AS Merugi, Hari Ini Taliban
Kuasai Wilayah Lebih Luas daripada Awal Perang
Hari ini Taliban
dihitung telah menguasai wilayah yang lebih luas daripada saat perang Amerika
terhadapnya dimulai. Setelah dibombardir AS, Taliban yang bernama pemerintahan
Afghanistan sebelum invasi 2001 itu telah mendapatkan wilayahnya kembali.
Perlahan tetapi pasti, tanah yang hilang kini kembali kepada mereka. Taliban
kini menguasai wilayah lebih luas daripada waktu sejak perang dimulai.
Wilayah pemerintah Afghanistan bentukan AS telah mengalami
erosi terus-menerus di selatan. Selain itu, Taliban mengalami keuntungan cepat
di Provinsi Helmand dan sekitar kota Kunduz. Taliban hampir sendirian menguasai
Kunduz, sebuah kota utara yang sebagian besar dikuasai pemberontak sebelum
perang.
Data terkini tersebut dinyatakan oleh Letnan Jenderal John
Nicholson Jr. komandan ke-17 AS di Afghanistan, seperti dilaporkan Antiwar.
Nicholson telah terlibat hampir 15 tahun dalam pendudukan AS di Afghanistan. Ia
menilai perang AS di Afghanistan adalah perang yang sangat di antara perang
yang pernah terjadi. Karena itulah, ia mengusulkan agar aturan keterlibatan
pasukan tempur AS ditinjau kembali.
Reporter: Salem
Mantan Pejabat AS: Jika Amerika Pergi, Kabul Akan Jatuh Ke
Tangan
Taliban dalam 3 Hari
Seorang
mantan pejabat Pentagon mengatakan Amerika Serikat telah membuang miliaran
dolar AS untuk pelatihan pasukan Afghanistan, menambahkan jika Washington
meninggalkan Kabul, itu akan jatuh ke tangan Taliban dalam waktu tiga hari.
Michael Maloof, mantan analis senior kebijakan keamanan di Departemen
Pertahanan AS, membuat komentar tersebut dalam sebuah wawancara dengan Press TV
pada hari Sabtu (18/6/2016) saat mengomentari laporan baru oleh Pentagon yang
mengungkapkan bahwa pemerintah Afghanistan merasa kurang aman pada waktu
baru-baru ini dibandingkan sebelumnya.
Laporan Pentagon kepada Kongres AS tentang perkembangan perang di Afghanistan
sejak Desember lalu, mengatakan (pemerintah) Afghanistan merasa tidak lebih
terlindungi sekarang. Laporan itu mengatakan persepsi keamanan mendekati posisi
terendah sepanjang masa.
"Persepsi orang Afghan sejauh tentang ketidakamanan di negara ini lebih
besar sekarang sangat valid. Ketika Amerika Serikat menarik diri dan mundur
kembali dari Kabul, daerah yang mereka telah kosongkan akan diisi oleh
Taliban," kata Maloof.
"Beberapa dari orang Amerika yang berada di Afghanistan mengatakan kepada
saya bahwa jika Amerika Serikat meninggalkan Kabul, itu akan diambil alih dalam
waktu tiga hari. Dan itu pernyataan mengejutkan mengingat semua uang yang telah
dihabiskan untuk melatih pasukan dan personel keamanan Afghanistan selama
bertahun-tahun, dan mereka masih tidak siap dan tidak mampu menahan
Taliban," katanya.
"Taliban juga telah menjadi jauh lebih keras sejak kematian memimpin
mereka, Mullah Muhammad Umar ... mereka telah menjadi jauh lebih militan secara
alamiah. Dan mereka sangat memilih untuk tidak berurusan (berdamai-Red) dengan
pemerintah Afghanistan yang ada," kata sang analis.
Pekan lalu, Presiden AS Barack Obama memerintahkan militer Amerika untuk
menghadapi Taliban secara lebih langsung dan mengizinkan bersama pasukan
Afghanistan memerangi kelompok mujahidin tersebut, mengenjot konflik 15 tahun
yang ia telah berjanji untuk akhiri.
AS dan sekutunya menginvasi Afghanistan pada 7 Oktober 2001 sebagai bagian dari
apa yang disebut Washington sebagai perang melawan teror (baca;mujahidin).
Serangan itu menggulingkan Taliban dari pemerintahan mereka yang sah, tetapi
setelah sekitar satu setengah dekade, pasukan asing masih belum mampu
menundukkan perjuang bersenjata Taliban untuk merebut kembali kekuasaan dan
membangun keamanan bagi pemerintahan boneka mereka di negara itu.
Setelah menjadi presiden pada tahun 2008, Obama berjanji untuk mengakhiri
perang Afghanistan - salah satu konflik terlama dalam sejarah AS.
Pada Oktober tahun lalu, Obama mengumumkan rencana untuk menyimpan 9.800
tentara AS di Afghanistan sampai 2016 dan 5500 pada tahun 2017, mengingkari
janjinya untuk mengakhiri perang di sana dan membawa pulang seluruh pasukan
Amerika dari negara Asia tersebut sebelum ia meninggalkan kantor.
Menurut pejabat AS, Washington juga akan mempertahankan kemampuan kontra
"terorisme" besar berupa pesawat teror drone dan pasukan Operasi
Khusus untuk memerangi mujahidin di Afghanistan. (st/ptv)
http://www.voa-islam.id./read/world-news/2016/06/19/44765/mantan-pejabat-as-jika-amerika-pergi-kabul-akan-jatuh-ke-tangan-taliban-dalam-3-hari/#sthash.kuiaM5Cq.dpbs
http://www.voa-islam.id./read/world-news/2016/06/19/44765/mantan-pejabat-as-jika-amerika-pergi-kabul-akan-jatuh-ke-tangan-taliban-dalam-3-hari/#sthash.kuiaM5Cq.dpbs
Diancam AS, Begini
Respon Taliban
Mujahidin Imarah Islam
(Taliban) baru-baru ini mengeluarkan pernyataan bahwa serangan drone AS yang
telah menewaskan pemimpin Taliban, Mullah Akhtar Manshour, termasuk
sejumlah asasinasi oleh musuh dan penahanan terhadap para pemimpin jihad
lainnya tidak akan melemahkan tekad dan semangat berjihad para pejuang Imarah
Islam. Sebaliknya, merupakan kewajiban syar’i bagi Taliban untuk terus
berperang meskipun sempat mengalami kerugian dengan gugurnya sejumlah figur
pemimpin mereka. Lebih lanjut, Imarah Islam mengatakan bahwa Barat – AS dan
Eropa – telah terjerumus di Afghanistan selama 15 tahun karena gagal memahami
psikologi jihad gerakan Taliban.
Taliban merilis pernyataannya
tersebut sebagai respon terhadap seruan & ancaman Presiden Obama dan
Menteri Luar Negeri John Kerry kepada Taliban untuk melanjutkan perundingan
dengan pemerintah Afghanistan bentukan AS supaya Washington tidak lagi
menargetkan pemimpin-pemimpin jihadis mereka. Seperti dilaporkan, untuk pertama
kalinya serangan drone Amerika telah menewaskan pemimpin gerakan, Mullah
Manshour, pada tanggal 21 Mei lalu di salah satu wilayah basis Taliban di
Baluchistan, Pakistan.
“Taliban menganggap
perjuangan yang kini terus berlangsung untuk mengusir para agresor asing
merupakan suatu kewajiban agama yang disebut jihad. Dan mereka siap menghadapi
segala bentuk kesulitan dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut,” bunyi
pernyataan Taliban menyikapi ancaman pembunuhan AS terhadap para pemimpin jihad
mereka. Bagi Taliban, segala bentuk kesulitan dalam berjihad, seperti:
penyiksaan, luka-luka, dipenjara, atau bahkan mati sekalipun merupakan cara
untuk meraih keridhoan Allah. Dan mati dalam perjuangan – jihad – adalah syahid.
Dalam rilisan tersebut,
Imarah Islam juga mengutip sejumlah ayat al-Quran, “Di banyak tempat dalam
al-Quran, Allah SWT menggambarkan mati syahid sebagai suatu berkah nan suci,
sehingga Allah SWT menyatakan di satu bagian ayat bahwa ‘Janganlah kamu mengira
bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka tidak mati, bahkan
mereka hidup, tetapi kalian tidak tahu’. Di ayat lain, Allah SWT
menyatakan ‘Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki’.”
Selanjutnya, Taliban
mengatakan bahwa Barat telah gagal memahami motivasi mengapa Taliban akan terus
berperang, dan menyangkal bahwa tujuan mereka semata-mata untuk mengejar
kekuasaan. Kegagalan ini hanya akan memperkuat tekad Taliban untuk terus
berperang: “Kegagalan terbesar musuh kita adalah bahwa mereka telah gagal
memahami psikologi Taliban. Sebagai contoh, beberapa kali Washington dan para
pejabat di Kabul menawarkan akan memberi jatah peran bagi Taliban di
pemerintahan Afghanistan. Faktanya bahwa Taliban tidak berperang demi meraih
kursi kekuasaan. Jika memang tujuannya adalah kekuasaan, mengapa Taliban
menolak syarat-syarat yang diajukan Amerika?”
Mereka (Taliban) bisa
saja menerima tawaran Amerika itu, sehingga hari ini tidak akan ada lagi
orang-orang Taliban yang di-blacklist, tidak ada lagi DPO, bebas dari
tuduhan terorisme, bebas dari siksaan di Guantanamo, di penjara Baghram, di
Kandahar, termasuk tidak ada lagi serangan-serangan drone. Taliban melihat
perjuangan mereka saat ini sebagai Jihad, dan mereka siap mengorbankan
kehidupan dan nyawa mereka di atas jalan perjuangan dalam rangka meraih
keridhoan Tuhannya. Dan apalagi yang mereka saling memberi ucapan selamat
selain menghadapi berbagai kesulitan yang dihadapi dalam perjuangan.
Bukankah (bagi Amerika)
ini adalah sesuatu yang “absurd” alias “gak nyambung” di mana satu pihak sangat
terobsesi dengan mati-syahid, mereka berdoa lima kali sehari supaya dimatikan
sebagai martir/syahid, lalu menganggap mati-syahid itu sebagai prestasi atau
capaian tertinggi yang mungkin dicapai, dan bangga dengannya; sementara ada
pihak lain yang menebar ancaman dengan ‘obsesi’ yang sama berupa kematian
(syahid), dan menakut-nakuti dengan mengatakan “jika kalian tidak mengubah
keinginan kalian maka akan kami penuhi ‘obsesi’ kalian.” Ancaman apa lagi yang
lebih disukai Taliban selain kematian di jalan-Nya?
Sementara retorika
semacam ini sering dianggap tidak lebih dari sekedar propaganda, realitanya
bahwa Taliban betul-betul menganut prinsip itu. Banyak di antara pemimpin
mereka yang terbunuh ataupun dipenjara sejak invasi AS tahun 2001 di
Afghanistan. Operasi militer besar-besaran pimpinan AS yang dilancarkan dari
tahun 2009 hingga 2012 juga telah menekan jajaran kepemimpinan dan barisan
pejuang mereka. Ratusan pemimpin dan ribuan pejuang telah gugur saat pasukan AS
mengusir Taliban dari wilayah pertahanan mereka di selatan.
Berbagai “kerugian” itu
tidak lantas mampu memaksa Taliban mau bernegosiasi ke meja perundingan. Sebaliknya,
Taliban memilih bermanuver untuk melakukan konsolidasi dan menunggu, kemudian
pada saat yang tepat kembali melancarkan serangan dengan rencananya sendiri
yang secara pelan namun pasti dapat memperoleh kembali satu per satu
wilayah-wilayahnya. Taliban tetap pada determinasi awal bahwa mereka tidak akan
bernegosiasi dengan musuh, sebaliknya akan terus berusaha hingga berhasil
mengusir pasukan penjajah asing, menerapkan syariah (Hukum Islam), dan
mengembalikan otoritas Imarah Islam Taliban di Afghanistan.
Imarah Islam (Taliban)
juga memberikan respect yang sama terkait hubungannya dengan al-Qaidah. Meski
di bawah tekanan AS dan kekuatan-kekuatan internasional pasca peristiwa 11/9,
Taliban menolak menyerahkan Usamah Bin Ladin dan para kader pemimpin al-Qaidah
lainnya, termasuk para agen dan pejuang organisasi jihadis itu yang berbasis di
Afghanistan. Sebaliknya, Taliban secara tegas menyatakan bahwa mereka mempunyai
kewajiban agama untuk melindungi saudara-saudara mereka. Lima belas tahun
berlalu semenjak invasi AS ke Afghanistan, Taliban masih konsisten menolak
putus dengan al-Qaidah, bahkan secara terbuka menerima sumpah setia pemimpin
al-Qaidah, Dr. Aiman adz-Dzawahiri kepada pemimpin Taliban, Mullah Manshour.
Reporter
: Yasin Muslim
http://www.kiblat.net/2016/06/19/diancam-begini-respon-taliban/