan
otomatis wajib berperang (walautun tidak ada yang menyerukannya untuk itu) guna
melindungi agamanya. Dan sandaran wajib
berperang atas umat Islam itu ialah keperluan umat Islam untuk membela diri
atau karena seruan imam untuk berperang.
Demikianlah pernyataan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam menerangkan hadits
ini.
Al Qurtubi
menyatakan:
“Setiap orang Islam
yang tahu kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuh mereka, dan dia tahu
bahwa dia mampu menghadapi musuh tersebut dan memungkinkan baginya untuk
mengusir orang kafir tersebut, maka wajib dia membantu kaum muslimin yang
diserang oleh orang kafir itu[6].”
5. Sesungguhnya semua agama yang turun dari
sisi Allah SWT, datang ke muka bumi untuk memelihara lima perkara penting,
yaitu: agama, diri pribadi, kehormatan, akal, dan harta. Oleh sebab itu wajib memelihara lima perkara
tersebut dengan jalan apapun. Dan dari
itu pula Islam mensyariatkan membela diri dari serangan musuh[7].
Adapun yang dikatakan
penyerang itu ialah mereka yang menyerbu pihak lain dengan paksa dan bertujuan
menguasai diri yang diserang atau hartanya atau kehormatannya atau negerinya.
Sedangkan yang
dikatakan penyerang ada dua macam:
a. Penyerang atau perampas kehormatan. Dalam hal ini walaupun penyerang itu muslim
maka wajib untuk dilawan. Para ahli fiqih sepakat bahwa perlawanan itu wajib
walaupun menyebabkan terbunuhnya penyerang itu.
Para ahli fiqih berpendapat bahwa seorang wanita muslimah dilarang menyerah
kepada musuh walaupun sampai terbunuh kalau dia takut kehormatannya dianiaya
oleh musuh tersebut.
b. Penyerang atau perampas harta atau jiwa
yang menurut jumhur ulama wajib dilawan, walaupun perlawanan itu menimbulkan
terbunuhnya penyerang yang muslim. Ini
adalah merupakan pendapat yang kuat dalam Madzhab Maliki dan Syafii
Rasulullah SAW
bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ[8] .
“Barang siapa
terbunuh karena membela hartanya maka dia itu syahid dan barangsiapa terbunuh
karena membela darahnya maka dia itu syahid dan barang siapa terbunuh karena
membela agamanya maka dia itu syahid dan barangsiapa terbunuh karena membela
keluarganya maka dia itu syahid” (HR Tirmidzi dan Nasai).
Al Jashshash
menjelaskan:
Tidak ada khilaf di
kalangan ulama bahwa bila seseorang menghunuskan pedangnya terhadap seorang
lainnya untuk membunuhnya dengan kezaliman, maka wajib atas kaum muslimin untuk
membunuh penyerang tersebut[9].
Dalam hal ini bila
penyerang atau perampas terbunuh maka dia masuk neraka walaupun dia muslim dan
bila orang yang diserang itu terbunuh maka dia syahid.
Ini adalah hukum
penyerang yang muslim. Lalu bagaimana
pula bila penyerang itu adalah kafir yang mereka itu menyerang negeri kaum
muslimin dimana pada waktu itu agama, kehormatan, harta, dan jiwa terancam
hilang atau rusak. Bukankah dalam
keadaan ini wajib atas kaum muslimin melawan negara kafir yang menyerang itu?
6. Bila orang kafir menawan kaum muslimin
dan kemudian tawanan itu dijadikan lindungan dalam gerak maju mereka guna
merampas negeri-negeri Islam, maka tetap wajib atas kaum muslimin untuk
menyerang orang kafir tersebut walaupun mengakibatkan terbunuhnya kaum muslimin
yang ditawan itu. Ibnu Taimiyah
menyatakan dalam Majma’ul Fatawa 28/537 sebagai berikut: “Bahkan kalau
seandainya di dalam orang kafir itu ada orang yang shalih dari sebaik-baik
manusia dan tidak mungkin menyerang tentara kafir itu kecuali dengan membunuh
orang shalih itu, maka terpaksa orang-orang shalih itu dibunuh juga. Karena para Imam empat madzhab telah sepakat
bahwa bila orang kafir menawan orang-orang Islam dan dijadikan tameng hidup
untuk menghindarkan serangan kaum muslimin dan dihawatirkan bila tidak
menyerang orang kafir itu, akan membahayakan kaum muslimin seluruhnya, maka
pada saat itu boleh menembak mereka yang menjadi tameng hidup itu –tetapi
dengan target tembakan orang kafir. Dan menurut pendapat salah seorang ulama,
bahwa walaupun tidak dikhawatirkan hal itu akan membahayakan kaum muslimin pada
umumnya, tetap boleh menyerang kaum kafir yang menyebabkan kematian orang-orang
Islam yang tertawan tersebut”. Dan dalam
halaman 45 dalam kitab dan jilid yang sama, Ibnu Taimiyah menyatakan: “Menurut
sunnah dan ijma’ yang keduanya sepakat bahwa penyerang yang muslim sekalipun,
bila yang diserang tidak bisa membela diri kecuali dengan membunuhnya, maka
penyerang itupun boleh dibunuh. Dalam hadits shahih Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa terbunuh dalam membela hartanya maka dia itu syahid.”
Hukum yang demikian
ini haruslah ada karena kepentingan melindungi kaum muslimin secara umum dari
bahaya fitnah dan syirik. Dan melindungi
agama mereka serta kehormatan mereka adalah lebih diutamakan daripada
melindungi beberapa gelintir orang Islam yang ditawan itu dan dijadikan
perlindungan oleh orang kafir tersebut.
7. Memerangi kelompok pengacau
Allah SWT SWT
berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ
إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوْا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفيء إلى أمر
الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين (الحجرات: 9)
“Dan jika ada dua
golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat anaiaya
terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat anaiaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu kembali
(kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan
berlaku adillah sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(Al Hujurat: 9).
Kalau Allah SWT
memerintahkan kita untuk memerangi kelompok pengacau yang mereka itu muslim untuk
menjaga persatuan umat Islam dan melindungi agama, kehormatan dan harta mereka,
maka bagaimana pula hukumnya memerangi negara kafir yang durhaka kepada Allah
SWT, bukankah yang demikian itu lebih utama dan lebih dianjurkan.
8. Hukum orang yang memerangi atau memusuhi
Islam
إِنَّمَا جَزَاء
الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً
أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم
مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا
وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya balasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
mendapat siksaan yang berat.” (Al Maidah: 33)
Ini adalah hukum bagi
orang Islam yang memerangi kaum muslimin, menakut-nakuti mereka dan membuat
kerusakan di muka bumi serta mempermainkan harta orang ramai dan
menginjak-injak kehormatan mereka.
Sungguh Rasulullah SAW telah menjalankan hukum ini terhadap orang-orang
Urniyyin sebagaimana yang terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim[10].
Di dalam hadis ang
diriwayatkan dari Anas, bahwa sekelompok orang dari suku ‘Ukl dan Urainah
hendak masuk Islam, tetapi mereka berkhianat maka Rasulullah memerintahkan
untuk mendatangi mereka dan menghukum mereka dengan mencongkel mata mereka, memotong tangan dan
kaki mereka Maka bagaimana pula dengan negara kafir yang membuat kerusakan di
kalangan manusia dengan merusakkan agama, harta, dan kehormatan mereka.
Sesungguhnya mengusir musuh adalah kewajiban yang paling utama setelah beriman,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Inilah sebagian dalil-dalil dan
keharusan mentaati perintah umum berperang apabila orang kafir masuk menduduki
negeri kaum muslimin. Dan memerangi musuh yang kafir adalah seutama-utama
kewajiban setelah kewajiban iman[11]..
[1] Mukhtashar Ibnu
Katsir, 2:144
[2] al-Jami’ li-Ahkam
al-Qur’an, 8:150
[3] Ibid
[4] al-Qurthubi,
2:253
[5] Hadis Shahih,
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh al-Bukhari, as-Shahih, 2;651, 3;1025, 1040,
1120, 1164, Muslim, as-Shahih 2;986, Abu Dawud, as-Sunan, 3;3, at-Tirmidzi,
as-Sunan, 4;148, ad-Darimi, as-Sunan, 2;312, Ahmad, al-Musnad, 1;226, 266, 355,
dan juga diriwayatkan dari Aisyah oleh Muslim, as-Shahih, 3;1488
[6] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fath al-Bari, 6;30
[7] Jami’ al-Ahkam,
8;150
[8] Hadis Shahih,
diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Amru bin Ash oleh Bukhari, Shahih, 2:877,
Muslim, Shahih 1:124, Abu Awanah, Musnad, 1:49-50, dan diriwayatkan pula dari Sa’id bin Zaid
oleh an-Nasa’I, 7:116, Ahmad, al-Musnad, 1:190, al-Baihaqi, Sunan al-Kubra,
3:266, Lihat; shahih al-Jami’ ash-Shaghir, al-Albani no. 6321.
Hadis tersebut
dicantumkan dalam Hasyiyah Ibnu Abidin, 5:383, az-Zu’aili, 6:110, Mawahib
al-Jalil, 6:323, Tuhfah al-Muhtaj, 4;124, al-Iqna’, 4;290, ar-Raudlah
al-Bahiyyah, 2;371, al-Bahr az-Zuhar, 6;268,
[9] Al-Jashshash,
Ahkam al-Qur’an, 1;2402
[10] Lihat al-Fath
ar-Rabbani syarh Musnad Imam Ahmad asy-Syaibani, Ahmad Abdurrahman al-Banna,
81;128
[11] Al-Fatawa Al
Kubra, 4/608
Karakter Umat Islam (3): . Tegas terhadap Orang Kafir dan Berkasih Sayang dengan Sesama Muslim