DI ANTARA 22 dakwaan yang dituduhkan kepada Tajul
Muluk — pemimpinSyiah di Sampang Madura — terdapat sejumlah
poin yang cukup bermasalah. Terdapat ajaran-ajaran yang mendiskriminasi
sahabat, keyakinan-keyakinan asasi Islam dan umat Ahl al-Sunnah. Di antarnya
terdapat celaan terhadap para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
merendahkan Imam al-Ghazali dan paling ekstrim meyakini al-Qur’an tidak asli.
Jika dicermati, ajaran yang dibawa Tajul Muluk
tersebut sebenarnya memiliki geneologi dengan akidah Syiah di Iran. Dari hasil penelitian Forum
Musyawarah Ulama (FMU) Madura dan Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura
(BASSRA), ajaran Tajul Muluk terkategori sebagai Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah
(Syiah yang dianut oleh Iran). Tajul sendiri, memiliki hubungan erat dengan
para alumni Qum Iran.
Dalam pengamatan Prof. Dr. Mohammad Baharun,
gelombang pengiriman pelajar ke Iran membawa ‘oleh-oleh’ militansi di
Indonesia. Di antaranya membenci Ahl al-Sunnah wal Jamaah dengan melecehkan
sahabat, istri Nabi Salallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama Sunni.
Dalam litelatur-litelatur Syiah, ada doktrin yang disebut “nasibi”.
Doktrin ini yang diindikasi memicu pendiskriminasian sejumlah ajaran Sunnah
(Ahl Sunnah wal Jamaah). Untuk mengecek wajah Syiah yang sesungguhnya, kita
perlu mendekati pustaka-pustaka otoritatif Syiah.
Khomeini, pemimpin revolusi Iran, dalam bukunya
al-Tahrir al-Wasilah menyebut golongan di luar Syiah dengan istilah “nawasib”.
Termasuk kelompok nawasib adalah golongan yang mendahulukan Abu Bakar daripada
Ali dalam kekhalifahan. Al-Majlisi menjelaskan bahwa orang-orang yang meyakini
sahabat Abu Bakar dan Umar lebih utama dari Ali termasuk kategori nawasib.
Bahkan Khomeini cukup ekstrim mendiskriminasi umat di luar Syiah. Dikatakan
bahwa golongan nawasib tidak boleh disholati, mereka ingkar kepada Nabi dan
dianggap najis. Yang cukup radikal, Khomeini memfatwakan boleh mengambil harta
golongan nawasib. (Khomeini, Tahrir al-Wasilah, I/352, Abdullah Muhammad
al-Gharib,al-Khumaini bayna al-Tatharruf wa al-I’tidal, 33).
Bahkan, ulama Syiah bernama Husain al-Darizi
terang-terangan menyebut bahwa Sunni itu adalah golongan nawasib. Ia
mengatakan: “…Bahkan hadis-hadis para imam (imam Syiah, pen) menyerukan
bahwa sesungguhnya golongan nawasib adalah apa yang dikatakan di kalangan
mereka dengan istilah Sunni dan ia berkata: tidak ada pembahasan lagi, bahwa
yang dimaksud dengan al-nashib yaitu Ahlussunnah,”…(al-Majalis al-Nafsaniyyah,
147).
Khomeini, telah menanam doktrin teologi ghuluw secara
terbuka, melalui ceramah dan buku-buku. Bukunya yang berjudul al-Hukumah
al-Islamiyyah, mengungkap secara terbuka pokok-pokok akidah Syiah. Dalam buku
itu, Khomeini tidak hanya mendiskulaifikasi sahabat, namun juga menodai
keagungan Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam halaman 52 buku itu ia
menulis: “Dan di antara pokok-pokok madzhab kami adalah bahwa sesungguhnya para
Imam kita memiliki kedudukan yang tidak dicapai oleh para Malaikat, dan para
Nabi”. Ternyata, dalam konteks ini Khomeini tidak menggunakan ‘topeng’ taqiyyah
lagi dalam menyebarkan fitnah terhadap Sunni.
Dalam bidang mu’amalah teologi diskriminatif juga
diajarkan. Khomeini melarang mensholati orang-orang nawasib, boleh mengambil
rampasan perang darinya, tidak boleh memakan sembelihan orang nawasib, bahkan
Khomeini memfatwakan boleh mengambil harta kaum nawasib (Khomeini, Tahrir
al-Wasilah, 352).
Teologi tersebut
bukanlah doktrin baru, yang muncul di era kontemporer, tapi teologi tersebut
merujuk kepada ulama’-ulama’ Syiah terdahulu. Yusuf al-Bahran, ulama Syiah abad
ke-12 telah mengeluarkan fatwa pelarangan umat Syiah untuk memandikan dan
mensholati mayat umat Ahlussunnah (Muhammad Malullah,Mauqif al-Syiah min Ahl
al-Sunnah, 15). Mohammad Hasan mengutip riwayat dalam Jami’u Ahadis al-Syiah
menulis bahwa harta orang-orang nashibi dan segala sesuatu yang mereka miliki
halal untuk dijarah (Mohammad Hasan,Mengapa Syiah perlu Diluruskan?).
Ulama klasik lainnya, al-Jaza’iri dalam al-Anwar
al-Nu’maniyahmenjelaskan tentang
konsep Tuhan orang nasibi berbeda dengan Tuhan versi Syiah. Dikatakan:
“Sesungguhnya kami (Syiah) tidak pernah sama dengan mereka (nawasib) dalam
memahami tentang Tuhan, Nabi dan Imam. Karena mereka berkata, sesungguhnya
Tuhan mereka adalah Tuhan yang mengangkat Muhammad sebagai Nabi-Nya dan Abu
Bakar sebagai khalifah-Nya. Sedangkan kami tidak mengatakan seperti itu tentang
Tuhan kami, begitu juga tentang Nabi. Tetapi kami mengatakan, Tuhan yang
khalifah Nabi-Nya adalah Abu Bakar adalah bukan Tuhan kami dan Nabi-Nya pun
bukan nabi kami” (Husein al-Musawai, Mengapa Saya Keluar Dari Syi’ah, 110). Hal
yang sama juga dapat ditemukan di kitab al-Kafi, kitab hadis Syiah yang paling
utama.
Keyakinan diskriminatif tentang nawasib tersebut
disinyalir masih menjadi akidah Syiah saat ini. Buku-buku berisi merendahkan
sahabat Nabi dapat ditemukan saat ini. Dalam buku Benarkah Aisyah Menikah
dengan Rasulullah di Usia Dini? , O.Hashem — penulis Syiah Indonesia — membuat
tuduhan-tuduhan palsu terhadap Abu Bakar, Umar dan para sahabat lainnya.
Dikatakan bahwa Abu Bakar membakar semua hadis yang ia kumpulkan,dan Umar
melarang penyebaran hadis kepada para sahabat, sehingga banyak hadis
–menurutnya — yang tidak sampai kepada umat Islam. Hadis-hadis tentang Ahlul
Bait menurut O.Hashem juga dibuang oleh Abu Bakar dan Umar.
Selain itu terdapat sejumlah buku yang berisi fitnah
terhadap Ahlussunnah, seperti buku al-Mustafa, Saqifah, Sudah Kutemukan
Kebenaran, Dialog Sunnah-Syiah dan lain-lain. Dr. Baharun, menilai, buku-buku
tersebut memicu keresahan. Sebab, melecehkan keyakinan kelompok mayoritas (Ahl
al-Sunnah wal Jama’ah).
Jadi, ideologi Syiah kontemporer dengan Syiah klasik
sesungguhnya tidak terputus. Secara geneologis tetap bersambung. Hanya,
strategi dakwah yang berubah dan berkembang. Syiah kontemporer lebih cenderung
melakukan pendekatan adaptif — dengan tetap pada keyakinan aslinya. Strategi
adaptif merupakan pengamalan dari doktrin taqiyyah.
Di Indonesia, pendekatan adaptif cenderung diamalkan
oleh komunitas IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia). IJABI lebih
‘moderat’ daripada kelompok yang lain. Meski terbilang moderat, komunitas
IJABI, sebenarnya tetap mengamalkan doktrin Syiah asli. Contoh seperti Tajul
Muluk yang pernah tercatat sebagai Pimpinan Daerah IJABI Sampang, ternyata ia
akhirnya terang-terangan menampakkan wajah teologi Syiah ekstrim di masyarakat.
Pendekatan taqiyah merupakan prinsip pokok yang
diajarkan oleh Syiah. Dalam kitab al-Kafi disebutkan taqiyah merupakan pondasi
agama. Salah satu aplikasi prinsip taqiyah adalah kampanye ukhuwah Islamiyah.
Namun yang masih menjadi persoalan hingga kini adalah, masih adanya penistaan
dan fitnah Syiah, baik secara samar maupun terang-terangan terhadap ajaran Ahl
al-Sunnah wal Jamaah. Sebab, penistaan terhadap ajaran prinsip suci memancing
perlawanan umat.
Jika umat menginginkan toleransi yang harmonis dan
ukhuwah, maka pihak Syiah harus menghentikan doktrin-doktrin penistaannya, mereduksi ajaran-ajaran mendiskriminasi
Ahlussunnah dan jujur terbuka terhadap ajarannya. Gerakan syiahisasi terhadap
jamaah Sunni juga harus dihentikan. Sebab, persoalan Sunnah-Syiah ini adalah
karena merebaknya penyesatan Syiah terhadap kaum non-Syiah. []