Saturday, January 2, 2016

Buya Hamka: Vonis Sesat terhadap Wahabi Direkayasa untuk Gurita Kolonialisme

Oleh: Zulkarnain Khidir

Mahasiswa Universitas Prof. DR. HAMKA, Jakarta
Belakangan ketika isu terorisme kian dihujamkan di jantung pergerakan umat Islam agar iklim pergerakan dakwah terkapar lemah tak berdaya. Nama Wahabi menjadi salah satu faham yang disorot dan kian menjadi bulan-bulanan aksi “tunjuk hidung,” bahkan hal itu dilakukan oleh kalangan ustadz dan kiyai yang berasal dari tubuh umat Islam itu sendiri.
Beberapa buku propaganda pun diterbitkan untuk menghantam pergerakan yang dituding Wahabi, di antaranya buku hitam berjudl “Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Bertubi-tubi, berbagai tudingan dialamatkan oleh alumnus dari Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud yang berhaluan Wahabi, yaitu Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah, para kiyai dari pelosok pun ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi. Kasus terakhir adalah statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana dalam tabligh akbar FOSWAN di Bekasi baru-baru ini turut pula menyerang Wahabi dengan tudingan miring. Benarkah tudingan tersebut?
Menarik memang menyaksikan fenomena tersebut. Gelagat pembunuhan karakter terhadap dakwah atau personal pengikut Wahabi ini bukan hal baru, melainkan telah lama terjadi. Hal ini bahkan telah diurai dengan lengkap oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI yang paling karismatik, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disapa Buya HAMKA. Siapa tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan independensinya sebagai seorang ulama tidak perlu diragukan lagi tentunya.
Dalam buku “Dari Perbendaharaan Lama,” Buya HAMKA dengan gamblang beliau merinci berbagai fitnah terhadap Wahabi di Indonesia sejatinya telah berlangsung berkali-kali. Sejak Masa Penjajahan hingga beberapa kali Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada era Orde Lama, Wahabi seringkali menjadi objek perjuangan yang ditikam fitnah dan diupayakan penghapusan atas eksistensinya. Mari kita cermati apa yang pernah diungkap Buya Hamka dalam buku tersebut:
“Seketika terjadi Pemilihan Umum , orang telah menyebut-nyebut kembali yang baru lalu, untuk alat kampanye, nama “Wahabi.” Ada yang mengatakan bahwa Masyumi itu adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih orang Masyumi. Pihak komunis pernah turut-turut pula menyebut-nyebut Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu telah datang ke Sumatera. Dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah dari keturunan kaum Wahabi.
Memang sejak abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di pusat tanah Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan dunia. Kerajaan Turki yang sedang berkuasa, takut kepada Wahabi. Karena Wahabi adalah, permulaan kebangkitan bangsa Arab, sesudah jatuh pamornya, karena serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad. Dan Wahabi pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila dia masuk ke suatu negeri, dia akan mengembangkan mata penduduknya menentang penjajahan. Sebab faham Wahabi ialah meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada tempat takut melainkan Allah. Wahabi adalah menentang keras kepada Jumud, yaitu memahamkan agama dengan membeku. Orang harus kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ajaran ini telah timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan revolusi Prancis di Eropa. Dan pada masa itu juga “infiltrasi” dari gerakan ini telah masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788 di zaman pemerintahan Paku Buwono IV, yang lebih terkenal dengan gelaran “Sunan Bagus,” beberapa orang penganut faham Wahabi telah datang ke tanah Jawa dan menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan saja mereka itu masuk ke Solo dan Yogya, tetapi mereka pun meneruskan juga penyiaran fahamnya di Cirebon, Bantam dan Madura. Mereka mendapat sambutan baik, sebab terang anti penjajahan.
Sunan Bagus sendiri pun tertarik dengan ajaran kaum Wahabi. Pemerintah Belanda mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya. Pemerintah Belanda cukup tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya, jika faham Wahabi ini dikenal oleh rakyat.
Padahal ketika itu perjuangan memperkokoh penjajahan belum lagi selesai. Mulanya Sunan tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat akibat-akibatnya bagi Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan memberi advis kepada Sunan, supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan saja kepada Belanda. Lantaran desakan itu, maka mereka pun ditangkapi dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu pun diusir kembali ke tanah Arab.
Tetapi di tahun 1801, artinya 12 tahun di belakang, kaum Wahabi datang lagi. Sekarang bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri, yaitu anak Minangkabau. Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).
Mereka menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan banyak beroleh murid dan pengikut. Diantara murid mereka ialah Tuanku Nan Renceh Kamang. Tuanku Samik Empat Angkat. Akhirnya gerakan mereka itu meluas dan melebar, sehingga terbentuklah “Kaum Paderi” yang terkenal. Di antara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Maka terjadilah “Perang Paderi” yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh tahun lamanya mereka melawan penjajahan Belanda.
Bilamana di dalam abad ke delapan belas dan Sembilan belas gerakan Wahabi dapat dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari Jawa, kedua dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad kedua puluh mereka muncul lagi!
Di Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai “Kaum Muda.” Di Jawa datanglah K.H. A. Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H.A. Dahlan mendirikan “Muhammadiyah.” Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun semangat baru dalam kalangan orang-orang Arab. Ketika dia mulai datang, orang Arab belum pecah menjadi dua, yaitu Arrabithah Alawiyah dan Al-Irsyad. Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari adalah dari kalangan yang kemudiannya membentuk Ar-Rabithah Adawiyah.
Musuhnya dalam kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki. Kedua Kerajaan Syarif di Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama pengambil muka mengarang buku-buku buat “mengafirkan” Wahabi. Bahkan ada di kalangan Ulama itu yang sampai hati mengarang buku mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri faham ini adalah keturunan Musailamah Al Kahzab!
Pembangunan Wahabi pada umumnya adalah bermazhab Hambali, tetapi faham itu juga dianut oleh pengikut Mazhab Syafi’i, sebagai kaum Wahabi Minangkabau. Dan juga penganut Mazhab Hanafi, sebagai kaum Wahabi di India.
Sekarang “Wahabi” dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan tertentu untuk menekan semangat kesadaran Islam yang bukan surut ke belakang di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran wahabi, melainkan nama Wahabi.
Ir. Dr. Sukarno dalam “Surat-Surat dari Endeh”nya kelihatan bahwa fahamnya dalam agama Islam adalah banyak mengandung anasir Wahabi.
Kaum komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentiment Ummat Islam dengan membangkit-bangkit nama Wahabi. Padahal seketika terdengar kemenangan gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja Wahabi Ibnu Saud, yang mengusir kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah. Umat Islam mengadakan Kongres Besar di Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan selamat atas kemenangan itu (1925). Sampai mengutus dua orang pemimpin Islam dari Jawa ke Mekkah, yaitu H.O.S. Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Dan Haji Agus Salim datang lagi ke Mekkah tahun 1927.
Karena tahun 1925 dan tahun 1926 itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih saja, maka masih banyak orang yang dapat mengenangkan bagaimana pula hebatnya reaksi pada waktu itu, baik dari pemerintah penjajahan, walau dari Umat Islam sendiri yang ikut benci kepada Wahabi, karena hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan Ulama-ulama pengikut Syarif.
Sekarang pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut “Wahabi” dan membusuk-busukkannya ini akan disimpan dahulu untuk pemilihan umum yang akan datang. Dan mungkin juga propaganda ini masuk ke dalam hati orang, sehingga gambar-gambar “Figur Nasional,” sebagai Tuanku Imam Bonjol dan K.H.A. Dahlan diturunkan dari dinding. Dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan faham Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain diminta supaya dibubarkan saja.
Kepada orang-orang yang membangkit-bangkit bahwa pemuka-pemuka Islam dari sumatera yang datang memperjuangkan Islam di Tanah Jawa ini adalah penganut atau keturunan kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang dari Sumatera itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih! Sebab kepada mereka diberikan kehormatan yang begitu besar!
Sungguh pun demikian, faham Wahabi bukanlah faham yang dipaksakan oleh Muslimin, baik mereka Wahabi atau tidak. Dan masih banyak yang tidak menganut faham ini dalam kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah dan anti kepada segala macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah anutan dari mereka bersama!”

Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA berhasil menelisik akar terjadinya fitnah yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini menandakan vonis “Faham Hitam” yang dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya adalah modus lama namun didesain dengan gaya baru yang disesuaikan dengan kepentingan dan arahan yang disetting oleh para Think Tank “Gurita Kolonialisme Abad 21.”
Maka perhatikanlah apa yang pernah diutarakan oleh Buya HAMKA dalam pembahasan Islam dan Majapahit berikut ini:
“Memang, di zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama dari jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.”
“Tahukah tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Dipenogero, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya itu adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban Ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan di sana beliau berkubur buat selama-lamanya?”
“Maka dengan memakai faham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana!”
Kiranya, sepeninggal HAMKA, alangkah laiknya jika umat Islam masih kenal dan bisa mengimplementasikan apa yang diutarakan Buya HAMKA dalam bukunya tersebut. Dengan demikian, niscaya umat Islam tidak perlu sampai menjadi keledai yang terjerembab dalam lubang yang dibuat oleh musuh-musuh Islam dengan modus yang sama tetapi dalam nuansa yang berbeda. Wallahu A’lam. [voa-islam.com]
http://m.voa-islam.com//news/liberalism/2011/12/03/16891/buya-hamka-vonis-sesat-terhadap-wahabi-direkayasa-untuk-gurita-kolonialisme/

PENGIKUT SUNNAH KOK DICAP 'WAHABI'

Melihat realita akhir-akhir ini, rasa sedih itu kembali muncul. Ketika umat Islam diadu sesama mereka. 

Perbedaan pendapat dijadikan oleh musuh sebagai bahan untuk terus mengobok-obok benteng pertahanan umat yang mulia ini. Terkhusus isu yang sering diangkat oleh pendengki Islam adalah isu “Wahabi”. Iya, isu “Wahabi”. Entah mengapa, isu ini sangat laku di masyarakat kita. Padahal isu busuk ini diciptakan oleh musuh Islam, akan tetapi malah yang
menyebarkannya adalah kita sendiri.

Apakah kita tidak takut dilempar ke dalam neraka sejauh 70 tahun perjalanan disebabkan perkataan kita yang tidak kita sadari, terlebih lagi jika perkataan itu kita sadari, bahkan mungkin memang sengaja kita ingin menyebarkannya. Wal Iyaadzu billah .

Mari buka hati dan mata kita, jangan sampai kita menilai sesuatu dimulai dengan prasangka buruk, apakah kita sudah benar-benar mengetahui siapa yang kita sebut-sebut dengan “Wahabi” itu, sehingga tidak jarang dari kita ada yang mendiskreditkan mereka.Seolah-olah mereka adalah musuh utama kita, musuh yang lebih keji daripada Yahudi dan Nasrani. Nastaghfirullah , Belum tentu kita lebih baik dari mereka, bahkan jujur Demi Allah saya mendapatkan dalam tubuh mereka kesungguhan yang sangat kuat dalam mengikuti sunnah, ukhuwah Islamiyah serta persaudaraan yang kuat di Jalan Yang Maha Pemilik rahmah. Allah Akbar.....

Perlu diperhatikan bahwa mereka adalah saudara kita, landasan mereka dalam beragama sama seperti landasan kita. Kitab mereka adalah Al-Quran sebagaimana kitab kita juga al-Quran. Rujukan mereka dalam masalah hadits juga sama seperti rujukan kita. Rukun Iman dan Rukun Islam kita sama, Hanya saja mungkin kita berbeda pendapat dengan mereka dalam beberapa hal, akan tetapi perbedaan itu bisa
ditoleransi.

Saya tidak akan bosan-bosan mengajak saudara-sadaraku yang saya cintai untuk membuka hati dan mata, memandang saudara kita dengan pandangan rahmat dan jangan memandang dengan padangan laknat. Mari kita sudahi pertikaian ini. Sudah cukup kiranya kita menjadi santapan empuk musuh. 

Kita bertikai hanya disebabkan perkara kecil yang dibesar-besarkan. Apakah kita rela melihat musuh-musuh tertawa bertepuk tangan sambil menginjak kepala kita????? sudahlah wahai saudaraku, mari kita bersatu dan menyusun kekuatan.

Benarlah sabda Rasul saw, bahwa umat ini kelak bagaikan makanan dalam nampan yang diserbu oleh musuh dari segala penjuru. Bukan karena jumlah
mereka yang sedikit, bahkan jumlah mereka banyak akan tetapi bagaikan buih yang tidak berkutik.

Tidak kita pungkiri juga, bahwa sebagian saudara-saudaraku dari kalangan yang mengatakan diri mereka Salafi/Muwahhid (yang dituduh “Wahabi”) terkadang berlaku mudah menyalahkan dalam berdakwah. Mari kita berlaku lembut serta memahami realita. Kita sama-sama Inshaf dan mengakui kesalahan kita, ini semua untuk mengokohkan benteng kita dari serangan musuh.

Demi Allah saya menulis tulisan ini dari hati yang paling dalam, karena saya mencintai semua saudara-saudara seiman. Walaupu masih banyak kekurangan, setidaknya bisa melengkapi tulisan-tulisan yang lain. Saya hanya tidak ingin generasi kita larut dalam pertikaian ini dan menjadi santapan empuk musuh. 

Oleh karenanya mari kita bersatu demi menegakkan Islam di muka bumi ini.
Salam ukhuwah Akhukum fillah al-Faqir Fitra Hudaiya NA


Aku Bangga Menjadi Wahabi
Biarlah aku digelari wahabi
Daripada mengaku aswaja tapi tidak sesuai dengan ajaran Nabi
Mereka menciri’iku tanda hitam didahi
Ciri lainnya berjenggot dan celana diatas mata kaki.
Biarlah aku dicap sebagai wahabi
Hanya karena enggan melakukan perayaan orang mati
Juga karena enggan ikut acara maulid bikinan sufi
Tapi bukan berarti aku tak cinta Nabi
Nonsen dengan cinta Nabi
Kalau sunnahnya dilecehkan dan dicaci maki.
Biarlah aku digelari salafy wahabi
Niat hati sebenarnya ingin mencaci
Tapi apa mau dikata ternyata mereka sedang memuji
Karena wahabi adalah nisbat kepada Allah Maha Pemberi.
Dan akupun dituduh punya madzhab sendiri
Padahal aku ikut pendapat madzhab Hanafi
Madzhab Hambali pun ku-ikuti
Begitu juga dengan madzhab Maliki
Terlebih lagi madzhab Syafi’i
Namun yang ku ikuti jika pendapat tersebut sesuai dengan ajaran Nabi
Tapi biarlah, masa bodoh dengan tuduhan ini
Daripada mereka, mengaku pengikut Syafi’i
Namun hakikatnya bermadzhab nenek moyang dan kyai.
Apa salah Syaikh Muhammad At-Tamimi
Sehingga dituduh sebagai dajjal dimuka bumi
Tuduhan tersebut keluar dari lisan orang yang akalnya sudah mati
Karena terlalu banyak bergaul dengan orang sufi
Mana mungkin dajjal bisa masuk ke tanah suci
Apalagi sampai membuat kerajaan Saudi.
Kuwasiatkan agar jangan tawassul dengan orang mati
Malah kau bilang aku seorang takfiry
Kunasehatkan agar jangan mengkonsumsi hadits imitasi
Malah kau bilang aku taqlid Syaikh Albani
Ku enggan ikut perayaan maulid Nabi
Malah kau bilang aku tak cinta Nabi.
Kuikuti pemahaman shahabat Nabi malah kau bilang ikut pemahaman ulama wahabi
Lantas kalau aku tidak boleh ikut Allah Yang Maha Pemberi
Apakah aku harus menjadi penganut ajaran kyai
Ataukah aku harus melakukan kebid’ahan biar tak kau caci maki 
Apakah aku harus mengais kotoran kyai slamet biar tak dikatakan anti tradisi
Apakah aku harus membiarkan kesyirikan, agar tak dikatakan takfiry.
Kalau itu yang kau maui
Demi Allah aku tak akan ikuti
Bagaimana nasibku kelak diakherat nanti
Menjumpai kemaksiatan tapi tak diperingati
Melihat kemungkaran tapi tak diingkari
Semua itu pasti ditanya, kenapa ada kebathilan tapi aku berdiam diri.
Ig: @abu_rumaisha80